11. Unexpected Matter
Reza sudah tampak segar dengan polo shirt dan celana pendeknya. Dia menyisirkan rambut yang masih separuh basah dengan jarinya sendiri. Sambil menunggu lift yang masih bergerak turun ke lantai dasar.
Aline berdiri disudut yang berlawanan dengan sisi dimana lelaki itu bersandar santai. Ini adalah pertama kalinya dia hanya berdua saja dengan lelaki itu setelah dia mengetahui seberapa tidak warasnya Reza, dan dia merasa takut.
Dia mengawasi lelaki yang nampak begitu normal itu. Aline akan masih menganggapnya demikian kalau belum melewati malam bersama dengan lelaki itu semalam. Bersama dengan pelacur kecilnya tentu saja. Karena Aline hanya pendengar saat suaminya berhubungan dengan perempuan lain di kamar pengantin mereka.
Reza menengok ke arahnya. Lelaki itu memberikan senyuman kecil.
"Aku senang nggak perlu pura-pura lagi di depan kamu, Aline. Bagaimanapun kita suami istri kan?" kata Reza dengan santai.
Aline memeluk lengannya sendiri, masih terdiam di sudut dinding tempatnya berdiri.
"Seenggaknya kamu harus belajar mengontrol ekspresi kamu, Lin. Kamu nggak mau Papa dan Mama kita mengira ada yang salah di antara kita kan?"
Aline tidak sadar saat dia sedang berusaha mengontrol wajahnya sesuai yang dikatakan lelaki itu.
"Orang tua kamu nggak tahu kamu begini?"
"Begini gimana maksud kamu?" tanya Reza sambil menaikkan alisnya.
"Sakit."
Reza tertawa, seolah kata-kata Aline kepadanya bukanlah hinaan tapi hanya sekedar candaan.
"Sakit apa, Lin? Apa di mata kamu sekarang aku kelihatan seperti orang sakit?" tanyanya, "Dan aku kan cuma berusaha nurutin keinginan orang tua aku. Aku rasa nggak ada yang salah dari menikah sama calon yang mereka pilih dan kasih mereka cucu sesuai keinginan mereka kan?"
Pintu lift terbuka dan Reza berjalan mendahuluinya.
"Halo, Pa, Ma," panggil Reza saat mereka tiba di restoran hotel dan melihat kedua pasangan paruh baya itu duduk di sana.
Aline juga harus memasang senyum palsunya begitu melihat wajah orang tua dan mertuanya yang sumringah saat mereka tiba.
"Ya ampun pengantin baru. Sampai diajak sarapan aja susah banget bangunnya." goda Mama Reza sambil melihat menantu cantiknya, sebelum kembali memandang ke putranya, "Mama denger dari Mamanya Aline, kamu nggak kasih Aline turun sarapan ya? Kamu tuh ya, Reza, kemarin kan acara sampai malam, memangnya kalian nggak capek ya?"
Aline berusaha tersenyum mendengar kata-kata mertuanya yang hanya berisi kebohongan darinya.
"Kan namanya malam pengantin, Ma." jawab Reza masih tersenyum sambil duduk di sisi Mamanya, sementara Aline duduk di sisi lain lelaki itu, "Mama juga sih hari pertama malah ajak sarapan pagi-pagi."
"Iya, iya, Mama yang salah," kata Mamanya masih tersenyum sumringah, "Udah yuk kita makan. Kasihan tuh Aline kelaparan pasti gara-gara kamu."
Aline merasa mual saat menahan dirinya dari kepura-puraan ini, namun dia harus bertahan.
***
"Kamu nggak apa-apa, Dhi?" Adisty menepuk-nepuk pundaknya sambil sesekali memijat tengkuk gadis muda itu dengan minyak kayu putih.
"Mual, Mbak. Nggak enak perutnya." Kata Indhira masih meringkuk di atas wastafel toilet kantornya. Untungnya hanya dia dan Adisty yang biasanya menggunakan toilet perempuan di lantai direksi ini.
"Tadi pagi makan apa kamu?" Tanya Adisty lagi, "kamu keracunan makanan kali."
"Belum makan apa-apa kok, Mbak. Tadi baru mau makan biskuit pas sampe kantor malah mual."
"Kok bisa sih?" Kata Adisty bingung, "Kamu nggak lagi isi kan?"
"Isi apa, Mbak?"
"Hamil, Dhi." Jelas Adisty sedikit gemas, "Kamu nggak hamil kan?"
Indhira menengok ke arahnya dengan cemas. Wajahnya yang sudah pucat semakin pucat seolah menyadari sesuatu.
"Kamu beneran hamil?" Tanya Adisty terkejut.
Indhira menggeleng, "Nggak Mbak. Aku nggak tahu. Tapi aku udah telat."
Adisty terdiam. Dia bingung apa lagi yang harus dikatakannya.
"Gimana dong, Mbak?" Tanya Indhira panik separuh merengek.
"Sebentar. Mending kita cek dulu aja daripada kamu panik padahal belum pasti juga. Mbak ke apotik sebelah dulu beliin kamu testpack ya. Kamu tunggu di sini."
Indhira mengangguk panik. Dia takut. Reza pasti akan marah besar kalau tahu dia benar hamil.
***
"Udah jangan nangis lagi, Dhi." Kata Adisty masih menepuk-nepuk punggung gadis itu. Kali ini bukan untuk menghilangkan mualnya, namun meredakan tangisnya.
