Chapter 38
Selamat datang di chapter 38
Tinggalakan jejak dengan vote dan komen
Tandai jika ada typo (biasanya suka nempel sana sini)
Thanks
Happy reading everyone
Hope you liket it
WARNING!! 21+
TERDAPAT SEDIKIT ADEGAN BDSM
UNTUK YANG TIDAK KUAT DAN BELUM CUKUP UMUR SILAHKAN DI SKIP, NGGAK USAH DI BACA
TAPI KALO NGOTOT YA UDAH NGGAK APA-APA, MANA BISA DAYA MAKSA WKWKAK
YANG HARUS TEMEN-TEMEN INGET INI CUMA CERITA FIKTIF BELAKA YA, NGGAK ADA SANGKUT PAUTNYA AMA DI DUNIA NYATA
SO, BE STRONG GUYS
______________________________________________
Mungkin kau mencintainya, tapi tubuhmu jelas-jelas lebih mencintaiku
••Dominic Molchior••
______________________________________________
Phoenix, 16 Januari
07.35 a.m.
Mia Oswald belum datang. Meja kubiklenya masih kosong. Tidak ada tumpukan kertas atau proposal yang di tata di sisi meja. Tidak ada peralatan tulis atau hiasan warna ungu bertebaran. Terlalu rapi menurutku. Malah terkesan hampa. Itu artinya tidak ada french toast dan kopi Brazil di meja ruanganku.
Aku memutuskan turun kembali dan menunggunya di sofa depan meja receptionist. Hanya duduk sambil bermain ponsel mirip pengangguran. Mengabaikan tatapan para karyawanku yang tengah berbisik-bisik memandangku. Mungkin baru kali ini mereka melihat bosnya turun ke loby dan hanya duduk termangu sambil bermain ponsel. Sebelum akhirnya kesabaran tidak bisa menahanku lebih lama untuk menelpon wanita itu. Tapi ponselnya mati.
Aku khawatir, apa dia sakit? Karena belakangan ini dia sering mengeluh pusing dan gampang lelah serta tidak kuat berdiri lama?
Apa dia baik-baik saja? Apa dia sudah pulang ke penthouse?
Pandanganku terpusat kembali pada layar ponsel yang bergetar. Nyala pada layarnya menampilkan sebuah pesan masuk dari Jewelry Store tempat aku memesan cincin untuk melamar Mia Oswald. Toko itu mengabariku apabila cincinku sudah jadi dan akan segera mengirimnya ke estate. Karena aku pikir tidak mungkin memberi alamat kantor pusat ini sementara semua barang yang akan di terima CEO harus di sunting oleh sekretaris. Aku tidak ingin Mia Oswald menyunting cincinnya. Itu namanya bukan kejutan. Kau setuju denganku bukan?
Senyumku mengembang kala membayangkan bagaimana wanita beraroma liac itu menerima lamaranku dan kami akan menikah.
Astaga, menikahi Mia Oswlad.
Dulu aku pikir dalam kamusku tidak mungkin aku menikahi wanita itu, namun bukankah kita harus memperluas kosa kata untuk menambah jumlah pengentauhuan kita? Ya. seperti itulah aku. Menambah jumlah daftar kamusku dengan kosa kata 'melamarnya.'
Karena jam operasional kantor sebentar lagi akan di mulai, aku memutuskan untuk naik elevator. Sembari menunggu, William Molchior kebetulan datang. Dia masih menguap sambil mengucapkan salam pagi.
“Selamat pagi Mr. CEO? Bagaimana perasaan Anda hari ini? Apa sudah membaik?” tanyanya dengan nada sambil lalu namun aku tahu William Molchior sebenarnya khawatir. Hanya saja dia terlalu mengantuk untuk basa-basi.
“Kau sendiri?”
“Oh, jika yang kau maksud keadaanku setelah bertengkar dengan Bellen tadi malam, aku baik. Itu sudah biasa. Masih ada Bellen-Bellen yang lain, tenang saja.”
Dentingan halus milik elevator berbunyi. Kami melangkah dan memencet nomor lantai. Dalam elevator kami diam. Aku sibuk memikirkan keadaan Mia Oswald sementara William Molchior tidur sambil berdiri. Pantulan bayangannya nampak melalui benda logam ini.
