Chapter 15
Selamat datang di chapter 15
Kali ini saya bonusin update sebelum 125 vote lho...
Tinggalkan jejak dengan vote dan komen
Tandai jika ada typo (yang uda mendarah daging di jempol saya)
Thanks
Well, selamat malam jum'at guys
Selamat membaca
Semoga syukkkkaaaa
❤❤❤
WARNING! TERUNTUK HUMAN 21+
ANAK - ANAK, BOCAH - BOCAH DI LARANG MEMBACA TULISAN YANG DI BUAT BERDASARKAN KEISENGAN DAN HALUAN SEMATA INI!!
______________________________________
Aku tahu ini salah, tapi entah kenapa, rasanya membiarkan diri berciuman dengan Dominic Molchior kali ini terasa benar
°°Mia Oswald°°
_____________________________________
Brooklyn, 24 Desember
19.03 p.m.
Aku melihat Dominic Molchior smirk smile ketika mendengar pertanyaanku. Di sesapnya kopi Brazil setengah cangkir panas yang asapnya masih mengepul kemudian beralih menatapku lagi dengan tatapan yang sulit di artikan. Apa dia tersinggung?
"Memangnya jika aku menjawab jujur kau akan mengabulkannya?" ujarnya enteng.
Menghiraukan pertanyaan pria itu aku memberi kesimpulan. "Jadi benar kau ada maksud tertentu."
Benar bukan dugaanku? Mana mungkin pria jenis Dominic Molchior ini akan dengan senang hati membantuku? Ternyata semua orang memang mirip Maya Delilah!
Padahal aku sudah ikhlas meminta maaf, bukan karena paksaan atau desakan ibuku. Padahal aku juga sudah mulai berpikir ibuku mungkin benar dia tidak menginginkan apa pun ketika tadi Dominic Molchior hanya mengajakku makan malam.
Kenapa seluruh tubuhku jadi bergetar karena menahan kekecewaan? Aku tahu ini tidak benar ketika merasa kecewa pada orang seperti Dominic Molchior yang memang sudah kuprediksi tentang hal lain di balik bantuan - bantuannya. Tapi tetap saja mendengarnya sendiri dari mulut pria itu secara langsung ternyata lebih terasa menyakitkan.
Padahal dia bukan siapa - siapa. Dan seharusnya aku tidak perlu memikirkannya. Apa karena menyangkut ayah aku jadi seperti ini? Tapi kenapa kali ini berbeda, rasanya jauh lebih sakit.
Mia, bukankah jika kau bertanya itu artinya kau sudah siap menerima apa pun jawaban yang dia lontarkan?
Benar. Seharusnya memang begitu, tapi aku juga tidak tahu jika perasaan trauma membuatku begitu sulit menerima kenyataan atas jawaban yang di lontarkan Dominic Molchior.
Aku memutus pandangan dari pria itu dan menatap ke sembarang arah. "Kau sama saja dengan Maya," ucapku lirih. "Astaga apa yang sudah kulakukan di sini? Menemanimu makan malam pada malam natal seolah tidak sedang ada beban apa pun." Aku menunduk, enggan melihat Dominic Molchior. "Terima kasih untuk semuanya Mr. Molchior, aku akan membayarnya secepat yang aku bisa, selamat malam."
Kuletakkan mug-ku di atas meja kemudian berdiri menyambar mantelku yang bersender di kursi lalu pergi.
Maafkan aku mom, Dominic Molchior memang tidak bisa di ajak profesional atau memang akulah di sini yang tidak bisa di ajak berdamai dengan masa lalu. Kali ini aku yakin dia akan memecatku. Aku akan mencari pekerjaan lain setelah ini.
Untuk pertama kalinya, aku bersyukur Mrs. Brighman mengusirku dan melenyapkan barang - barangku sehingga lebih memudahkanku untuk perlu tidak kembali ke Phoenix.
