Chapter 25

Selamat datang di chapter 25

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo (maklum jarinya jempol semua)

Thanks

Happy sunday

Happy reading everyone

Hope you like it

❤❤❤

________________________________________

Hatiku mulai bertanya dan menuntut Apakah dia merindukanku karena memiliki perasaan yang sama denganku?

°°Mia Oswald°°
________________________________________

Brooklyn  26 Desember
20.05 p.m.

Aku berdiri di ambang pintu kamarku dengan serbuan debaran jantung yang tiap detik kian meningkat. Berniat membangunkan Dominic Molchior untuk makan malam.

Tangan kiriku terkepal erat memegangi dada untuk menahan debarannya, sementara kepalan tangan kananku terangkat untuk mengetuk pintu kamarku sendiri. Memulainya dengan ketukan pelan, lambat laun semakin keras—seiring dengan detak jantungku—kala Dominic Molchior tidak unjung membuka pintunya.

Ini semua salah wanita paruh baya itu yang menduga Dominic Molchior sebagai suamiku yang cekatan. Di tambah godaan pria itu tadi, membuatku jadi terus - menerus memutarnya di otak.

Mencoba mengabaikan gagasan wanita paruh baya dan pria itu, kala ketukan di sertai beberapa kali panggilan tidak membuat Dominic Molchior membukanya, otakku berpikir untuk turun lagi. Mulai makan sendirian tanpa perlu repot - repot membangunkan Dominic Molchior karena sudah lapar. Namun aku terkejut ketika menemukan diriku sendiri sudah membuka pintu itu dengan sekali dorongan, berdiri di sebelah kasur dan mengamati tubuh Dominic Molchior yang bergelung dalam selimutku.

“Dom, makanannya sudah matang,” ucapku dengan suara nyaris serupa bisikan. Untuk itu sebelum memanggilnya lagi aku berdehem dan mengatur suaraku agar lebih keras. “Dom...”

Dominic Molchior mengerjab beberapa saat. Cahaya lampu tidur temaran membuat kilatan matanya berwarna biru gelap. Detik berikutnya dia menyibak selimut. Perlahan duduk. Dan terpampanglah turtle neck hitam yang mencetak jelas body builder-nya yang kini sudah menjulang di depanku.

Reflek mengamati pergerakannya, suara pria itu membawaku ke dunia nyata. “Kau boleh meneruskan pengamatanmu setelah selesai makan malam.”

Aku terkesiap. Rasa panas menjalar di pipiku. Malu karena pria itu menemukanku meneliti setiap gerakannya. Jauh dari rasa itu aku malah memberi kesimpulan pada suara serak khas bangun tidurnya yang bahkan terdengar sexy ketika menembus telingaku. Membuatku tidak bisa mengeluarkan suaraku sendiri walau pun hanya untuk sekedar mengelak atau membantah.

“Jadi, kau mau makan malam dengan suami cekatanmu ini atau berdiri di situ saja sampai musim panas?” Suara Dominic Molchior bergema lagi. Kali ini aku mencoba untuk tidak terpengaruh pada kata itu.

Untuk beberapa saat, kami tiba di meja makan. Mencoba mengusir berbagai pikiran yang berkecambuk di otak, aku lebih memilih menyibukkan diri dengan membuka panci stenlis berisi steamboat hasil masakanku. Seketika menebarkan aroma tomyam seafood dan uap panas yang segera menyerbu udara. Kulihat Dominic Molchior sedikit mengulas senyum karenanya.

Makanan kesukaannya juga bisa membuatnya tersenyum. Aku segera membuat catatan ini dalam hati.

“Ini, semoga kau suka masakanku.” Aku mengulurkan semangkok tomyam padanya. Kemudian menunggu pria itu berkomentar. Menilai masakanku setelah memasukkan sesendok kuah tomyam ke mulutnya.

Seulas senyum tipis terukir di bibir Dominic Molchior. Dari mangkuk yang dia pegang, tatapannya berpindah padaku.“Kau pintar memasak, Mia. Ini sangat enak, aku suka.”

