Opsi Pertama

Story by NandaSofiani



Bukannya aku egois, tapi aku tidak bisa bertahan untuk disakiti.
Dari awal, aku sudah tekankan. Kalau aku tidak mau dikhianati.
Aku bukan wanita baik, yang lapang dada untuk menerima madu_ diduakan.

•••

Sebelumnya, perkenalkan namaku Zivanna Latisya. Aku biasa dipanggil Zizi, seorang ibu rumah tangga yang merangkap menjadi salah satu owner online shop. Jangan tanya umurku, aku sudah memiliki dua anak. Keduanya laki-laki, mereka sangat tampan sama seperti Ayahnya. Yang pertama namanya Alden, sudah berusia 9 tahun. Dan yang kedua namanya Adriel, sifatnya sangat mirip denganku, keras kepala dan teguh pada prinsip pertama. Anak yang baru usia 4 tahun itu begitu menggemaskan dengan tingkah dan sifatnya yang agak dewasa.

Aku tidak bisa memulai dengan pasti, ceritaku. Ini adalah kisah rumah tanggaku yang sudah kuarungi 10 tahun lamanya. Pernikahanku dikategorikan nikah muda, aku menikah saat umurku masih 19 tahun. Tentunya suamiku sekarang adalah lelaki yang amat kucintai. Dari dulu hingga sekarang, atau mungkin selamanya(?) Namanya Rusdy, lelaki yang sangat tampan nan gagah pada usianya kini, lelaki yang memiliki pesona luar biasa. Di usianya yang sudah memasuki 36 tahun, banyak orang luaran sana mengira bahwa dia belum menikah dan sudah memiliki anak. Aku juga mengakuinya, bahkan banyak gadis-gadis abege, yang sering menggodanya. Aku cemburu pastinya, bahkan aku dulu sempat melabrak mereka yang terang-terangan memuji suamiku itu. Entah hormon ibu hamil, aku dengan berani melabrak sekelompok cabe muda itu, dikehamilanku yang kedua memang sangat sensitif.

Dulu, aku percaya pada suamiku, dan selalu mengingatkannya untuk tetap setia padaku. Tak pernah sekalipun aku menaruh curiga padanya. Aku juga sebagai istri selalu mematuhi apa saja yang dititahkan olehnya. Mulai dari tidak bisa bekerja diluar, dan juga membatasi kegiatan arisan dengan teman-temanku. Aku mematuhinya, aku tak menganggap itu beban. Aku menganggap semua larangan darinya adalah bentuk pahala yang ku tabung untuk masa depanku kelak. Makanya aku memilih membuka usaha lewat online, walaupun penghasilan itu tidak seberapa. Setidaknya, aku selalu ada dirumah, itu salah satu kemauan suamiku. Aku sama sekali tak marah atau jenuh, di rumah aku selalu siap siaga bersama kedua jagoanku. Menemani mereka belajar, memantau pertumbuhan Adriel, dan juga selalu menemani mereka bermain.

Semuanya masih seperti biasa, memang sih hari-hari ku monoton. Tapi aku tak salah, apapun itu yang membuat Mas Rusdy suka, aku akan melakuinya.

Semakin hari masih terlihat seperti biasa, tapi tidak dengan Mas Rusdy. Akhir-akhir itu Mas Rusdy sering pulang malam, setiap ku tanya jawabannya, lembur di kantor. Aku masih biasa saja menanggapi, tak ayal hatiku sedikit resah waktu itu. Aku memberanikan untuk mengecek HP-nya, dan jleb... Terkunci.
Sejak kapan Mas Rusdy membubuhkan sandi di HP-nya?
Aku semakin curiga, itu pasti.

Puncaknya, sebulan setelah itu Mas Rusdy selalu pulang malam, dan bahkan tak pulang untuk beberapa hari kedepan. Aku semakin bingung, setiap aku tanya ada meeting di luar kota, itu jawabannya.
Rasa gelisah seorang istri itu sudah pasti ada, praduga-praduga negatif memenuhi pikiranku.

Esok harinya, setelah mengantar Alden dan Adriel ke sekolah, aku memutuskan untuk mendatangi kantor Mas Rusdy. Menanyakan apakah benar Mas Rusdy sedang ada meeting di luar kota.
Sesampainya disana, aku di sambut resepsionis dengan ramah, mereka sudah pasti sangat kenal denganku, karena aku sering berkunjung kesini.

“Selamat pagi, Ibu Zizi. Ada yang bisa dibantu?” Sapa gadis resepsionis berhijab itu.

Aku tersenyum, sebelum menjawab, “tau saja kalau saya lagi ingin dibantu.” Aku dan dia pun terkekeh menanggapi.

