Chapter 23
Selamat datang di chapter 23
Terima kasih untuk 100 ribu pembaca Affair with CEO, apa daya saya tanpa teman - teman semuanya
Dan maapekun kalo ini updatenya lama. Beberapa hari ini saya kena writer’s block syndrom guys. Tiap kali uda ngetik 1500 kata, saya hapus lagi karena nggak feel. Dan itu terjadi dari hari minggu sampe sekarang baru lancar nulis. Eh sekali lancar nulis, masih 1000 kata malah kepencet. Gegara kebiasaan nih, makan sambil ngetik, uda gitu jempol semua jarinya.
Mohon maklum ges, bukan maksud mau PHP kok 😭😭😭
Ya uda cukup dulu curcolnya
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote dan komen ya
Tandai jika ada typo (maklum jarinya jempol semua)
Thanks
Happy reading everyone
Hope you like it
❤❤❤
________________________________________
Dua pria yang masuk dalam list favoritku
°°Mia Oswald°°
________________________________________
Las Vegas, Nevada, 26 Desember
13.50 p.m.
Aku menyuntikkan kalimat Dominic Molchior tentang seberapa gelapnya kaca mobil ini sehingga tidak dapat di lihat dari luar ketika seseorang mengetuk - ngetuknya dengan keras, sementara diriku sendiri sibuk merapikan diri dengan kaki lemas.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu terdengar lagi. Ekor mataku menangkap pergerakan dari Dominic Molchior yang sudah memakai jaket kulitnya dan mentapku. Tangan pria bermata biru terang itu mengulurkan turtle neck dan jaket kulitku yang tadi dia buang asal. “Cepat pakai baju dan jaketmu lalu pindah ke kursi depan. Jangan lupa pakai seatbelt-nya. Aku akan turun sebentar!” titah pria itu dengan nada berat dan dalam mirip seperti saat memerintahkan sesuatu pada salah satu karyawan kantor.
Jika bukan sedang dalam keadaan aneh seperti ini mungkin aku akan protes karena semua ini adalah salahnya. Aku sudah memperingatkannya untuk tidak bercinta di dalam mobil! Apa lagi di parkiran gedung restaurant pada siang hari. Lihat bagaimana jadinya sekarang?!
Itu juga salahmu Mia, kau memberikannya peluang karena kau juga menginginkan pria itu di dalam dirimu! Tapi hatiku mengejek demikian.
Sebelum membuka pintu mobil bagian belakang, gerakannya berhenti dan menatapku kembali. Dominic Molchior mengulurkan tangan untuk menyentuh pipiku dan memajukan wajahnya untuk mengecup bibirku singkat. Ibu jarinya mengusap - usap pipiku usai mengatakan, “jangan berwajah seperti itu, nanti kita lanjutkan lagi setelah aku menyelesaikan orang itu!”
Aku speechless. Termenung cukup lama dengan jantung berdetak keras serta berbagai macam topik yang bersliweran dalam otakku. Salah satunya adalah wajah seperti apa yang kutampilkan saat ini sehingga mampu membuat Dominic Molchior memberi kesimpulan jika aku tidak rela ini berakhir hanya gara - gara seseorang menginterupsi kegiatan kami?
Aku kembali mengamati pria itu yang kini sudah berdiri di depan pintu mobil untuk berbicara dengan si pengetuk—yang wajahnya tidak kelihatan karena tertutup tubuh kekar Dominic Molchior, tubuh yang baru saja berhasil mengendalikan pikiranku untuk tidak bertanya tentang bagaimana keadaannya.
Maksudku, dia sebentar lagi akan mencapai pelepasan—aku bisa merasakannya karena Dominic Molchior semakin membantuku untuk mempercepat ritem kami—namun tiba - tiba saja harus berhenti. Apakah dia baik - baik saja? Kenapa malah seolah - olah aku yang terlihat tersiksa karena tiba - tiba saja berhenti?
Untuk beberapa saat mengabaikan pikiran itu, setelah memakai turtle neck dan jaket kulit serta pindah di kursi depan samping kemudi, aku memperhatikannya lagi.
