Chapter 19

Selamat datang di chapter 19

Terima kasih sudah memenuhi kuota 150 vote di chapter sebelumnya dalam waktu tiga hari, klean 👍

Well tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo (kesukaan Mr. CEO nih typo, sampe di cariin kemana - mana)

Thanks

Happy reading everyone

Hope you like it

❤❤❤

________________________________________

Bagaimana caranya
agar tidak terjerumus pesona
Dominic Molchior?

°°Mia Oswald°°
________________________________________

Brookly, 25 Desember
15.00 p.m.

“Mia, apa yang sedang kau lakukan?”

Pertanyaan ayah tidak membuatku menghentikan aktivitas mengetuk - ngetuk dagu dengan ponsel sembari  jalan lalu lalang di depan sofa ruang rawat inap—yang sedari tadi kulakukan setidaknya sudah hampir lima puluh kali—sejak tadi siang, sejak mengakhiri panggilan Dominic Molchior di telpon.

“Mia?” panggil ayah lagi, kali ini aku berhenti untuk menatap beliau. “Tidak ada,” jawabku singkat sambil mengendikkan bahu, mengambil jeda beberapa detik untuk mengamati ponsel dan memutuskan duduk di sebelah tempat ayahku berbaring setengah duduk serta meletakkan kepalaku di atas kasur sejajar tangan ayah dengan posisi wajah menghadap beliau.

“Apanya yang tidak ada, kau seperti orang bingung,” ucap ayah sambil mengusap kepalaku.

“Em, bagaiamana menurutmu jika kau di beri kado sesuatu yang kau inginkan dari dulu, dad?” tanyaku ragu.

“Tentu saja dad akan dengan senang hati menerimanya, memangnya apa yang perlu di pikirkan lagi?” jawab beliau secara realistis. Dan aku juga yakin semua orang pasti akan menjawab demikian.

“Begitukah? Jika kau menolaknya?”

“Pertama kenapa aku harus menolaknya? Bukankah kau bilang itu kado yang kuiginkan dari dulu? Kedua, aku akan memikirkan bagaimana perasaan orang yang memberiku kado, pasti dia akan kecewa. Mungkin saja dia sudah susah payah menyiapkan kado untukku tapi aku malah menolaknya, bukankah itu akan menyinggung perasaannya?” jawab ayah secara lugas. Membentuk pendapat baru tentang bagaimana perasaan Domimic Molchior jika seandainya aku menolak ajakannya ke Hell's Kitchen yang bahkan sudah dia reservasi.

“Tapi bagaimana jika—” Aku menggantung kalimat untuk memikirkan bagaimana analogi yang tepat untuk ini namum mendadak kehilangan kata - kata. “Lupakan saja,” lanjutku kemudian menghembuskan napas perlahan.

“Jadi, itu yang membuatmu bingung?” Ayah kembali bertanya.

Aku memutar bola mata ke beberapa arah sebelum menghembuskan napas pelan lagi. “Lupakan saja dad.”

Sementara ayah sendiri masih mengusap rambutku, beliau hanya mengangkat kedua alisnya pertanda bingung.

“Apa dad sudah merasa lebih baik?” tanyaku.

“Kau sudah menanyaiku seribu kali, ayolah katakan apa yang membuatmu bingung?” jawab ayah yang tampaknya masih sedikit penasaran.

Beberapa saat aku menimbang keputusanku untuk menceritakan pada ayah. Namun baru saja akan membuka mulut untuk mengutarakan alasan yang sebenarnya, ibuku yang baru keluar dari kamar mandi ruangan ini menyahut lebih dulu. “Dia mengkhawatirkanmu karena akan tugas kerja ke Las Vegas besok pagi,” kata ibu sambil berjalan ke arah kami dan mengambil duduk di sebelahku.

Sekali lagi aku baru mengacungkan tangan dan membuka mulut tapi ibuku menginterupsi. “Memangnya apa lagi yang kau pikirkan? Bukankah kau seharusnya memang pergi?!”

Masalahnya aku tidak pergi untuk kerja mom! Batinku berteriak. Dan masalahnya lagi, bagaimana caraku untuk menatap pria itu besok pagi? Bersikap seolah - olah kami hanya pergi makan seperti seorang boss dan sekretaris, bukan dua orang yang baru saja bercinta dengan liar? Huh? Bagaimana caraku untuk melakukannya?