“Terima kasih,” jawabku selaras dengan kelegaan yang menyerbu tubuhku untuk lebih santai. Aku tahu, itu akibat ketenangan yang dia ciptakan berhasil menular padaku.

Kadang, dia membuatku heran. Dapat meningkatkan pacuan detak jantungku dan menularkan sikap tenangnya dalam waktu yang bersamaan.

Jangan lupakan dia juga pernah sering menularkan emosinya padamu, Mia...

Benar.

Tanpa sadar aku meringis atas kesimpulan hatiku kala mengingat masa - masa itu.

Ekor mataku menangkap pergerakan Dominic Molchior yang mendongak. Segera ekspresi itu kuubah mejadi normal.

“So, kenapa kau memberiku grass grower?” tanya pria itu pasca menelan jamur enoki yang terbalut bacon. Sesendok kuah tomyam segera menyusul.

Selain agar kau mengingatku... “Apa kau tidak sadar jika di penthouse-mu sangat kering kerontang? Tidak ada tanaman satu pun dalam ruangan?” jawabku sambil mengacungkan sendok yang baru selesai kugunakan untuk makan.

Dominic Molchior mengendikkan bahu. “Kalau begitu telpon Reginald dan minta dia mengisi beberapa tanaman di ruang penthouse-ku.”

Astaga.

“Baik, Sir.”

“Dominic!” koreksi pria itu. Gantian sendoknya yang teracung ke arahku.

“Kau seperti memerintahku sebagai sekretaris merangkap asisten pribadimu, jadi jangan salahkan aku jika memanggilmu dengan sebutan itu.” Lagi - lagi tanganku bebas berekspresi. Kali ini aku juga ikut mengendikkan bahu menirukan gerakannya tadi.

“Baiklah, aku akan menelponnya sendiri,” tukas Dominic Molchior seperti mengalah, kemudian lanjut memakan udangnya.

Apa enaknya jadi milyuner jika tidak ada niatan membeli tanaman sendiri? If I were him, I will doing that alone. Pasti sangat menyenangkan bisa memilih tanaman hias yang cocok di letakkan di seluruh penjuru ruangan penthouse tanpa perlu pusing memikirkan tagihan harganya. Aku juga ingin menghias apartement atau flat sewaanku nanti.

Ngomong - ngomong tentang tempat tinggal, kurasa aku harus segera menemukannya dalam waktu dekat sebelum mulai bekerja. Juga membeli barang - barang untuk mengisinya dengan sisa tabunganku.

“Kenapa kau tidak membelinya sendiri?” tanyaku implusif. “Padahal sangat menyenangkan memilih tanaman yang cocok untuk menghiasi ruangan.”

Dominic Molchior menghentikan kunyahannya sejenak untuk menatapku. Detik berikutnya pria itu melanjutkan acara mengunyahnya lagi. Setelah berhasil mendorong makanan melewati tenggorokan menuju lambung, dia baru menjawab, “apa kau bisa menemaniku memilih tanaman?”

“Benar, kau tidak terbiasa belanja barang - barang keperluanmu sendiri.” Aku mengejeknya.

“Terserah apa katamu. Jadi kau mau atau tidak?” tanyanya.

“Apa kau suka di tolak?” Aku kembali bertanya sebelum lanjut menyendok kuah tomyam lengkap dengan udang dan jamur enoki yang bacon-nya sudah lepas, kemudian memasukkannya ke dalam mulutku.

“Setiap orang tidak suka di tolak, Mia. Kesimpulanmu tidak bisa objektif.”

Diam - diam aku mengangguk setuju dengan pendapat pria itu.

“Baiklah, aku akan menemanimu memilih tanaman. Akan kucek jadwal kosongmu nanti.” Akhirnya aku menyetujui. Di samping itu, aku juga akan memilih beberapa tanaman untuk menghiasi apartement atau flat sewaanku nanti.

“Bukankah akhir tahun ini jadwalku kosong?” tanya pria bermata biru terang itu. Mungkin dia mencoba mengingatkan.

