Chapter 20

Selamat datang di chapter 20

Terima kasih sudah memenuhi kuota 155 vote dalam waktu empat hari, klean ngeten pun 👍

Well, Semoga teman - teman dapet feelnya di chapter ini yaaa biar makin klepek - klepek ama cerita ini

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Shared, tambahkan ke perpustakan atau ke daftar bacaan jika kalian menyukai cerita ini

Well, happy reading everyone

Hope you like it

❤❤❤

________________________________________

Di tempat yang tepat, bersama orang yang kurasa tepat

••Dominic Molchior••
________________________________________

Brooklyn, 26 Desember
07.05 a.m.

Mata Mia Oswald melebar, mulutnya menganga kemudian melihat bagian dari dirinya yang menjadikan keruhnya otakku pagi ini. Secepat kilat menyilangkan kedua tangan pada bagian itu dan berteriak nyaring. "Kkkkyyyaaaa dasar mesum!"

Bugh

Bugh

Bugh

Dan ya. Mia Oswald kembali menjadi wanita bar - bar yang memukuliku dengan celemeknya.

"Tunggu, hei hentikan!" pekikku memasang sikap defensive. Detik berikutnya dia berhenti dan lari ke kamar mandi, meninggalkanku yang hanya bisa terdiam cukup lama merenungkan apa yang baru saja terjadi untuk pertama kalinya dalam hidup seorang Dominic Molchior.

Begini, aku masih belum mengerti jalan pikiran wanita yang baru saja menyerangku dengan senjata celemeknya itu secara brutal. Salah siapa dia membukakan pintu hanya dengan mengenakan piama tidur satin warna ungu tipis? Ya, walau pun itu terdiri dari celana panjang dan atasan lengan panjang, tapi saat mataku tidak sengaja melihat bagian tersebut tidak mengenakan bra, itu tampak seperti menyambut dan menantangku secara bersamaan, itu sungguh... memperkeruh otakku.

Masalahnya adalah aku sudah tahu bagaimana bentuknya, bagaimana warnanya dan bagaiamana rasanya keindahan di balik piama satin tipis itu, jadi aku pasti gagal konsentrasi. Membayangkan dan mendambakan yang iya - iya. Walau pun sekeras apa pun mencoba fokus menatap matanya, namun pikiranku menjadi cukup liar karena itu. Dan sekarang, aku hanya berkata jujur agar dia sadar, agar aku juga tidak terpengaruh, tapi apa yang kudapatkan? Lemparan dan pukulan celemek berkali - kali? Parahnya lagi, aku tidak menggunakan kekuatan pria untuk melawannya.

Ckckck Dominic, kenapa kau jadi pria lemah dan menyedihkan di hadapan Mia?

Aku tahu, pikiran pria normal setiap setengah jam sekali pasti tidak jauh dari hal - hal tidak senonoh, namun bisakah wanita mempermudahnya dengan tidak memprovokasi kami-kaum pria normal-dengan mengenakan pakaian minim nan tipis atau pun transparan? Jika pria sudah gelap mata karena hal tersebut, di situlah kami yang di salahkan? Itu tidak adil sama sekali.

Well, satu jam kemudian setelah penampilannya berubah menjadi kasual ; mengenakan jaket kulit hitam sama seperti yang kukenakan-entah apa tujuannya mengikutiku memakai ini-jeans warna senada dan sepatu kets, kami sarapan dalam keheningan. Mia Oswald tetap memasak sarapan kesukaanku, tetap menyediakan minuman panas untukku, namun saat aku hendak membuka mulut, tangannya terangkat ke atas, mengkode agar aku tetap dalam mode senyap.

Dan anehnya lagi, aku seperti tidak bisa melawannya. Padahal biasanya, aku bisa mengatasi bagian ini. Itu berlangsung selama aku mengajaknya ke rumah sakit untuk pamit orang tua Mia Oswald hingga kami sampai di depan patung tulisan H'K Gordon Ramsay di Las Vegas beberapa jam kemudian-walau pun sepajang perjalanan wanita itu tidur.