“Bapak lagi ada meeting diluar kota kah?” Tanyaku hati-hati, terlihat jelas kening resepsionis yang bernama tag, Amanda itu berkerut.

“Enggak, Bu. Baru saja setengah jam yang lalu Bapak sampai.”
Aku terkejut bukan main, jawaban macam apa ini. Terus, jika Mas Rusdy tidak meeting ke luar kota, semalam kenapa dia tidak pulang?

Aku pamit pada Amanda, untuk menemui Mas Rusdy di lantai 7. Sesampai disana, aku tidak langsung masuk kedalam ruangan Mas Rusdy. Ku tatap pintu kayu yang bertuliskan Direktur keuangan itu lamat-lamat. Aku takut ketika sudah ku buka, hal-hal buruk yang ku lihat. Aku beristighfar dalam hati, terlalu sering menonton Ftv ikan terbang juga tidak baik untuk diriku sendiri. Jadi Parnoan tak menentu.

Perlahan, tapi pasti aku membuka pintu itu. Langkahku maju beberapa langkah, untuk mengakses lebih dalam lagi ruangan besar itu.

“Allahu Akbar,”

Jantungku bertalu-talu, lututku lemas seketika. Nafasku terhenti saat itu, seolah oksigen tidak mengizinkanku untuk menghirupnya. Pradugaku ternyata benar, terbukti sudah. Air mataku luruh seketika, melihat dua orang yang berbeda jenis kelamin itu. Itu suamiku.. dan wanita itu... Sekretarisnya.

“Zizi, sayang.”

Cobaan apa ini ya Allah?

•••••••••••••

Dengan sekuat tenaga aku berusaha pulang kerumah, membawa mobil dalam keadaan kacau. Hampir saja waktu itu di jalan aku menabrak orang. Tapi, Allah masih melindungiku dari musibah itu. Aku tidak bisa berpikir jernih, hatiku kalut. Separuh jiwaku hilang. Menangis, meraung_ itu yang kulakukan saat itu dalam kamar. Aku tidak bisa menerima, suamiku berselingkuh. Dengan... Sekretarisnya sendiri.
Dan tadi aku melihat aksi tak senonoh mereka, dengan mata kepala sendiri. Mereka berciuman, bahkan.... Suamiku meraba setiap lengkuk tubuh wanita itu. Allahu Rabbi, jika tadi aku tidak datang, akankah mereka memasuki tahap yang lebih dari itu?

Beberapa saat kemudian, ku dengar pintu kamar terbuka. Kuyakini itu Mas Rusdy, dan ternyata benar.

“Sayang,”

Aku tertawa keras, mendengarnya memanggilku dengan sebutan sayang. Mas Rusdy mendekat, bersimpuh di kakiku.

“Maafkan, aku.”

“Sejak kapan?”

“Maafkan aku, sayang.”

“Jawab!!”

“Setahun yang lalu,”

Ini kejutan kedua bagiku, selama itu mereka berhubungan dan aku baru mengetahuinya sekarang. Bagus, mereka bermain terlalu cantik.
Aku mengakuinya, mereka terlalu rapi. Aku tertawa sambil menangis, saat itu aku bagaikan orang gila.

“Kenapa? Kenapa kamu berkhianat? Kenapa kamu berselingkuh dibelakang ku?”

“Aku bosan,” dengan entengnya, Mas Rusdy menjawab. Dan jawabannya itu mampu meluluhlantakkan hatiku. Aku menangis lagi, tapi masih banyak pertanyaan yang ingin ku ajukan.

“Sejauh mana hubungan kalian?”

“Jawabanku akan membuat kamu hancur, Zi,” elak Mas Rusdy. Aku sungguh penasaran sampai mana hubungan mereka, apakah aku akan sanggup bertahan atau sebaliknya.

“Jadi, maksud kamu perbuatan kamu selama ini, tidak membuat hatiku hancur.”

Mas Rusdy menunduk hendak menjawab, “sudah ke tahap sama seperti kita.”

Mereka berzina sejauh itu, aku menjerit histeris. Meratapi betapa bodohnya aku selama ini. Allah,, aku tak tahan dengan sakit ini.
Aku menatap Mas Rusdy yang masih bersimpuh di kakiku. Rasa-rasanya tidak ada raut penyesalan di matanya itu.

“Apa mau Mas sekarang?” tanyaku waktu itu, sambil menatap tajam mata Mas Rusdy.

“Menikahi Kayla.”

