Chapter 33

Selamat datang di chapter 33

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo (maklum biasanya duka gentayangan)

Thanks

Happy reading everybody

Hope you like it

❤❤❤

______________________________________________

Kau bisa menceritakannya padaku jika kau mau
Walaupun tidak bisa membantu, tapi aku bisa menjadi pendengar yang baik

°°Mia Oswald°°
______________________________________________

Virginia Barat, 4 Januari
12.45 p.m.

Nasi briani kambing sudah tersedia di hadapanku namun mendadak aku tidak selera makan. Lebih aneh lagi ketika melihat makanan yang kuinginkan di kedai Baba Hong ini, perutku serasa di aduk. Jadi aku menyingkirkan nasi briani kambing itu dengan tatapan ngeri. Dominic Molchior yang sedang menyantap nasi karinya mendadak bingung saat melihatku.

“Ada apa? Apa kurang enak?” Menyebutkan kalimat terakhir, Dominic Molchior berbisik agar tidak menyinggung perasaan sang penjual.

“Tidak, aku rasa sudah tidak menginginkan makanan ini,” jawabku jujur dan lebih memilih menyesap cokelat panas yang kupesan.

Wajah Dominic Molchior yang semula sudah bingung terlihat semakin bingung. “Bukankah sepanjang perjalanan tadi kau mengoceh ingin sekali memakan nasi ini? Kenapa sekarang tidak menginginkannya? Jangan bercana Mia.”

“Kau pikir aku bercanda Dom?!” Entah kenapa aku jadi memekik marah padanya. Padahal mungkin dialah yang sepatutnya merasa geram atas tingkah lakuku yang kekanakan.

“Hei, tenanglah. Simpan cakarmu....” Dominic Molchior memperingatkanku. “Apa karena kau tidak enak badan, jadi tidak ingin makan apapun?”

Aku mencoba mengatur napas agar tidak terlalu emosi hanya karena perkataan Dominic Molchior yang menurutku biasa-biasa tapi mampu membangkitkan emosiku. Setelahnya baru mengangguk setuju. “Mungkin, tapi Dom, kenapa nasi karimu kelihatan enak sekali?”

Dominic Molchior yang baru saja membuka mulut hendak memasukkan sesendok nasi kari itupun reflek berhenti dan melihatku. “Kau mau mencobanya?”

Aku mengangguk semangat lalu mencondongkan tubuh agar lebih dekat dengannya dan membuka mulut lebar-lebar. “Tolong suapi aku aaa...”

Ini benar-benar aneh, kenapa aku merasa sangat ingin bermanja-manja pada pria yang duduk berhadapan denganku ini? Sedangkan pemilik mata biru terang itu sendiri seperti tampak tidak keberatan atau marah sedikitpun. Hanya menahan senyum hingga ujung bibirnya terlihat berkedut samar.

“Bagaimana? Enak?” tanyanya setelah berhasil menyuapiku sesendok nasi kari yang gagal masuk mulutnya.

“Hm... Boleh kita tukar makanan? Aku rasa aku ingin makan nasi karimu,” usulku masih dengan mulut dipenuhi makanan. Tanganku harus menahannya agar tidak menyembur wajah Doninic Milchior yang tampak tenang.

“Akan kupesankan nasi kari lagi.”

Sebelum Dominic Molchior berhasil mengangkat tangan agar pramusaji datang, aku segera mencegahnya. “Tidak, jangan. Aku hanya ingin nasi karimu. Aku tidak ingin yang baru!” Entah kenapa lagi-lagi aku merasa ada keanehan pada diriku sendiri yang seperti ingin menangis hanya karena Dominic Molchior akan memesan sepiring nasi kari lagi.

Dan ternyata bukan hanya aku saja yang menyadari keanehan tersebut. Tapi Dominic Molchior juga.

“Baiklah... baiklah...” katanya sambil menyodorkan nasi karinya padaku. “Makanlah nasi kariku, tidak perlu menampilkan wajah ingin menangis seperti itu, Mia. Astaga aku tidak tahu kau akan secengeng ini hanya karena nasi kari.”

Virginia Barat, 4 Januari
05.30 a.m.

