Chapter 27
Selamat datang di chapter 26
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai jika ada typo (biasanya suka gentayangan)
Thanks
Happy reading everyone
Hope you like it
❤❤❤
WARNING! CERITA INI DI BUAT BERDASARKAN IMAJINASI DAN KEHALUAN SEMATA, TIDAK ADA SANGKUT PAUTNYA DENGAN KEHIDUPAN NYATA.
DI BUAT HANYA UNTUK HIBURAN, BUKAN UNTUK DI TIRU!
________________________________________
Membiarkan diriku jatuh padanya, membiarkan diriku seperti dibodohi telak olehnya dengan perasaanku sendiri
°°Mia Oswald°°
________________________________________
Phoenix, 28 Desember
18.30 p.m.
Niat awalku datang datang ke Phoenix jauh lebih cepat dari jadwal masuk kerja adalah untuk mencari apartement atau flat sewaan. Juga ingin menyelesaikan hubunganku dengan Hansel Brent karena aku sadar bentuk hubunganku sudah tidak sehat sejak diriku jatuh cinta dengan Dominic Molchior.
Aku menyangi Hansel Brent. Selama setahun kami bersama dia selalu memperlakukanku dengan baik. Karena kebodohanku sendirilah aku malah jadi seperti orang jahat. Yang tanpa dia sadari, aku sudah menyakitinya. Oleh karena itu, sebelum aku menyakitinya lebih dalam lagi sebab ingin berjuang untuk pria bermata biru terang bernama Dominic Molchior, aku harus mengakhirinya.
Setelah semuanya selesai aku akan mencari hotel murah untuk tidur sebelum lanjut mencari tempat tinggal baru keesokan harinya.
Alasan itu juga yang menjadikanku tidak ingin Dominic Molchior merecokiku kemana - mana. Tidak ingin dia melihatku mengakhiri hubunganku dengan Hansel Brent demi dirinya.
Setidaknya itu rencanaku sebelum dia meminta, membujuk serta memaksaku untuk melihat grass grower-nya. Maka rencana yang sudah kususun rapi harus kususun ulang. Setelah melihat tanaman itu, aku tetap akan berencana pergi menemui Hansel Brent untuk mengakhiri hubunganku. Kemudian tetap akan menginap di hotel murah sebelum keesokan harinya mencari tempat tinggal baru dan tetap akan berniat berjuang untuk Dominic Molchior.
Tapi, lagi - lagi pria yang berstatus sebagai atasanku itu menghancurkan rencanaku.
Awalnya, aku sedikit terusik karena ada sesuatu yang menempel di dahiku. Beberapa detik kusadari itu adalah bibir Dominic Molchior, kontan membuatku di landa rasa bahagia.
Kau tentu tahu bukan apa artinya ciuman di kening? Itu di tujukan untuk seseorang yang di cintai.
Dominic Molchior mencium keningku, bukankah artinya dia mencintaiku sama seperti aku mencintainya?
Rasa panas di pipiku menjalar ke seluruh wajahku, di tambah tebakan dari suara penumpang yang duduk di sebelah Dominic Molchior yang mengatakan, “kekasihmu sangat cantik ketika tidur.”
Maka kuputuskan untuk pura - pura tidur untuk menunggu respon pria itu. Pria yang kuharap menjawab dengan membenarkan pernyataan si penumpang.
Beberapa detik menunggu tidak ada respon dari pria itu, jadi si penumpang kembali bergumam. Aku tidak dapat mendengar gumanannya karena terhalang suara mesin pesawat. Namun aku dapat mendengar Dominic Molchior bersuara tepat di atasku. “Iya, aku memang tidak berminat menjalin hubungan dengan siapa pun. Hanya ingin menikmati tubuhnya sampai bosan lalu kutinggal.”
Aku reflek menahan napas. Rasanya Dominic Molchior seperti menyiramku dengan air es. Dingin dan beku. Membekukan harapanku untuk berjuang mendapatkan hatinya.
Bagaiamana bisa dia mengatakan hal itu ketika dia baru saja mencium keningku? Terlebih dia mengatakannnya pada orang asing. Dengan sangat lugas. Dan tanpa beban sedikit pun. Seolah - olah menjawab seseorang yang bertanya jam berapa sekarang.