Dengan reflek dan sekuat tenaga aku menendang Mas Rusdy, dan membuat dia tersungkur. Dia terkejut melihat kemurkaanku, aku pun sama. Aku tak pernah semurka ini, semarah apapun aku tidak pernah mau menyakiti hati suamiku.

Aku tertawa hambar.

“Terima kasih untuk kejutan-kejutan hari ini, sayang.” Mas Rusdy saat itu bergidik ngeri, kala menatap mataku yang penuh dengan amarah.

“Zizi, aku janji akan adil nantinya. Jika kamu mengizinkan,”

“Bullshit! Tidak akan pernah ada kata adil di dalam kamus poligami. Aku tidak akan mengizinkan kamu menikah lagi. Demi Allah, aku tidak akan mengizinkannya.” Teriakku tambah murka, wajahku saat itu kuyakini sangat merah.

“Kamu egois, Zi.”

“Egois? Kamu bilang egois Mas, kamu itu lucu. Hahaha... Kamu yang selingkuh malah aku yang kamu bilang egois.” Aku menangis ditengah-tengah tawaku.

“Apapun itu, diizinkan atau tidaknya. Aku tetap akan menikahi Kayla.”

“Meskipun aku meminta cerai?”

Mas Rusdy terhenyak, matanya menatap menantang kearah ku. Aku membalas dengan tatapan menantang juga, aku tak mau kalah.

“Jika itu keinginan mu, aku akan menuruti.”

Semuanya kosong.

Aku benar-benar hampa.

Bumiku berhenti saat itu juga.

Apakah hanya sampai disini pernikahan ku?

•••••••••••••

Dua bulan lamanya, semuanya telah berakhir. Rumah tanggaku yang selama ini kupupuk telah mati. Suara palu yang diketuk hakim, telah mensahkan semuanya. Tepat hari itu, aku menyandang status janda beranak dua. Di usia yang ke 29 tahun, aku menjanda. Miris bukan? Aku terkadang tertawa dengan nasibku.

Bercerai, atau bertahan demi anak-anak. Aku memilih opsi pertama, aku tidak mau selama hidupku makan hati. Biarkan orang-orang mengatai ku egois karena tidak mengizinkan suamiku menikah lagi. Aku tak menghiraukannya, aku tak mau seumur hidupku berkubang dengan kesakitan.

Kedua anakku jatuh padaku, hak asuh mereka ada padaku. Aku juga tidak akan membatasi Mas Rusdy untuk menemui mereka. Alden dan Adriel juga butuh figur seorang ayah. Dan untuk Mas Rusdy, yang sekarang sudah menjadi mantan suamiku, beberapa bulan setelah kami resmi bercerai. Mereka melangsungkan akad nikah, aku juga diundang. Tapi, dengan keras aku menolaknya. Aku berpikir, apa mas Rusdy tidak punya hati? Dengan entengnya dia memberikan undangan pernikahannya padaku. Aku akui itu sakit, cinta ku untuk Mas Rusdy belum sepenuhnya hilang saat itu. Melihat undangan pernikahan mereka, membuatku sakit.

•••••••••••••••

Sekarang, dua tahun telah berlalu. Semua lembar masa lalu sudah ku tutup. Digantikan lembar-lembar kosong yang perlu ku tintakan.
Hidupku saat ini sudah tenang, berdamai dengan masa lalu ternyata tidaklah mudah. Jatuh berkali-kali, itu yang selalu kurasakan dua tahun ini. Dan sekarang, insya Allah semuanya berlalu. Hatiku sudah move on. Dan mengenai mantan suamiku itu, sudah beberapa bulan ini jarang terlihat. Bahkan dia tidak menemui anak-anaknya. Sebenarnya, aku tidak masalah kalau mas Rusdy tidak mengunjungi mereka, tapi melihat kemurungan Alden dan Adriel membuatku sedih.

Aku lupa mengatakan, setelah bercerai dengan Mas Rusdy aku dan kedua anak-anakku pindah ke Jakarta. Merajut asa di kota kelahiran ku ini bersama kedua jagoanku. Merekalah selama ini yang menemani keterpurukan ku. Alden, yang bisa mengerti keadaan dan mau memahami semuanya. Bocah yang sudah berusia 11 tahun itu mampu menyikapi masalah orang dewasa. Aku sungguh bangga dengan anakku.

“Mama!!” teriakan si kecil Adriel mampu mengangetkan ku.

“Ada apa sayang?” aku bertanya, saat Adriel ada di hadapanku dengan keadaan yang ngos-ngosan. Lalu ku raih tubuh kecilnya itu dalam gendongan ku.

“Abang Alden nakal, suka jail sama Adriel. Terus nakut-nakutin Adriel pakek ular mainan.” Adunya, aku bisa melihat tampang kesalnya itu. Aku malah tersenyum menanggapi.

