Chapter 24
Selamat datang di chapter 24
Maapkeun gengs beberapa hari ini selain hp saya di sita, juga lagi kena writer's bock syndrome
Ide ada, waktu ada, tapi nggak bisa nulis sama sekali pada naskah mana pun
Jadi yang saya lakuin kalo lagi bisa make hp malah bikin triler Mr. CEO
Saya taroh di tengah tengah chapter ini
Well, udah dulu curcolnya
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen ya
Tandai jika ada typo (maklum jarinya jempol semua)
Thanks
Happy reading
Hope you like it
❤❤❤
________________________________________
Satu lagi sisi lain dari wanita itu yang baru saja kuketahui
••Dominic Molchior••
________________________________________
Brooklyn, 26 Desember
18.14 p.m.
“Berapa yang mampu kau bayar untuk jalang cantik yang memelukmu tadi? Apakah sangat murah hingga hanya mampu bercinta di mobilku?”
Detik itu juga aku reflek berdiri dan mengangkat tubuh kurus pria yang bicaranya ngawur itu seperti di parkiran mobil. Tangan kananku sudah melayang di udara hendak menghantam wajahnya, namun petugas keamanan yang berada dalam post keamanan—tempat aku dan pria keparat itu berada—segera menghentikanku.
“Brengsek! Aku sudah menggendongmu kemari! Menolongmu yang tergeletak di tengah jalan parkiran mobil karena hampir tidak sadarkan diri! Sekarang dengan sisa kesadaranmu itu kau malah menghinanya lagi?!”
Harusnya kubiarkan saja dia mati tertabrak mobil!
Aku ingin menghajar orang mabuk itu dengan sekali tinju. Meratakan tulang belulangnya hingga tidak berbentuk.
Siapa dia berani - beraninya menghina Mia Oswald? Bukan hanya sekali. Tapi dua kali! Saat di parkiran mobil—sebelum wanita itu menginterupsi—dan di post kemanan. Namun petugas keamanan tentu tidak ingin membuatku berhasil melakukannya.
“Tenangkan dirimu dude, dia mabuk!” kata petugas keamanan yang saat itu masih mencekal tubuhku dan berusaha menjauhkannya dari si pengetuk keparat.
“Dia menghinanya!” teriakku tidak terima.
Entah kenapa sampai detik itu tidak bisa memaafkan tentang kata ‘jalang’ yang dia lontarkan pada Mia Oswald—meski tidak secara langsung di depan wanita itu sekali pun. Di tambah dengan kurang ajarnya pria tidak berguna itu mengganggu kegiatan kami.
Mungkin saat itu urat - urat dalam sekujur tubuhku sudah sangat menjadi tidak terkendali karena marah pada banyak hal.
“Dia mabuk, omongannya jadi tidak bisa dikontrol, tenang saja aku sudah menghubungi keluarganya. Sebentar lagi salah satu dari mereka akan datang.” Petugas keamanan sudah berhasil menarik tubuhku semakin jauh dari jangkauan si pengetuk yang kala itu sudah kembali terjatuh—duduk di kursi dalam kantor keamanan dengan kondisi setengah sadar.
Saat petugas keamanan sedikit berhasil membuatku tenang, dia melepas tanganku dan kami berbicara berhadap - hadapan.
“Apa kau bisa terima jika istrimu di hina?! Meski pun yang mengatakannya orang mabuk?!” ungkapku.
Entah kenapa malah menggunakan perumpamaan tersebut. Juga tidak keberatan sama sekali dengan perumpamaan itu. Malah sejenak ada kelegaan tersendiri ketika berhasil mengutarakannya. Jauh lebih melegakan dari pada yang kukira.
Ungkapan itu pun membuat petugas keamanan mengangguk dan tersenyum penuh arti. “Oh, aku mengerti sekarang, jadi itu alasan kenapa kau ingin sekali meninju wajahnya.”
“Dom... kau ingin makan apa?”
Lamunanku tersentak kala seseorang memanggil dan menarik - narik lenganku. Dan itu bersal dari Mia Oswald—salah satu alasanku melamun.