Dentingan halus elevator kembali membawa langkah kami keluar. Sebelum lunturnya berbagai alasan absen wanita yang kucintai itu bersliweran di otakku, ada dua karyawan yang tengah bergosip. Suara mereka nyaring.
Dasar wanita! Rutukku dalam hati. Berusaha menghiraukan mereka karena ruanganku berjarak beberapa langkah lagi dari tempatku berdiri.
Aku baru akan meraih gagang pintu ruangan CEO ketika seorang wanita berkata, “aku memiliki dua gosip. But I save the last for the best.”
“Argh sepertinya aku tahu gosip yang pertama, tapi aku penasaran dengan gosip yang kedua, katakan, apa itu? Aku sangat penasaran!”
“Baiklah, gosip pertama memang sudah tersebar luas dan sangat menarik, tapi ini berita yang lain. Apa aku kau tahu? Aku melihat Mr. Brent melamar Miss Oswald di restaurant tadi malam. Tapi aku belum tahu dia menerimanya atau tidak karena aku harus pulang.”
“Ha? Benarkah? Aku yakin Miss Oswald menerimanya. Aku tidak sengaja bertemu dengannya tadi pagi sekali dan melihat cincin di jarinya. Ngomong-ngomong dia juga pamit padaku karena mengundurkan diri. Pasti karena dia ingin fokus pada pernikahannya dengan Mr. Brent.”
Mia Oswald menerima lamaran Hansel Brent.
Tubuhku terpaku pada satu poros. Musim dingin masih menyambut, salju masih sedikit turun di luar gedung. Namun seolah anginnya menyerbu tubuhku. Butiran halus yang wanita itu sukai menghantamku hingga membeku.
William Molchior yang menyadari perubahan sikapku kala mendengar gosip itu kontan membuka matanya lebar-lebar dan memarahi para karyawan tersebut. Padahal adikku tidak pernah sekali pun marah-marah pada wanita. Tidak pernah sekali pun bersikap kasar pada mereka. Tapi demi aku dia rela.
“Heh! Kembali bekerja! Kalian di gaji bukan untuk bergosip!” teriaknya kemudian menatapku yang masih membeku. “Dom, tenang, hirukan mereka. Itu hanya gosip murahan! Kau mau kopi? Akan kubuatkan, duduk dulu saja di ruanganmu, ayo!”
Bagai robot aku menurut di seret William Molchior masuk ruangan dan memerintahku untuk duduk di sofa kulit hitam berlengan yang ada di sudut. Ketika adikku keluar aku berjalan ke meja CEO dan menemukan amplop putih bertuliskan surat pengunduran diri.
Tubuhku jatuh di kursi CEO. Aku menatap nanar amplop tersebut kemudian merobek dan membuangnya asal. Aku juga membuang grass grower santa yang rumputnya sudah sangat panjang.
Wanita itu mempernainkanku! Katanya dia akan menyelesaikan masalah dengan si pengecut itu. Katanya dia memintaku menunggunya.
Aku sudah menunggunya.
Demi saturnus aku menunggunya! Aku sangat mengharapkannya! Aku membuang jauh-jauh gengsiku yang setinggi langit untuk menyatakan perasaanku. Aku menunda kunjungan ke Virginia Barat untuk keluarga wanita itu. Aku rela pulang pergi dari Phoenix ke Brooklyn hanya untuk menjemputnya. Aku memberinya penthouse-ku. Aku rela menyewa caravan, menyetir dua hari lamanya hanya untuk bersama wanita itu. Bahkan dia memberiku harapan dan mengatakan percaya padaku.
Tapi kenapa dia malah menerima lamaran si pengecut itu?
Apa itu yang dia sebut sebagai menyelesaikan masalah dengan Hansel Brent? Dengan menerima lamarannya dan membuangku?
Sialan kau Mia! Sialan kau! Kau mempermainkanku!
Baiklah, jika itu keputusanmu. Aku akan memberimu ucapan selamat!
Phoenix, 16 Januari
09.34 a.m.
Setelah mendengar berita wanita itu menerima lamaran dari si pengecut, tanpa menunggu jeda, aku menginjak pedal gasku menuju penthouse. Akan tetapi, ketika kakiku baru mencapai dalam elevator, William Molchior berlari mengejarku. Tangan kirinya menenteng sebuah majalah. Entahlah aku tidak mnegerti sejak kapan dia membaca majalah gosip.
