Chapter 10

Selamat datang di chapter 10

Tinggalkan jejak dengan vote dan komen

Tandai jika ada typo, sebelum Mr. CEO ngelempar chapter ini gegara typo gentayangan sana sini

Thanks

Happy weekend everyone

Happy reading

Hope you like it

❤❤❤

______________________________________

Aku ingin dia tahu jika dia juga patut di beri hadiah bagus

••Dominic Molchior••
______________________________________

Phoenix, 23 Desember
20.30 p.m.

“Apa kau sibuk Dom? Kemarilah, aku sedang membuat pesta, jangan lupa ajak Mia,” suara William Molchior di seberang bertimpang tindih dengan suara musik yang mendominasi. Tanpa membalas ucapannya kuputus sambungan telpon secara sepihak.

Dasar bocah ingusan!

Kau mungkin sudah bisa menebak. William Molchior adalah tipe laki - laki manja yang gemar berpesta. Sekitar empat tahun lalu ayahku memasukkan William Molchior ke asrama kampus di Portugal agar dia berhenti menghambur - hamburkan uang hanya untuk pesta tidak jelas. Namun bukannya berhenti, setelah lulus beberapa minggu lalu dan kembali ke Phoenix, dia malah semakin menjadi - jadi.

Ibarat hewan piaraan yang terkekang karena sudah lama di kandangkan, ketika di lepas langsung merasa bebas dan bertambah brutal.

Bukan masalah seberapa besar jumlah uang yang adikku keluarkan untuk pesta - pestanya, tapi maksud ayahku, ini merupakan ajang pembelajaran diri agar menggunakan uang untuk sesuatu yang lebih bermanfaat. Misal untuk amal.

Harusnya kuminta ayahku melemparnya ke timbuktu. Dasar tidak tahu diri, aku sibuk bekerja mengurusi perusahaan sementara dia sibuk berfoya - foya.

Bukan iri atau dengki, aku juga kadang cukup paham usia William Molchior yang masih tergolong muda, masih berjiwa bebas, belum ingin memikirkan bagaimana renacana kedepannya apalagi semua kemewahan sudah tersedia bahkan sejak sebelum kami lahir, sama sepertiku dulu, tepatnya beberapa tahun yang lalu. Tapi tiap hari mengadakan pesta tidak bermanfaat itu sangat berlebihan.

Selain gemar berpesta, adikku juga play boy. Mostly, rich kid hidup seperti itu. Sudah kubilang aku juga pernah, tapi sekarang sudah tobat dan memilih jalan lain. Friends with benefit, misalnya.

Well, bagian ini kau juga pasti sudah bisa menebak ketika kami makan siang beberapa waktu lalu dan adikku itu dengan tidak tahu malu mengomentari setiap inci tubuh Mia Oswald. Bahkan mengatakan padaku secara terang - terangan ingin bercinta dengannya!

Enak saja! Aku yang selalu berada di dekat Mia Oswald dari pagi hingga petang saja belum bisa menggiringnya ke tempat tidurku lagi! Apa lagi bocah ingusan itu yang baru bertemu sekali dengan Mia Oswald yang dalam keadaan sadar?! Langkahi dulu mayatku sebelum si play boy bocah ingusan itu mau bercinta dengan Mia Oswald!

Ya. Kau benar. Aku mengininkan Mia Oswald di ranjangku lagi. Dia adalah jenis wanita langka. Jika kebanyakan wanita perawan setelah kehilangan selaput daranya pasti akan menangis - nangis secara dramatis, meminta pertanggung jawabanlah dan bla bla bla... Namun Mia oswald berbeda. Dia tidak begitu. Malah, dia selalu ingin menghindariku setiap saat jika bisa.

Setelah keperawanannya hilang pun cara jalannya normal, tidak terseok - seok seperti orang yang baru pertama kali bercinta. Entahlah, mungkin aku yang terlalu ahli hingga dapat membuatnya merasa senyaman mungkin saat pertama kali melakukannya.

Kuakui wanita itu jadi lebih terlihat menarik. Sampai sekarang pun pendapatku tentang Mia Oswald masih sama. Masih menggairahkan di mataku, di mata William Molchior, atau di mata laki - laki normal di dunia ini kecuali Hansel Brent. Dia tidak termasuk dalam kategori laki - laki normal!

Tapi setelah beberapa minggu ini sibuk bekerja dengan Mia Oswald, aku tidak sempat memikirkan bagaiamana cara membawanya ke ranjangku.