“Hm?”
“Kau melamun!” hardiknya. Aku malah diam. Memutar kepala sembilan puluh derajat menghadap ke arah Mia Oswald dan mengamati wajah manis tersebut.
Saat mengerjab bebera saat, wanita itu kembali bersuara. “Tunggu, apa kau merasa baik - baik saja? Apa kau ingin muntah? Kau mabuk?” Wajah Mia Oswald berubah menjadi khawatir. Dan aku suka itu.
Untuk beberapa saat, aku memutus kontak mata dengannya untuk mengamati sekeliling.
“Apa kau merasa buruk naik metro?” tanyanya lagi saat aku tidak kunjung menjawab.
Fiy, ini adalah pengalaman pertamaku naik kereta bawah tanah seperti ini. Kupikir tidak begitu buruk.
Kau mungkin sudah bisa menebak kenapa aku bisa berakhir naik metro seperti ini. Ya. Kau benar. Mia Oswald yang memaksaku. Entah kenapa wanita yang masih mengamati wajahku lamat - lamat—seperti berusaha membaca ekspresiku—dan duduk si samping kursi panjang yang aku duduki ini selalu berhasil meyakinkanku. Lebih tepatnya selalu berhasil membuatku menuruti kata - katanya. Entah itu berhasil mencegahku meninju pria mabuk tidak berguna pada parkiran mobil, diam saja ketika wanita itu mengaktifkan mode senyap, atau menaiki transportasi umum seperti metro ini.
Rupanya aku sudah mulai gila.
Kadang diriku juga bertanya - tanya. Sejak kapan Dominic Molchior yang di takuti karyawan kantor menuruti semua perintah sekretarisnya?
Jangan sampai berita ini tersebar di kantor. Itu akan menurunkan harga diriku.
“Dooommm apa kau benar - benar merasa mual? Kenapa kau tidak bicara padaku dari tadi? Kau tahu bukan? Alasanku mengajakmu naik metro agar kau bisa isatirahat, tidak perlu repot - repot menginjak gas dan kopling lagi. Kau sudah melaukannya sepanjang hari ini.” Mia Oswald kembali bersuara. Seperti biasa, tangan wanita itu bebas berekspresi.
“Aku tidak mual,” jawabku akhirnya.
Detik berikutnya dia memekik. “Oh! Sudah hampir sampai, ayo berdiri dan jalan di depan pintu!”
Sekali lagi diriku membiarkan wanita yang sedang bersemangat ini menarik tanganku. Menuntunku berjalan mendekati pintu kereta.
Beberapa saat kemudian metro ini sudah berhenti. Pintu kereta otomatis terbuka dan kami melangkah keluar. Berjalan melewati lorong - lorong stasiun bawah tanah ini menuju tangga pintu keluar ke jalanan pusat kota Brooklyn. Dan apa kau tahu? Sepanjang perjalanan ini Mia Oswald menyusupkan tangan di lenganku disaat tanganku sendiri kususupkan di saku mantel.
Rasanya sangat nyaman dan benar.
“Bagaimana menurutmu metro?” tanyanya saat kami tiba di pelataran super market kota ini. Sesekali kepalanya menoleh ke arahku.
Aku mengendikkan bahu. “Tidak buruk.”
“Benarkah? Kupikir kau mual atau ingin protes tapi tidak ingin penumpang lain terganggu. Maka dari itu kau diam saja.” Aku melihat dia sedikit meringis ketika mengatakannya.
“Tidak,” elakku. Tentu saja tidak ingin menceritakan apa yang telah aku lamunkan di sepanjang perjalanan kami naik metro.
Wanita manis yang masih bergelayut di lenganku ini tidak perlu tahu jika ada orang yang telah menghinanya. Aku tentunya tidak ingin dia sakit hati.
“Jadi, kau ingin makan apa? Oh mungkin aku bisa mengganti pertanyaanku dengan apa makanan kesukaanmu? Aku ingin memasaknya untuk makan malam kita,” tukas Mia Oswald. Rasanya menyenangkan dia menyebut ‘makan malam kita.’ Terdengar seperti kebiasaan rutin yang bagus.