“Aku tidak bisa Dom, jadwalku padat akhir tahun ini,” jawabku jujur tapi malah membuat Dominic Molchior memberikan tatapan tidak mengerti.

“Memangnya apa yang akan kau lakukan selain merawat Mr. Oswald?” tanya pria itu. Sedikit mengandung unsur ragu - ragu. Terlihat dari getsture tubuhnya.

“Kenapa aku harus memberitahumu?”

Untuk beberapa saat Dominic Molchior kelihatan seperti menimbang omongannya sebelum menjawab, “kau benar, Itu bukan urusanku. Apa pun itu, terserah kau. Aku tidak akan menganggumu. Just check my schedule after new year. Kita bisa pergi setelah tahun baru.”

Brooklyn, 27 Desember
11.45 a.m.

Apanya yang tidak menggangguku? Aku mengutuk dalam hati kala pria itu menelponku setidaknya minimal lima kali dalam sehari.

Kau tahu apa yang memebuatnya menelponku? Ya. Grass grower-nya. Padahal aku sudah menjelaskannya berkali - kali. Secara terperinci. Baik di setiap telpon kami, mau pun melalui pesan yang aku ketik panjang kali lebar sama dengan luas—khusus membahas tentang cara merawat grass grower. Baik dari pertama kali membuka mikanya hingga perawatan rumput yang sudah mulai tumbuh. Tapi sepertinya orang itu tidak peduli. Dan itu membuatku kesal.

“Aku sudah mengirimkanmu pesan!” Aku memperingatkan.

“Ck, pesanmu tertimbun. Aku malas mencarinya, lebih baik kutanyakan langsung padamu,” jawab pria itu seolah - olah semua itu adalah salahku.

“Ponselmu canggih, keluaran terbaru, kenapa kau tidak mencarinya di internet?!”

“Ayolah Mia, aku sudah menelponmu, jadi katakan saja bagaimana ini?” Dominic Molchior berdalih.

Beruntungnya saat ini posisiku sedang berada di balkon ruang VVIP ayahku—tidak berhadapan langsung dengannya. Jadi aku tidak akan menjambak rambut Dominic Molchior—jika berani—atau sekedar meneriakinya. “Ck! Sudah kukatakan padamu Dom, setelah kau membuka mikanya, rendam kepala grass grower santa-mu selama satu jam dalam air!” Aku berkacak pinggang dengan tangan satu.

Dominic Molchior yang tampak memakai jaket polo kombinasi biru tua, merah dan putih plus hoodie pun menjawab, “Aku sudah merendamnya selama lima menit, tidakkan itu cukup?”

“Dom! Selama satu jam! Bubuk rumput di kepalanya akan menyerap air secara maksimal jika kau merendamnya selama satu jam!” Tidak tahan lagi, akhirnya aku memekik kemudian memutus video call secara sepihak dan melanjutkan mengemasi barang - barang ayah—yang akan keluar dari rumah sakit—untuk di bawa pulang.

Beberapa jam kemudian saat akan makan malam di rumah yang sudah kunanti - natikan karena semua anggota keluargaku lengkap, pria itu menelpon lagi. Aku ingin mengabaikannya, namun saat ingin menekan tombol reject, ibu yang duduk sebelahku langsung menyahut, “angkat saja, mungkin penting.”

“Baiklah, aku ke kamarku sebentar untuk mengangkatnya.” Maksudku untuk mengomelinya!

“Aku sudah merendamnya selama satu jam seperti apa yang kau katakan tadi, kenapa rumputnya belum tumbuh?!” ptotes pria itu.

Aku reflek mencengkram ponselku kuat - kuat dan menggertakkan gigi. Ingin menjerit - jerit meneriaki pria itu. Tapi juga sadar jika di meja makan lantai bawah sedang ada ayah dan ibu. Jadi aku menghembuskan napas berat.