Dominic Molchior sedang beradu argument dengan orang tersebut, aku tidak bisa mendengarnya. Dalam hatiku cukup penasaran sekaligus gugup. Menerka - nerka kalimat apa saja yang di ucapkan si pengetuk tadi. Namun Dominic Molchior seperti menularkan perasaan tenangnya padaku melalui sikapnya ketika mengobrol dengan orang tersebut. Setidaknya itu yang kupikirkan hingga aku melihat tangannya mengepal kuat, seperti ingin mematahkan leher si pengetuk.
Dengan cekatan aku melepas seatbelt dan membuka pintu, seketika aroma alkohol menderap di indra penciumanku. Memberiku kesimpulan jika orang yang tengah berdiri di depan Dominic Molchior sedang mabuk. Terbukti dengan cara berdirinya yang tidak sempurana, seperti siap jatuh kapan saja.
Berjalan tertatih menuju mereka, pikiranku masih bertanya - tanya. Kenapa Dominic Molchior marah hanya karena orang mabuk? Maksudku tentu saja dia akan marah pada orang jenis apa pun tanpa pandang bulu. Tapi bukankah tadi sikapnya sangat tenang? Kenapa sekarang kelihatan sangat marah?
Saat sibuk dengan terkaanku sendiri samar - samar aku mendengar orang tersebut mengatakan, “apa kau tidak bisa menyewa kamar hotel sehingga harus bercinta di dalam mobilku?!”
Seolah - olah menjawab terkaanku.
Fix, orang mabuk itu cari mati.
Pantas saja Dominic Molchior sangat marah, selain menahan sakit karena tidak mencapai pelapasan, buang - buang tenaga dan waktu, orang mabuk yang bicaranya tidak terkontrol itu pasti tidak tahu jika dia tidak hanya mampu menyewa suit di salah satu hotel bintang lima, tapi juga bisa membeli hotel tersebut beserta semua pegawainya. Dan mobilnya di akui oleh orang mabuk.
Saat jalanku sudah mencapai setengah meter dari mereka berdiri, aku mendapati pergerakan Dominic Molchior yang sudah mencengkram bagian depan mantel orang tersebut. Rahangnya mengeras dan memekik, “apa yang kau katakan dasar brengsek!”
Secepat kilat kutahan kepalan tinju Dominic Molchior yang sudah terangkat ke atas hendak melayangkannya pada wajah orang tersebut dan menyusupkan diri untuk memeluknya. Pria bermata biru terang ini reflek menghempaskan si pengetuk hingga tersungkur ke lantai, kedua tangannya juga mengepal kembali.
Aku bisa merasakan betapa keras debaran jantung Dominic Molchior dengan napas cepat. Tanda pria beraroma musk yang kini langsung menyesap ke dalam tubuhuku, benar - benar emosi. Aku berusaha meredakannya dengan mengatakan, “Dom, jangan terpancing emosi, dia mabuk, wajar dia menganggapmu tidak mampu menyewa kamar hotel dan salah mengenali mobilnya.”
Dominic Mochior menunduk untuk menatapku yang masih memeluknya. “Apa kau pikir aku marah hanya karena orang mabuk yang mengakui mobilku dan menganggapku tidak bisa menyewa sebuah kamar hotel?!” tukas Dominic Molchior. Nadanya terdengar sangat mengerikan.
“Maksudku, tentu saja kau juga marah karena itu.” Aku menengadah untuk menatap mata birunya yang sudah menggelap. “Lihat orang itu, dia mabuk berat, jadi jangan terpancing emosi karena tindakan dan omongannya,” tukasku realistis sambil menunjuk orang tersebut yang masih tiduran di lantai parkiran mobil. Sebenarnya posisinya kurang menguntungkan karena berada sedikiit di tengah jalan.
Dan syukurlah semua ucapanku cukup berpengaruh bagi Dominic Molchior yang sudah mengurai kepalan tinjunnya.