Well ya, setidaknya itu yang ada dalam pikiranku beberapa waktu lalu sebelum melihat sisi lain dari Mia Oswald yang menangis lagi saat tertidur di kursi sebelah kemudiku saat ini. Memang dia tidak menangis sesenggukan atau tersedu - sedu. Namun cahaya lampu jalan seakan memperlihatkan untaian air matanya yang keluar begitu saja pada wajahnya yang tertutup helaian rambut lurus halus yang sedikit berantakan. Membawa kesan feminim.

Aku hanya memperhatikan dari kaca spion tengah, kadang sesekali menoleh ke tempat wanita itu tidur. Selain tidak berani mengusik wanita di sebelahku ini, juga karena sibuk memaki dalam hati.

Demi saturnus! Hansel Brent! Coba lihat kekasihmu ini! Dia berlagak kuat di luar padahal sangat lemah di dalam! Tapi tidak ada sedikit pun yang bisa kau lakukan! Pengecut!

Maka dari itu aku harus membuat sebuah rencana.

Sibuk dengan berbagai macam rencana dan makianku sendiri, ponsel di atas dashboard bernyanyi lagi. Jika itu panggilan dari adikku, aku tidak akan segan - segan mematikan ponsel. Tapi setelah kulirik siapa si penelpon dan tidak ingin membangunkan Mia Oswald, aku segera memasang headphone lalu mengangkat sambungan itu sambil memelankan laju mobil.

“Tidak ada barang yang berharga Mr. Molchior, aku sudah memeriksa semuanya. Barangnya bahkan sangat sedikit,” ucap seseorang di seberang telepon. Seseorang yang kuminta mencari tahu letak apartement milik Mrs. Brighman yang di sewa Mia Oswald. Memastikan dia sudah di usir atau belum. Dan ternyata tepat seperti dugaanku. Pemilik apartement sudah mengeluarkan barang - barang Mia Oswald dari sana.

Kau tahu? Photo ruangan sempit, kumuh dan lembab yang dikirimakan si penelpon itu bahkan tidak bisa di sebut sebagai apartmement. Tikus bahkan enggan menginjakkan kaki di sana.

Mengejutkan, Mia Oswald dapat tinggal di tempat seperti itu. Dan baguslah, lebih baik Mia Oswald keluar dari sana. Sehingga aku bisa menjalankan rencanaku.

“Apa ada mantel dan syal Louise Vuitton?” tanyaku sambil melirik wanita berparas manis itu sekilas. Memastikan apakah dia terganggu dengan suaraku atau tidak. Bersamaan dengan ingatan minggu lalu mengenai barang - barang yang kubelikan untuk Mia Oswald. Dan aku ingin dia menyimpannya. Aku ingin dia tahu jika dia juga patut di beri hadiah bagus.

Terdengar grasak - grusuk di seberang sebelum menjawab. Mungkin sedang mengubek barang - barang. “Warna coklat?”

“Iya. Tolong simpan itu dan bawa ke penthouseku sekarang.”

***

Phoenix, 24 Desember
03.00 a.m.

Orang yang sedang memandangi Mia Oswald tidur setelah menggendong dan meletakkan tubuh menggairahkan tersebut di atas kasur penthouse miliknya disertai ucapan selamat malam, sudah gila. Dan orang gila itu adalah Dominic Molchior. Ya. Benar. Orang itu adalah aku.

Biar kutegaskan sekali lagi. Aku hanya duduk di sofa jauh dari tempat Mia Oswald tidur hanya untuk memandangi wanita itu. Bisa saja aku meninggalkannya dan pulang ke estat untuk istirahat, tapi tidak kulakukan. Karena, entahlah aku juga tidak tahu. Padahal badanku sangat lelah, butuh tidur minimal sekitar delapan jam sebelum menjalankan jadwal padatku pagi nanti. Tapi otakku tidak henti - hentinya memikirkan tentang wanita yang sedang tertidur di seberang.

Beberapa menit kemudian ponsel Mia Oswald bergetar di dalam tas jinjingnya. Lagi - lagi karena aku tidak ingin tidur wanita itu terganggu atau terusik, dengan tergesa kuraih tas berwarna coklat di atas meja nakas sebelah kasur tempat wanita itu tidur dan mengambil ponselnya tanpa permisi.

Awalnya aku ingin mematikan ponsel tersebut, namun ketika melihat si penelpon, entah kenapa aku malah keluar dari kamar menuju balkon, tanpa mempedulikan selapis sweeter turtle neck tanpa mantel di tengah cuaca dingin ini hanya untuk mengangkat panggilan tersebut.

