10. First Night

Hari ini hari yang paling membahagiakan untuk Aline. Resepsi pernikahannya berjalan dengan sangat lancar, penampilannya sempurna dalam balutan gaun pengantin pilihannya, dan tunangannya kini sudah menjadi suami resminya.

Ucapan selamat hadir bertubi-tubi dari seluruh tamu undangan yang berjumlah lebih dari seribu orang. Pernikahannya memang merupakan salah satu pernikahan termegah. Bagaimana tidak, Reza, suaminya adalah putra dari salah satu ketua partai yang sedang berjaya di negaranya, dan dia sendiri adalah putri dari direktur perusahaan manufaktur di Jakarta sekaligus mantan model.

Aline baru saja kembali ke kamar pengantinnya setelah after party yang diadakannya untuk teman-teman kuliah dan teman-temannya semasa menjadi model dulu. Suaminya sepertinya sudah kembali lebih dulu karena tidak terlalu tertarik dengan pesta hingar bingar kaum muda itu. Aline tersenyum bahagia. Walaupun dia menyukai dunia itu, namun dia tidak pernah berharap memiliki suami yang menyukai dunia malam. Dan memiliki Reza yang sama sekali tidak kelihatan tertarik dengan dunia tersebut sebagai suami merupakan satu dari puluhan keberuntungannya menikah dengan lelaki itu.

Langkahnya sedikit oleng walau dia sudah melepas sepatu heels tingginya karena pengaruh minuman. Dia berjalan memasuki kamar suite itu. Satu kartu kunci kamar sudah berada di tempat untuk menyalakan listrik, yang artinya lelaki itu memang sudah kembali ke kamar duluan walau lampu di ruang tamu kamar hotelnya gelap.

Mungkin Reza sudah tidur lebih dulu.

"Mas.. berhenti, Mas. Sakit."

Aline mendengar rintih tertahan seseorang yang meminta ampun. Dia merasa mengenali suaranya, walau dia tidak ingat siapa pemiliknya.

"Pelacur! Kamu berani-beraninya pakai baju terbuka kayak gitu di depan orang banyak! Aku minta kamu jadi pelacur di depan aku, bukan di depan lelaki lain!" kata suara lain yang sangat Aline kenali dengan baik. Suara yang mengucapkan ijab kabul baginya di acara tadi pagi.

"Maaf Mas Reza. Ampun. Sakit." kata suara itu lagi dengan terbata-bata beriringan dengan desahan.

Aline berjalan takut-takut memasuki kamar pengantinnya. Lampunya juga sama gelapnya walau lampu baca dekat meja kerja di kamar itu masih menyala.

Semakin dia mendekat, suara desahan dan erangan serta benturan kulit itu semakin terdengar. Dan kakinya melemas melihat pemandangan yang terpampang di depan matanya. Di bawah lampu meja kerja, di atas meja kerja di kamar pengantinnya, perempuan yang tadi malam menjadi bridesmaidnya terkapar menunggik di atas meja, nampak kacau. Gaun yang dikenakannya sedikit terangkat di bagian belakang tubuhnya sementara lelaki yang baru saja menjadi suaminya, berdiri tepat di belakang wanita itu, melakukan gerakan kasar menubrukkan tubuhnya ke tubuh wanita itu.

"Ka..kalian ngapain?" tanyanya dengan suara bergetar.

Reza dan Indhira menyadari kehadirannya.

Reza berdecak kesal karena kenikmatannya terganggu. Dia melepaskan tautan tubuhnya dengan gadis itu sambil kemudian mengancingkan celananya.

"Mbak Aline," panggil Indhira sambil menaikkan tubuhnya dan merapikan gaunnya sambil kemudian menyeka air matanya yang keluar akibat rasa sakit. Tubuh bagian bawahnya masih kesakitan saat dia bergerak.

Aline menatap jijik gadis yang beberapa jam lalu dipandanginya dengan ucapan terima kasih. Rambut dan make up gadis itu terlihat berantakan dan membuat Aline semakin berang. Karena dia tahu apa penyebabnya.