"Oh My Gosh, Dom... Astaga aku tidak menyangka akan ke sini," pekiknya senang. Matanya berbinar - binar, bibir penuhnya terus - menerus unjuk gigi hingga dia melirikku.

Huh. Biarkan saja, kali ini aku akan tetap dalam mode senyap sampai dia menekal tombol mode dering, barulah aku akan bicara padanya.

"Dom?" panggilnya. Senyum yang tadi masih mengembang berubah cemberut karena sadar aku tidak merespon walau sedang memperhatikannya. Anyway wajah cemberutnya sedikit lucu dan menggemaskan.

Tunggu sebentar, kenapa aku...

"Dom?" panggilnya lagi. Namun aku masih diam menatapnya. "Dominic?" kali ini tangannya menarik - narik lenganku mirip bocah umur lima tahun yang membujuk ibunya agar di belikan permen warna - warni. "Maafkan aku, aku hanya..." melepas cekalan tangannya di lenganku, tatapan mata Mia Oswald berganti melirik ke sembarang arah untuk mencari kalimat yang tepat. "Malu," lanjutnya sambil menunduk, pandangannya beralih menatap sepatu ketsnya dan memainkan itu, sungguh, kali ini benar - benar mirip bocah umur lima tahun.

Aku masih diam, menjejalkan kedua tanganku ke dalam saku - saku jaket kulitku dan menatapnya dengan wajah datar.

"Dom, ayolah jangan seperti anak kecil," rajuk Mia Oswald.

Excuse me, siapa yang bersikap seperti anak kecil sejak tadi? Sekarang gantian aku yang bersikap seperti ini, dia mengataiku? Wanita memang sangat luar biasa maha benar.

Detik berikutnya matanya memicing dengan kepala dimiringkan. "Baiklah," gumamnya. Tangan kiri Mia Oswald terulur, memperagakan seperti memegang remote control kemudian menggerakkan jari seolah memindah saluran TV. "Oke, selesai, aku sudah mengganti mode senyapmu menjadi mode dering, sekarang kau boleh bicara."

"Kau mungkin menekan tombol yang salah, aku masih dalam mode getar."

Mia Oswald tertawa. Tawa renyah di tengah musim dingin dan kerumunan orang - orang yang hendak masuk Hell's Kitchen di sebelah kami berdiri. "Kau ternyata tidak sekaku yang kupikirkan Dom, kau juga bisa punya selera humor."

Aku masih diam karena merasa tidak ada yang lucu sama sekali di sini.

Melihatku seperti itu, Mia Oswald mendengus dan menghembuskan napas kasar. Jangan lupakan bibirnya yang mengerucut itu. "Katakan, tombol yang mana yang harus kutekan untuk mengaktifkan nada deringmu," tukasnya sambil berkacak pinggang.

"Aku yakin kau tau."

"Uh oh! Tentu saja aku tau!" jawabnya sambil mencibir. "Sekarang tutup matamu agar bisa menekan tombol deringmu."

Apa yang akan dia lakukan? Memberiku sebuah ciuman? Tepat seperti apa yang kumaksud?

"Apa yang kau tunggu? Cepat tutup matamu!" omelnya.

Baiklah akan kuikuti permainannya. Jadi yang kulakukan sekarang adalah menutup mataku, masih dengan kedua tangan yang kujejalkan di dalam saku. Menunggu bibirnya menyapu bibirku namun tiba - tiba sesuatu terasa di dahiku. Bukan ciuman, melainkan sentilan jari - jari dengan kuku - kuku indahnya.

Reflek membuka mata, aku mendapati Mia Oswald tertawa lebar.

"Hei! Beraninya kau menyentil kepala Santa Clause-mu hari ini!" protesku. Mengusap bekas sentilannya dengan telapak tangan.