Perjalanan dari Phoenix ke Virginia barat memakan waktu selama dua hari. Oh tentu perjalanan tidak akan selama ini jika naik private jet. Katanya Dominic Molchior tidak ingin naik besi terbang tersebut dan memilih menyiksa diri dengan menyetir caravan sewaan sepanjang hari—hanya untuk menghabiskan waktunya lebih lama denganku.

Kami seperti traveling bersama. Beberapa jam menyetir, Dominic Molchior istirahat untuk sekedar membeli makanan, mengisi bahan bakar atau pergi ke kamar mandi. Aku menawarinya untuk gantian menyetir namun pria itu ngotot menolak.

Malam harinya kami tidak menginap di hotel karena caravan ini sudah terfasilitasi dengan satu set kasur ukuran queen, penghangat ruangan, dapur mini, kabinet serta kamar mandi sehingga kami bisa tidur kapan saja. Benar- benar mirip rumah kecil dan sangat cocok untuk bepergian jauh.

Aku senang—tentu saja. Apa lagi setelah William Molchior memberiku infomasi seputar kakaknya, kepercayaan mendadak tumbuh pada pria yang sekarang tengah menguap di kasur caravan.

Terlebih sejak Dominic Molchior menciumku tepat saat tahun berganti, di tengah bisingnya suara kembang api dan terompet yang memenuhi ball room. Ciuman yang rasanya semanis Chappellet Signature Cabernet Sauvignon. Bukan penuh nafsu yang menggebu-nggebu. Melainkan penuh kelembutan. Aku tak kuasa sampai kakiku lemas dan terasa lembek. Jika bukan karena pria itu yang memegangi tubuhku, pasti aku sudah merosot ke lantai.

Dominic Molchior juga menepati janjinya untuk membuktikan perasaannya tanpa embel-embel sex. Harus kuakui kegigihannya yang satu ini. Pasalnya, kadang-kadang aku menggodanya terang-terangan—untuk menguji kesungguhannya—tapi dia sama sekali tidak meladeniku. Entah pura-pura tidak tahu atau emang tidak mengerti.

Sejak saat itu juga, kukatakan pada diriku sendiri untuk segera menyelesaikan urusanku dengan Hansel Brent. Namun dia sama sekali tidak bisa di hubungi. Beberapa kali aku mencoba menelponnya tapi yang menjawab veronica. Dan aku meninggalakan pesan untuk segera menelponku begitu ada waktu, namun hingga beberapa hari ini dia tidak menelpon.

Aku gemas. Pada akhirnya menelpon Lexi Brent untuk menanyakan keberadaan kakaknya. Katanya, Hansel Brent sedang dalam sesi belajar tekun untuk pre tes yang akan di mulai usai tahun baru—yang berarti sekarang. Akupun akhirnya hanya dapat menghela napas kemudian meminta tolong untuk menyampaikan pesanku.

Virginia Barat, 4 Januari
09.00 a.m.

Harus kuakui, tidak ada pria yang lebih cocok menjadi CEO Cazivart Company selain Dominic Molchior. Boleh saja pria itu gemar menggoda dan alibi-alibinya untuk mendekati serta membuktikan perasaan cintanya padaku. Tapi untuk urusan pekerjaan. Pria itu sangat profesional.

Pagi ini kami bertemu beberapa jajaran direksi untuk rapat kilat sebelum akhirnya menuju lapangan untuk mengecek kondisi batu bara. Dominic Molchior tetap bersikap sebagai atasan yang kejam, dingin, serta sangat perfectionist tanpa pandang bulu. Tapi setelah kegiatan itu selesai, kami mengobrol seperti padangan kekasih pada umumnya, bukan seperti boss dan sekretaris.

Sebelum kembali ke Phoneix, Dominic Molchior mengajakku wisata ke beberapa tempat. Kami pergi main ski di Canaan Valley Ski Resort, pergi ke Snowsoe Mountain Resort hanya untuk bermain salju mirip balita, dan yang terakhir kami naik kereta tua pada saat berkunjung ke Cass Scenic Railroad Stage Park.

