Mimpir Buruk
Karya: NurulHidayah408069
***
"HidayahggMas?" Wanita dengan pakaian sexi berwarna merah maroon itu bergelayut manja di bahu Arman. Sedikit merajuk karena prianya tak kunjung memberi kepastian kapan ia akan dinikahi.
"Sabar, Siz. Ini aku juga lagi usaha gimana cara ngomong ke Firya kalau ingin menikahimu," ucap Arman mencoba memberi pengertian kepada Siza.
Hubungan mereka sudah berlangsung lama. Siza adalah seorang janda beranak 1 yang menjabat sebagai sekretaris sekaligus kekasih gelap Arman. Awal dari hubungan merekapun karena Siza yang dengan sengaja menggoda bosnya setiap saat. Arman yang awalnya merasa jijik entah mengapa akhirnya tergoda.
Arman menginginkan Siza, namun tak jua mau melepas Firya.
Ya. Ia menginginkannya keduanya. Bahkan kehadiran Siza sebagai kekasih gelapnya sedikitpun tak mengurangi rasa cintanya terhadap Firya. Gadis muda yang dipertemukan dengan sebuah jalur perjodohan.
Firya.
Usianya masih 22 tahun. Usia yang masih muda membuatnya terkesan polos dan bodoh. Tidak menyadari perbuatan busuk suaminya yang berhianat dibelakangnya.
Begitulah kepercayaan. Terkadang ia berperan menjadi sebuah kebodohan.
***
"Mas, minta tolong," ucap Firya yang sedang sibuk menenangkan putranya yang sedang menangis."Bikinin susu, Aksa rewel banget. Nggak bisa ditinggal."
"Iya, sayang," jawab Arman lalu beranjak tanpa keberatan. Arman termasuk dalam kategori suami idaman yang selalu menyayangi istrinya. Namun sayang, kehadiran Siza membuat Arman menjadi pria berengsek.
"Anak Papa kenapa, hmm. Sini, gendong Papa. Kasian Mama capek." Arman meraih putranya yang masih saja menangis. Begitulah sikapnya. Ia tak mau melihat Firya terlalu kelelahan. Berkali-kali ia ingin mencarikan Art dan Baby sister. Namun, Firya selalu menolak dengan alasan ingin melakukannya sendiri.
02.45
Arman terbangun dari tidurnya. Beberapa hari ini ia merasa tidurnya kurang nyenyak. Ia begitu kalut memikirkan bagaimana cara membujuk Firya agar mau dimadu.
Persoalan bicara mungkin mudah baginya. Namun, resiko yang membuat dirinya takut untuk berterus terang kepada Firya.
Kemungkinan terburuk yang ia pikirkan adalah, Firya akan meninggalkannya.
Ia takkan sanggup. Sungguh, Firya adalah hidupnya.
"Maafkan aku, Sayang," gumam Arman pelan sembari mengecup dahi istrinya yang sedang tertidur pulas.
"Unggh, Mas kenapa bangun?" tanya Firya yang sedikit terganggu dengan tangan Arman yang mengelus-elus pipinya.
"Eem, enggak tau. Mas kangen kamu sampai susah tidur," ucapnya lalu mengecup bibir istrinya. Firya tersenyum mengerti arti dari ucapan suaminya.
Jika dipikirkan keluarga Arman cukup harmonis. Istri muda yang cantik, penurut, dan juga anggun. Namun begitulah hati manusia, seringkali tak puas akan apa yang telah dimiliki.
Semakin besar anugrah, semakin besar keinginan untuk meminta lebih.
****
"Mas, ini bekas lipstik siapa?" Firya menghampiri suaminya yang sedang sibuk memakai kaus kaki. Lalu menunjukkan ada noda lipstik di bagian saku kemejanya.
"Lipstik?" Arman mengernyit bingung. Namun sedetik kemudian matanya melotot memandang kemeja biru muda yang kemarin ia pakai. Ia yakin itu pasti bekas lipstik Siza saat memeluknya.
