Chapter 13

Selamat datang di chapter 13

Sesuai janji, saya update setelah jumlah vote lebih dari 100

Terima kasih semua  klean luar biasa 😘😘

Well, tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo, tau sendiri kan kerja sama Mr. CEO g'boleh ada typo?

Thanks

Well, happy reading everyone

Hope you like it

❤❤❤
______________________________________

Selain diktator dan otoriter,
dia juga konyol

°°Mia Oswald°°
______________________________________

Brooklyn, 24 Desember
11.30 a.m

Sebenarnya aku bingung harus bagaimana menghadapi Dominic Molchior. Pria itu sungguh tidak bisa di tebak. Mungkin dia membantuku karena ada maksud tertentu. Karena di lihat dari segi mana pun otaknya selalu mengarah pada satu hal.

“Kau mengoleksi buku resep Gordon Ramsy,” katanya menyentak lamunanku dan tidak sadar jika thermo yang kuisi dengan air mineral sampai tumpah.

“Begitulah,” jawabku lalu melirik dia sekilas yang tampak sedang mengamati koleksi buku resepku di rak sebelah TV. Kemudian aku kembali fokus mengeringkan bawah thermo itu sebelum meletakkan di atas potnya lalu mencolokkan kabelnya pada colokan listrik, barulah mengambil dua mug dalam kitchen kabinet bagian atas sambil berjinjit karena kesulitan.

Gosh, bagaimana cara mom mengambil barang - barang di kabinet atas? Apa dengan kursi?

Sibuk menunduk sembari celingukan mencari kursi kecil di sekitaran untuk memanjat, aku di kejutkan oleh kehadiran Dominic Molchior yang sudah berdiri tepat di belakangku. Dengan cepat tangannya meraih dua gelas mug pada kabinet atas yang masih terbuka.

“Astaga kau mengagetkanku, Sir,” ujarku sembari memegangi dada karena debarannya yang tidak normal. Sangat cepat. Aku takut jika sedikit lagi ada pemicu, jantungku mungkin akan keluar dan tercecer di ubin dapur—saat dada bidang nan keras Dominic Molchior menempel pada punggungku. Untuk mengalihkan rasa debaran ini aku bersuara, “terima kasih.” Kemudian mempersilahkannya duduk di kursi makan bermeja bundar di depan area dapur.

Dan seperti orang penurut, dia duduk. Aku tidak melihatnya secara langsung, tapi ekor mataku menangkapnya sedang memperhatikanku saat mengambil jahe di dalam kulkas, kemudian mengupas bahan tersebut, mencuci dengan air keran lalu mengelapnya dengan tisyu dapur. Setelah kering memukulnya dengan palu daging.

Astaga, sejak ciuman—ralat—kecupan lembutnya tadi pagi, di amati Dominic Molchior seperti itu membuatku tidak nyaman. Perutku kembali mual dan jantungku terasa seperti pasca lari di kejar singa. Berdebar tidak karuan.

Barulah Dominic Molchior bertanya, “kenapa kau memukulnya?”

Tanpa menghentikan aktivitas memukulku, aku pun menjawab, “oh, biar rasa jahenya lebih terasa.” Kemudian memasukkan jahe dalam thermo pot. Sembari menunggu alat pemanas itu bekerja, aku mencuci pemukul daging kemudian mengambil lemon, mengiris dan memerasnya dalam thermo pot.

Beberapa saat setelah jadi aku menuangkannya dalam mug dan memberikannya pada Dominic Molchior. “Ini madunya kau bisa mengatur tingkat kemanisannya sendiri,” kataku sambil mengulurkan botol kaca berisi madu lebah hutan.

“Terima kasih,” jawabnya lalu menuangkannya pada sendok teh dan memasukkan dalam mugnya selama beberapa kali. Sedangkan aku sendiri menuangkan lima sendok teh lalu menyeduhnya dalam mug.