"Dasar perempuan pelacur!" Makinya sambil berjalan mendekati gadis itu dan menamparnya keras, "Aku menyesal anggap kamu teman. Dasar perusak hubungan orang." Aline meraih rambutnya dan menjambaknya kuat.

Indhira nampak pasrah saat rambutnya ditarik dengan kasar, namun Reza berdiri di depannya untuk menghalangi. Lelaki itu mengambil lengan Aline dan menghempaskannya dengan kasar.

"Cuma aku yang boleh bilang dia pelacur, Line." Kata Reza dingin.

Aline memandangnya dengan heran sekaligus marah. Dia belum pernah mendengar lelaki itu berbicara dengan nada sedingin itu sebelumnya.

"Aku belum buat perhitungan sama kamu, Reza! Berani-beraninya kamu selingkuhin aku di malam pertama pernikahan kita." Teriaknya tidak terkontrol. Air matanya mengalir dan merusak make upnya. Aline terlihat seperti orang gila.

Lelaki itu tidak bereaksi walau istrinya sudah histeris seperti orang gila. Suaranya masih terdengar sama datarnya saat dia melanjutkan berbicara, "Sebelumnya aku mau kasih tahu kamu besok pagi, tapi hari ini pun nggak ada bedanya. Bagus malah karena kamu sudah lihat sendiri."

"Apa maksud kamu?" Kata Aline tidak paham masih dengan histeris.

"Indhira ini perempuanku." Katanya sambil merangkul Indhira, "dan pernikahan kita nggak akan mengubah hirarkinya. Itu artinya, mulai sekarang kamu harus belajar menghargai dia sebagai wanita yang derajatnya lebih tinggi dari kamu, setidaknya di mata aku."

Aline memandang lelaki itu dan wanita dalam rangkulannya dengan bingung dan marah setelah mendengar kalimat tidak masuk akal barusan.

"Kamu gila, Reza! Kamu nggak waras!" Jeritnya, "Aku istri kamu! Dan pelacur itu cuma simpanan kamu. Kamu pikir aku bakal biarin aja kamu selingkuh sama pelacur ini?"

Reza menghela napas, seolah sedang berusaha untuk bersabar.

"Aku udah bilang aku nggak suka denger orang lain panggil dia pelacur. Keluar sekali lagi kata-kata itu dari mulut kamu, aku tampar kamu." Ancamnya dingin dan tampak berhasil karena Aline terdiam tampak takut.

"Tugas kamu jadi istri aku itu kasih anak buat aku." Lanjut Reza setelah wanita itu tenang, "Dan tugas Indhira itu memuaskan aku. Jadi keberadaan dia lebih penting daripada kamu, paham?"

Aline masih terpaku.

"Dan aku kasih kebebasan ke kamu, kapanpun kamu siap kasih anak ke aku, kita bisa melakukannya. Tapi aku mau ada Indhira saat kita berhubungan. Karena selain aku udah janji sama dia, aku butuh dia buat bantu aku terangsang."

Aline terlihat ketakutan sekaligus jijik. Dia tidak yakin mendengar jelas semua yang dikatakan lelaki itu dengan tenang dan santainya. Dia mau pelacur kecil itu ada saat mereka berhubungan seksual nantinya? Kegilaan macam apa itu.

Semua pemikirannya selama ini tentang suaminya yang baik dan lembut seketika hilang lenyap. Lelaki di depannya ini seolah orang yang berbeda dari yang dikenalnya selama ini. Orang ini psikopat. Pandangan Aline berpindah ke perempuan di sebelahnya. Wajahnya terlihat biasa saja mendengar semua kata-kata Reza. Indhira tahu kalau lelaki itu memang gila. Dan dia menerimanya dengan normal. Wajahnya hanya sedikit khawatir melihat Aline.

"Jadi kamu mau sekarang?" Tanya lelaki itu.

"Nggak!" Kata Aline buru-buru dengan takut.

Reza menaikkan pundaknya acuh, "kapanpun. Kalau gitu kamu boleh keluar dari kamar ini? Aku perlu melanjutkan apa yang kamu sela tadi."

