Chapter 17

Selamat datang di chapter 17

Terima kasih sudah memenuhi expectasi 150 vote di chapter sebelumnya
Teman, kalian mengagumkan

Well, jangan lupa tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo (tandai aja pokonya walau pun Mr. CEO lagi liburan)

Thanks

Happy reading everyone

Hope you like it

❤❤❤

______________________________________

Entahlah, aku belum pernah
mengalami gejala
kegilaan seperti ini sebelumnya
Apa lagi di sebabkan oleh orang seperti Dominic Molchior
Benar - benar tidak ada dalam kamusku

°°Mia Oswald°°
______________________________________

Brooklyn, 25 Desember
05.30 a.m.

Udara musim dingin berhembus, menyentuh kulit lenganku yang telanjang.

Tunggu sebentar. Telanjang?

Aku reflek membuka mata dan duduk. Mengamati seluruh tubuh polosku dari balik selimut tebal. Seluruh tubuh dengan beberapa tanda merah keunguan di leher, dada, pundak, perut dan paha. Dan aku yakin di punggung juga pasti banyak sekali. Almost in every where of my body. Tampak jelas sekali pada cermin di depan kasurku.

Gosh!

Hanya satu nama yang dapat membuatku seperti ini, yaitu Dominic Molchior.

Gosh!

Aku reflek menutup seluruh tubuh hingga kepala dengan selimut ini kemudian mengerang keras. Berguling ke sana ke mari sampai jatuh ke lantai beralaskan karpet karena salah tingkah. Pipiku panas, jantungku berdetak keras, dan entahlah senyumku mengembang sendiri ketika mengingat apa yng kami lakukan semalam. Di malam natal.

I'm blushing

Memikirkan sekali lagi bagaimana panasnya percintaan kami di tengah musim dingin, aku menangkap hal lain dari Dominic Molchior. Pria bermata biru itu seperti menunjukkan sisi lain padaku. Bukan Dominic Molchior yang pemarah dan suka memerintah, bukan juga pria yang penuh intimidasi serta sakasme.

Dominic Molchior memang menghujamiku dengan sangat keras, brutal dan kasar. Ini juga merupakan hal baru bagiku. Dan anehnya lagi aku menyukainya. Apa sekarang aku termasuk seorang masokis?

Namun lain halnya dengan segala perlakuannya itu, ucapan Dominic Molchior sangatlah lembut, sangat hati - hati dan sangat... Apa ya? Aku kurang mampu mendiskripsikannya. Memang bahasa yang dia gunakan tidak memaksaku, tapi seolah - olah tatapan matanya selalu menuntutku. Seperti menyihir, mengunci dan menghipnotisku. Dan itulah yang membuatku melemparkan diri dengan suka rela di bawah kungkungannya. Di atas kuasa semua perlakuan Dominic Molchior dengan kalimat persetujuanku yang terucap implusif.

Sekali lagi aku mengerang, masih bergelung dalam lilitan selimut dengan menggigitnya, meneriakkan nama Dominic Molchior dengan malu di atas karpet.

“DOMINIC! KAU MEMBUATKU GILA!”

Aku benar - benar sudah gila. Bagaimana caranya nanti harus menatap mata biru pria berkulit eksotis tembaga itu ketika kami sudah bekerja dalam satu gedung? Yang artinya sering sekali berkomunikasi dan melakukan hal apa pun bahkan hampir dua puluh empat jam bersama?

Mia! Masih pagi, tidak perlu berpikir sejauh itu!

Ya. Benar. Lebih baik aku tidak memikirkan hal itu. Lebih baik aku memakai baju kemudian turun dan segera melakukan rutinitas pagi. Namun belum juga kegilaanku akan selesai, masih ada kegilaan lanjutan yang berhubungan dengan pria itu.

Ketika dengan teratih aku menuruni anak tangga terakhir, kakiku tidak sengaja menyenggol koper unggu. Warna kesukaanku—bentuk dan warna yang sama yang aku masukkan dalam bagasi limusin pria itu kemudian memindahakannya pada bagasi mobil klasik yang dia kendarai semalam.