Angin digin menerpa wajahku ketika telepon mulai tersambung dan terdengarlah suara seseorang. “Halo Mia...” Aku dapat mendengar orang itu sedang menyeka air mata. “Maafkan mom menghuhungimu malam - malam begini, dad baru saja jatuh dari kursi roda saat akan pergi ke toilet, dan sekarang kami berada di rumah sakit. Kata dokter parkinsonnya sudah memasuki tahap stadium empat...”

Aku reflek memejamkan mata dan memijit pelipis menggunakan jari - jari telanjangku yang sedikit membeku. Masih menunggu Mrs. Oswald—orang tua Mia Oswald yang saat ini sedang bicara—merampungkan kalimat lagi.

“Dokter juga mengatakan sebaiknya dad di operasi besok, jadi... kami butuh uang untuk itu.”

***

Phoenix, 24 Desember
04.00 a.m.

Pasca sambungan telpon itu putus, aku tidak langsung kembali masuk ruangan yang hangat, masih berdiri memandangi lampu - lampu gedung dan jalanan di bawah. Sekitar setengah jam kemudian baru kutuskan kembali ke kamar, selain menghangatkan diri duduk di tempat tadi, juga kembali memandangi sosok Mia Oswald yang masih tertidur nyenyak.

Aku hanya duduk. Sampai - sampai sekitar satu jam kemudian suara wanita itu menyentak lamunanku.

“Oh Tuhan!” pekiknya reflek duduk dengan kebingungan. Kepalanya celingukan, baru sadar jika tempat ini sangat asing. Sebuah kamar yang mungkin menurutnya lumayan luas, sebagian berdinding kaca, menampilkan lampu gedung - gedung yang menjadi latar belakang pemandangan di depannya. Tepat depan kasur berselimut hitam dan abu - abu yang sekarang sedang dia duduki. Kemudian matanya berhenti pada satu titik. Mengernyit, mungkin memastikan jika dia tidak salah lihat.

“Mr. Molchior?” tanyanya dengan suara serak merdu. Dia reflek melihat bajunya sendiri. Mungkin berpikir apa aku melakukan hal yang iya iya padanya atau tidak.

Mia Oswald lanjut bertanya, “di-di mana ini? Kenapa aku bisa ada di sini? Jam berapa sekarang?”

Aku hanya diam mengamati.

“Maafkan aku karena ketiduran, aku sangat lelah,” tambah wanita itu lagi sambil merapikan rambut. Menyisir untaian halus lurus itu dengan jemari lentiknya yang indah.

Tenanglah Mia, bangun tidur dengan rambut berantakan pun kau masih cantik dan malah terlihat lebih sexy.

Alih - alih menjawab semua pertanyaan beruntun yang di ajukan Mia Oswald, aku malah memberikan perintah. “Ubah penerbangan menggunakan private jet dengan waktu yang sama. Pastikan pilot penerbangannya sudah siap, dan pastikan lagi semuanya sudah beres. Satu jam dari sekarang kita akan berangkat.” Kemudian bangkit berdiri menuju kamar mandi di kamar ini bersamaan dengan Mia Oswald yang berlalri mengejar dan menahan lenganku.

“Tunggu, bisa kau jawab dulu pertanyaanku yang tadi?” tanyanya.

“Ini penthouseku, dan aku yang membawamu ke sini, ada lagi?”

“Oh...” Wanita yang masih memegang lenganku sekarang sudah menurunkannya dan melirik ke sembarang arah. Detik berikutnya mendongak untuk menatapku lagi dengan jarak kurang dari semeter. “Boleh aku ke apartementku sebentar? Aku akan berkemas dengan cepat. Tentu saja setelah memastikan semua keperluanmu beres plus menelpon pilot private jet,” tambahnya seperti memohon.

“Memangnya kau punya tempat tinggal?” Itu adalah kalimat terakhir sebelum aku benar - benar menghilang ke kamar mandi. Meninggalkan Mia Oswald yang tampak masih menagih jawaban dariku.

______________________________________

Thanks for reading this chapter

Thanks juga yang uda vote dan komen di tulisan iseng ini

Tulisan yang di bikin buat nampung kehaluan saya aja, semacam jadi hiburan bagi diri sendiri mau pun man teman yang baca

Btw ada yang tau penyakit parkinson?

Yang belum tau, boleh kok nanya 😁

Well, ini dia Mia Oswald

Ini Dominic Molchior waktu masih mude

Jaman - jaman polem nih wkwksk 😂😂

Well, see you next chapter

With Love
©®Chacha Prima
👻👻👻

8 Februari 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top