"Mas, ini kan kamar pengantin Mbak Aline sama Mas. Masa Mbak Alinenya harus keluar dari sini." Indhira berbicara kepada lelaki itu menghentikannya.

Reza terdiam memandangi gadis dalam rangkulannya itu.

"Ya udah, aku nggak masalah kita lanjut di sofa kok." Kata Reza sambil merangkul gadis itu berjalan melewati Aline keluar kamar.

Dia menutup pintu kamarnya sambil sebelumnya berbicara kepada Aline, "Lebih baik kamu nggak usah keluar dari kamar sebelum besok pagi. Aku nggak suka diganggu di tengah-tengah seperti tadi. Aku maafkan yang pertama tapi nggak akan ada yang kedua."

Aline bergidik ketakutan mendengar ancaman lelaki itu. Tubuhnya terhempas di lantai karena lemas kakinya. Dia menangis histeris sambil memeluk lututnya.

***

Aline membuka pintu kamar yang menghubungkannya ke ruang tamu. Seperti yang sudah dibayangkannya, dia menemukan dua tubuh yang saling bertumpuk dan berpelukan di atas sofa.

Tubuh keduanya hanya dilapisi selembar kain di atas punggung yang lelaki, karena dia berada di atas si perempuan. Gaun bridesmaid yang disewakannya untuk gadis itu tergeletak berantakan di lantai bersama dengan kemeja dan celana suaminya.

Aline tidak bisa tidur semalaman. Dia menangis meratapi nasibnya semalaman. Dan yang lebih parah, tembok kamar hotel suite sialan yang membatasi kamar tidur dan kamar tamu yang tidak kedap suara sama sekali.

Suara erangan dan lolongan terdengar sangat jelas semalam dari balik dinding kamarnya. Dia bahkan sudah menyalakan tv semalaman untuk meredam suaranya.

"Pagi, Mbak Aline." Sapa gadis yang berada di bawah tubuh Reza. Dia kelihatan baru terbangun mendengar suara pintu dibuka.

Aline mengacuhkannya. Bisa-bisanya pelacur itu menyapanya seolah tidak terjadi apa-apa padahal dia sudah menghancurkan hidupnya dan sedang tidur dengan suaminya.

Indhira mengusap-usap pelan punggung lelaki di atasnya.

"Mas Reza, bangun, Mas," katanya separuh berbisik lembut di telinga lelaki itu dan membuat Aline merasa berang menyaksikannya.

Reza kelihatan kesal dalam tidurnya. Dia tidak suka terusik.

"Mas pagi ini ada breakfast sama keluarga Mas dan keluarga Mbak Aline kan?" Kata Indhira mengingatkan. Apalagi dia sudah melihat Aline yang keluar kamar dengan busana lengkap.

"Nggak mau. Diundur makan siang aja ketemuannya." Katanya dengan suara serak enggan bergerak.

Indhira nampak kebingungan. Dia memandang Aline untuk meminta bantuannya sementara wanita itu kelihatan semakin marah saat pandangannya bertemu dengan perebut suaminya.

"Terserah!" Kata Aline sambil membalik tubuhnya untuk kembali ke kamar tidur dan membanting pintunya dari dalam.

Reza berdecak kesal mendengar suara berisik itu. Namun tangan Indhira yang merengkuhnya membuat dia tetap diam nyaman dalam pelukan gadis itu. Mereka baru tidur beberapa jam lalu, dan Reza memang butuh istirahat lebih pagi ini.

***

Aline menangis di ranjangnya. Menutupi wajahnya dengan bantal untuk meredam suara tangisnya sendiri yang semakin menjadi-jadi.

Dia baru saja mengetikannya pesan untuk Mamanya, mengatakan kepada mereka bahwa janji sarapan pagi bersama mereka dan orang tua Reza harus diubah menjadi makan siang.

Dan balasan dari Mamanya membuat dia semakin pilu karena wanita paruh baya itu menganggap mereka tidak bisa turun untuk sarapan karena kelelahan akibat malam pertama mereka. Mungkin itu hanya berlaku untuk Reza, sementara dia kelelahan karena menangis semalaman.