“Aku suka masakan Thailand. Menu - menu mereka sangat sedap,” jawabku jujur.
Mia Oswald mengangguk. Sesampainya di depan deretan trolley, dia melepas lilitan tangannya dan mengambil salah satu dari trolley tersebut.
Sejenak ada perasaan tidak rela ketika wanita itu melepaskan diri dariku begitu saja. Deni sebuah trolley.
Dominic, lenganmu kalah dengan trolley.
Mendorong trolley melewati pintu masuk, Mia Oswald memberi tanggapan. “Aku tidak menyangka kau akan menyukai masakan Asia. Bagaimana dengan tomyam? Kita juga bisa membuat menu shabu - shabu dengan beberapa jamur enoky yang di balut bacon lalu mencelupkannya dalam kuah tomyam. Bagaimana menurutmu?”
“Ya, kurasa itu ide bagus.”
Wajah ceria wanita ini membuatku tidak bisa menolak—ralat—tidak ada manusia di dunia ini yang bisa menolak jika seseorang dengan senang hati memberi makanan kesukaan mereka. Apa lagi orang yang memberi makanan itu telah susah payah memasaknya sendiri bukan? Aku pun begitu.
“Baiklah!” pekiknya semangat. Melangkah lebih dulu sambil mendorong trolley. Aku pun mengikutinya. Membiarkan dia memimpin.
Untuk beberap saat, kami berjalan melewati lorong - lorong deretan rak yang memajang barang - barang menuju lorong berisi sayuran.
“Jadi, apa kau sering berbelanja di super market?” tanya Mia Oswald dengan tangan sibuk memilih beberapa tomat.
“Tidak, sangat jarang, terakhir kali aku ke super market itu sudah lama sekali.”
“Tidak heran, kau kan baby Huy. Para maid pasti akan melakukan semuanya untukmu. Baguslah kau bertemu denganku. Jadi kau bisa bergaul dengan rakyat jelata,” kata Mia Oswald tanpa melihat wajahku.
“Kau meghinaku Mia?”
“Tidak, hanya bicara kenyataan.”
Egoku merasa tersinggung karenanya namun berusaha untuk tidak mempedulikan pendapatnya.
Setelah semua bahan makanan yang di butuhkan untuk memasak makanan kesukaanku sudah lengkap, Mia Oswald sedikit berbelanja kebutuhan hariannya yang sudah habis di rumah. Sementara aku sendiri berdiri ke deretan rak yang memajang beberapa minuman kaleng tidak jauh dari situ. Sesekali melirik ke arahnya yang ternyata kini tengah asyik mengobrol dengan salah satu pengunjung—ibu - ibu negro paruh baya berambut putih yang sedang tersenyum ke arahnya.
Sebenarnya aku sedikit penasaraan. Topik apa yang mereka bahas hingga mampu membuat wanita berjaket kulit itu tersenyum tulus, manis dan lepas seperti itu. Pemandangan yang baru - baru ini mulai kulihat pada diri Mia Oswald. Namun diriku juga tidak ingin menginterupsi mereka karena aku masih ingin melihat senyum menawannya.
Tanpa sadar tubuhku terpaku pada posisiku berdiri dengan tangan memegang sebotol beer kaleng dan dengan jantung berdetak lebih keras karena sebuah senyuman itu. Hingga melihat Mia Oswald berusaha meraih salah satu kotak oat di rak paling atas.
Tangan wanita itu mengais dengan kaki berjinjit. Karena merasa dia tidak akan berhasil melakukannya, aku meletakkan kembali kaleng beer tersebut pada rak di depanku dan berjalan ke arah mereka kemudian meraih kotak oat tersebut.
“Terima kasih Mr. tapi aku bisa melakukannya sendiri—Dom?” Kalimat Mia Oswald berganti karena sadar jika yang menolongnya adalah diriku. Bukan orang lain. Sebagaimana dia anti pati menerima bantuan dari orang lain.
“Kau bisa mengandalkanku untuk melakukannya,” ucapku. “Ada lagi yang ingin kau ambil di atas sana?”