You know, seharusnya, aku yang berterima kasih,” kataku setelah meneguk minuman jahe lalu menatap Dominic Molchior yang masih menunduk menyeduh minuman jahe miliknya. “Kenapa kau tidak membangunkanku ketika ada telpon jika ayahku masuk rumah sakit?”

“Entahlah,” jawabnya sambil lalu.

Sejujurnya aku agak ragu mengatakan hal ini, takut menyinggung perasaan Dominic Molchior. Tapi karena trauma masa lalu yang masih belum sembuh, aku harus mengatakannya. “Seharusnya kau tidak mengangkat telpon orang sembarangan. Itu tidak sopan.”

“Spontanitas,” jawabnya singkat sambil kembali menyesap minuman jahe kemudian merasakannya.

Aku mengambil jeda sedikit, menguatkan tekat untuk mengutarakan apa yang sedang aku rasakan atas perlakuannya itu. “Akhir - akhir ini entah kenapa kau sering sekali membantuku. Terima kasih. Tapi lain kali, kau tidak perlu membantuku lagi.”

Apa sebenarnya tujuanmu Dom?

Excuse me?! Apa maksudmu?!” Nada yang Dominic Molchior gunakan sudah meninggi, jelas - jelas merasa tersinggung.

“Aku bisa melakukannya sendiri, Sir,” ucapku lagi masih dengan suara setenang tadi. Bedanya, mataku sedikit melebar untuk mempertegas kata - kataku.

Dominic Molchior berdecak sebal menatapku dengan wajah marah. “Orang tuamu sakit dan butuh uang sesegera mungkin, sementara kau sendiri di usir dari apartement Mrs. Brighman karena tidak punya uang untuk membayar sewanya. Dan itu yang kau sebut bisa melakukannya sendiri?!”

Aku terbelalak mendengar apa yang di katakan Dominic Molchior. “Jadi benar Mrs. Brighman mengusirku? Dari mana kau tau? Dan kau baru bilang padaku?!” pekikku.

Tapi bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah kembali bertanya. “Memang apa yang bisa kau lakukan jika aku memberitahumu? Merengek minta bantuan kekasih tidak bergunamu itu?!”

What the..?

“Jangan mengatakan sesuatu tentang apa yang tidak kau ketahahui! Dan ini tidak ada kaitannya dengan Hansel Brent!” pekikku ikut tersulut emosi setelah meletakkan mug di atas meja. Dadaku bergemuruh, naik turun dengan napas tidak teratur.

“Oh, aku hanya mengatakan yang sebenarnya! Realistislah Mia! Dia memang tidak berguna! Apa yang bisa dia lakukan saat melihatmu begini? Tidak ada?!” Dominic Molchior menggunakan nada geram, berat dan dalam. Menyalurkan emosi yang sudah tidak terbendung lagi. Entahlah aku tidak mengerti, kenapa dia harus seperti ini? Bukankah seharusnya aku yang marah di sini? Dia mengatakan sesuatu tentang kekasihku tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.

“Kau tidak tahu apa - apa, Mr. Molchior!”

“Ya. Aku memang tidak tahu apa - apa kecuali tentang betapa tidak bergunanya kekasihmu itu!”

“Kau tidak berhak mengatakan itu pada Hansel Brent!” Sekali lagi aku memekik. Kali ini dengan menunjuk - nujuk wajahnya. Aku tahu ini sangat kurang ajar terhadap atasan. Tapi dia juga sudah kurang ajar terhadap kekasihku.

Dominic Molchior tersenyum getir sambil menggeleng konyol. “Kau membelanya.”

“Tentu saja aku membelanya, dia kekasihku.”

Kenapa dia konyol sekali?!

Aku melihatnya mendengus, meletakkan mug dengan kasar dan reflek berdiri kemudian mengatakan, “tentu saja dia kekasihmu. Mau bagaimana pun sifatnya, setidak bergunanya dia, tetap kau bela! Buka matamu Mia, akui saja dia memang tidak berguna!”