Aku tahu hari di mana harus menatap Dominic Molchior dengan normal pasti akan datang, tapi maksudku, haruskah secepat ini aku bertemu dengannya lagi? Aku bahkan berusaha keras untuk tidak memanggil nama depannya ketika menelponnya agar dapat berinteraksi dengan normal.

Aku menurunkan tangan yang masih mengacung di udara dan meletakkanya di atas kasur, juga menegakkan kepala yang masih melekat di sana. “Apa dad yakin sudah baik - baik saja? Mungkin aku akan bilang ke Dom—em maksudku ke Mr. Molchior jika tidak bisa ikut ke Las Vegas.”

“Apa itu yang membuatmu bingung?” Ayah kembali bertanya dengan pertanyaan sebelumnya.

“Ya, kurang lebih,” jawabku sambil memutar bola mata dan tangan bebas berekspresi.

“Kukira ada kaitannya dengan kado yang baru saja kau tanyakan. Jika hanya itu yang membuatmu bingung, tidak usah khawatir, dad sudah merasa jauh lebih baik. Dan pergilah bekerja.”

Aku menggigit bibir sebentar sebelum menjawab. “Tidak, aku akan menjaga dan merawat dad di sini.”

“Jika kau tidak ikut, siapa yang akan mendampingi Mr. Molchior?” sahut mom.

Mommy-mu benar, bukan maksud kami mengusirmu, tapi Mr. Molchior sudah membantu dad begitu banyak, sebaiknya kau juga membantunya dalam urusan kerja.”

Kenapa malah Dominic Molchior jadi kelihatan pamrih membantu ayahku? Tapi aku sadar jika itu hanya pendapat ayah karena bukan seperti itu kenyatannya. Justru pria itulah yang sudah berbaik hati mengajakku ke Hell Kitchen sebagai kado natal tapi sepertinya aku yang tidak tahu diri jika menolak ajakannya.

“Baiklah aku akan pergi, tapi biarkan aku menjaga dad sampai nanti malam.”

“Maafkan kami Mia, kau bahkan harus bekerja di saat natal.”

Astaga aku ingin berteriak bahwa itu sama sekali bukan pergi bekerja. Tapi aku tidak bisa. Jadi kuputuskan untuk mengambil sisi positive dari sini. Anggap saja aku sedang liburan, dan liburan yang paling aku nanti - nantikan ke tempat yang paling ingin kukunjungi sepanjang tahun.

Well, malam harinya aku menelpon Dominic Molchior. Pada dering pertama pria itu sudah mengangkat telponku, seakan - akan selalu siap siaga dan sudah menungguku dari tadi siang.

“Halo,” sapaku sambil mengayun - ngayunkan kaki saat duduk di deretan kursi koridor rumah sakit yang sepi.

“Jika kau menelponku hanya untuk memberiku kabar buruk, lebih baik matikan sekarang,” ucap Dominic Molchior yang bahkan belum menjawab sapaanku. Dasar! Seharusnya aku marah bukan? Tapi anehnya senyumku malah mengembang begitu lebar, walau Dominic Molchior tidak dapat melihatku saat ini. Aku jadi membayangkan wajahnya yang selalu kaku itu.

“Jika aku memberimu kabar baik?” tanyaku.

“Aktifkan video call-nya, aku ingin melihatmu,” jawabnya.

Entah kenapa rasanya ada seberkas warna merah yang menjalar ke seluruh wajahku, membuatnya menjadi panas.

Bagaimana ini? Sepertinya aku belum siap melihat wajahnya.

Masih menahan senyum aku kembali bertanya, “kenapa harus?”

“Ayolah, kali ini aku memaksa.”

Aku memegang pipiku, menarik syal menutupi sebagian wajah agar tidak kelihatan jika sedang senyum terus menerus. “Baiklah tuan pemaksa.”

Detik berikutnya aku mengaktifkan video call dan terpampanglah wajah pria itu memenuhi layar ponselku.

“Kenapa kau menutupi wajahmu dengan syal? Apa terlalu dingin di sana?” tanya Dominic Molchior.