“Kurasa sebaiknya kita menolongnya,” cicitku pelan.
“Ck, Mia! Orang itu membuatku marah dan sekarang kau ingin kita membantunya?!” pekik Dominic Molchior tepat di depan wajahku. Kontan membuatku menunduk, kemudian menengadah lagi untuk menjawab, “posisinya sedikit di tengah jalan, mungkin saja nanti akan ada mobil yang lewat dan—pew.” Aku memperagakan tabrakan dengan tangan selaras pipi menggembung. Lalu melingkarkan tanganku kembali pada tubuh pria itu.
“Ck! Biarkan saja dia tertabrak!”
“Dom...”
“Tidak, sebaiknya kita pergi!” jawab Dominic Molchior cepat.
“Ayolah Dom...” Dan aku kaget dengan nada merajukku. Di luar kebiasaanku menggunakan nada seperti itu.
“Tidak, ayo pergi!” Dominic Molchior meraih tubuhku, hendak menggiringku ke dalam mobil namun aku berusaha bertahan di sini.
“Kalau begitu, aku akan memanggil petugas keamanan, jadi tunggulah di sini, beri kode pada mobil yang lewat agar tidak menabraknya,” ucapku sambil mengurai pelukan. Dominic Molchior reflek menangkap lenganku.
“Dengan kaki lemasmu itu?!”
“Uh Oh!” Aku reflek mengusap tengkukku karena malu.
Terdengar hembusan napas berat dari pria ini sebelum kembali bersuara. “Biar aku yang membawanya ke post keamanan,” tawarnya. Mengatakan itu dengan nada sangat di paksakan.
Aku memekik senang. “Really?! Dom, terima kasih, akan kubuatkan kau makan malam di rumahku!”
“Terserah kau saja! Sekarang masuklah mobil, pakai seatbelt dan kunci pintunya sampai aku kembali, aku tidak ingin ada manusia mabuk jenis apa pun yang berkeliaran lagi dan mengganggu,” tukasnya yang sebenarnya berhasil mengundang tawaku. Karena melihat wajah Dominic Molchior yang serius, aku jadi menahan diri untuk tidak mengudarakannya dan memilih berjalan ke pintu mobil samping kemudi, sementara pria itu menghamipiri orang mabuk yang masih tersungkur di lantai.
Sebelum menggendongnya Dominic Molchior menggerutu, “merepotkan saja! Kau sudah mengangguku, membuatku marah, sekarang aku harus menggendongmu?!” Dominic Molchior juga menendang - nendang kaki si pengetuk. Aku yang dari tadi tanpa sadar menghentikan langkah untuk mengamatinya pun reflek memanggil, “Dooommm...”
Dia pun menoleh. “Ck! Kenapa kau masih di sini? Cepat masuk mobil!”
“Baiklah Dom,” ucapku. Meneruskan langkah mengitari mobil menuju pintu samping kemudi, sesekali menoleh ke arah mereka.
Aku juga masih bisa mendengar Dominic Molchior menggerutu lagi. “Ck! Sebaiknya kuseret saja kau sampai post keamanan!”
“Doooommmm!”
***
Las Vegas, Nevada, 26 Desember
14.50 p.m.
Aku masih menahan tawa ketika mendapati wajah kesal Dominic Molchior yang sekarang sedang fokus menyetir. Sampai di titik di mana aku tidak dapat menahannya lagi.
“Hahaha.” Tawaku memenuhi mobil. Padahal aku sudah menutup mulutku dengan kedua tangan agar tidak terlalu keras, tapi tetep saja itu tidak berhasil karena membayangkan wajah luar biasa kesalnya ketika menggendong orang mabuk tadi menuju post keamanan.
“Diamlah!”
“Hahaha, maafkan aku. Hahaha.” Dari menutup mulut, aku sampai memegangi perut.
“Mia!” hardiknya, tapi aku masih tertawa.