"Kau bahkan tidak punya janggut putih dan perut buncit! Tapi setidaknya, aku bisa mengganti mode getarmu menjadi mode dering maksimal. Buktinya kau sudah kembali mengomel-kkkyyyaaaa..."

Sebelum menyelesaikan kalimat, aku melangkah ke arahnya, namun itu malah membuat Mia Oswald berlari. Alhasil, aku malah ikut mengejarnya. Berlari mengitari patung tulisan H'K. "Kemari kau anak nakal!" pekikku.

"Kkkyyyaaa maafkan aku bos, aku hanya bercanda, jangan pecat aku!" teriak wanita bar - bar itu yang sekarang sudah akan menaiki undakan depan pintu masuk namun aku sigap menangkapnya dengan mudah. Membawa tubuh wanita itu dalam rengkuhanku sambik berbisik tepat di telinganya. "Begini Miss Oswald, rasa - rasanya kau seperti anak nakal yang harus di hukum!"

Ketika dia akan menjawab, tanganku menekan rahang Mia Oswald hingga bibirnya manyum menyerupai paruh bebek. Satu tangannya ikut melingkar di pinggangku, satu tangan yang lain berusaha melepas cengkraman tanganku di rahangnya.

Dia berusaha bicara dengan bibir itu. "Lehvashan ak-"

Bagaimana caranya agar tidak terpengaruh dengan bibirnya yang penuh menggoda ini? Tidak bisa. Tidak ada obat penawar untuk yang satu itu kecuali dengan langsung mengecupnya, walau hanya sekilas. Setelah melakukan itu aku menjauhkan wajah sejengkal untuk melihat reaksinya yang hanya mengerjab beberapa kali.

Mia Oswald sangat lucu dan menggemaskan membuatku tidak bisa mengontrol ekspresi wajah untuk tidak tertawa. Seluruh badanku bergetar menertawakan reaksinya.

"Ava hang hau tehtawahan?" tanyanya masih kesulitan bicara karena tanganku masih bertengger di sana. Dia juga memasang raut wajah yang di usahakan sedatar mungkin. Kurasa dia sedikit berhasil.

"Kau, tampak seperti remaja yang baru saja kehilangan ciuman pertamanya. Astaga Mia, padahal kau sudah berpengalaman dalam hal ciuman, maupun posisi saat bercint-hhmmpp."

Aku tercekat, seperti menelan kalimatku sendiri saat Mia Oswald menciumku secara tiba - tiba.

Wanita itu menciumku.

Tanpa paksaan, penuh kesadaran, dan tidak sedang dalam keadaan mabuk.

Biasanya aku yang memaksa menciumnya. Namun kali ini?

Sekali lagi aku menyuntikkan kalimat itu dalam otakku yang mendadak lumpuh dalam berpikir.

Mia Oswald menciumku.

Mia Oswald menciumku.

Mia Oswald menciumku.

Wanita itu menciumku! Hanya sekilas, seperti yang kulakukan tadi, namun mampu membuatku mematung dan tanpa sadar melepas cengkraman tanganku pada rangannya.

"Lihat, sekarang gantian kau yang mirip seperti itu!" omelnya kemudian melepaskan diri dari rengkuhanku dan menggeret lenganku untuk masuk Hell's Kitchen.

"Ayo masuk, aku sudah lapar," ajaknya, kemudian melilitkan tangannya kembali ke pinggangku. Dan aku reflek merangkul tubuh Mia Oswald sambil berjalan memasuki Hell Kitchen mirip pasangan yang merayakan natal bersama.

Pasangan.

Aku megulang kata itu dalam hati. Kenapa rasanya kali ini aku tidak keberatan dengan gagasan itu? Sejak dia baru saja menciumku? Dan memilitkan tangan di pinggangku? Atau sejak aku menilik kehidupan pribadi wanita itu? Mebuka masalah yang sama sekali tidak ingin dia ceritakan pada orang lain?

Baru kali ini aku merasakan detak jantungku terus meningkat dengan wajah panas hingga menjalar ke telingaku.