“Nah, itu Abang Alden. Marahin Ma!” Tunjuk Adriel, saat Alden muncul dengan tampang nyengirnya.

“Abang!! Kamu jail lagi sama adek?”

“Enggak, Ma. Alden cuman main-main aja tadi,” alibinya.

“Kamu udah nakal ya sekarang, awas sini Mama cubit.” Aku pura-pura marah, agar Adriel tidak ngambek lagi. Alden malah lari saat aku hendak menjewer telinganya, jadilah kami bertiga lari-larian di ruang keluarga. Alden dan Adriel malah tertawa, saat keduanya terjerembab jatuh bersamaan di karpet.

Tak bisa ku pungkiri, aku begitu senang melihat mereka tertawa lepas.
Setelah beberapa saat kami larut dengan momen ini, suara bel rumah tiba-tiba berbunyi. Aku, Alden, dan Adriel tentu saja berlari bersamaan untuk membuka pintu.

Setelah ku buka, ternyata.......

Mas Rusdy_ mantan suamiku yang datang.

Dia terlihat begitu.... Ah lupakan.

Aku mempersilahkannya masuk, dan duduk diruang tamu. Aku memberinya minum, dan kulihat anak-anak. Mereka tampak acuh tak acuh. Bahkan, daritadi tak ada acara peluk-pelukan di antara mereka. Biasanya setiap kali mereka bertemu, Adriel yang paling excited. Aku menyuruh anak-anak masuk kamar saat Mas Rusdy memintaku untuk berbicara berdua.

“Aku menyesal.”

Aku ingin tertawa, mendengar dua kata itu. Aku yakin pasti saat ini Mas Rusdy sedang tidak baik-baik saja.

“Aku menyesal, selama ini aku tidak bersyukur. Aku telah menyia-nyiakan kami, Zi. Aku rela meninggalkan kamu demi wanita lain, aku minta maaf. Dan ternyata Kayla hanya memanfaatkan ku.”

“Penyesalan memang terjadi di akhir cerita, Mas.”

“Aku ingin kembali, bersama kamu dan anak-anak.”

Tepat setelah Mas Rusdy mengatakan itu, aku tertawa keras. Sampai air mataku mengalir. Lucu sekali hidupku, persis kayak Ftv yang sering ku tonton. Dimana si laki-laki yang berselingkuh akan menyesal ketika tau bahwa simpanannya hanya memanfaatkan hartanya.

“Lucu ya, Mas. Udah kayak Ftv aja hidup kita.”

“Aku serius, Zizi. Aku ingin kembali, ini juga demi anak-anak.”

Aku menatap tajam Mas Rusdy, apa katanya tadi. Demi anak-anak?

“Sekarang kamu menyesal, dan mengatasnamakan anak-anak. Dulu, saat kamu selingkuh kamu nggak mau meninggalkan wanita itu, dan tidak pernah berpikir keadaan anak-anak. Sekarang, setelah semua kebahagiaan kamu berakhir dengan wanita itu, kamu meminta kami menerima mu kembali? Hebat sekali kamu, Mas.”

“l will never accept you again. Camkan itu.”

Ucapku menggebu, aku bukan wanita baik yang mampu menerima mantan suami untuk kembali. Aku sudah memaafkan Mas Rusdy, tetapi bukan untuk melupakan perbuatannya itu. Semua itu terlalu sakit bagiku, aku harus tegas pada prinsip ku. Aku tidak mau memberi peluang untuk disakiti oleh orang yang sama.

“Rumah tangga itu fitrah, Mas. Bukan sampah yang seenaknya dibuang, lalu dipungut kembali. Rumah tangga itu seumur hidup, Mas
Mas akan bosan dengan hal itu. Jadi, sebaiknya Mas pulang saja, aku dan anak-anak akan beristirahat.”

“Apa tidak ada lagi cinta untuk Mas, sedikitpun?”

“Dulu aku pernah bilang sama Mas, bahwa aku selalu mencintai Mas dan akan terus mencintai, Mas. Dengan syarat setia padaku selamanya. Tapi, Mas melupakannya. Sekarang, jangan salahkan aku jika cinta itu hilang tanpa bekas.”

Mas Rusdy diam seribu bahasa, tampangnya satu tak terbantahkan. Pakaian yang acak-acakan menambah kesan penyesalan terlambat nya. Lalu, dia pamit undur diri. Tak lupa meminta maaf padaku, sedalam-dalamnya.

Itulah aku, bukan wanita baik yang mampu
memperbaiki sesuatu yang sudah pecah.

  

TAMAT                                          



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top