Chapter 9
Selamat datang di chapter 9
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai jika ada typo (biasanya suka gentayangan) sebelum chapter ini di lempar Mr. CEO gegara banyak typo
Thanks 🙏🏻
Well, happy reading everyone
Hope you like this
❤❤❤
______________________________________
Ketika keadaanmu sangat buruk tapi tidak bisa menceritakannya pada orang lain
Biarkan takdir yang bekerja dengan do'a dan usahamu
°°Mia Oswald°°
______________________________________
Phoenix, 23 Desember
19.00 p.m.
Mungkin Hansel Brent benar. Bekerja sebagai sekretaris Dominic Molchior perlu ektra kesabaran dan tenaga. Mungkin Hansel Brent juga benar sebaiknya aku menurutinya untuk tidak bekerja di mana pun. Tapi mengingat ayahku yang sedang sakit dan ibuku yang tidak bekerja karena merawatnya, serta pemilik gedung apartement kumuhku yang sudah sangat marah karena belum membayar uang sewa, mengancam akan mengeluarkan barang - barangku yang berjumlah sedikit itu dari apartement melalui telpon tadi, aku tidak bisa diam saja dan menengadahkan tangan pada Hansel Brent yang juga sedang membiayai kuliah Lexi Brent.
Sungguh, aku tidak bisa menambah beban pikirannya mengenai masalah keuangan karena kami sama - sama bermasalah dalam hal itu.
Sekarang kepalaku rasanya berputar karena memikirkan banyak hal. Selain memikirkan kemungkinan tidak bisa pulang ke Brooklyn karena tugas kantor ke luar kota, juga terkendala karena masalah uang. Harus di mana lagi aku mencari dollar tambahan jika pekerjaan sekretaris ini masih belum selesai pada jam tujuh malam?
Dan kebetulan mood Dominic Molchior sepertinya sedang tidak bagus. Kenapa moodnya selalu jelek?
Apa karena aku yang terlalu berisik menerima telpon dan mengganggu konsentrasinya dalam menyelesaikan berkas? Ngomong - ngomong dia tidak mendengarkan percakapanku kan? Jika dia dengar, aku tidak bisa membayangkan bagaiamana wajah mengejeknya saat melihatku menangis.
Tidak ada yang boleh melihatku menangis. Tidak ada yang boleh melihatku lemah. Aku tidak ingin di kasihani dan di remehkan siapa pun. Termasuk Hansel Brent, kekasihku sendiri, apa lagi pria tidak berprikemanusiaan bernama Dominic Molchior.
Well, selama perjalanan menuju estat pria itu aku diam. Selain memikirkan cara mendapatkan uang tambahan, juga karena lelah. Setiap hari harus bangun pagi dan pulang malam karena tugas tambahan tidak masuk akal dari CEO-ku itu. Tapi setidaknya sekarang aku harus bertahan memaksakan tubuh yang sudah sangat lelah ini untuk konsentrasi meneliti dan menyiapkan apa saja keperluan Dominic Molchior untuk keberangkatannya ke Virginia Barat besok pagi di ruang kerja estatnya yang super megah ini, barulah aku akan pulang dan packing keperluanku sendiri. Lalu tidur. Mungkin sekitar dua jam, karena pagi buta harus mengecek lagi, memastikan segala keperluan Dominic Molchior siap, termasuk pilot penerbangan helipad.
Ketika pertama kali turun dari mobil, beberapa maid wanita dan seorang pria tua yang berdiri di undakan menyambut kami.
“Selamat datamg tuan Dominic, dan...” pria beruban itu melihatku.
“Mia Oswald, sekretaris Mr. Molchior yang baru, dan kau?” ucapku yang kuusahakan seceria mungkin kemudian mengulurkan tangan untuk berkenalan dengannya.
Pria tua itu tampak ragu saat akan menyambut uluran tanganku. Dengan hati - hati dia melihat Dominic Molchior. Mungkin minta ijin untuk menyalami tanganku. Setelah mendapat anggukan dari majikannya, dia baru menyalamiku sambil berucap, “Reginald Jeeves, butler estat tuan Dominic. Selamat datang Miss Oswald.”
“Senang bertemu denganmu Mr. Jeeves,” ucapku sekali lagi, sebelum butler itu dan beberapa maid lain yang sudah berdiri di belakangku dan Dominic Molchior meminta mantel kami.
“Tolong antarkan Mia ke ruang kerjaku,” kata Dominic Molchior sebelum menghilang masuk ke dalam ruang estatnya yang lain.
“Baik tuan,” jawab Reginald Javees sambil mengangguk.
Sebenarnya estat milik pria yang sudah menghilang ini terlihat lumayan kuno dari depan, tapi begitu masuk, kau akan di suguhkan dengan pemandangan potret - potret keluarga Molchior pada dinding warna abu terang di sepanjang lorong menuju ruang kerja, tidak tampak kuno lagi.
