Chapter 37

Selamat datang di chapter 37

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo (suka nempel sana sini)

Thanks

Happy weekend

Happy reading

Hope you like it

❤❤❤

______________________________________________

Pada akhirnya mengambil semua apa yang kumiliki serta meninggalkan bekas yang tidak bisa kuhilangkan

°°Mia Oswald°°

_____________________________________________

Phoenix, 15 Januari
19.30 p.m.

Aku mendongak, melihat sebuah senyum hangat pada pria itu. Raut wajahnya menunjukkan perasaan antara lega sekaligus ragu. Atau mungkin takut akan reaksi yang kutunjukkan? Marah misalnya?

Ya mungkin seharusnya aku marah pada Hansel Brent karena telah menghilang, telah sibuk dengan dirinya sendiri, juga telah muncul di saat yang tidak tepat seperti sekarang. Di saat aku belum selesai menata pikiran serta hatiku untuk melakukan tindakan yang akan kuambil selanjutnya.

Akan tetapi aku sama sekali tidak bergerak dalam dudukku. Aku sama sekali tidak menampilkan ekspresi apapun. Terkejutpun tidak. Hanya hampir saja meraung ketika Hansel Brent memelukku.

Phoenix, 16 Januari
17.30 p.m.

Aku tidak tahu kapan persisnya pria yang masih berstatus sebagai kekasihku itu sudah membawaku ke mobil pribadinya dan memakaikan seatbelt. Tatapanku masih kosong menerawang pada satu poros.

Sebelum Hansel Brent melajukan alat transportasi ini, dia menatapku dan berkata, “maafkan aku, kau pasti marah karena diam seperti ini.”

Ya, seharusnya aku marah. Nayatanya, aku sama sekali tidak marah. Aku sama sekali tidak tahu apa yang harus kulakukan. Otakku benar-benar macet. Terlalu banyak berita buruk berjatuhan hari ini. Rasanya aku tidak sanggup menampung.

Pria di sebelahku kini menghembuskan napas berat dan melanjutkan kalimatnya. “Aku tidak menghubungimu selama kau tugas keluar kota karena takut menganggumu. Takut kau bermasalah dengan Mr. CEO karena pekerjaan terganggu. Selain itu aku juga fokus belajar untuk pre tes yang di adakan selama hampir dua minggu ini. Tapi usai pre tes, aku langsung pulang dan menemuimu.”

Nyatanya aku sudah bermaslah dengan Mr. CEO. Lantas aku harus bagaimana?

“Lexi sudah menceritakan segalanya padaku. Tolong jangan diam saja Honey, katakan sesuatu.”

Apa yang harus kukatakan?

“Aku lapar,” jawabku, sama sekali tidak menggubris alasan panjang lebar Hansel Brent. Dan aku benar-benar lapar akibat terlalu sering muntah. Bayiku butuh makan—kurasa.

Aku bisa merasakan seberkas senyum lega darinya. “Baiklah, kita makan di tempat favorite kita.”

As you know, yang di maksud tempat makanan favorit kita oleh Hansel Brent, sebenarnya merupakan tempat makanan favoritku. Selama ini pria itu selalu membiarkanku memilih tempat makan karena dia harus menjaga pola makan untuk membentuk ototnya. Namun Hansel Brent sama sekali tidak pernah protes walau hanya makan salad salsa verde tanpa garam dan daging panggang tanpa lemak.

Kata Hansel Brent, garam merupakan bahan yang dapat mengikat lemak sehingga sulit di pecah oleh tubuh dan akan menjadi pengganggu untuk pembentukan ototnya. Sebagaimana dia sangat kekurangan waktu untuk work out—hanya sewaktu malam setelah pulang kerja. Jadi dia lebih memilih menata menu makanannya untuk diet. Istilahnya membuang lemak untuk memperoleh protein bagi pembentukan otot.

Jauh dari body builder Dominic Molchior yang tidak memilih makanan. Dan dia selalu menyukai semua masakanku...

Beberapa menit berlalu begitu cepat. Kami tiba di tempat makan favorite kami. Seturun dari mobil, Hansel Brent menggandengku masuk dan aku membiarkannya.

Tangannya terbalut kain, jadi aku tidak merasakan kehangatan kulitnya yang bersentuhan langsung dengan tangan telanjangku. Berbeda dengan pria bermata biru terang itu yang baru-baru ini kusadari juga tidak pernah memakai sarung tangan sama sepertiku selama musim dingin seperti ini.

Tangan yang besar dan hangat. Tangan pria yang katanya mencintaiku namun berciuman dengan calon tunangannya.

Seharusnya itu hal yang paling wajar. Seorang pria mencium calon tunangannya.