Jantung Arman berpacu lebih cepat, ia tak tahu harus berkata apa pada istri tercintanya.
"S-Sayang. Itu bukan bekas lipstik, itu saus."
Arman tak begitu yakin Firya akan mempercayainya. Beruntung lipstik Siza berwarna oranye, mungkin saja masuk akal saat memberi alasan kalau itu bukan lipstik.
Firya yang masih tak percaya hendak mencium baju Arman. Namun, sebelum hidung Firya mendarat pada baju Arman, pria itu lebih dulu merebut kemeja itu dari tangan istrinya.
"Jangan kamu tempelin hidung, Dek. Saus ini sangat pedas." Arman berjalan kebelakang lalu meletakkannya pakaian itu ke dalam mesin cuci dan menyiramnya dengan air.
Tidak. Ia sama sekali belum siap jika Firya mengetahui tentang hubannya dengan Siza sekarang.
"Apa kamu mencurigai Mas, hmm?" ucapnya sembari memegang kedua bahu mungil Firya. Gadis itu hanya menunduk sesaat kemudian terdengar isak tangis yang begitu pelan.
"Hiks ...."
Arman yang menyadari itu langsung mendekap tubuh lemah istrinya. Matanya memejam menahan sesak yang membuncah di dadanya. Sungguh, tangis Firya adalah pisau tajam baginya.
"M-maaf, Firya nggak bermaksud curiga. Firya Cuma takut kehilangan Mas," ucap Firya lemah. Ia sangat takut kehilangan sosok pelindung seperti Arman. Ia sangat takut kehilangan sandaran ternyaman setelah orang tuanya.
"Sttt ... Sayang dengerin Mas. Kamu itu satu-satunya. Nggak ada yang lain, nggak akan pernah ada. Kamu dengar itu? Mas nggak akan ninggalin kamu. Kamu percaya, kan?"
Firya mengangguk lalu megeratkan pelukannya kembali. Arman termenung sesaat, mengingat kebohongan yang telah ia lakukan kepada istrinya sendiri. Namun, tak dapat dipungkiri. Semakin ia merasa bersalah pada Firya, semakin jelas bayang-bayang Siza yang menggoda dirinya.
Aku tak ingin kehilangan Firya. Namun, aku tak mampu bila harus tanpa Siza.
Aku ingin memiliki keduanya. Bukankah itu boleh-boleh saja?
***
Siza tersenyum puas saat keluar dari toko berlian bersama Arman. Wanita itu terus merengek meminta untuk segera dinikahi. Hingga sampailah hari ini Arman mengajaknya untuk membeli cincin pernikahan.
Tak tanggung-tanggung, pria itu menghabiskan uang lebih dari 80 juta untuk membelikan perhiasan untuk Siza. Jika Firya lebih menyukai kesederhanaan berbanding balik dengan Siza yang selalu ingin tampil mewah dan menawan. Namun, Arman sama sekali tak mempermasalahkan hal itu. Toh, hartanya tak akan habis hanya untuk memanjakan Siza.
"Mas, aku udah nggak sabar bisa memakaikan cincin ini di jari Mas nanti setelah ijab qobul," ucap Siza begitu antusias. Sekarang mereka berada dalam ruangan Arman. Siza duduk di atas pangkuan Arman, satu tangannya ia kalungkan ke leher pria itu dan tangan yang lain sibuk memegang kotak beludru berisikan cincin yang baru saja mereka beli.
"Kamu suka?" tanya Arman lembut. Tanganya sibuk membelai wajah halus milik Siza.
"Tentu saja suka. Apalagi yang beliin kamu." Siza mengecup ujung bibir Arman cukup lama. Namun, wanita itu sedikit kecewa karena tak ada reaksi apapun dari Arman.