Indhira menangis sesegukan. Tangannya masih memegang hasil testpack yang baru saja digunakannya. Dua garis dengan sangat jelas muncul di sana. Indhira hamil.
"Aku selalu minum pil kb. Nggak pernah kelupaan. Kenapa aku masih bisa hamil, Mbak?" Katanya kalut.
"Ya bisalah, Dhi. Pil kb juga nggak menjamin seratus persen kamu bisa nggak hamil." Kata Adisty.
"Terus aku musti gimana, Mbak? Aku nggak boleh hamil." Tanyanya panik. Dia tahu wanita itu tidak akan punya jawaban untuknya. Dia hanya bingung dan butuh bertanya.
Adisty berjongkok untuk menyejajarkan tubuhnya dengan Indhira yang masih terduduk di kloset.
"Kamu jujur sama Mbak, ini anak Pak Reza kan?" Tembaknya.
Indhira kelihatan bingung.
"Mbak tahu dari mana?"
Adisty menghela napas panjang. Semakin lemas karena tebakannya benar.
"Ya tahulah, Dhi. Kamu pikir Mbak ini buta apa bego? Kamu pikir Mbak beneran nggak tahu kalian ngapain aja kalau kalian berduaan dan ruangan dikunci?"
Indhira hanya bisa melanjutkan tangisnya mendengar kata-kata Adisty.
"Coba kalau kamu tahu beberapa hari lebih awal, Dhi. Mungkin pernikahan Bapak bisa dibatalin." Kata Adisty dengan nada menyesal, "Pokoknya kamu musti ngomong sama Pak Reza secepatnya. Biar dia bantu kamu cari solusi."
Indhira menggelengkan kepalanya panik, "Aku nggak bisa kasih tahu Pak Reza, Mbak. Dia pasti marah."
"Marah gimana? Itu kan anak dia. Mau marah juga dia musti tanggung jawab sama kamu Dhi." Kata Adisty dengan gemas.
Adisty melihat ponselnya yang tiba-tiba bergetar.
"Pak Reza nelepon." Katanya menginformasikan kepada Indhira sambil menerima panggilannya, "Iya Pak? Saya lagi di toilet Pak. Iya, bareng Indhira juga. Baik saya ke ruangan Bapak."
"Dicariin Bapak gara-gara kita nggak ada di tempat. Aku duluan ya. Kamu tenangin diri dulu, nanti baru nyusul ya."
Adisty berdiri dan merapikan dirinya sebelum meninggalkan Indhira sendirian di sana.
***
"Kata Adisty kamu sakit?" Kata Reza saat mereka kembali hanya berduaan di ruangannya.
Indhira terkejut karena Reza berbicara dengannya secara tiba-tiba sementara pikirannya masih melayang jauh sebelumnya.
"Sedikit, Mas. Masuk angin kayaknya." Kata Indhira meredakan rasa paniknya, "kemarin pakai dress nya terlalu terbuka."
"Makanya kan udah aku bilang kamu nggak usah pakai baju terbuka kayak kemarin begitu." Kata Reza terdengar menang.
"Iya Mas," jawabnya tanpa membantah.
Reza memperhatikan wajah gadis itu yang memang nampak lebih pucat dari biasanya.
"Kamu mau pulang duluan?" Kata Reza sedikit terdengar khawatir.
Indhira menggeleng, "Nggak apa-apa kok, Mas." Dia tidak mau lelaki itu curiga kepadanya.
"Yakin?"
Indhira mengangguk mantap. Senyum tersungging dari bibirnya yang pucat.
"Ya udah kamu duduk dulu di sana, istirahat."
Reza menginginkannya. Dia sudah meminta Indhira mengunci pintu ruang kerjanya. Tapi mana mungkin dia tega. Gadis itu terlihat tidak sehat dan pucat.
"Kita nggak ngapa-ngapain Mas?"
"Kamunya lagi sakit gitu." Kata Reza tanpa bergerak dari mejanya.
"Hmm, aku boleh keluar aja kalau gitu?" Pinta Indhira takut-takut.
"Terserah kamu."
Indhira berdiri dari sofa dengan cepat sebelum lelaki itu berubah pikiran. Dia bahkan tidak menyangka lelaki itu akan melepaskannya, apalagi mengijinkannya pergi dari sana.
Adisty yang melihat Indhira keluar dengan cepat dari ruangan kerja atasan mereka buru-buru mendekatinya.
"Gimana? Kamu udah bilang?"
Indhira menggeleng.
"Kenapa belum bilang, Dhi?" Tanyanya kecewa, "Aku udah sengaja bilang ke Bapak kalo kamu nggak enak badan lho."
"Belum waktunya, Mbak. Aku nggak bisa bilang tiba-tiba ke Pak Reza." Jelasnya.
"Kenapa nggak bisa? Semakin kamu tunda semakin nanti kamu bingung kasih tahunya, Dhi. Lagian kamu memang harus kasih tahu segera biar kamu sama Pak Reza tahu apa yang harus kalian perbuat."
"Iya Mbak, aku akan kasih tahu segera. Tapi bukan hari ini." Kata Indhira bertekad.
Gadis itu sudah mulai tenang. Dia tidak sepanik sebelumnya. Dia tahu bahwa dirinya harus segera berbuat sesuatu, dan memberi tahu Reza bukanlah bagian teratas dari rencananya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top