Oh ya selama kami di Virginia Barat, grass grower kado dariku juga dia bawa. Pria itu mengatakan tidak ingin ada yang menyentuh tanaman pemberianku selain dirinya sendiri atau aku. Well, sesekali William Molchior juga menelpon untuk sekedar mengeluh ini itu seraya merongrongi kami untuk segera pulang dan berakhir di tutup secara sepihak oleh kakaknya.

Mereka lucu sekali, kadang aku iri dan ingin memeliki saudara juga.

Karena kelelahan, dia akhirnya memutuskan naik private jet untuk kembali ke Phoenix.

As you know, hubunganku sangat berkembang pesat walaupun belum ada kejelasan bagaimana jadinya nanti. Aku benar-benar menuruti perintah pria itu untuk tidak tergesa-gesa percaya perihal perasaan cintanya. Dan lebih memilih menikmati perhatian-perhatian kecil yang pria itu tunjukkan.

Misal, Dominic Molchior menelponku hanya untuk melihat baju apa yang kukenakan saat itu atau sekedar bertanya keadaanku yang belakangan ini kurang baik karena sering pusing dan kedinginan. Pria itu juga ngotot mengantarku ke rumah sakit untuk memeriksa kondisku namun aku berikeras menolak karena merasa itu hanya kelelahan atau gejala darah rendah.

Kami juga masih sarapan bersama di penthouse dan dia mulai menerima bahwa menu sarapan di dunia ini tidak hanya french toast, karena aku mulai menjajali resep-resep baru. Sungguh seperti pasangan yang bahagia.

Phoenix, 15 Januari
08.00 a.m.

Aku mengetuk pintu warna hitam tersebut. Kemudian menunggu hingga Mr. CEO mempersilahkanku masuk.

Hal yang pertama kali kulihat ketika masuk ruangan luas berdinding kaca tersebut adalah wajah Dominic Molchior yang tengah memejamkan mata sembari mengerut kening.

Dengan percaya diri aku melaju di depan mejanya dan langsung duduk serta mengulurkan proposal yang dia minta. “Ini proposal yang Anda minta Sir,” ucapku hati-hati.

“Letakkan di meja dan kembalilah bekerja,” jawab pria itu. Suaranya dingin tanpa menatapku sekalipun. Maksudku, memang dia menggunakan nada dingin seperti itu jika sedang bekerja—tanpa pandang bulu—namun aku seperti tidak bisa mengabaikannya.

“Apa ada yang mengganggu pikiranmu, Dom? Kau kelihatan frustasi.”

Mendengar pertanyaanku Dominic Molchior baru membuka matanya untuk menatapku. “Bukan apa-apa, hanya masalah kecil.”

“Kau mau menceritakannya padaku?” Lagi-lagi aku bertanya dengan hati-hati namun mengandung sebuah desakan.

“Bukan masalah pekerjaan.”

“Kau bisa menceritakannya padaku jika kau mau. Walaupun tidak bisa membantu, tapi aku bisa menjadi pendengar yang baik.”

Dia menghembuskan napas sesaat mungkin menimbang apakah perku mengatakan masalahnya padaku. Dan akhirnya dia memutuskan untuk mengatakannya. “Tadi pagi Laguna mati karena kembung.”

“Laguna siapa? Eh, oh aku turut berduka Dom. Mungkin kau tidak harus bekerja, istirahatlah sejenak untuk kepemakamannya dan untuk menenagkan diri,” ucapku khawatir meskipun tidak tahu sekaligus penasaran siapa itu Laguna. Namun respon pria itu tidak terduga.

Dominic Molchior malah tertawa lepas. “Tadinya aku sangat sedih karena Laguna mati, tapi begitu melihat reaksimu aku jadi baik-baik saja sekarang. Ngomong-ngomong, Laguna itu salah satu kudaku di Cavalo stable. Dokter hewanku mengatakan Laguna kembung. Dia juga sudah berusaha menanganinya semaksimal mungkin tapi akhirnya Laguna tidak bisa bertahan. Dan kudaku sudah kuminta di kremasi sekarang. Abunya akan dikirim ke estate-ku sore ini. Tapi baru saja membuat rencana lain.”

Aku hanya menganga mendengarnya dengan mata terbelalak lebar sambil berkedip beberapa kali. Bingung harus bagaimana menanggapinya.