“Rumputnya akan tumbuh dalam waktu empat sampai tujuh hari. Itu jika kau rutin menyiramnya!” Tanganku bebas berekspresi. Walau pun ini hanya telpon biasa—Dominic Molchior jelas tidak dapat melihatku—tapi tetap saja aku selalu melakukan hal itu untuk membunuh rasa kesalku.

“Kenapa lama sekali?” tanyanya mirip orang tolol. Atau mirip bocah bayi yang polos.

“Memang begitu cara kerjanya!” Dasar bodoh dan menyebalkan! Hatiku berteriak. Bisa - bisanya aku menyukai orang ini?!

Detik berikutnya kututup panggilan telepon.

Brooklyn, 28 Desember
09.00 a.m.

“Mia, kau lupa menjelaskan takaran air yang harus kusiram untuk tanamanku.”

“Satu jacuzzi penuh! Kau bisa mengajarinya berenang jika mau!” pekikku kemudian menutup telpon pria itu. Tapi detik berikutnya dia menelpon lagi. Aku berusaha mengabaikannya karena harus menyiapkan segala keperluanku untuk kembali ke Phoenix pada penerbangan sore nanti.

Harusnya aku tahu betapa ngototnya pria itu dengan teror telponnya ketika sudah hampir sepuluh kali panggilannya tidak kunjung kuangkat. Hingga itu benar - benar membuatku ingin melempar ponselku.

Dengan hati dongkol, aku mangangkatnya dan memekik, “ada apa?!”

“Kenapa kau marah - marah? Aku hanya ingin bertanya tentang hadiahmu,” tukasnya tanpa dosa.

Ingin sekali kulempari pria itu dengan peralatan make up yang sekarang kumasukkan koper ungu pemberiannya. Sejenak ada perasaan menyesal karena memberikan hadiah itu padanya jika jadinya dia selalu mengganggu dan merecokiku seperti ini.

“Kau kaya Dom! Mintalah ahli tanaman untuk merawatnya!”

“Mia, ini hadiahmu untukku. Aku tidak ingin orang lain mengurusnya.”
Entah kenapa kali ini suara pria itu tenang dan jernih. Tanpa sadar menular kepadaku.

Aku memejamkan mata dan sekali lagi menghembuskan napas. “Baiklah Dom, letakkan itu di depan kasurmu, tepat di sebelah dinding kaca. Sekarang musim dingin jadi tidak apa - apa. Jika sudah berganti musim semi, letakkan di tempat teduh. Grass grower suka tempat kering namun tidak lembab Dom. Jangan lupa sesekali jemur dia agar jamur tidak tumbuh.”

“Terima kasih Mia.”

Sadar pria itu akan menutup telpon, aku segera mencegahnya. “t-tunggu Dom, aku lupa mengatakan untuk menyemprot kepala grass grower santa-mu dua kali sehari. Hanya beberapa semprot air Dom.”

“Baiklah, kalau begitu sekarang aktifkan video call-nya,” pinta Dominic Molchior. Mungkin dia memintaku untuk melihat caranya menyemprot grass grower. Jadi tanpa pikir panjang aku melakukan permintaannya. Dan betapa aku terkejut ketika melihat ayahku duduk di sebelah pria itu. Tepat di depan perapian rumahku.

Dominic Molchior tersenyum ke kamera. “Hai,” sapanya dengan wajah menjengkelkan.

Aku reflek melolot dan turun dengan tergesa - gesa namun tetap hati - hati. “Bagaimana bisa—”

“Mia, Mr. Molchior datang sejak satu jam yang lalu,” kata ayah tepat ketika aku berdiri di depan mereka dengan napas ngos - ngosan. Sementara ibu datang membawa senampan camilan. Lebih tepatnya cookies hasil buatan beliau yang baru saja matang. Aromanya menggoda dengan asap masih mengepul di atasnya.

“Terima kasih Mrs. Oswald, cookies ini kelihatan sangat lezat,” ucap Dominic Molchior mirip anak kecil yang mendambakan cookies itu untuk di bawa pulang.

“Bisakah kita bicara sebentar? Mr. Molchior?” tanyaku dengan nada penasaran saat Dominic Molchior memasukkan satu gigitan cookie itu ke dalam mulut.