Mungkin ada baiknya juga dia baru keluar makan siang nanti. Dia masih bisa mempersiapkan hatinya bertemu dengan orang tua mereka sekaligus mengompres matanya yang membengkak.

Namun seberapa banyakpun dia menangis, Aline tetap tidak habis pikir dengan pasangan sialan yang mengacaukan hidupnya itu.

Apa bagusnya Indhira si perempuan kecil kurus itu di mata Reza? Dia menghabiskan waktunya setahun belakangan ini untuk mencurigai Adisty, sekretaris lelaki itu yang berwajah cantik eksotis dengan tubuh molek. Dia tidak sekalipun curiga pada Indhira.

Indhira terlalu polos untuk masuk dalam hitungannya bisa menjadi penghalang hubungannya dengan Reza, apalagi menjadi simpanan lelaki itu. Badan wanita itu rata dan kurus kering, wajahnya juga polos biasa saja. Tidak ada kelebihannya yang bisa membuat lelaki manapun tertarik, sementara Reza seperti orang gila tergila-gila kepadanya. Atau mungkin memang lelaki itu gila.

Aline merasakan penyesalan bertubi-tubi dalam dua bulan belakangan ini. Dia menyesal menceritakan segalanya kepada perempuan itu. Dia menyesal sempat menganggapnya sahabat, walau tujuannya memang tidak murni dan hanya untuk membantunya mengawasi Reza. Dia menyesal menjadikan perempuan itu bridesmaid-nya, walau tujuan awalnya memilih gadis itu karena Indhira akan menjadi pembanding yang tepat untuknya di acara pentingnya tersebut. Dia jelas akan semakin terlihat bersinar jika yang bersanding membantu pernikahannya perempuan biasa seperti Indhira. Walau ironisnya, suaminya lebih ingin menyetubuhi bridesmaidnya itu daripada dirinya sendiri.

Aline merasa tertipu mentah-mentah. Harusnya dia sudah curiga ketika mereka hanya berduaan di dalam ruang kerja lelaki itu sambil mengunci pintunya. Atau perempuan itu sering mengangkat ponsel milik Reza saat dia sedang berusaha menghubunginya. Dan bahkan Aline tahu seberapa sering Reza melakukan perjalanan dinas berdua saja dengan perempuan itu.

Aline bisa saja melaporkan lelaki itu semalam kepada orangtuanya dan membatalkan pernikahan ini. Namun dia tidak berani segegabah itu. Harga dirinya tidak akan menerima semua itu. Mau ditaruh dimana mukanya di depan teman-temannya kalau satu hari setelah pernikahan, dia harus bercerai dari suaminya. Apalagi kalau sampai ketahuan alasannya, bahwa dia kalah dari pelacur itu.

Aline bahkan memutuskan untuk tidak memberitahu keluarganya lebih dulu. Dia tidak mau orang tuanya membuat heboh dan mengatakan kepada saudara-saudaranya sementara Aline baru saja memamerkan kebahagian kepada kakak-kakaknya, karena dia menikah dengan suami yang paling membanggakan dibandingkan saudaranya yang lain.

Aline menengok saat pintu kamarnya dibuka. Lelaki itu sudah mengenakan celana panjangnya semalam walau masih bertelanjang dada dan berjalan ke kamar mandi. Sedikitpun lelaki itu tidak menoleh ke arahnya.

"Indhira, sini!" panggilnya dari dalam kamar mandi.

Indhira sambil menutupi tubuhnya dengan selimut, berjalan dengan langkah buru-buru juga memasuki kamar mandi.

Pintu kamar mandi ditutup dan dikunci dari dalam dan suara air mengalir terdengar. Aline bangkit dari ranjang. Suaminya mengajak pelacur itu mandi bersamanya di depan matanya. Dia tidak akan mau lagi mendengar suara menjijikan yang mengganggu tidurnya semalam dari dalam kamar mandinya

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top