“Mereka adalah orang tua tuan Dominic. Ini tuan Philip, yang di sebelahnya ini nyonya Ingrith, dan ini—”
“William Molchior,” potongku sebelum Reginald Javees menyelesaikan kalimatnya. Butler itu kemudian memandangku dengan tatapan tidak percaya dan bertanya, “kau mengetahuinya Miss?”
“Kami, maksudku aku, Mr. Dominic Molchior dan William Molchior pernah makan siang bersama beberapa hari lalu,” jawabku jujur namun Reginald Javees yang masih meneruskan langkahnya pun berhenti untuk menatapku.
“Tidak biasanya tuan Dominic memperkenalkan dan mengajak makan siang anggota keluarganya sendiri pada sekretaris. Tuan Dominic orang yang tertutup mengenai keluarganya. Mrs. Thompson pun tidak tahu tentang tuan William jika tidak kuberi tahu lewat potret keluarga di sepanjang lorong ini Miss, yang dia tau hanya tuan Philip karena dua tahun lalu masih memimpin perusahaan,” terang butler berkacamata bulat itu kemudian mengeluarkan segebok kunci dari balik kantung, memilih salah satu dari kunci tersebut untuk membuka pintu ganda di depannya, menimbulkan suara berdecit.
Benarkah?
Aku mengernyit ketika Reginald Javees lanjut berkomentar. “Kurasa kau adalah orang spesial bagi tuan Dominic.”
“Tidak, kau mungkin salah,” sanggahku. Tidak ada yang di anggap special oleh Dominic Molchior kecuali penghasil dollarnya. Namun butler berambut putih itu hanya tersenyum sebelum maid lain datang membawa senampan minuman panas dan kue jahe. “Silahkan Miss Oswald,” kata Reginald Javees saat meletakkan nampan tersebut di atas meja lalu permisi keluar.
Aku melihat sekeliling ruangan kerja Dominic Molchior yang ukurannya lebih besar dari apartement sempitku dengan terkagum - kagum.
Kurasa, ruangan ini lebih cocok di sebut perpustakaan pribadi dari pada ruang kerja. Di sekelilinnya terdapat rak - rak buku sebagai dinding ruangan. Persis perpustakaan di film animasi Beauty and the Beast. Ada juga perapian di tengah ruangan dengan karpet bulu serta bantal - bantal warna hitam di depannya, satu set sofa kulit warna hitam dan meja kerja dengan pena mahal di atasnya pada sisi bagian kanan.
Di sini benar - benar nyaman. Sejenak, aku dapat melupakan semua masalahku.
Pertama kali yang kulakukan dalam ruangan ini adalah meletakkan tas jinjing di atas sofa kemudian mengambil buku catatan yang berisi daftar beberapa berkas dan keperluan yang tadi di berikan Mrs. Benita Thompson untuk Dominic Molchior, lalu mulai menjelajahi berkas - berkas dalam laci.
“Berkas ini... Yang ini juga...kemudian yang ini...” Aku bermonolog pelan sambil mencentang daftar - daftar yang sudah kusiapkan. Sesekali menggaruk kepala dengan ujung pena yang tumpul.
Setengah jam kemudian kerjaanku dalam manyiapkan berkas sudah beres. Kuputuskan untuk mengambil coklat panas dan mencicipi kue jahe, kemudian diam - diam mencatat dalam hati untuk mencari resepnya di internet, sambil melangkah menghangatkan diri di depan perapian sebelum lanjut menyiapkan keperluan yang lain.
Saat kujejalkan kaki - kaki bercat kuku warna senada dengan jari tangan, aku memekik dalam hati. Astaga ini terlalu nyaman. Aku jadi mengantuk. Mungkin jika aku memejamkan mata sebentar tenagaku akan pulih, barulah menyiapkan keperluan Dominic Molchior yang lain.
Namun sebelum memejamkan mata, ponsel dalam tas jinjingku bergetar.
Dengan malas aku mengambilnya, kemudian mengangkat telpon itu. “Halo.”
“Honey, apa kau sudah di apartement?” Suara Hansel Brent kelihatan sedikit khawatir. Mungkin karena aku lupa menelponnya.
“Belum, aku masih mempersiapkan keperluan Mr. Molchior untuk kunjungan ke Virginia besok, dan aku harus ikut kunjungannya, maaf baru memberitahumu sekarang, aku sangat sibuk,” ucapku jujur. “Ada apa honey? Kelihatannya kau panik?”
“Aku sudah mendengarnya dari Mrs. Thompson. Aku hanya khawatir kau belum makan malam,” ucapnya membuatku tersenyum getir, mengingat aku hanya makan selapis roti tawar. Rasanya mengingat kembali alasanku berhemat membuat dadaku sesak.