Aku menatapnya dengan mata membelalak dan alis mengernyit tanda sudah benar - benar marah dan ikut berdiri. Sementara Dominic Molchior dengan napas menderu lanjut berkata - kata. “Terserah, percuma saja aku tidak tidur semalaman karena memikirkanmu, percuma saja aku mengubah seluruh jadwalku demi kau, demi orang yang—” Dominic Molchior kehilangan kata - kata. “Sudahlah, memang tidak seharusnya aku ikut mengurusi urusan pribadimu. Selamat tinggal Mia, nikmati liburanmu!” ucapnya dengan penuh penekanan sebelum mengambil mantel dan membanting pintu keras - keras, meninggalkanku yang masih diam mematung dengan kedua tangan mengepal erat.

Tidak tidur semalaman karena memikirkanku? Memangnya apa yang dia pikirkan selain pikiran kotor itu? Huh?

Jika pikirannya kotor, dia mungkin sudah memaksamu untuk melakukannya saat kau tertidur Mia, tapi dia tidak. Sebagian hatiku berkata dekikian.

“Haish!” Aku memekik marah. “Terserah kau saja! Aku tidak peduli!”

Dari pada bermonolog memaki - maki orang konyol seperti Dominic Molchior, lebih baik aku menelpon Mrs. Brighman.

“H-halo Mrs. Brighman. Ya, ini aku Mia, apa—”

“Maaf Mia, aku harus melakukannya, aku juga butuh uang. Dan orang yang menggantikan sewa apartementmu sudah datang.”

Tuttt tuttt tuuut

“Mrs. Brighman... Haloo? Aku hanya ingin menanyakan barang - barangku. Haloo?!”

Sial!

Aku mengambil tempat duduk lagi, kemudian menelungkupkan kepala di atas meja sambil menangis.

God, this is Chrismast but why?

Setelah memenangkan diri aku membuka garasi tua milik ayahku, menyalakan mobil mustang klasiknya lalu melaju ke rumah sakit.

***

Brooklyn, 24 Desember
12. 35 p.m.

“Bagaimana keadaan dad? Apa operasinya berjalan dengan lancar?” Aku langsung memberondong pertanyaan pada ibuku tepat setelah berdiri beberapa langkah dari beliau yang sedang mengamati ayahku di depan ruang ICU.

“Kau sudah kembali? Kenapa cepat sekali? Tenanglah, operasinya berjalan lancar, dad masih belum sadar karena efek obat biusnya belum hilang,” jawab ibuku.

“Syukurlah mom, aku takut sekali.”

“Sudah tidak apa - apa, semuanya berkat atasanmu yang cepat membantu kita tadi malam, ngomong - gomong kemana dia?”

"Oh, dia sudah pergi," jawabku singkat. Tapi mungkin terkesan ketus.Aku sudah berusaha menetralkan wajah, tapi ibuku selalu tahu apa yang sedang tidak beres denganku. Selalu menyelidiki setiap raut wajahku. Dengan kata lain. Ibuku terlalu mengenalku. Terutama dengan masalah bantu - membantu.

“Pergi? Maksudmu Pulang?”

Dan inilah yang mulai di lakukannya. Mengintrogasi sampai aku menjawab dengan jujur apa yang sedang terjadi.

Mom, ayolah, bisa kita fokus saja pada kesehatan daddy?” bujukku.

“Kenapa kau begitu? Aku hanya bertanya kemana perginya atasanmu, kukira kau meninggalkannya di rumah untuk istirahat.” Ibuku mengibaskan tangan seolah - olah beliau tidak sedang berusaha mengorek informasi tentang diriku.

“Mana mungkin pria kaya sepertinya mau istirahat di rumah kita? Mungkin dia akan gatal - gatal setelah menginjak lantai,” jawabku asal. Tapi kenapa jadi keliatan sangat kesal? Itu malah semakin menambah daftar kecurigaan ibuku.