Semestinya aku merasa lega karena pertanyaan tentang keraguanku terhadap kerinduan Dominic Molchior padaku dan alasan dia mencium keningku tadi, akhirnya terjawab. Semestinya aku sudah bisa menebak dan menduganya tentang jawaban tersebut. Namun tetap saja. Mendengar dari mulut pria itu sendiri jika dedikasiku hanya di tempat tidur—bahkan setelah bosan dia akan meninggalkanku—membuat hatiku seperti di hantam keras - keras.
Alih - alih setia dengan Hansel Brent, kenapa aku malah sebodoh ini bisa jatuh cinta dengan orang sebrengsek Dominic Molchior dan berniat memperjuangkannya?
Seharusnya aku tidak terjerumus dengan semua usahanya untuk membantu ayahku. Atau apa pun bentuk usaha yang dia lakukan untuk menyeretku ke ranjangnya—termasuk membawaku ke Hell’s Kitchen—salah satu tempat impian yang ingin kukunjungi.
Tapi aku tidak ingin menyalahkannya. Aku juga tidak ingin menyalahkan tindakanku ketika aku memutuskan untuk menjadi seperti pelacur bagi pria itu.
Ada begitu banyak emosi yang kutahan pada posisi bersandar di pundaknya seperti sekarang. Namun hanya satu yang bisa kusalurkan dengan benar melalui kesimpulanku.
Tidak apa - apa Mia, setidaknya masih ada bagian dari dirimu yang pria brengsek itu inginkan...
So, I will making it simple. Jika aku tidak bisa mendapatkan hatinya, maka aku akan berusaha mendapatkan raganya. Jika dia hanya menginginkan tubuhku hingga bosan, maka, aku akan membuatnya terus menginginkan tubuhku hingga tidak menemukan kebosanan. Hanya untuk mempertahankan Dominic Molchior agar tetap berada di sisiku.
Bodoh... Kau bodoh Mia... Karena mencintai pria brengsek seperti Dominic.
Aku tidak peduli. Akan kuikuti permainannya sampai dimana batas kebosanan pria itu. Akan kuikuti sampai di mana batas hatiku untuk bertahan. Karena aku mencintai Dominic Molchior. Dan ingin tetap menyimpan perasaanku ini sendiri. Karena sudah jelas, dia menolakku sebelum dapat mengutarakannya.
Phoenix, 28 Desember
18.45. p.m.
Ketika pesawat sudah mendarat, dengan menguatkan pondasi hati, aku lebih memilih merentangkan tangan sambil menguap. Bersikap seolah - olah baru saja bangun dari tidur ternyenyak yang pernah kurasakan dengan kacamata hitamnya yang masih betengger di hidungku. “Astaga kenapa perjalanan kali ini cepat sekali,” pekikku ketika mendapati Dominic Molchior menurunkan koperku dari cabin.
Senyum jemawa tersungging pada wajahnya. Sungguh, aku sangat menyukai Dominic Molchior yang akhir - akhir ini sering menampilkan senyumnya walau sekelumit.
“Ya, coba saja kau habiskan perjalanan ini dengan menopang kepala seseorang di pundakmu. Mungkin kau akan merasakan perjalanan ini seperti ratusan tahun,” sindirnya.
“Kupikir suamiku yang cekatan tidak akan pernah protes.” Aku menggunakan senjatanya sendiri untuk melawannya saat menggerakan tangan menurunkan pegangan kursi pesawat untuk memudahkanku keluar dari deretan kursi - kursi ini.
“Aku tidak protes,” sangkalnya.
“Ya, ya hanya menyindir. Dan terima kasih sudah menurukan koperku, suamiku yang cekatan, sekarang tolong bawakan itu untukku juga.”
Dominic Molchior melipat kedua tangan di dada dan bersandar di kursi. Membiarkan beberapa penumpang lain melewatinya. Setelah tidak ada yang lewat lagi, dia menjawab, “kau sudah berani memerintahku Mia?!”
“Kenapa? Kau ingin memecatku di hari libur, Sir?! Lagi pula, aku meminta pertolongan, bukan memerintah.” Aku ikut melipat tangan di dada dan bersandar di kursi seperti menantangnya. Berhadap - hadapan denganya mirip orang tidak tahu diri yang menutup jalan sempit pesawat. “Jangan lupakan grass grower-mu,” ancamku.
Dominic Molchior mengurai tangannya untuk di lebarkan. “Fine, kau menang. Ayo turun.”