Kuperhatikan koper itu lamat - lamat, menempelkan jari telunjuk pada bibir untuk berpikir serta memiringkan kepala dan mendapati sebuah kartu ucapan natal di atasnya. Segera kuraih kartu ucapan itu dan membacanya.

Santa Clause-mu yang sudah lumayan tidak diktator dan otoriter. Aku kembali mengulangi kalimat tersebut, reflek membekap mulut dengan tangan kanan yang bebas kemudian beralih memegangi pipiku yang memanas. Rasanya aku berteriak lagi seperti tadi.

Take a deep breath, take a deep breath,stay cool Mia, berapa umurmu masih bertindak konyol seperti ini? Namun setelah menyuntikkan kata - kata tersebut dalam otakkku, aku tetap salah tingkah dengan menggigit kartu ucapan tersebut—agar tidak berteriak seperti orang gila.

***

Brooklyn, 25 Desember
06.05 a.m.

Sekitar jam enam, setelah berhasil mengendalikan diri dari kegilaakku, aku melakukan rutinitas pagi ; memasak sambil mendengarkan instrument musik klasik milik Pyotr Ilyich Tchaikovsky plus sarapan, tidak lupa memperbaiki mobil ayahku yang mogok, kemudian mandi air hangat yang mengalir dari pipa ledeng tua yang masih berfungsi di rumahku, aku pun berangkat ke rumah sakit untuk menjenguk ayah dua jam setelahnya. Karena kau tahu? Butuh ekstra waktu dan tenaga untuk melakukan semua rutinitas itu dengan kaki tertatih akibat ulah Dominic Molchior semalam.

Gosh! Abaikan sejenak tentang pria itu Mia!

Mencoba untuk berjalan normal, sesampainya di rumah sakit, tepat ketika aku mendorong pintu untuk membuka ruang inap VVIP ayahku, terdengar suara ibuku sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Biasanya aku akan menanyakan hal itu sebagai basa - basi, namun kala mendengar ada namaku terselip dalam percakapan tersebut, aku mulai menajamkan telinga dan penasaran. Siapa yang menelepon? Mengingat kerabat kami tidak tahu menahu tentang parkinson yang di derita ayah karena kami merahasiakannya agar tidak merepotkan.

“Ya, semuanya baik, Mia baru saja datang. Terima kasih untuk semuanya dan sampai jumpa lagi, ucap ibuku sambil sesekali melirikku.

Sampai jumpa lagi?

Asliku mengernyit. “Siapa mom?” tanyaku implusif sambil berusaha berjalan normal ke arah beliau yang sedang duduk di sofa, ikut mengambil duduk di sebelahnya sambil meletakkan tas jinjing di sebelah tempatku duduk dan mulai membongkar bekal sarapan yang kubawa untuk ibuku.

“Atasanmu.” Jawaban beliau jelas menghentikan aktivitasku.

Atasanku? Yang semalam bercinta denganku itu? Yang membuatku meneriakkan namanya berkali - kali itu? Yang namanya Dominic Molchior bukan?

“Melihat pagi ini kau datang, sepertinya kau menuruti kata mom untuk berbaikan dengannya.”

Ya kurasa lebih dari sekedar barbaikan!

“Oooohhhh.” Pipiku mengembang secara otomatis kala teringat kembali tentang semalam. Menyadari jika sekarang gantian ibuku yang mengernyitkan alis—tanda - tanda akan memulai penyelidikan—aku berdehm dulu, berusaha untuk menetralkan wajah dengan melanjutkan aktivitas menata makanan sambil terus berceloteh—salah satu cara agar tidak di introgasi oleh ibuku.

“Aku membuatkanmu sarapan, makanlah mom, kau sendiri yang mengatakan sarapan itu penting untuk memulai aktivitas bukan? Jadi jangan anggap remeh sarapan.” Aku menirukan gaya ibuku bicara dengan tangan bebas berekspresi.