Tapi kenapa hatiku selalu berteriak salah?

Sebenarnya siapa yang salah di sini? Kenapa rasanya sakit sekali? Kenapa perasaan tak nyaman ini terus meraung? Seperti sesuatu yang ingin di bebaskan?

Aku bahkan tak bisa konsentrasi sama sekali selama makan malam bersama Hansel Brent. Hingga pria itu menyentuh telapak tanganku, barulah aku sadar hanya mengaduk-ngaduk cream supku.

“Kau kelihatan pucat, apa kau sakit Honey?” tanya pria itu berwajah khawatir. Kedua alisnya naik dan keningnya berkerut.

Aku sedang hamil anak Dominic, Honey, selingkuhanku yang baru saja berciuman dengan tunangannya. Kata dokter sangat wajar jika gampang pucat.

“Tidak apa-apa hanya kelelahan akibat lembur,” dalihku. Belum sanggup mengatakan kebenaran. Entah sampai kapan aku melakukan kebodohan ini. Mengulur-ngulur waktu. Padahal tadi aku sebegitu yakinnya ingin mengakhiri.

Entahlah emosionalku memang sangat labil akibat hormon kehamilan.

“Kau yakin Honey?” Sekali lagi aku mendapati pria yang tengah duduk di seberangku kini lebih memperdalam kerutan keningnya.

“Sangat yakin, tidak perlu khawatir.” Lagi-lagi aku berdalih.

Tuhan, harus berapa banyak kebohongan lagi yang kuciptakan untuk menutupi kebohonganku yang lain? Yang cepat atau lambat pasti akan terbongkar juga?

“Sebenarnya, aku ingin menebus kesalahanku, Honey.” Hansel Brent dengan senyum cemerlang. Senyum yang hangat seperti biasanya. Senyum yang sekarang serasa mencekikku karena semakin merasa bersalah telah mengkhianatinya.

Terlebih, ketika pria bermata hijau dan berambut cokelat terang yang duduk di hadapanku kini merogoh kantung celana dan mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil warna merah gelap. Ketika dia membuka kotak tersebut, terpampanglah cincin berlian berukuran pas. Sangat elegant.

Honey, kau tentu tahu sudah berapa lama kita menjadi sepasang kekasih. Saat ini, mungkin untuk menenangkanku sebelum kembali ke Yale dan untuk menebus kesalahanku karena telah menghilang beberapa hari ini, aku ingin bertanya, apa kau bersedia menikahiku?”

Air mataku tumpah. Aku sesenggukkan keras hingga tubuhku bergetar hebat dan kedua tangan yang kugunakan membekap mulut tidak sanggup menampung suara isakanku.

Bukan terharu karena dia baru saja melamarku. Melainkan karena tahu aku akan mengecewakannya dengan jawaban yang tidak ingin dia dengar.

Aku juga sakit hati terhadap pria benata biru terbag itu ketika menyadari persaan cintanya ternyata hanya main-main. Aku sakit hati karena tidak bisa meraih Dominic Molchior. Ayah dari bayiku yang mungkin masih berukuran segumpal kacang polong. Dan malah menemukan Hansel Brent melamarku.

Semisal, pria beraroma musk itu di paksa oleh ayahnya, aku lebih bisa memakluminya kala harus memilih pergi dariku. Namun photo itu mengatakan tidak ada tanda-tanda pria itu terpaksa mencium Tatian Gustav. Dan mereka berkencan. Aku merasa telah di bodohi telak.

Aku menangisi banyak hal.

Tapi Hansel Brent mengartikan lain. Mengartikan tangisku hanyalah sebuah haru.

Dia reflek berdiri, berjalan ke kursiku dan memelukku erat. “Hei hei kenapa malah menangis?”

Tolong jangan bertanya.

Honey, apa kau baik-baik saja? Kenapa menangis seperti ini?”

Aku tidak baik-baik saja. Aku tidak baik-baik saja...

Tidak ada satupun ucapan yang keluar dari mulutku selain isakan. Hansel Brent menyadari jika ada yang tidak beres denganku. Untuk itu setelah membayar tagihan makan dan menghiraukan tatapan mata para pengunjung yang lain, dia mengajakku pulang ke apartement-nya.

Aku masih terisak ketika pria itu menuntunku duduk di sofa dan merangkulku. Mengusap bahuku untuk membuat kenyamanan. Nyatanya setiap usapan yang dia berikan malah semakin memperkeruh suasana hatiku. Semakin dan semakin membuatku merasa bersalah.

Entah mendapat kekuatan dari mana akhirnya aku mengeluarkan kata-kata itu. “Maafkan aku. Aku tidak bisa...”