“Aku akan membawakan tote bag-mu. Sebenernya kau kelihatan lucu saat membawanya.” Aku menyelingi kalimatku dengan senyum geli. Senyum yang kuusahakan senormal mungkin. Berusaha untuk bersikap biasa dan mendoktrin diriku sendiri dengan pendapat betapa konyolnya Dominic Molchior dengan koper unguku.
Kalimatku pun sukses membuat raut wajah Dominic Molchior berubah datar.
Kala tanganku bergelayut manja—sikap yang tidak pernah kulakukan pada siapa pun kecuali pria beraroma musk ini—Dominic Molchior sedikit menarik sudut bibirnya. Lagi - lagi aku menyukai senyum itu. Membiarkan diriku jatuh padanya, membiarkan diriku seperti dibodohi telak olehnya dengan perasaanku sendiri.
“Hei Dom,” Aku menoleh ke arah pria itu sembari menyusuri keramaian bandara.
“Hhhmmm?” jawabnya hanya bergumam.
“Aku lelah, bolehkah aku duduk di koper ini lalu kau mendorongku?” ucapku sambil menunjuk koper dengan tangan yang membawa tote bag.
“Jangan bercanda Mia, kau bukan bayi,” jawabnya sesekali melihat ke arahku.
Mataku melotot lebar. “Aku tidak bercanda Dom, ayolah.” Aku berhenti melangkah. Dominic Molchior pun mengikutiku berhenti. Aku merajuk seperti bayi yang ingin di belikan balon. “Demi grass grower-mu.” Lagi - lagi aku mengancamnya dengan itu. Dan selalu efektif.
“Ck! Astaga ada - ada saja. Baiklah naiklah ke koper ini, aku akan mendorongmu.” Dominic Molchior mengalah. Memegangi koper, sementara aku naik dan meletakkan tote bag di pangkuangku, perlahan pria itu mendorongku.
“Ini sangat menyenangkan.” Aku berpegangan pada besi koper agar tidak jatuh dan mendongak untuk menikmati wajah Dominic Molchior dari atasku.
Beberapa langkah, tiba - tiba saja Dominic Molchior menunduk untuk melihatku. Satu sudut bibirnya terangkat membentuk senyum setan. “Kita lihat, seberapa menyenangkannya ini Mia.”
Kilat, Dominic Molchior mendorong koper ungu ini dengan cepat. Aku pun reflek bereriak, “kkkyaaa Dooommm! Jangan kencang - kencang! Pelankan lajunya! Doomminiccccc!”
“Inilah yang di sebut sangat menyenangkan Mia,” pekik Dominic Molchior yang sekarang malah ikut duduk di koper.
“Doom! Kau gila Dom! Turunlah!”
“Hahaha...”
Dominic Molchior tertawa. Sejak dua bulan lalu aku mengenalnya, baru kali ini aku mendengar Dominic Molchior tertawa lepas seperti itu. Dan aku semakin merasa bodoh karena semakin menyukainya.
“Dom! Berhenti! Ada anak kecil di depan sana Dommm!” Aku berteriak dan memukul - mukul lengannya. Dominic Molchior yang panik menadak mengerem koper ini dengan kaki - kaki panjangnya dan...
Gubrakkk
Well, yeah... Aku terjatuh. Catat! Hanya aku yang terjatuh di lantai bandara dengan orang - orang yang melihatku konyol. Toples cookies dalam tote bag berserta kacamata hitam Dominic Molchior pun pecah. Sementara pria itu sendiri menertawakanku dari kejauahan.
Phoenix, 28 Desember
19.05 p.m.
“Ini tidak lucu Dom!” Aku bersedekap tangan dengan wajah cemberut sepanjang jalan kala menaiki mobil Dominic Molchior dengan Reginald Jeeves dan satu supir yang menjemput kami di bandara—setelah mereka membereskan kekacauan yang kami buat. Maksudku, kekacauan yang di buat oleh muda muda Dominic Molchior.
“Hahaha Reginald, kau harus melihat Mia jatuh,” lapor pria itu pada butler estate-nya yang menampilkan senyum sepanjang jalan karena melihat tingkah konyol kami.
“Bukan maksudku untuk menertawakanmu Miss Oswald, kuharap kau tidak tersinggung. Aku menyukai kebersamaan kalian, apa lagi bisa membuat Tuan Muda tertawa lepas seperti ini,” jawab pria paruh baya berkacamata itu.