“Itu tidak sopan Mia, Mr. Molchior bahkan baru mulai memakan cookie-nya,” sahut ibu.

“Tidak apa - apa Mrs. Oswald, kalau begitu aku akan bicara sebentar dengan Mia.”

Selepas pria itu setuju, aku mengajaknya bicara di teras belakang rumah—berlatar belakang pemandangan hamparan danau yang berubah menjadi es. Ada beberapa tempat duduk kayu di teras. Tapi karena aku ingin pembicaraan ini singkat, jadi aku hanya berdiri bersandar pada pagar kayu.

“Jadi, kenapa kau datang kemari Dom? Kau pikir jarak antara Phoenix dan Brooklyn itu mirip jarak antara kasurmu dan kamar mandi kamarmu? Huh?!” Aku bertanya dengan melipat tangan di dada. Menahan terpaan angin. Juga heran dengan pria beraroma musk yang belakang ini hobi ke Brooklyn—ke rumahku. Mengingat jarak antara kota ini dan Phoenix harus di tempuh selama kurang lebih tiga jam naik pesawat.

“Menjenguk Mr. Oswald. Kudengar beliau baru keluar dari rumah sakit kemarin,” jawabnya enteng seperti membaca berita cuaca.

Aku reflek membuka mulut membentuk huruf O tanpa menyuarakannya karena speechless. Kupikir dia datang menemuiku.

Pria itu bersandar pada pagar kayu dengan jarak beberapa langkar dariku, kedua tangan telanjangnya dia masukkan saku celana jeans—sikap yang aku sukai.

Seakan dapat membaca pikiranku, dia menatapku geli dan bertanya dengan nada mengejek. “Kenapa? Kau kecewa karena aku datang bukan untuk menemuimu?”

“A-aku... aku... Maksudku... bagaimana kau bisa menyimpulkan seperti itu?”

Bagus sekali, suaraku gelagapan.

“Apa kau berharap suami cekatanmu ini datang karena merindukanmu?”

“A-apa?”

Kenapa dia selalu menyangkut pautkan itu dengan istilah ‘suami cekatan?’

“Kau benar Mia.”

“Ap-apa?” Sekali lagi aku bertanya mirip orang tolol. Kali ini dengan nada lebih tinggi dari sebelumnya.

“Jangankan kau, aku sendiri juga terkejut dengan diriku sendiri,” ucap pria itu tenang. “Aku datang kesini, selain menjenguk Mr. Oswald, kurasa juga karena merindukanmu, Mia.”

Ini tidak baik. Sungguh. Jantungku jadi tidak karuan. Badan dan otakku seakan beku seiring dengan angin musim dingin yang bertiup menerpa wajahku. Membawaku pada kesimpulan jika pria yang sekarang sudah menarik tubuhku dalam dekapannya, ternyata mampu membuatku sangat menyukainya. Dan itu tidak baik. Itu tidak sehat.

Aku masih memiliki kekasih. Tapi aku menyukai orang lain, bahkan aku bercinta dengan orang itu. Tidak hanya sekali, namun berkali - kali tanpa dia perlu memaksaku.

Sementara pria itu sendiri seperti tidak ada beban apa pun. Bebas mengekspresikan rasa kerinduannya karena tidak terikat dengan seseorang.

Hatiku mulai bertanya dan menuntut. Apakah dia merindukanku karena memiliki perasaan yang sama denganku? Atau merindukan tubuhku hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan sex-nya?

________________________________________

2230 kata gengs, makin ke sini makin banyak yaa

Semoga bisa ngibatin kangen

Di chapter ini saya mencantumkan cara merawat boneka horta alias grass head alias grass grower ya

Semoga bermanfaat

Well, terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca, vote dan komen

Kalian luar biasa

Bonus photo Mia Oswald

Dan Dominic Molchior

See you next chapter teman ttemin

#Keephealty
#Stayathome
#Washyourhand
#AlwaysprayforUs

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

12 April 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top