“Ya, Desember ini lebih dingin dari tahun lalu, oh apa yang sedang kau lakukan? Sepertinya di belakangmu sangat ramai orang?” tanyaku implusif karena melihat di belakang Dominic Molchior begitu ramai orang - orang berpakaian mirip pesta, ada juga William Molchior sedang melingkarkan pinggang pada seorang wanita berambut pirang, mereka tengah tertawa bersama. Sayup - sayup juga terdengar alunan musik lembut.

“Pesta natal ala keluarga Molchior. Abaikan itu,” jawabnya. “Aku akan menjauh jika kau terganggu.”

Berikutnya pria itu bergerak untuk pindah tempat.

“Dom, tidak perlu menjauh, aku akan mengakhiri video call ini, lagi pula aku hanya memberitahumu tentang itu.”

Menghiraukan kata - kataku, Dominic Molchior tampak terus berjalan berpindah tempat ke taman mawar merah yang masih mekar di musim dingin. Ada beberapa lampu - lampu yang menghiasi taman itu, sangat menawan. Ngomong - ngomong di mana itu? Aku belum pernah melihatnya di Phoenix.

Beralih ke pria itu, sembari duduk, dia menjawab, “tidak perlu terburu - buru, aku memang sedang menghindari pesta semacam itu. Jadi terima kasih sudah menyelamatkanku.”

Apa aku tidak salah dengar? Dominic Molchior berterima kasih padaku?

“Jadi karena itu kau cepat - cepat mengangkat telponku.” kukira kau memang menungguku. But, why this is becoming to important now?

“Begitulah. Ngomong - ngomong soal pesta, William memintaku untuk mengajakmu ke pesta topeng malam tahun baru.”

“Benarkah? Kenapa dia tidak memintaku sendiri? Kenapa harus melalui dirimu?”

“Karena dia takut kau akan menolaknya, jika aku yang mengajakmu pasti kau tidak bisa menolak.”

“Kenapa aku tidak bisa menolakmu? Jangan terlalu percaya diri tuan pemaksa.”

Dominic Molchior tampak tersenyum miring pada layar ponsel. “Bukankah kemarin malam aku tidak memaksamu untuk—”

“Dooommm! Sampai jumpa besok!” pekikku kemudian memutus sambungan telpon secara sepihak agar dia tidak perlu mengatakan bagian itu.

Brooklyn, 26 Desember
05.30 a.m.

Dddrrrttt...

Aku memaksakan netra untuk terbuka begitu mendengar panggilan masuk dari ponselku. Tapi rasanya mataku masih lengket, jadi kuraih ponsel itu dengan meraba nakas kemudian menggeser layar ponsel lalu menempelkannya pada telinga tanpa memindahkan kepala yang masih bertumpu pada bantal empuk. “Aloo...” sapaku dengan mata terpejam. Suaraku mungkin sudah mirip singa yang meraung. Benar - benar masih enggan untuk bangun sebab semalam tidur larut malam karena sibuk mencari baju yang cocok untuk pergi ke Hell's Kithen. Gugup sendiri karena akan makan di sana atau karena Dominic Molchior?

“Bukakan pintunya, aku di luar,” kata orang di seberang sambungan. Dan aku langsung terbelalak lebar ketika sadar siapa yang sedang bicara.

“Tu-tunggu sebentar aku... Aaaarrrrgggghhhh.”

Gubrak

“Halo Mia? Ada apa? Kau tidak apa - apa?”

Aku meringis memegangi pinggang setelah jatuh di lantai karena tersandung lilitan selimut tebal.

“Tidak, aku tidak apa - apa, aku hanya terjatuh dari kasur. Tunggu sebentar.”

Secepat kilat aku melesat menuruni tangga dengan hati - hati kemudian membuka pintu dan terpampanglah Dominic Molchior dengan jaket kulit hitamnya.

Baru kali ini aku melihatnya berpakaian seperti ini. Biasanya dia selalu tampak mengenakan setelah dengan vest, atau dengan jasnya. Atau aku juga melihatnya tidak mengenakan ap—ya kau tahu sendiri apa yang maksudku.

Pandanganku menyusuri rambut hitamnya yang tertata rapi. Seingatku semalam dia belum bercukur dan sekarang sudah. Sayang sekali, padahal aku suka jambangnya dibiarkan sedikit tebal—bukan berarti gondrong.