“Dom! Tunggu!”
Tapi tentu aku tidak ingin membuang-buang waktu untuk menunggu bualannya atau lawakannya atau sesuatu yang tidak penting sehingga memperlambatku menemui Mia Oswald. Jadi aku mengabaikan adikku.
Aku tiba di penthouse seperempat jam kemudian tapi wanita itu tidak ada. Barang-barangnya masih utuh, kasurnya masih tertata rapi seperti tidak pernah ditiduri. Aku memutar otak. Apabila tidak di penthouse, kemungkinan besar dia berada di tempat si pengecut itu.
Mia, you looks like a bitch Mia. Tapi tidak apa-apa. Aku tetap akan memberi ucapan selamat untuknya.
Untuk membuat si pengecut itu pergi dari tempat tinggalnya sementara waktu sehingga aku bisa mengucapkan selamat pada Mia Oswald, aku memintanya ke kantor untuk mengurusi lowongan jabatan sekretaris. Setelah menerima laporan Hansel Brent sudah di kantor, aku praktis melajukan porche hitamku menuju tempat itu. Membawa kado ucapan selamat yang kumasukkan kantong setelan kerjaku dan menekan bell tempat tinggal HRD perusahaanku.
“Apa ada yang tertinggal Honey? Kenapa kau tidak langung masuk?”
Honey, aku mengulang dalam hati serta mengutuk itu.
Aku menekan bell sekali lagi. Kali ini tidak butuh waktu lama pintu itu di buka dan terpampanglah Mia Oswald dengan air muka terkejut. “Bagaimana kau bisa—” katanya yang kuyakini implusif. Sebelum detik yang lain menyadari apa yang sedang terjadi dan reflek mendorong benda penghalang kami agar tertutup namun aku berhasil menahannya dengan satu tangan.
“Pergi!” pekiknya marah.
Kenapa wanita itu yang marah? Bukankah seharusnya aku yang marah di sini? Dia yang mempermainkanku!
“Kenapa kau tidak membiarkanku masuk, Mia?” Aku bertanya dengan nada penekanan namun di sertai senyum setan.
Wanita yang masih berusaha mendorong pintu agar tertutup tetap mengusirku.
“Oh ayolah Baby, aku hanya ingin mengucapkan selamat atas pertunanganmu dengan Mr. Brent, kenapa kau tidak membiarkanku masuk? Takut tunanganmu melihatku?” kekehku sambil mendorong pintu hingga terbuka sepenuhnya dan berhasil menyelinap masuk.
“Dari mana kau tahu?” tanya wanita itu. Aku hanya menampilkan senyum tipis. Sinis.
Lagi-lagi wajah manis itu terkejut namun dapat mengatasi keterkejutannya lebih awal sebab berubah garang. “Pergi!” usirnya selaras dengan kedua tangannya yang mendorongku.
“Kau mau mengusirku karena tidak membawa sesuatu, Baby? Jangan khawatir, aku tidak datang dengan tangan kosong, aku membawa kado.”
Mia Oswald melirik dengan ngeri saat tangan kiriku merogoh kantong celana setelan kerja, mengeluarkan kadonya dan sontak mundur karena melihatku maju. Sampai-sampai dia tidak sadar jika sudah membentur pantry. Tidak memiliki tempat kabur yang cukup karena aku sudah mengunci tubuhnya dengan tubuhku.
“Apa yang kau lakukan?! Pergi!”
“Mia... Mia... Mia... Apa kau merindukanku? Merindukan sentuhanku?” tanyaku dengan seringai licik dan smirk smile. Aku tahu mataku berkabut. Aku tahu seluruh syaraf di tubuhku meronta ingin mencekiknya sekarang juga. Tapi aku bahkan belum memulai pembukaan ucapan selamatku.
“Singkirkan tanganmu!” pekiknya ketika aku berusaha membelai wajahnya. Aku pun terkekeh.
“God, Mia. Kau semakin membuatku bernafsu.”
“Berengsek! Kau Dom—hmmpp!”
Mia Oswald... Aku tidak akan menginjinkannya berucap selain desahan. Jadi aku membungkamnya dengan mulutku. Menelusupkan lidahku kasar dan mencepapinya tanpa ampun.