Terus berjalan menyusuri pengunjung cafe yang ramai, aku menabrak beberapa orang dan aku hanya meminta maaf tanpa niatan sambil terus berlalu keluar.
Sesampainya di depan cafe, aku baru menyadari sesuatu jika tidak membawa mobil klasik ayahku karena mogok. Aku memang anak mekanik dan aku memang bisa memperbaiki mesin mobil tapi tadi bukanlah waktu yang tepat karena terburu - buru menyusul Dominic Molchior sebelum pria itu pergi ke bandara. Setidaknya itu yang Reginald Jeeves katakan tadi ketika aku akhirnya memutuskan menelpon butler itu untuk menanyakan keberadaan Tuan terhormatnya yang tidak bisa kuhubungi hingga hampir petang.
Aku juga mendengar Dominic Molchior menunda penerbangan karena meladeniku yang ngotot untuk di maafkan, mohon agar tidak di pecat, dan mengajakku makan malam. Seolah - olah pria itu memang tidak punya tujuan apa pun, tapi kenapa dia malah berbicara seperti itu?
Hampir saja aku berjongkok dan menangis ketika tubuh kekar yang sangat kukenal menakubku dari belakang dan aku nyaris terjerambab ke jalan. Tangan - tangan berototnya melingkar di seluruh perut dan pundakku. Aroma musk tubuh Dominic Molchior menyeruak saat kepalanya bersender di pundakku. Aku bahkan dapat merasakan napasnya di permukaan kulit leherku walau tertutup rambut. Jantungku rasanya berdetak cepat sekali, apa lagi ketika dengan suara berat dan seraknya Dominic Molchior berbisik tepat di telingaku. "Asal kau tahu Mia, aku bukan Maya Delilah yang memperalatmu untuk membunuh seseorang, tapi aku juga bukan orang suci yang tidak menginginkan apa pun darimu."
Dia mengambil jeda untuk melihat reaksiku yang jelas hanya bisa mematung dengan menahan mual di perut, juga beratnya kepala karena menahan tangis.
"But, let me finish my explanation like this before you decide to hate me and go." Dia mempererat pelukannya. Sekali lagi napasku jadi tercekat. Ada sensasi aneh yang menjalar di sekujur tubuhku ketika jambangnya bergesekan dengan permukaan kulit telingaku saat bibirnya bersuara, di tambah hangat napasnya yang beraroma kopi serta sentuhan bibirnya yang intim. Membuatku nyaris tidak bisa berpikir jernih.
Dominic Molchior pun melanjutkan. "Jujur saja Mia, aku menginginkanmu berada di ranjangku."
Aku sudah menduganya. Aku juga bukan remaja yang polos.
Aku ingin marah dan berteriak, tapi tubuhku mematung. Dan suaraku tidak dapat keluar. Apa karena dekapannya yang hangat dan nyaman?
"Awalnya," kata Dominic Molchior lagi. "Tapi setelah melihatmu menangis di kubikelmu kemarin, aku jadi marah. Di tambah ayahmu yang sedang kritis aku reflek mengambil tindakan menolongnya."
Jadi dia melihatku menangis waktu itu? Tapi kenapa baru mengatakannya sekarang dan bertindak marah seolah - olah aku hanya berisik karena menelpon?
"Percayalah, jika kau berada di posisiku, kau pasti akan mengambil keputusan yang sama tanpa memikirkan apa pun timbal baliknya, apa lagi saat mengetahui dirimu dengan keadaan seperti itu."
Kenapa aku jadi terlihat sangat menyedihkan?
Sibuk dengan kemelut pikiran, Dominic Molchior membalik tubuhku berhadap - hadapan dengannya. Mengunci tatapan mataku menggunakan mata biru terang itu. Dan aku nyaris tidak bisa bernapas ketika secuil senyuman terbit di bibirnya.
Dominic Molchior si pemarah sedang tersenyum! Orang yang selama hampir dua bulan ini kukenal, baru pertama kali tersenyum. Perasaan kecewaku jadi berangsur hilang. Kenapa bisa?