“Mia, apa kau lupa ini adalah ruang inap VVIP? Rumah sakit juga memberi mom sarapan dan mom sudah menghabiskannya,” jawab ibuku tanpa mengurangi sedikit pun kernyitan alisnya.

“Benarkah?”

Apakah aku sia - sia membuat french toast? Sarapan kesukaan pria bertubuh atletis itu? Biasanya Dominic Molchior akan memakannya dengan lahap, hingga habis tak tersisa. Karena itulah aku tidak sengaja membuatnya pagi ini. Karena memikirkannya.

Ibuku baru saja membuka mulut akan bicara sesuatu tapi aku segera memotongnya. “Ya sudah, aku yang akan menghabiskan french toast buatanku sendiri!” Kugigit french toast itu banyak - banyak sambil berceloteh. “Bagaiamana keadaan dad? Apa yang dokter kataka—uhuk - uhuk.”

“Kau ini!” Ibuku menyodorkan sebotol air meneral sambil menepuk - nepuk punggungku agar tidak tersedak. “Pelan - pelan saja! Memangnya ada yang mengejarmu ketika makan?”

Setelah memberi dorongan pada makanan di tenggorakan dengan air mineral agar turun ke lambung dengan mulus dan lancar, aku menjawab, “terima kasih mom.

Kemudian sembari makan, aku memperhatikan ibuku mulai menjelaskan apa yang dokter katakan mengenai ayah.

Secara garis besar, apa yang kutangkap dari penjelasan dokter melalui cerita ibuku, enam jam operasi penanaman elektroda atau chip di area tertentu dalam otak ayahku berjalan dengan lancar. Chip itu sendiri dihubungkan pada batrai yang di letakkan dalam dada sebagai arus listrik, untuk merangsang syaraf yang berubungan dengan anggota gerak dalam otak. Dan dokterlah yang akan mengatur alus listrik ini.

Batrai itu sendiri bisa bertahan hingga lima sampai tujuh tahun tergantung kesibukan ayahku. Jika batrainya sudah habis akan di lakukan operasi ringan untuk mengganti batrai tersebut.

Jadi kemarin ayahku melakukan operasi dua kali ; operasi penanaman batrai dan chip itu sendiri.

Meskipun dokter mengatakan tidak ada yang perlu di khawatirkan karena dua operasi ini tergolong aman, tapi tetap saja aku merasa khawatir. Dan perihal kesehatannya mendatang ini seharusnya menjadi tanggung jawabku.

Ayahku di beri kesempatan untuk bisa melakukan aktivitas layaknya orang normal kembali membuatku bersyukur. Mungkin jika bukan karena Dominic Molchior yang segera mengambil tindakan untuk membantu, aku juga tidak tahu apa yang terjadi akan pada ayah selanjutnya. Mengingat parkinsonnya sudah separah itu.

Ah... Lagi - lagi Dominic Molchior.

Sekali lagi mencoba untuk menepis nama itu atau segala hal yang di lakukannya—pasca menelan french toast gigitan terakhirku kemudian minum air mineral—aku berjalan ke arah tempat di mana ayahku sedang tidur. Kata ibu, beliau sudah sadar tadi pagi. Setelah pemeriksaan dan sarapan makanan rumah sakit, tidak lama setelahnya—mungkin karena efek obat—beliau jadi mengantuk dan tidur.

Ayahku bahkan tidak terasa jika saat ini tangan kananku terulur untuk menyentuh tangan kirinya yang sedang di pasangi infus. Juga menaikkan selimut hingga menutupi dadanya.

Ayahku sudah beruban, terakhir kali aku melihat ayah, ubannya masih belum sebanyak ini.

Menghiraukan dari itu semua, pertanyaan ibuku yang satu ini membuatku terkejut. “Kenapa jalanmu aneh seperti itu?”