Aku merasakan tubuhnya kaku namun masih berusaha berpikir positive. “Maksudnya, kau belum siap? Tidak apa-apa aku akan menunggumu sampai kau siap.”

Pria itu juga katanya menungguku... tapi malah berkencan dan mencium wanita lain tanpa paksaan dari ayahnya...

Aku menggeleng keras namun masih tidak mampu melihat mata kekasihku. “Tidak, jangan menungguku. Aku tidak bisa...”

“Kenapa?” Suara Hansel Brent terdengar putus asa.

Dengan segenap kekuatan, aku memberanikan diri menatap mata hijau Hansel Brent. Walaupun harus terhalangi oleh genangan di pelupuk mataku. “I’m pregnant...” ucapku lirih di tengah isakan.

Hansel Brent pun reflek melepas pelukan untuk benar-benar menatapku sejurus. “Kau... apa?” tanyanya memastikan. Apakah dia salah dengar atau tidak.

Aku menunduk dan terisak. “Maafkan aku...”

“Hamil? Mana mungkin Honey, kau masih perawan, bahkan kita tidak pernah melukannya sekalipun. Jadi kau tidak mungkin hamil. Jangan bercanda. Jangan menggunakan alasan konyol itu untuk menolakku.” Hansel Brent masih ingin berpikir positive dan masih menggunakan nada tenang seperti tadi.

“Aku tidak bercanda...” Selepas berkata, aku mengekuarkan hasil tes urin serta beberapa vitamin dan menyerahkannya pada Hansel Brent.

Awalnya, pria itu membelalakkan mata hijau terangnya untuk mencari kesungguhan terhadap kata-kataku. Detik berikutnya dia mencengkram kertas itu san membacanya dengan hati-hati.

Hansel Brent mulai memijat pelipis dengan mata masih tertuju pada lembar kertas tersebut. Pada detik yang lain dia membuang kertas tersebut dan mencengkram bahuku erat-erat sambil mengguncangnya kasar. Hingga aku takut kepalaku lepas.

“Katakan siapa yang menghamilimu?! Kau pasti di paksa kan? Katakan padaku siapa pria brengsek itu!! Akan kutembak kepala pria itu jika tidak ingin bertanggung jawab!”

Aku tidak bisa menjawab, malah semakin kencang menangis karena tahu pria itu tidak bisa kumiliki. Hatinya ternyata bukan untukku. Bahkan memiliki tubuhnyapun, aku tidsk bisa. Kesempatanku sudah tidak ada. Dia akan menikahi wanita lain yang sebenarnya pilihan Philip Molchior. Tapi pria itu tidak merasa terpaksa melakukannya. Mereka berinisiatif sendiri untuk menjalin hubungan.

Aku tidak ada harapan. Dari awal dia hanya menginginkan tubuhku saja. Harusnya aku tidak mempercayainya. Harusnya aku tidak melibatkan hati padanya. Harusnya aku menolak segala bentuk pertolongan pria itu. Harusnya aku tetap menjadi Mia Oswald yang semestinya. Selalu membentengi diri dengan anti menerima pertolongan dari orang lain. Bukan malah memberikan kepercayaan dan akses tanpa batas. Pada akhirnya mengambil semua apa yang kumiliki serta meninggalkan bekas yang tidak bisa kuhilangkan.

“Tidak... Dia tidak memaksaku...”

Hansel Brent bergeming, cengkraman tangannya terlepas serta tubuhnya terhuyung menggelepak ke sandaran sofa berlengan yang kami dudukki. Dan aku tahu, kalimatku telah membuat pikiran positive serta harapannya hancur berkeping-keping.

Aku meringkuk, semakin terisak menghadapi situasi ini. Selain memikirkan pria bernama Dominic Molchior, aku juga memikirkan Hansel Brent yang bangkit dan mencakar rambutnya dengan keras serta berjalan mondar mandir di depan sofa. Wajah kekasihku memerah, aku mendapati beberapa kali mulutnya membuka dan menutup, mungkin ingin berteriak frustasi namun tidak dapat mengeluarkan suara. Matanya meyiratkan kekecewaan yang mendalam terhadapku.

Selama beberapa detik kemudian dia berjongkok di depanku, mensejajarkan kepalanya denganku untuk berbicara serius.

“Katakan padaku siapa ayahnya?” pintanya dengan suara pelan dan nada putus asa.

Aku menggeleng dengan deraian air mata.

“Katakan padaku siapa ayahnya?” ulangnya dengan nada sedikit keras.

Aku masih menggeleng dengan deraian air mata.

“Demi Tuhan! Katakan padaku siapa ayahnya?!” teriak Hansel Brent, sudah benar-benar putus asa.