Reflek jantungku berdebar kencang, memompa darah ke seluruh tubuhku.
Memangnya dia tidak pernah tertawa lepas?
“Ya, Mr. Jeeves, khawatirkan saja Tuan Muda Dominic yang sakit perut karena menertawakanku, tidak perlu memikirkan punggungku!” aku menyindirnya terang - terangan.
“Tidak, Miss, tentu saja aku juga mengkhawatirkan punggungmu.”
“Itu salahmu sendiri, kau yang ingin naik koper itu Mia. Aku hanya mengabulkan permintaanmu, bukankah begitu Reginald?” Pria yang kusukai ini lanjut tertawa masih dengan memegangi perutnya. “Aku akan meminta pihak bandara untuk memberikan rekaman CCTV-nya,” ucap Dominic Molchior setelah berhasil meredakan tawanya.
“Doom! Ini tidak lucu sama sekali! Kau hampir menabrak anak kecil tadi!” pekikku. Sebenarnya menahan diri untuk tidak memukulinya dengan tas selempangku.
“Tidak, dia masih jauh. Tapi aku berhasil berhenti bukan?” elaknya.
“Hampir Dom! Dan kau melompat sendirian! Kau membiarkan aku jatuh!” Aku protes tidak terima dengan pengakuannya. Dominic Molchior kembali terkekeh. “Kenapa kau menyiksaku seperti tadi? Tidak cukupkah kau menyiksaku saat kita ber—” Aku reflek membekap mulutku sendiri saat sadar suaraku terlalu keras dan bukan hanya pria bermata biru terang itu saja yang mendengarkanku, namun juga Reginald Jeeves dan supir mobil ini.
Berhenti tertawa, kali ini raut wajah Dominic Molchior berubah serius. “Itu beda kasus Mia, kau dan aku sama - sama masoki—” sekarang aku yang membekap mulutnya agar tidak membicarakan itu di tengah kedua orang paruh baya yang duduk di kursi depan.
“Diamlah Dom! Kembali ke mode senyap!”
Phoenix, 28 Desember
19.45 a.m.
Dominic Molchior masih dalam mode senyap hingga kami sampai di depan penthouse-nya. Minus Regiland Jeeves yang sudah kembali ke estate dengan supir tadi setelah meninggalkan koperku beserta cookies yang masih selamat di dalam tote bag walau toples plastiknya pecah.
Pria bermata biru terang itu kini menunjuk dirinya sendiri. Memberi isyarat agar aku mengubah mode senyapnya menjadi mode dering normal.
Setelah melakukannya dia bicara, “tekan jarimu pada kotak sidik jari kunci penthouse-ku.”
“Pardon? Kenapa jariku?”
Bukankah ini penthouse-nya?
Dominic Molchior tidak menjawab. Membaca ketidakmengertiaku, dia meraih tangan kananku dan menempelkan jempolku pada sidik jari. Otomatis menimbulkan suara kunci di putar dan ketika Dominic Molchior membuka pintunya serta mendorong koper unguku, suara veronica menggema, “welcome home Miss Mia Oswald.”
Selaras dengan lampu dan penghangat ruangan yang menyala otomatis, aku menutup mulut dengan tangan.
“Bagaimana bisa kau tau sidik jariku?”
“Saat menggendongmu ke mari beberapa hari yang lalu,” jawabnya.
Jadi dia yang menggendongku dan menidurkanku di kamar penthouse ini?
“Inilah hadiah natalmu di Phoenix yang kumaksud. Tinggalah di penthouse-ku Mia. Tidak perlu mencari tempat tinggal lagi. Kau pikir aku tidak tahu jika kau kembali ke sini lebih awal untuk mencari tempat tinggal sebelum mulai masuk kerja?”
“Lalu kau?” Aku reflek bertanya.
“Aku akan tinggal di estate-ku, tapi mungkin akan sering menginap di sini,” jawabnya enteng.
Aku tersenyum getir. Tentu saja bukan perkara sulit bagi pria kaya seperti Dominic Molchior saat memberikan sebuah penthouse pada seseorang. Terlebih untuk meniduri orang itu. Bukankan cara menyembunyikan hubungan kotor ini jauh lebih baik jika di dalam penthouse?
Belum mendapat jawaban dariku, pria itu kembali membuka mulut. “Jangan katakan kau menolak pemberianku.”