“Ti-tidak ada.” Wanita berwajah manis itu terkesiap sambil menerima kotak oat yang kuulurkan padanya. “Aku hanya berusaha membantu Ma’am,” tukas Mia Oswald. Usai mengatakannya dia menghadap ke arah wanita negro paruh baya yang sedang mengamati kegiatan kami.
Mia, kau suka membantu tapi tidak ingin di bantu.
Kulihat Mia Oswald menyerahkan kotak oat pada wanita negro itu. “Ini Ma’am.”
“Terima kasih,” tukas wanita tua itu. Tangan keriput beliau terulur menyentuh lengan Mia Oswald. “Suamimu sangat cekatan, aku jadi mengingat masa mudaku saat pertama kali menikah, kami juga pergi berbelanja bersama,” lanjut beliau dengan senyum penuh arti seperti petugas keamanan tadi siang.
“Sebenarnya dia bukan suamiku Ma’am,” jawab Mia Oswald cepat. Entah kenapa ada sedikit perasaan menjengkelkan yang menyusup dan membungkus di antara pori - pori tubuhku terhadap kebenaran kenyataan itu. Di tambah dengan Mia Oswald yang melanjutkan kalimatnya. “Dia temanku.”
Teman? Teman yang saling mengahangatkan satu sama lain!
“Teman? Aku atas—” Mia Oswald yang masih menampilkan senyum manisnya pun membekap mulutku saat ingin mengutaran kenyataan bahwa aku adalah atasannya. Bukan temannya.
Dan coba tebak! Lagi - lagi dia berhasil membuatku diam.
Melihat gelagat kami. Ekspresi wanita tua itu berubah. Senyum penuh arti beliau berubah menjadi raut wajah kecewa. “Oh, maafkan aku sudah salah menilai.”
Well, kenapa wanita tua itu yang terlihat kecewa? Bukankah seharusnya diriku?
Tunggu... ada yang aneh denganku hari ini.
Sekarang wajah kecewa wanita negro itu tersenyum lagi. “Tapi kurasa kalian cocok bersama.”
Dalam hal ranjang. Hatiku segera menambahkan dan meyakinkan presepsiku sendiri. Sembari menepis tangan Mia Oswald yang masih bertengger di mulutku.
Well, setelah wanita negro itu pergi, aku kembali mengambil beberapa beer kaleng. Mia Oswald sempat protes karena aku mengambil lumayan banyak. Jadi aku mengembalikan beberapa di antaranya ke rak.
Saat membayar, mata Mia Oswald melotot karena mendapati beberapa pengaman yang kubeli. “Ke-kenapa kau membeli barang itu? Dan banyak sekali? Dan kenapa aku baru tau itu sekarang?!” protesnya dengan berbisik.
Tapi aku malah menjawabnya dengan lantang. “Tentu saja untuk membuat balon ulang tahun, memangnya untuk percintaan kita?!”
Kontan mendapat pukulan pada perutku. “Ddoomm! Itu tidak lucu sama sekali! Kembalikan semuanya!”
“Kau ingin aku tidak pakai pengaman seperti dulu?”
“Astaga Dom! Bisakah kau mengecilkan suaramu!”
“Tolong beri tahu aku berapa total semuanya termasuk itu?” ucapku pada petugas kasir yang sedang mengamati pertikaian kami sambil mengunyah permen karet—menurutku itu sangat tidak sopan, tapi aku tidak peduli.
“Dddooommm!”
________________________________________
AFFAIR WITH CEO TRILER
________________________________________
Brooklyn, 26 Desember
19.30 p.m.
“Home sweet home,” seru Mia Oswald dengan wajah cemberut dan nada datar pasca berhasil mendorong pintu hingga terbuka.
“Bukankah aku yang seharusnya berwajah seperti itu karena marah pada banyak hal? Kenapa jadi kau?” tanyaku bingung dan jujur.
Tangan kanan Mia Oswald meletakkan bahan makanan dalam tas kertas di atas rak sebelahnya berdiri. Kemudian melepas mantel dan mengganti sepatu dengan sandal rumah. Aku pun mengikutinya.