Berusaha menghiraukan perasaan aneh ini aku fokus kembali. Melihat salah seorang pramusaji menyambut kami, meminta jaket kulit yang kami kenakan untuk menyimpannya, kemudian menunjukkan meja yang telah kupesan.

Jangan berekspektasi terlalu tinggi dengan meja kami. Aku sengaja pesan meja yang biasa saja di sebelah dinding kaca yang berlatar belakang pemandakan kota Las Vegas di siang hari. Bukan lantaran pelit, tapi aku hanya ingin suasana santai, bukan harus makan dengan setelan jas formal. Karena aku ingin bersantai dengan orang yang sedang duduk di seberangku-orang yang kurasa tepat-mengobrol tanpa batasan antara atasan dan sekretaris. Aku pikir itu kesederhanaan yang membuat kami nyaman.

Seduduknya kami, pramusaji lain menuangkan welcome drink, setelahnya memberikan buku menu sambil bersiap mencatat pesanan kami. Saat sibuk memilih menu sesekali ekor mataku melirik Mia Oswald yang seperti bahagia menatap menu - menu ini.

"All of limited edition menu, please," ucapku pada pramusaji tadi. Ekor mataku kembali menagkap Mia Oswald yang sedang melebarkan matanya dengan gembira.

"Baik, tunggu sebentar, kami akan membuatkan pesanannya," jawab pramusaji tadi kemudian pergi. Saat itulah Mia Oswald mengajakku biacara lagi. "Kau tau Dom, baru kali ini aku makan siang dengan lima menu yang berbeda, di tempat keren seperti ini. Oh ya, aku belum menjawab soal pesta topeng yang kau tanyakan padaku kemarin."

"Lalu apa jawabanmu?" tanyaku setelah meminum seteguk welcome drink yang tersaji di atas meja kami.

Mata Mia Oswald lagi - lagi melebar bahagia. "Kau tau, aku suka sekali pesta jenis apa pun, karena di sana bisa mencicipi berbagai jenis makanan masakan koki - koki terkenal. Mulai dari makanan pembuka sampai dengan kue - kue kecil atau makanan penutup yang mereka sajikan. Rasanya sangat luar biasa. Kadang aku diam - diam mencatat dalam hati untuk mencari resepnya di internet. Kemudian akan mencoba membuatnya jika uangku masih sisa. Jadi aku tidak akan melewatkan kesempatan ini!"

Aku pikir dia akan menolaknya!

Sial! Aku harus menyingkirkan mata William!

Aku mengamati getsture tubuhnya dengan tenang, sambil sesekali menyesap minuman ini. Kemudian menanggapi. "Baiklah. Well, apa yang sudah berhasil kau buat dari resep - resep itu?"

"Masih beberapa saja, french toast seperti yang biasa kumasak untukmu, scrambled egg ala Gordon Ramsay yang dua hari lalu kumasak untukmu, chocolate mousse, truflle, sandwich sederhana ala Matthew." Mia Oswald mengekspresikan tangannya. "Uh oh! Kau tau kan Matthew?" tanyanya.

Aku dengan sangat menyesal menggelengkan kepalaku pelan.

"Koki terkenal dari Australia, koki idola keduaku setelah Gordon Ramsay. Oh, dan baru - baru ini aku membuat cream brulé. Kebanyakan manu sarapan dan dessert. Sebenarnya aku suka memasak dessert," lanjutnya masih dengan semangat yang sama.

Mia Oswald selalu cerewet, namun kali ini aku sama sekali tidak keberatan dengan ocehannya. Malah menikmati obrolan ringan kami seperti sekarang hingga makanan yang aku pesan tiba dan tersaji di meja.

"Ngomong - ngomong aku sudah memberitahumu tentang koki idola keduaku, apa kau tidak ada cita - cita mengajakku ke sana?" tanyanya sambil tersenyum, menyendok pudding dengan anggun lalu memasukkannya dalam mulut.