“Kelihatannya kau sedang bermasalah dengannya,” tebak ibuku. Sekarang gantian aku yang mengibaskan tangan.

Tidak, orang itu memang sudah bermasalah dari dulu!

“Apa karena Mr. Molchior membantu daddy?”

Aku tidak menjawab, hanya melirik ke sembarang arah.

Dengarkan mom, Mr. Molchior dengan Maya Delilah adalah orang yang berbeda. Dan lagi, bertengkar dengan orang yang telah menolong kita bukanlah tindakan yang tepat nak, itu namanya tidak tahu diri,” kata ibuku lembut sambil menyentuh bahuku.

“Aku tahu, aku hanya masih belum sepenuhnya percaya menerima bantuan pada siapa pun sejak insident itu mom, apa lagi hal itu menyangkut daddy. Aku hanya tidak tahu kenapa orang sepertinya mau membantu kita. Apa yang sebenarnya dia inginkan dari hasil membantu kita?” akuku dengan suara lirih. “Dan kenapa kau menerima bantuannya? Mom?”

“Mia, dia tidak menginginkan apa pun dari kita. Kenapa kau masih keras kepala sekali tidak mau menerima bantuan seseorang? Insident itu sudah lama nak, sudah hampir enam tahun. Jangan samakan semua orang dengan Maya Delilah.”

Aku reflek menghembuskan napas berat.

“Coba bayangkan jika Mr. Molchior tidak segera membantu kita, apa yang akan terjadi terhadap daddy? Kau tidak lupa bukan parkinsonnya sudah stadium tiga, karena semalam jatuh dari kursi roda menjadi semakin parah, masuk ke stadium empat?”

Aku tau mom, aku tau, tapi aku hanya... Masih trauma dalam hal bantuan, teruma menyangkut masalah dad...

“Sekarang, pergilah dan minta maaf padanya. Lagi pula dia atasanmu. Tidak baik bertengkar dengan atasanmu sendiri, apa kau tidak khawatir tentang karirmu? Bersyukurlah karena Mr. Molchior tidak memecatmu secara langsung.”

“Tapi—”

“Pergilah dan minta maaf padanya!” ujar ibuku sambil mendorongku ke arah koridor di mana letak jalur pintu keluar rumah sakit berada.

“Tapi, aku khawatir dengan dad.”

“Jangan kembali sebelum kau berbaikan dengannya!”

“Tapi—”

Go!”

Aku terpaksa pergi.

Menjadi anak tunggal itu tidak enak. Tidak memiliki saudara untuk membela atau sekedar menghibur jika sedang berdebat dengan orang tua. Jadi mau tidak mau aku harus meminta maaf pada Dominic Molchior secara langsung seperti kata ibuku atau beliau tidak akan membiarkanku menjenguk ayah.

Sembari melangkah ke luar rumah sakit menuju taman luar aku berusaha menelpon Dominic Molchior terlebih dulu. Menendangi salju di jalan seperti orang gila. Sembari menunggu sambungan telepon, aku memasukkan satu tangan yang bebas dalam satu kantong mantel sementara tangan yang lain sibuk menempelkan ponsel ke telinga.

Tampaknya Dominic Molchior tidak ada niatan mengangkat telponku. Aku mulai khawatir dengan omogan ibuku tentang karir.

Apa dia benar - benar marah? Apa aku sudah sangat keterlaluan padanya?

______________________________________

Siapa sih Maya Delilah itu?
Terus kenapa sebegitu ngototnya si Mia Oswald ini gak mau di bantu?
Emang apa hubungannya sama Maya Delilah?

Hmmm entahalah

Well, thanks for reading this chapter

Thanks juga yang uda vote dan komen

Bonus photo Mia Oswald

Bonus photo Mr. CEO juga

See you next chapter after more than 105 votes 😁✌

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

23 Februari 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top