“Tapi sepertinya, aku butuh sedikit pelukanmu, bolehkah, Mia?”

Aku menghela napas di selingi senyuman lebar. Tanpa menunggu sedetikpun langsung menghampiri dan memeluknya yang masih duduk di kursi CEO. Sesekali aku mengecup kepalanya. Menghirup aroma musk pada tubuhnya yang kekar. Walaupun perutku seperti serasa di aduk-aduk, begitu menghirup aroma parfum Dominic Molchior, perutku berangsur membaik.

Oh God, this is better than another thing, thanks, Mia,” gumamnya sambil menenggelamkan kepalanya pada dadaku yang berdebar keras.

Aku yakin sekali dia pasti mendengarnya.

Dominic Molchior yang bersikap manis seperti ini membuatku tidak tahan lagi untuk lebih lama menyiksanya dengan jawabanku.

Tekatku sudah bulat, aku akan segera menyelesaikan urusanku dengan Hansel Brent bagaimapun caranya. Agar bisa bersama Dominic Molchior.

“Hei, Dom...”

“Hm?”

“Aku percaya padamu.”

Dominic Molchior reflek memberi jarak untuk mendongak menatap mataku. Wajahnya tersenyum tulus.

“Terima kasih, Mia.”

“Apa kau mau menungguku menyelesaikan masalahku dengan Hansel?”

“Tentu saja aku mau.”

Phoenix, 15 Januari
13.05 p.m.

Aku merasa segalanya sempurna. Ada Dominic Molchior yang mencintaiku begitupun sebaliknya. Ada juga William Molchior yang ternyata sangat nyaman menjadi patner in crime untuk menggoda kakakknya.

Hingga suatu ketika...

Setelah melepas pelukan dan berciuman, usai makan siang, Dominic Molchior ijin pergi dengan adiknya ke Cavalo stable untuk mengurus abu Laguna. Sebenarnya aku ingin ikut, tapi katanya tidak perlu karena hanya sebentar. Dia memintaku melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda meskipun tanpa dirinya. Jadi aku kembali ke kubikelku, mengetik beberapa laporan saat tiba-tiba terdengar grasak-grusuk dari deretan meja kubikel di sebelahku.

“Bukankah itu Mr. Philip? Kenapa datang ke sini?” bisik salah seorang entah siapa.

Suara keyboard yang beradu dengan jariku reflek berhenti ketika seseorang tengah bicara. “Apa kau sekretaris?”

Aku mendongak kemudian reflek berdiri. “Ha-halo selamat siang Mr. Molchior,” sapaku gugup setengah mati. Tidak menduga beliau akan datang ke sini. “Iya benar saya sekretaris. Kebetulan Mr. Dominic dan Mr. William Molchior sedang tidak ada di ruangan.”

Ngomong-ngomong aku baru melihat seseorang pria berkacamata yang berdiri tidak jauh dari beliau. Tangan kirinya memegang map cokelat. Tampak seperti asisten atau tangan kanan.

Usai menatap pria itu sekilas, fokusku kembali pada pria paruh baya yang masih tegap bediri di hadapanku. “Aku tidak sedang mencari putra-putraku. Apa aku mengganggu pekerjaanmu?”

“Tentu tidak Sir,” jawabku tegas.

“Baguslah, kalau begitu bisa kita bicara sebentar?”

“Oh, tentu Sir.”

Philip Molchior dan pria berkacamata di belakangnya menggiringku ke ruangan rapat yang sedang kosong. Duduk berhadap-hadapan dengan meja sebagai pembatas, kecuali pria berkacamata itu. Dia masih setia berdiri di belakang beliau.

Sebenarnya aku sedikit takut dan gugup karena baru pertama kali bertegur sapa dengan beliau. Tapi tidak mungkin kan Philip Molchior akan macam-macam?

“Kupikir masih Benita yang menjadi sekretaris, tapi tidak apa-apa,” tukas beliau.

Aku diam karena merasa Philip Molchior masih ingin bicara.

“Aku tidak akan basa-basi. Apa kau pernah melihat anakku—maksudku Dom—berkencan?”