“Haha... Aku paham sekarang Dom.” kataku saat sudah bisa sedikit menahan tawa. “Inikah yang kau sebut sebagai sensasi bercinta di dalam mobil?” Aku menggerakkan tangan membentuk tanda kutip ketika mengatakan ‘sensasi bercinta di dalam mobil.’ “Di ganggu orang mabuk dan menggendongnya ke post keamanan?” lanjutku kemudian tertawa lagi sampai mataku berair. Sangat menikmati wajah kesal Dominic Molchior yang tersiksa seperti ini. Karena ini pemandangan langka.
Maksudku, Dominic Molchior memang kerap berwajah seperti itu, namun alasannya sangat logis karena hal - hal yang tidak sesuai dengan standart kinerjanya, bukan sesuatu yang konyol seperti ini. Kapan lagi bukan bisa menertawakannya?
“Tertawalah sesukamu!”
Aku berusaha berdehem untuk meredakan tawaku. Kuputar tubuh untuk menghadapnya. “Kau berlebihan, sampai marah seperti itu pada orang mabuk yang mengganggu kegiatan tidak wajar kita—”
“Kegiatan tidak wajar kita?” ulang Dominic Molchior, memotong kalimatku yang belum rampung.
“Maksudku, kenapa kau marah dengan omonganmu sendiri? Kau yang mengatakannya sendiri jika bercinta di dalam mobil itu ada sensasi tersendiri. Inikah yang kau sebut sensasi? Dom? Halooo apa kau mendengarku?!” Aku tidak ingin berhenti mengejeknya. “Seharusnya kau tidak terpancing dengan omongan orang mabuk itu Dom.”
“Kau pikir aku marah hanya karena dia menganggu kegiatan kita dan meremehkanku?”
“Memangnya tidak?”
“Tentu saja alasan - alasan itu semuanya termasuk!” pekik Dominic Molchior nyaring. “Ck bisakah kau tidur saja? Kau tau kepalaku pusing mendengar semua kecerewetanmu!”
Aku berdecih dan mendengus, kemudian iseng mengambil grass grower di atas dashboard tapi tangan Dominic Molchior menepisnya.
“Jangan sentuh hadiahku!” hardiknya.
“Apa? Kau lupa aku yang memberikannya padamu?” tukasku tidak percaya kemudian mengambil grass grower itu lagi.
“Itu milikku sekarang! Kenapa kau ingin merebutnya?!” Dominic Molchior merebut grass grower dari tanganku mirip sekali dengan balita yang ngamuk jika mainannya di pinjam.
“Siapa yang ingin merebutnya? Astaga! Dasar baby Huy! Aku yang mebuatnya apa kau lupa?!”
“Tapi kau sudah memberikannya padaku, jadi itu milikku! Jangan merebutnya!”
Astaga, pertengkaram macam apa ini?
Aku baru tahu jika Dominic Molchior—CEO Cozivart Company yang terkenal diktaror dan otoriter—bersikap kekanakan hanya karena sebuah grass grower? Yang bahkan kubuat dari limbah serbuk kayu plus bibit rumput yang kubungkus dengan kain kasa dan kuikat dengan tali kemudian kutambahkan pernak - pernik untuk memunculkan nuasa natal? Astaga! Yang benar saja Dominic!
Aku tersenyum jemawa memandang pria itu yang sudah meletakkan grass grower di atas dashboard lagi dan fokus menyetir.
“Dasar pelit!” ejekku sambil menggerutu kemudian memilih untuk tidur karena badanku rasanya remuk.
***
Brooklyn, 26 Desember
18.03 p.m.
“Hei, Mia, bangun, kita sudah sampai.”
Aku mengerjab beberapa saat ketika lampu menyorot wajahku. Reflek mengangkat tangan untuk mengahalangi sinarnya dengan tangan kemudian bergerak menggeliat. Mengangkak kedua tangan untuk meregangkan otot - otonya, selaras dengan kepalaku yang menoleh ke arah Dominic Molchior yang masih memegang stir dan mengamatiku.
“Ayo turun,” ajaknya.
Aku mengucek - ngucek mata kemudian reflek bercermin dan merapikan diri sebentar sebelum membuka pintu mobil dan turun.