Dan aku masih tetap berikeras menggeleng dan semakin terisak.

Baru kali ini aku melihat Hansel Brent begitu marah. Dia sampai mengeluarkan air matanya. Tak lama dari bentakannya padaku, dia duduk di lantai beralaskan karpet dekat meja depan sofa tempat aku duduk.

“Kau tahu alasanku sibuk dengan diriku sendiri?” tanyanya setelah isakan pertama berhenti. Dia bertanya dengan tatapan menerawang—tanpa menatapku. Tapi aku merasa dia masih bisa melihatku melalui ekor matanya. Jadi, aku menggeleng.

“Karena aku ingin menyelesaikan urusan dengan diriku sendiri terlebih dahulu baru fokus padamu! Aku ingin menjadi pria berguna bagimu! Aku ingin menjadi pria yang pantas untukmu! Sukses dan mapan! Aku berusaha keras untuk kita! Aku bahkan membatasi pergaulanku demi menjaga perasaanmu! Tapi kau... Tapi kau malah...”

Hansel Brent tidak meneruskan kalimat lanjutannya karena terisak lagi.

Beberapa saat kemudian kami berdiam diri. Sibuk dengan isakan masing-masing. Juga sibuk dengan pikiran masing-masing. Entah apa yang dipikirkan Hansel Brent  aku juga tidak tahu. Sedangkan pikiranku sendiri juga sudah tidak berbentuk.

Hansel Brent yang sudah selesai menangis, mengusap air matanya dengan punggung tangan kemudian duduk di sofa sebelahku meringkuk.

“Maafkan aku telah membentakmu. Tolong Mia, katakan padaku siapa ayahnya. Demi Tuhan, aku tidak akan menghajarnya. Aku hanya akan mengoreksi diriku, apa yang selama ini membuatmu lebih memilihnya.”

Hansel Brent memanggil nama depanku. Tanda dia benar-benar serius.

Aku menyeka air mataku. Selain itu juga menguatkan hati. Menangis terus-menerus seperti ini juga tidak ada gunanya. Tidak akan merubah keadaan apabila tidak bertindak.

“Sekarang, itu tidak penting lagi Hansel, dia akan bertunangan dan segera menikah. Dia tidak tahu aku hamil,” jawabku. “Dan tolong jangan berpikir ini semua salahmu, aku yang salah dalam hal ini Hansel.”

Aku juga memanggil nama depannya. Mengisyaratkan aku sama seriusnya dengan dia.

Tatapan mata hijau itu masih sendu. Bagian putih pada bola matanya memerah saat bertanya, “apa kau berniat—” Hansel Brent menghentikan kalimatnya, mencari kata yang cocok sambil menunjuk perutku. “Menyingkirkannya?”

“Tidak! Ini bayiku, kenapa aku harus—” Aku juga menghentikan kalimat untuk memilih suku kata yang padan namun juga tidak menemukan yang cocok. “menyingkirkannya?!” Akhirnya aku mengikuti pria itu menggunakan kata ini.

“Kalau begitu, boleh aku menjadi ayahnya?”

“Ap.. pa?” Aku kembali bertanya dengan suara lirih.

Aku melihat Hansel Brent meneguk ludah dengan susah payah serta bertekat. “Kau tentu tidak akan membiarkan dia lahir tanpa ayah bukan?”

Sungguh aku belum memikirkannya sejauh itu. Jadi aku belum bisa berkomentar.

Hansel Brent memejamkan matanya sebentar, satu napas berat yang panjang lolos dari tubuh pria itu. Selama beberapa saat dia menimbang pikirannya. “Jika kau tidak mau melakukannya demi aku,” ucapnya bernada sendu. Aku tahu dia pasti sangat kecewa serta putus asa. Namun juga masih memikirkan bagaimana solusi yang baik atas apa yang terjadi.

“Setidaknya lakukanlah demi anakmu, Mia. Aku menyeyangimu, sungguh. Aku tidak ingin kau terpuruk dalam keadaanmu yang sekarang bersama bayimu.”

Aku masih menatap Hansel Brent yang berwajah putus asa. Masih mendengarkan sisa kalimat pria itu. “Kita bisa mulai dari awal, Mia.”

_______________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yg udah vote dan komen

Btw spoiler ya, next chapter bakalan ada adegan BDSM, bagi yg nggak kuat baca, silahkan di skip 😉

Btw udah ada yg baca Bad Boy in the Mask?

Saya cumanmau promo aja sih hehe ini dia sinopsisnya



Ada yg rindu Hansel Brent?


Ada yang penasarsn Tatiana Gustav?

See you next chapter teman-temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

20 Juni 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top