Sudut bibirku sedikit berkedut. Memutar kepala menghadap ibu, aku malah balik bertanya, “apa aku belum cerita jika kemarin mobil dad mogok dan aku baru selesai memperbaikinya tadi pagi?”

“Apa hubungannya dengan kakimu? Memperbaiki mobil hanya menggunakan keterampilan tangan, kaki hanya sebagai penunjang, kau tidak—”

“Tidak mom, tentu saja aku tidak—” Aku memotong kalimat ibuku. Dan itu membuatnya menaikkan kedua alisnya. “Memangnya apa yang akan mom katakan?” tanyanya.

Memilih mengatubkan bibir rapat - rapat ibuku kembali bersuara. “Mom hanya khawatir kakimu terkilir atau semacamnya.”

“Tentu saja itu jugalah yang kupikirkan,” elakku. Kupikir mom akan menebak dengan benar apa yang aku lakukan dengan Dominic Molchior semalam sampai bisa membuatku tidak becus berjalan. Tapi ternyata...

Konyol sekali, gara - gara semalam aku jadi tidak bisa konsentrasi dengan benar, selalu saja teringat itu dan itu.

“Aku tidak terkilir, hanya saja tadi pagi saat menuruni tangga karena masih mengantuk kakiku tidak sengaja membentur koper,” jawabku setengah jujur setengah berbohong, semoga ibuku percaya dan benar - benar tidak curiga jika semalam aku tidur dengan pria itu di depan perapian dan di ranjang kamarku. Hal paling tidak masuk akal sepanjang sejarah hidupku. Karena selama ini belum pernah ada laki - laki atau pun pria jenis mana pun yang masuk ke dalam kamarku—area paling pribadi milikku—kecuali ayah.

“Oh, kau sudah berkemas untuk ke Las Vegas ternyata,” tukas ibuku yang mampu membuatku ternganga. Beliau beralih ke buku resep Gordon Ramsy yang sengaja aku bawa untuk membunuh kebosanan jika sedang menggantikan beliau menjaga ayah.

“Las Vegas?” Aku mengulang tempat itu seperti orang tolol. Mengingat kartu ucapan natal yang Dominic Molchior berikan padaku. Katanya ada hadiah natal yang aku sukai di Las Vegas, Nevada. Ada juga di Phoenix.

Memangnya apa yang sedang dia coba lakukan? Berusaha jadi Santa Clause-ku sungguhan? Aku jadi membayangkannya berjanggut putih panjang dan perut buncit. Tanpa sadar aku tersenyum geli. Melirik kembali pada ibu yang sedang membalik halaman ke dua buku resep itu tanpa melihatku.

“Ya, atasanmu sudah ijin mom untuk menjemputmu ke Las Vegas besok pagi,” jawab beliau, semakin membuatku tercengang. Beliau kemudian menatapku. “Aku tidak menyangka bekerja di perusahaan itu akan sesibuk ini nak, kau bahkan harus ke luar kota di akhir tahun.”

Oh great Dominic! Kau membuat mom berasumsi jika itu adalah tugas ke luar kota.

“Well, aku sepertinya lupa menanyakan sesuatu pada Mr. Molchior untuk keperluan besok, aku akan menelponnya sebentar.”

______________________________________

Ada apa ya di Las Vegas?
Ada yang bisa nebak?
Terdapat beberapa clue lho di chapter ini mau pun chapter chapter sebelumnya

Mereka bakalan nananina lagi gak ya qira - qira?

Kalo nananina lagi, Mia yang uda jadi masokis, nananinanya kek gimana ya?

Terus gimana sama mas pacar?
Ulululu....

Muehehehe silahkan penasaran 😁😁

Thanks for reading this chapter

Makasih juga uda jadi pembaca yang aktif dengan memberikan vote dan komen, semacam energy buat saya buat terus lanjutin cerita ini

Buat next chapter, 150 vote lagi boleh? 😁😁😁

Bonus photo Mia Oswald

Mr. CEO

See you next chapter teman temin

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

6 Maret 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top