God, berciuman dengan wanita ini selalu terasa manis.
Dia memberontak dan menggigit bibirku keras. Aku reflek menjauh. Rasa asin segera menyerbu kemudian aku terkekeh. “Kau semakin menggairahkan Mia.”
Dengan gerakan cepat, aku menangkap tubuh wanita itu dan kulentangkan di atas pantry. Kedua kakinya yang menjuntai menyentak dan berusaha menendang-nendeang namun gagal. Aku melempar kado untuknya ke samping, seiring mengunci tubuh itu untuk kuciumi bibirnya, seluruh wajah wanita itu serta menyesap lehernya. Tanpa mengendorkan perlawanan, Mia Oswald malah kian memberontak.
“Berengsek! Don’t you dare to fucking touch me! You jerk!” Mia Oswald memaki, namun aku tak peduli. Karena aku tahu dia menikmatinya.
Tangan kekarku mengumpulkan seluruh tangan wanita itu ke atas lalu kupegang dengan tangan satu sementara tanganku yang lain meraih kado—borgol warna ungu yang sudah kusiapkan untuk memberinya ucapan selamat.
Mia Oswald pasti menyukainya. Dia suka warna ungu.
Aku menciumnya kasar dan tanpa ampun. Menyalurkan rasa asin darah akibat ulahnya dan tidak memberinya jeda untuk menggigitku lagi sambil memasang borgol ungu itu pada tangannya. Dengan tekanan kuat, aku kembali meraih kado yang lain.
Begitu ciuman kami terlepas dia memaki lagi. “Kau gila! Kau—hhnggkkk!”
Oh. Tentu aku tidak akan mengijinkannya bicara selain suara desahan. Karena dia tidak menurut untuk mendesah. Jadi aku mengambil ball gag warna unggu untuk membungkam mulutnya yang pembangkang itu.
“Aku tidak gila, Baby,” ucapku sambil membelai wajah manisnya dengan air muka menyeringai. Berpindah meraup dadanya yang terasa lebih padat dan berisi.
Oh... Sangat menggairahkan.
Sudah kuduga memberinya ucapan selamat seperti ini dapat membuatnya senang. Hanya saja dia mengungkapkan rasa senangnya dengan meronta saat aku menyibak sweater merah jambu yang membalut tubuhnya. Menyingkap bra warna krem itu dengan kasar dan menyiksa keindahan yang terpampang di bawah kungkunganku satu persatu. Meremasnya kuat tanpa kelembutan. Sesekali memelintir puncak merah muda itu sembari terus menjelejahi lehernya.
Memberi jarak pandangan tanpa memindah berat tubuh, aku meneliti dan mengagumi hasil karyaku.
Mia Oswald sangat sexy, sangat membuatku bergairah dengan mulut tersumpal bola silkon ungu dan tangan terborgol serta sweater yang berantakan. Rambut wanita itu yang sedikit menutupi wajahnya, membuatnya semakin ingin kugarap kasar.
“Hhhngggkkk!” Mia Oswald mencoba berteriak, namun ball gag tersebut menolak menghantarkan suaranya ke udara.
“Sekarang, mari kita lihat Mia, apa kau akan memberiku bukti merindukan sentuhanku atau tidak,” ucapku dengan suara berat. Membelai pipi wanita itu serta menyingkirkan anak rambut yang menghalanginya, aku menciumi seluruh wajahnya mirip orang kesetanan.
Mia Oswald mengerung-ngerung saat tanganku sudah aktif melempar legging serta penutup terakhir yang dia kenakan dan menjelajah di tempat yang seharusnya.
Basah...
“Jangan melawan, jangan menahannya, aku tahu kau menginginkanku juga. Lihat, puncak dadamu sudah mengeras dan kau sudah sangat licin di bawah sini, Baby.Kau merindukan sentuhanku bukan?” Aku berkata dengan bengis.
Dua jariku menerobos masuk dengan mulus. Bergerak liar. Tubuh molek di bawah kungkunganku menggeliat dengan erangan tidak jelas. Kepalanya mendongak entah lega atau risih.