Astaga apa yang sudah kupikirkan?

Sadar terlalu lama menatapnya, Dominic Molchior mulai bicara. “Kau bisa melanjutkan kegiatan pengamatanmu nanti. Sekarang apa kau tidak mempersilahkanku masuk? Di luar sangat dingin.”

Aku ternganga, malu, mengerjab beberapa kali sebelum menjawab. “Oh, ya, silahkan masuk. Lepas mantelmu dan duduklah, aku akan membuatkanmu minuman panas,” ucapku kemudian terburu - buru pergi ke dapur dan menyiapkan semuanya tanpa menoleh ke arah pria itu berada. Oh ya mungkin aku juga akan menyiapkan french toast kesukaan pria itu.

“Apa kau yakin baik - baik saja?” tanya Dominic Molchior. Suara pria itu sedikit jauh, mungkin dia duduk di ruang tamu.

“Ya, hanya jatuh dari kasur, bukan masalah besar,” jawabku sedikit berteriak tanpa menoleh ke arahnya.

Saat tengah sibuk mengubek kabinet dapur, tiba - tiba Dominic Molchior bersuara. “Sepertinya aku kehilangan sesuatu.”

Aku berbalik badan, mendapati pria itu sudah duduk di kursi meja makan. “Apa yang hilang? Apa kau meninggalkan sesuatu kemarin? Tapi kurasa tidak ada barangmu yang tertinggal di sini, aku sudah memastikannya saat bersih - bersih kamar. D-dan depan perapian, tidak ada yang tertinggal. Mungkin barangmu jatuh di suatu tempat dan mungkin itu bukan di rumahku.” Karena terlau gugup di depannya aku malah nerocos panjang kali lebar tanpa jeda sedikit pun. Membuat senyum Dominic Molchior terbit walau sedikit.

Tunggu sebentar. Pria ini tersenyum? Bukan jenis senyum miring atau senyum meremehkan. Tapi benar - benar senyum. Walau pun kilat dan nyaris tidak kelihatan, tapi aku yakin dia tersenyum. Karena sedari tadi tatapanku tidak lepas darinya.

“Tapi aku yakin kehilangan sesuatu,” jawabnya tanpa memutus pandangannya.

Sebenarnya aku tidak suka tatapan intimidasi Dominic Molchior, itu benar - benar membuatku tidak nyaman. Di tatap seperti ini seolah - olah sedang menyihirku, dan aku harus diam sendiri. Matanya selalu berhasil mengunci mataku karena warna biru terang itu. Dan turtle neck hitam mencetak jelas bagaimana bentuk tubuhnya yang menawan.

“Tidak usah terlalu di pikirkan. Mungkin kau bisa membantuku membuatnya lagi.”

Membuatnya lagi? Memangnya dia membuat sendiri barangnya yang hilang? Dan apa yang bisa kubantu dari itu?

Karena saking penasarannya, aku bertanya. “Apa barangnya berharga? Kau membuatnya sendiri? Apa yang bisa kubantu?”

“Itu bukan barang, tapi kurasa itu cukup berharga.”

“Apa itu?”

Hickey hasil karyaku di tubuhmu. Beberapa dari itu sudah mulai pudar. Mungkin kau bisa membantuku membuatnya lagi di beberapa tempat,” tukas Dominic Molchior dengan santai. “Dan Mia, lain kali pakailah jaket saat membukakan pintu. Kau tau? Puncak dadamu yang mencuat itu sangat menggangguku.”

________________________________________

Kira - kira abis ini mereka ngapain ya
Jadi pergi ke Las Vegas nggak tuh?
Atau bobok aja di rumah Mia?

Well, thanks for reading this chapter

Thanks jug yang uda jadi pembaca aktif dengan memberikan dukungan bagu saya melakui komen dan vote

Jangan bosan - bosan buat mampir ya (di work ini mau pun di work saya yang lain)

Biar samaan pake jaket kulit

Mau kemana Dom?

See you next chapter after 155 vote

Lho thor kok nambah terus sih votenya?
#biar saya bisa leyeh leyeh rebahan dulu 😂

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

16 Maret 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top