Aku melotot dengan wajah bingung. Tidak memiliki bayangan jawaban yang bisa memuaskan Philip Molchior.

Apa beliau baru saja menudingku? Kenapa perutku jadi terasa sangat mual?

“Ah, benar juga kau sekretaris baru, jadi tidak mungkin tahu,” tukas beliau sambil mengibas tangannya. Kemudian mengkode pria berkacamata agar menyerahkan map cokelat itu. Detik berikutnya tangan yang sedikit keriput itu sudah mengambil beberapa berkas dan meletakkannya di meja.

“Aku ingin minta bantuanmu,” ucap beliau. Aku masih bergeming di tempat karena belum bisa menebak jenis bantuan apa yang beliau minta.

“Tolong tulis yang rapi dan serahkan ke wartawan. Aku pikir nara sumber dari perusahaan itu lebih dapat di percaya. Tapi tidak usah khawatir, tidak perlu menyantumkan namamu di sana. Cukup beri tanda dari perusahaan saja.” Philip Molchior menyerahkan beberapa lembar berkas tulisan tangan padaku.

Bekum sempat membaca tulisan tersebut, alisku mengernyit masih tidak mengerti. Melihatku kebingungan, Philip Molchior berbaik hati menjelaskan.

“Begini, kau tahu bukan, Dom itu sangat dingin, gila kerja dan anti di dekati wanita. Aku khawatir tidak ada wanita yang mau dengannya selain karena hartanya. Jadi aku ingin menjodohkannya dengan Tatiana Gustav, putri tunggal pemilik stasiun TV Lorda. Tatiana cocok untuknya. Selain dari keluarga terpandang, sejak kecil sudah bergelimang harta jadi tidak mungkin dia akan memanfaatkan harta kami.

“Nah, aku ingin kau mengetik berita kencan dan pertunangan mereka seminggu lagi serta menyerahkannya pada wartawan.

“Dan tolong rahasiakan ini dari Dom, aku tidak ingin anak itu ngamuk. Umurnya sudah hampir tiga puluh tiga. Sudah waktunya dia berhenti main-main dan menikah. Aku akan memaksanya, jika tidak mau akan kuserahkan perusahaan ini pada William. Kau tahu? Dom sangat tidak suka jika William lebih unggul darinya apa lagi mendapat warisan perusahaan ini. Jadi ancaman itu pasti berhasil.”

Mungkin beliau tidak tahu jika baru saja membunuhku. Memukuli jantungku begitu keras hingga aku kebas. Perutku bertambah mual. Rasanya aku ingin muntah tapi berusaha menahannya hingga tubuhku rasanya dingin dan membeku.

Aku hanya bisa menangkap perkataannya jika Dominuc Molchior akan bertunangan seminggu lagi dengan Tatiana Gustav, artis yang sangat populer. Aku kerap kali melihatnya di TV.

Kenapa rasanya hatiku tercabik-cabik?

Aku tidak tahu kapan persisnya Philip Molchior meminta nomor telponku untuk mengecek pekerjaan yang baru saja beliau beri serta meninggalkan ruangan rapat tanpa perlu menunggu responku.

Bahuku langsung melesak. Gejolak perutku memerintahkan untuk segera ke rest room. Di sana, aku memuntahkan semua makan siangku. Setelahnya duduk lemas di toilet. Namun perintah sialan Philip Molchior segera menyerbu, seakan tidak ingin membuatku tenang.

Aku tahu aku tidak bisa semudah itu untuk menangis untuk hal-hal yang belum pasti. Namun akhir-akhir ini entah kenapa emosionalku terlalu sensitive dan kacau. Pada akhirnya aku menangis. Tidak sanggup membayangkan harus melakukan hal tersebut yang akan menjadi nyata di kemudian hari.

Bagaiamana caranya aku mengetik kisah cinta orang yang aku cintai dengan wanita lain?

Bagaimana?!

Tolong katakan padaku?!

_____________________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang udah nyempetin baca, vote dan komen

Bonus photo Mia Oswald

Dominic Molchior

See you next chapter teman temin

#keephealty
#stayathome
#socialdistance
#washyourhand
#alwaysprayforUs

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

24 Mei 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top