Angin musim dingin menerpa wajahku. Tanganku reflek merapatkan jaket yang kukenakan. Kususuri tempat ini dan mendapati tulisan rumah sakit.
Aku mengerjab beberapa kali. Benar, tidak salah lagi ini adalah rumah sakit tempat ayahku di rawat.
“Kenapa kau membawaku ke rumah sakit Dom?” tanyaku saat berusaha menyamakan langkah pria itu.
“Tadi pagi aku ijin meminjam putri Mr. Oswald, jadi aku juga laporan saat mengembalikannya.”
“Dom! Aku bukan barang!” pekikku. Dan itu membuatnya menarik sudut bibirnya ke atas walau sedikit tanpa menjawab pertanyaanku lagi hingga kami masuk di ruang rawat inap ayahku.
Dominic Molchior duduk di dekat brangkar—berbicara dengan ayah—sementara aku dan ibu duduk di sofa. Tanpa basa - basi ibu bertanya karena mendapati sesuatu di pergelangan tanganku—bekas lilitan seatbelt. “Kenapa tanganmu?” tanya beliau sambil menyentuhnya.
Aku reflek mendelik, menarik tanganku kemudian melirik Dominic Molchior yang masih asyik berbicara dengan ayah. Sebenarnya pemandangan ini cukup menyejukkan. Jika bukan karena harus menjawab pertanyaan dari ibu, aku pasti akan betah memandangi mereka lama - lama. Dua pria yang masuk dalam list favoritku.
Kembali menatap ibu yang sedang heran dengan sikapku, hatiku memerintah. Berpikirlah Mia, berpikirlah!
“Bekas kuncirku, mom tahu sendiri jika aku suka mengoleksi kuncir walau tidak memakainya dan suka melilitkannya di tangan.”
Bagus Mia, sejak kapan kau begitu?!
“Kau yakin itu bekas kuncir? Kelihatannya lebih besar. Dan kenapa kau memakai baju santai? Kau dan Mr. Molchior tidak sedang bekerja?” Ibuku mengernyit curiga. Di saat aku membuka mulut hendak mengatakan sesuatu Dominic Molchior sudah lebih dulu mendekati kami.
Dia tidak tahu betapa aku selega ini karena kehadirannya yang ternyata ingin pamit pulang. Secara tidak langsung mengalihkan pembicaraan ibuku untuk menjawab Dominic Molchior. “Terima kasih sudah mengantar putriku, Mr. Molchior,” jawab ibuku kemudian beralih menatapku. “Mia, antarkan Mr. Molchior sampai depan.”
Dengan senang hati mooommmm. Hatiku memekik riang.
Jadi sebagai anak yang baik, aku menuruti perintah ibuku untuk mengantar Dominic Molchior sampai depan. Sebelum pria berbadan tegap ini masuk mobil aku menahannya. “Terima kasih Dom, untuk hari ini. Apa kau yakin akan langsung pulang? Kau tidak lupa jika aku sudah berjanji memasakkanmu makan malam bukan?”
Dominic Molchior menatapku. “Ya, kau benar, kurasa kau sebaiknya menepati janjimu,” ucapnya sambil bersandar di depan pintu mobil dan bersedekap tangan.
“Baiklah, pertama - mata mari kita berbelanja bahan - bahannya terlebih dulu.”
________________________________________
2107 kata guys
Semoga mengobati kangen, sakit hati karena PHP dll ya
Oh ya tadi saya naroh keterangan cara bikin boneka horta alias grass growernya Dom lho, boleh di coba di rumah untuk mengisi kegiatan stay at home, untuk lebih jelasnya lagi temen temen bisa liat you tube
Well, bonus photo Mia Oswald ama ayahnya
Dom mau panen wol
Btw domba domba aja suka ya, apa lagi saya
Wkwkka abaikan halu
See you next chapter teman - teman
Keep healty
stay at home
social distance
don't forget to wash your hand
and pray
With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻
2 April 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top