"Mungkin setelah kau membuatkanku salah satu dari sekian banyak dessert yang kau sebutkan tadi," jawabku asal namun ternyata mendapat tanggapan serius dari wanita itu.

"Benarkah? Astaga Dom, padahal aku hanya sedang bercanda. Tapi tidak apa - apa jika kau serius menanggapinya. Aku juga pasti dengan senang hati pergi ke sana denganmu, apa lagi itu gratis," ucapnya yang reflek menepuk tangannya sekali sambil memandang langit - langit restaurant ini.

Ha! Biasanya wanita akan sangat senang dengan berlian, emas, perak, atau barang - barang branded. Tapi Mia Oswald? Senang hanya karena di ajak makan di tempat koki idolanya. Maksudku, semua orang memang akan senang ketika di ajak ke tempat impian mereka.

Dan ketika Mia Oswald mengatakan akan dengan senang hati pergi denganku ke sana, entah kenapa dengan senang hati juga aku akan mengabulkannya. Membuat Mia Oswald senang sangatlah mudah-di luar urusan ranjang, maksudku.

"Atur saja jadwalnya," ucapku.

"Kalau begitu, aku akan segera membuatkamu sesuatu setelah ayahku sembuh total," ucapnya semangat. "Em, tentu saja setelah aku kembali ke Phoenix dan menemukan apartement baru dengan gajiku bulan depan," lanjutnya berubah sendu.

"Apa kau lupa aku masih punya satu kado natal di Phoenix untukmu?"

"Tidak, aku mengingatnya. Sebenarnya aku penasaran tentang itu, apa boleh aku menanyakannya sekarang? Kau tidak akan membiarkanku mati penasaran karena hal ini kan Dom?" ujarnya.

Aku tersenyum kilat. "Yang perlu kutekankan sekali lagi adalah, ini kado, jadi kau tidak bisa menolaknya."

"Apa itu sesuatu yang bagus?" tanyanya penuh semangat.

"Kurasa dan sangat bermanfaat, tentunya. Tunggu saat kau kembali ke Phoenix."

Mia Oswald mencibir. "Baiklah, aku tidak akan memaksamu untuk mengatakannya," jawabnya dengan lemah. "Dom, sebenarnya aku juga sudah menyiapkan kado natalmu."

"Benarkah?" Entah kenapa kali ini aku lumayan penasaran dengan kadonya.

"Aku akan memberikannya setelah kita selesai makan."

________________________________________

Kira - kira kadonya apa ya?

Well, 2083 kata, siapa yang mau protes terlalu pendek?

Sebenernya guys, saya itu takut kalo bikin chapter panjang temen - temen bakalan bosen bacanya

So gimana sama chapter ini?
Masih kerasa pendek?
Atau malah bosenin?

Kasih masukan ya teman, biar saya bisa koreksi diri buat lebih baik lagi dalam kepenulisan selanjutnya

Makasih, yang uda sempetin baca, nyempetin vote dan komen juga

Btw guy, saya mau bagiin info tentang tata cara pembuatan hand sanitizer buat temen - temen yang kehabisan stok.

Ada beberapa bahan kimia yang di butuhkan guys buat bikin hand sanitizer, jadi temen - temen bisa beli bahan - bahannya di toko bahan kimia yang ada di kota kalian

Ini resmi dari Badan pengawas obat dan makanan, jadi jangan takut kalo cuma kaleng - kaleng

Semoga bermanfaat

Well, bonus photo Mia Oswald (anggep aja ini pura puranya mamam di Hell's Kitchen yes)

Dom lagi mode wild boy

See you next chapter, after 155 vote again yeeesss?

Keep healty (minum vitamin bila perlu untuk daya tahan tubuh), jangan lupa berdo'a, karena usaha tanpa do'a itu sia sia and don't forget wash your hand guys

With LLove
©®Chacha Prima
👻👻👻

20 Maret 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top