"Setelah mendengar ceritamu tadi, keinginanku mungkin berubah. Aku hanya ingin kau sadar jika menerima bantuan orang lain tidaklah seburuk yang kau kira. Tidak semua orang sama seperti temanmu."
"Benarkah?" tanyaku lirih dan pelan. Entah pernyataannya yang mana yang aku tanyakan. Antara keinginannya yang mungkin berubah atau kesamaan orang dengan Maya Delilah.
"Benar. Tapi tidak apa - apa, pelan - pelan saja, tidak perlu terburu - buru. Kali ini aku tidak akan memaksamu untuk percaya padaku."
Jantungku rasanya akan keluar.
Dominic Molchior si pemaksa tidak lagi memaksaku. Mungkin aku memang sudah gila. Tersentuh hanya karena kalimat - kalimat yang dia ucapkan itu. Padahal mungkin dia hanya ingin membujukku agar tidak marah lagi padanya. Tapi kenapa? Untuk ukuran orang seperti Dominic Molchior, sejak kapan dia peduli terhadap rasa amarahku?
Masalahnya ini adalah Mr. CEO diktator dan otoriter, yang seenak jidatnya memerintah dan tidak mau repot - repot mendengarkan pendapat orang lain. Tapi dia mau mengerti keadaanku. Apa aku terlihat semenyedihkan itu sampai membuat seseorang sedingin dan sepemarah Dominic Molchior jadi bersimpati?
Dan dia mau menungguku untuk percaya padanya. Apa boleh aku tersentuh hanya karena hal ini juga?
Air mataku yang dari tadi sudah berkumpul siap tumpah kapan saja, kini benar - benar sudah tidak dapat tertolong lagi. Aku menangis. Dan kenapa selalu hanya Dominic Molchior yang melihatku begini?
Kupikir dia akan marah atau geram karena melihatku cengeng sama seperti pada hari di mana dia melihatku menangis di kubikel. Tapi tidak. Nyatanya pria itu malah menarikku dan membawa tubuhku dalam dekapannya. Aku bahkan merasakan tangan besarnya mengusap kepala, membelai rambut dan turun ke punggung untuk menenangkanku. Ada lagi yang lebih parah. Rahang tegas Dominic Molchior berada tepat di atas kepalaku sambil mengatakan, "dasar bodoh! Begini baru benar! Kau juga boleh menangis jika ingin. Dan aku juga sama sekali tidak keberatan untuk menutupi wajahmu yang jelek itu ketika menangis."
***
Brooklyn, 24 Desember
19.30 p.m
"Masuklah ke dalam, kompres matamu dengan air hangat, dan coba kau mengaca, wajahmu jelek sekali!" pekik Dominic Molchior. Pria itu mengantarku sampai di depan rumah. Aku membalasnya dengan cibiran sebelum dengan polosnya bertanya, "apa sekarang kau akan memecatku karena sudah tidak sopan dan mengotori jas armanimu dengan ingusku?"
Seketika Dominic Molchior berdecih. "Memangnya apa yang kuharapkan dari seseorang yang baru saja selesai menangis? Ingusnya akan berubah menjadi bunga? Dan kenapa juga aku harus memecat karyawan kompeten seperti dirimu? Sudahlah, aku pergi dulu, selamat malam Mia."
Aku yang sudah memutar handle pintu hendak masuk pun berbalik dan berjalan selangkah di belakang Dominic Molchior yang hampir menuruni undakan.
"Dominic," pria itu berbalik untuk melihatku tersenyum. "Terima kasih sudah mau mengantarku, terima kasih sudah mau mengerti dan menungguku untuk percaya. Terima kas—hhhmmmppp."
Dominic Molchior menerjangku dengan ciuman. Tubuh kekar pria itu mendorongku masuk rumah tanpa melepas ciumannya yang menggebu - gebu. Dengan gerakan kasar dia pun menutup pintu.