Hansel, honey, aku... Sedang kesulitan...
Setelah meletakkan gelas coklat panasku di atas meja, aku mengganti posisi duduk menjadi rebahan di karpet depan perapian. Sangat hangat dan nyaman.
Dan hanya ini yang bisa kukatakan. “Aku sudah makan roti tadi, setelah menyelesaikan ini aku akan pulang. Hoooaaammm.” Pada akhir kalimat aku menguap.
“Biarkan aku menjemputm—”
“Miss Oswald, tuan Dominic menanyakan tentang kesiapan berkasnya.” Reginald Javees menginterupsi. Aku reflek bangun dan berjalan ke arah meja tanpa alas kaki untuk menunjuk berkas - berkas yang baru saja kusiapkan. “Ini semua berkas untuk besok,” ucapku lantang. Kemudian berbisik di telepon. “Honey, aku harus pergi, bye.” Lalu menutup telpon itu secara sepihak.
Awkward.
Reginal Jeeves malah meminta maaf. “Maaf, aku mengganggu telponmu, tadi aku sudah mengetuk pintu tapi kau tidak mendengarnya.”
“Tidak apa - apa,” kataku sangat malu karena ketahuan bermalas - malasan. Sekarang rasa kantukku langsung lenyap. “Oh ya selanjutnya aku harus menyiapkan setelan Mr. Molchior, tolong tunjukkan walk in closet-nya.”
“Salah satu maid akan mengantarmu ke sana.”
Setelah memakai sepatu, aku mengikuti salah satu maid yang di utus Reginald Jeeves ke walk in closet untuk memilih beberapa setelan Dominic Molchior.
Sumpah, isi estat ini membuatku jadi orang kampungan. Walk in closet pria bermata biru terang itu mirip seperti milik orang kaya di film - film. Setelan armani dan kemeja berjejer sesuai gradasi warna pada satu deret hunger. Dasi polos dan bermotif juga sesuai deretannya. Belum lagi jam tangan, ikat pinggang, kaus kaki, pantofel, sampai sapu tangan pun, di tata sesuai warna dan motif. Aku sampai bingung harus memilih yang mana untuk besok. Semuanya bagus dan mewah. Ini sama halnya seperti memilih baju untuk kencan pertamaku bersama Hansel Brent dulu.
Well, dari pada aku sibuk mengagumi setiap sisi walk in closet ini, lebih baik aku segera menyiapkan semua keperluannya agar cepat selesai dan istirahat karena rasa kantuk sudah mulai menyerang lagi.
Ngomong - ngomong kemana manusia itu? Kenapa aku tidak melihatnya sejak tadi?
Baru saja aku memikirkannya, maid yang mengantarkanku ke walk in closed tadi datang menjemput. Katanya tuan Dominicnya sudah menungguku di mobil.
Kenapa malah di mobil?
Lagi - lagi dengan patuh tanpa bantahan aku mengikuti maid tadi ke foyer depan. Di sana sudah berdiri maid lain yang membawa tas jinjing dan mantelku.
Sedangkan di mobil, Dominic Molchior sudah mengkode agar aku cepat memakai mantel dan masuk mobil.
“Apa ada jadwal yang lain? Kenapa aku tidak di beri tau?” tanyaku heran karena biasanya jika ada jadwal yang menyangkut tentang atasanku ini, aku akan di beri tahu lebih dulu.
“Aku harus mengunjungi suatu tempat,” katanya kemudian melajukan mobil.
“Mendesakkah?” tanyaku hati - hati, takut responnya yang berlebihan. Seperti marah dan lain - lain.
“Begitulah,” jawab Dominic Molchior singkat tanpa ada niatan membahas ini lebih lanjut.
Sebenarnya aku penasaran, tapi rasa kantuk ini tidak dapat kutahan lagi. Dan entah sejak kapan aku sudah tertidur.
Baru sebentar tertidur tapi rasanya tubuhku melayang, kemudian menempel pada sesuatu yang empuk, nyaman, hangat, juga wangi menyenangkan.
Sebelum kenyaman ini membuatku jatuh ke alam mimpi lebih dalam, samar - samar aku bisa mendengar seseorang berbisik tepat di sebelahku walaupun suaranya sedikit jauh.
“Selamat malam, Mia.”
______________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang uda vote dan komen tulisan iseng ini
Btw tau nggak kenapa Mia bisa salah ngenali pacar sama Mr. CEO waktu mabuk?
Soalnya mereka sama sama brewokan 😂😂
Apasihgakjelas #hiraukan
Bonus photo Mia Oswald
Mr. CEO yang hobi berkuda
See you next chapter teman temin
With Love
©®Chacha Prima
4 Februari 2010
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top