“Kau tahu kenapa aku tidak menutup matamu kali ini seperti percintaan kita yang sudah-sudah?” Aku bicara sendiri karena wanita itu hanya bisa mengerung. “Because I want you to look at me while I'm fucking you! Fucking with my fingers and fucking with your favorite...”
Aku tahu, aku hafal semua letak syaraf yang bekerja membuatnya menginginkanku. Aku merindukannya sekaligus marah padanya. Aku kecewa sekaligus cemburu. Aku membencinya sekaligus mencintainya dengan gila. Semua rasa tercampur aduk. Sekarang, aku tak bisa menampungnya.
“Nnggghhhhkkkk....” Beberapa menit kugarap dengan kedua jariku, dia lantas berteriak mencapai pelepasan pertama. Dadanya nai turun dengan napas memburu.
“Kau tahu Mia, kau sangat sexy. Kau suka kan kuperlakukan kasar? Oh. Kita sama-sama tahu Mia. Semakin kau memberontak, semakin aku menginginkanmu. Dan kau semakin memberiku akses. Lihat, kau sekarang sudah siap untukku, Baby.”
Aku tidak melihat reaksi wanita itu lagi karena telah sibuk memelorotkan celana kerja beserta boxer dengan tangan satu. Melempar mantel tanpa melepas setelan jas. Sementara tanganku yang lain masih menekan borgol itu agar dia tidak memberontak.
Aku membelah kaki-kakinya yang masih lemas akibat orgasme kemudian mulai menyatukan diri dengan mudah. Menghujaminya sedalam yang kubisa hingga rasanya milikku membentur dinding rahimnya yang masih berkedut.
Aku bergerak kasar. I’m choked her and she got a second cum.
Perasaan marah menyerangku. “Katakan padaku! Apa tunanganmu tahu kau masokis? Apa dia bisa memuaskanmu seperti aku memuaskanmu?! Hah?! Seperti ini?!” Aku membentak sambil mempercepat gerakkanku.
Aku memaksa wanita yang mengerung dengan napas memburu ini untuk melihatku. Menekan rahangnya agar melihat Dominic Molchior yang sedang menghujaminya dengan kenikmatan secara kasar, brutal dan tanpa ampun.
“Kau suka kan? Rough sex seperti ini, Mia?!” bentakku tepat di depan matanya yang berkilat-kilat.
Aku marah dan ingin berteriakinya dengan berbagai macam pertanyaan. Namun sisi gengsiku tidak ingin mendengar jawabannya. Lagipula dia juga tidak bisa menjawab karena bola silikon yqng menyumpal mulutnya. Sehingga aku hanya membuat pertanyaan-pertanyaan itu dalam hati.
Apa yang kau banggakan dari kekasihmu itu, Mia?
Tampangnya?
Hartanya?
Jabatannya?
Kepribadiannya?
Atau sentuhannya?
Yang secuil pun tidak ada apa-apanya di bandingkan denganku Mia!
Kenapa kau memilihnya?!
Kenapa bukan aku?!
Aku semakin mempercepat gerakanku. Membentuk deru napas panas kami yang bertabrakan di udara. Semakin cepat dan semakin cepat. Semakin membuatku bergairah hingga mencapai melepasan bersamanya.
Mr. Brent, your fiance still tastes good.
Tanpa memberi jeda aku melepaskan diri, segera membenahi pakaianku dan melihat wajah Mia Oswald merah padam. Entah larena emosi atau bergairah. Namun kuyakini karena keduanya. Dadanya naik turun mengatur napas.
Wanita itu selalu lemas setelah bercinta denganku. Jadi aku memanfaatkannya dengan membuka borgol ungu tanpa melepas ball gag. Sebelum meninggalkannya dalam keadaan berantakan dan kacau, aku melihatnya yang tidak mau melihatmu. Tapi aku tidak peduli. Aku terlalu marah. Dengan sinis di selingi smirk smile meremehkan, aku berucap, “mungkin kau mencintainya, tapi tubuhmu jelas-jelas lebih mencintaiku. Selamat tinggal Mia. Aku senang kau menikmati kadomu.”
______________________________________________
Thanks for reading this chapter
Thanks juga yang udah baca dan komen
Muhehehe kalian tim siapa gais?
Dommia?
Atau
Hanselmia?
Komen yes 😁
Mia Oswald
Dominic Molchior
See you next chapter teman temin
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
22 Juni 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top