Wanita yang sudah menghidupkan pemanas ruangan itu pun berdiri di depanku dan berkacak pinggang. “Memang hanya kau yang boleh bermuka datar? Hah?!”
“Kau berani denganku?”
Mia Oswald memutar bola matanya malas. “Sudahlah, lupakan, berwajah cemberut sepanjang naik metro itu melelahkan, Dom. Oh ya istirahatlah di kamarku jika kau mau. Aku akan memasak. Nanti jika sudah matang aku akan membangunkanmu.”
“Kamarmu?” ulangku mirip orang tolol. Sebenarnya untuk meyakinkan diri sendiri jika wanita yang sudah membawa dua tas kertas ini tidak sedang bercanda.
“Kenapa? Kau takut akan gatal - gatal karena tidak semewah kamar penthousemu?” tanyanya dengan senyum jemawa.
“Tidak,” ucapku cepat.
Dari mana dia bisa menyimpulkan hal seperti itu?
“Maaf Dom, tidak ada kamar tamu. Hanya ada dua kamar di rumah ini, satunya lagi kamar orang tuaku, jadi aku tidak mungkin membiarkanmu istirahat di sana.”
Aku diam. Menyerap informasi itu dengan baik.
“Atau kau mau pesan hotel di dekat sini? Atau kau mau duduk di sofa depan perapian sambil menonton TV?” tanya wanita itu kembali.
“Tidak perlu, aku akan istirahat di kamarmu.”
Kamar Mia, Dom, kamar Mia...
Entah kenapa hatiku jadi gembira.
Jadi, kami berpisah. Mia Oswald berjalan ke dapur, sementara diriku melangkah meniki tangga.
Ketika langkahku baru mencapai undakan ke tiga, aku mendengar suara musik klasik di putar dari arah dapur. Secara otomatis membuat langkahku terhenti kemudian memutar balik tubuhku untuk melihat apa yang sedang wanita itu lakukan.
Kuputuskan untuk bersandar pada pagar kayu warna coklat sambil melihat kedua tangan di dada saat melihatnya mulai sedikit mengayunkan badan mengikuti irama musik klasik. Mengambil beberapa jamur enoky dan wadah untuk mencucinya pun di sertai gerakan menari. Tanpa sadar wajahku tersenyum melihat Mia Oswald.
Satu lagi sisi lain dari wanita itu yang baru saja kuketahui.
Memasak sambil mendengarkan musik klasik di sertai sedikit gerakan menari. Sungguh menarik bagiku.
Saat wajahnya menunduk, rambut lurusnya menjuntai ke bawah. Tangannya yang penuh pun jadi tidak bisa menyingkirkan itu. Jadi Mia Oswald menggunakan lengannya. Tapi masih tidak berhasil.
Aku yang dari tadi diam mengamati dan menikmati pemandangan ini pun memutuskan untuk turun tangan. Berjalan ke arahnya sambil merogoh kantung celana jeansku. Mengambil sapu tangan yang kupakai untuk menutup wajahnya saat bercinta tadi siang.
Kala tubuhku sudah berada tepat di belakang tubuhnya, wanita itu kaget. “Astaga Dom, kenapa kau selalu hobi mengagetkanku? Dan kenapa kau tidak istirahat?
Eh, apa yang kau lakukan?” tanyanya saat aku mengumpulkan seluruh rambutnya menjadi satu.
Dia ingin memutar tubuh tapi aku menahannya. “Diamlah, aku hanya ingin membantumu mengikat rambut. Kulihat kau kesulitan mengendalikannya dengan tangan penuh. Bukankah suamimu ini sangat cekatan?”
________________________________________
2253 kata gengs
Semoga bisa ngobatin kangen ya
Well, thanks for reading this chapter
Makasih juga yang uda nyempetin baca, vote dan komen
Ini bonus photo Mia Oswald
Dominic Molchior
See you next chapter teman - temin
keep healty
stay at home
social distance
mental healt
wash your hand
and always pray for us
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
7 April 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top