Aku tersenyum. Senyum yang kuusahan tulus. Mengingatkan diriku untuk menerima tempat tinggal ini agar dia percaya bahwa aku mudah di tipu, kemudian dia akan lebih mudah meniduriku. Mempermudah diriku untuk semakin lama mempertahankannya di sisiku.
Baiklah, mungkin besok aku baru bisa pergi ke tempat Hansel.
“Sudah kuduga kau akan menolaknya,” ucap Dominic Molchior seperti kecewa.
“Tidak, aku merimanya Dom,” jawabku. Lagi - lagi berusaha untuk tersenyum setulus mungkin.
Astaga Mia, sejak kapan kau jago acting?
“Terima kasih,” lanjutku.
“Duduklah, aku akan mengambil grass grower-nya,” kata Dominic Molchior menekan kedua pundakku untuk duduk di sofa warna kulit hitam kemudian berjalan ke salah satu bilik ruangan.
Sementara diriku sendiri beranjak lagi, berjalan ke pintu utama penthouse ini untuk memastikannya sudah terkunci. Melirik koper unguku sekilas, hanya cookies buatan ibuku yang kuambil dan aku kembali ke sofa. Meletakkan cookies itu di atas meja lalu menghembuskan napas berat.
It’s time to be a bitchy women, Mia.
Jadi yang kulakukan adalah melepas pakaianku satu persatu sampai tidak tersisa. Percayalah, walau pun pria itu kerap melihatku polos, tapi tetap saja aku selalu tidak nyaman dengan tatapan matanya. Tapi kali ini aku harus melakukan sesuatu. Setidaknya untuk mempertahankan Dominic Molchior di sisiku.
Ketika langkah pria itu terdengar dari ujung, aku segera membaringkan diri dengan posisi menggoda. Membiarkan tubuh polosku terekspos, minus bagian bawah perut yang kututupi mantel hingga paha bagian atas.
“Kau tidur lagi Mia?” teriaknya dari balik sofa yang posisinya membelakangi pria itu.
“Tidak, hanya tiduran di sofa,” jawabku.
Pria itu sampai di depan sofa tempatku berbaring dan masih menunduk melihat grass grower yang dia bawa sambil berkata, “ini dia, apa aku sudah merawatnya dengan ben—” Dominic Molchior melihatku. “What the... fuck...” ucapnya lirih.
Sementara diriku? Belajar menampilkan senyum menggoda. Tanganku mengurai rambut ke punggung agar seluruh tubuh bagian depanku bisa dia lihat. Sambil menggigit cookie aku berkata, “hi Dom, wanna bite some cookie?”
Dominic Molchior meletakkan grass grower di atas meja tanpa melepas pandangannya padaku. Aku juga melihatnya menelan ludah kemudian memindahkan tatapannya pada bagian dadaku.
Sebenarnya aku sangat gugup, tapi berusaha mengatasinya dengan baik. Setidaknya, aku harus terbiasa melakukan ini demi Dominic Molchior.
Saat pria itu berjalan ke arahku dan menjulang di atasku, dia bertanya, “apa yang kau lakukan Mia?”
“Makan cookie,” jawabku. Memasukkan satu gigitan cookie dalam mulutku.
“Dengan telanjang?” Dia bertanya dengan tatapan menghunusmya.
“Tidak bolehkah? Aku telanjang di tempat tinggalku sendiri?”
“Well, yeah... bagaimana jika ada orang lain masuk?” Dia menanyakan itu tepat di depan wajahku.
“Hanya ada kau, tidak masalah.”
Aku memang ingin menggodamu dasar bodoh!
“Begitu? Ada apa denganmu hari ini Mia? Apa kau merindukanku? Merindukan sentuhanku?”
________________________________________
2370 gengsss
semoga nggak bosen yes
Terima kasih uda baca, vote, dan komen di work yang halu banget ini
Sekali lagi saya peringatkan ya, cerita ini cuma di bikin buat hiburan semata, nggak ada sangkut pautnya dengan kehidupan nyata, dan jangan di tiru juga
Well, bonus photo Mia Oswald
dan Hansel Brent kasian banget mau di putusin
See you next chapter teman temin
#keephealty
#stayathome
#washyourhand
#alwaysprayforUs
With Love
©®ChachaPrima
👻👻👻
17 April 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top