"Sorry, I can't handle this anymore Mia, salah sendiri kau berwajah seperti itu," katanya di sela ciumannya.
Berwajah seperti apa? Aku tidak tahu.
Anehnya lagi, aku tidak mampu melawan, tidak juga mampu memberontak atau memaki - maki. Membiarkan Dominic Molchior menekan kepalaku dengan tangannya agar ciumannya lebih dalam. Dan aku tidak bisa berpikir, reflek mengalungkan tangan pada leher pria itu untuk membalas ciuman dengan intensitas sama.
Aku tahu ini salah, tapi entah kenapa, rasanya membiarkan diri berciuman dengan Dominic Molchior kali ini terasa benar. Membiarkan tubuhku mengambil alih mengusap rambut dan jambangnya juga terasa benar, bahkan ketika dia melepas mantelku dan mantelnya sendiri, semuanya terasa benar.
Seperti mendapat lampu hijau, pria beraroma musk ini menggendongku. Tangan kanannya menyalakan pemanas ruangan dan perapian electric kemudian membawa dan membaringkanku ke sofa tanpa sekali pun melepas ciuman.
Deru napas kami bertemu, dan aku mendesah ketika detik berikutnya pria berkulit coklat tembaga kini menjulang lalu menelusuri leherku dengan lidahnya yang hangat. Di selingi hisapan dan gigitan kecil di beberapa tempat untuk membuat tanda merah nyaris keunguan di permukaan kulit leher dan dadaku.
Aku reflek mendongak dan menjambak rambutnya, menurunkan tangan untuk mengusap punggung Dominic Molchior tat kala lidah pria bermata biru terang itu berpindah menyapu telingaku. Tangan besarnya memasuki sweeter untuk mencari apa yang di inginkannya. Setelah sampai pada tempat tujuan, dia meraba, meremas pelan kemudian berubah cepat dan menggilir keduanya secara bergantian.
"Kau tidak akan menyiksaku kan Mia?" tanyanya dengan mata diliputi kabut gairah saat pandangan kami bertemu. Suaranya lebih serak dan lebih berat. "Kau tidak tahu betapa aku harus menahan diri lebih lama dari yang kau kira." Dominic Molchior menatapku dengan intensitar jarak satu inci.
Aku tahu harusnya aku marah karena memang inilah sebenarnya yang di inginkan pria itu tentang balas budi. Tapi tidak, aku hanya membiarkan Dominic Molchior menguasai tubuhku tanpa menjawab sedikit pun pertanyaannya karena lidahku mendadak kelu. Karena mulutku hanya bisa mengeluarkan suara erangan dan desahan saat tangannya berpindah ke area yang seharusnya. Area inti tubuhku yang masih tertutup jeans putih.
"May I Mia?" kudengar dia kembali bersuara di tengah aktivitas tidak senonohnya. "Jawablah, aku sedang meminta persetujuanmu sekarang. Aku tidak akan memaksa jika kau tidak ingin."
Bukankah tubuhku sudah lebih dulu menjawab?
Tidak kunjung mendapat jawaban, Dominic Molchior menatapku lagi. "Apa kau juga menginginkanku Mia?"
Apa yang bisa kukeluarkan dari mulutku selain berupa desahan saat tangannya sudah membuka zipper jeans putih yang kukenakan sembari terus menelusuri leherku dengan lidahnya?
"Jawab aku Mia."
______________________________________
Nyahahaha cut sampe sini dulu ya yang hawt hawt.
Karena biarin Mr. CEO yang nyeritain di chapter berikutnya. Tapi... Setelah 130 vote dong yes 😁😁
Well Thanks for reading and voting this chapter
Makasih juga yang uda jadi pembaca aktif dengan komen dan benerin typo, terluv ini mah
Bonus photo Mia Oswald
Bonus photo Mr. CEO buat nemenin malem jum'at klean
See you next chapter teman temin
With Love
©® Chacha Prima
👻👻👻
27 Februari 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top