"Kamu serius nggak sih, sama aku?" Siza beranjak dari posisi duduknya tapi belum sempat berdiri, tubuhnya sudah ambruk lagi karena ditarik oleh pria idamannya itu.
"Aku sangat serius, coba tatap mataku Siza. Apakah ada kebohongan di sana?" ucapnya dengan lembut mencoba meyakinkan wanitanya agar bisa percaya.
"Aku takut kamu berbohong. Aku benci dibohongi, Mas!"
"Aku tahu itu, Za. Aku tak 'kan melakukannya. Kamu mengerti?" Kecupan hangat mendarat di kening mulus Siza.
Tak dapat Arman pungkiri. Siza memang lebih cantik dibanding Firya. Kulitnya putih bersih. Bibirnya mungil dengan tahi lalat yang ada di sudut matanya. Membuat janda itu terlihat begitu mempesona.
Arman sempat heran, mengapa bisa suami wanita itu dulu tega meninggalkan mahkluk sesempurna ini. Bukankah ia sangat rugi?
Ah, bahkan Arman sampai lupa jika pertanyaan itupun pantas ditunjukkan kepada dirinya.
Sungguh sulit untuk dipahami. Hatinya begitu gundah memikirkan 2 wanita itu.
Akankah ia harus bertahan dengan cincin yang lama? Atua mengganti dengan yang baru? Atau bahkan memiliki keduanya?
***
Pagi ini sebelum berangkat kerja. Arman terlebih dahulu mengantar Firya dan Aksa ke rumah mertuanya. Istrinya bilang ia ingin belajar memasak rendang bersama sang ibu. Dengan senang hati ia mengantar Firya, jika di sana pasti istrinya akan betah hingga menginap.
Kesempatan itu tak ia sia-siakan. Dengan begitu leluasa ia akan pergi berdua bersama Siza, bahkan terkadang membawa wanita itu pulang ke rumah.
Setelah mengantarkan Firya. Arman langsung berangkat menuju kantor. Jarak antara rumah Arman dan rumah mertuanya tak begitu jauh. Hanya membutuhkan 30 menit perjalanan. Dan sekarang, pria itu butuh waktu 45 menit lagi untuk bisa sampai ke kantor. Arah antara rumah mertuanya dan kantor yang berlawanan membuatnya harus putar balik lagi. Namun tak mengapa, ia tak pernah mengeluh walau harus menjalaninya berkali-kali.
"Istriku sedang di rumah mertua," Seketika Siza tersenyum bahagia, ia menatap pria yang ada di hadapannya dengan tatapan nakal. Lalu tangannya perlahan menggenggam tangan besar Arman.
Mereka sekarang sedang berada di Kafé untuk makan siang. Arman sengaja mengajak Siza untuk pergi makan siang agak jauh dari kantor. Selain ingin berduaan dengan Siza, ia juga ingin menghindari pandangan buruk dari para karyawannya.
"Dia menginap?"
"Entah, biasanya menginap. Tunggu saja Firya telpon minta dijemput atau tidak."
"Ayo, pulang!" Siza merapikan tasnya lalu berdiri dan menarik tangan Arman.
"Makanannya belum habis, Sayang."
"Lupakan, aku sudah tidak lapar," Siza begitu terlihat tidak sabar. Kesempatan seperti ini tak pernah mereka sia-siakan.
Meski tak pernah melakukan hal-hal yang melampaui batasnya, mereka selalu pergi berdua saat Firya sedang di rumah ibunya.
Entah itu menonton di rumah Arman, pergi ke bioskop, atau belanja dan pergi ke tempat lainnya. Mereka selalu pulang larut seolah tak ingin waktu sedetikpun terbuang sia-sia.
Seperti saat ini, jam dinding sudah menunjukkan pukul 21.40 kedua insan itu seolah tak ingin terpisahkan. Bercengkrama di kediaman Arman sambil menonton televisi. Firya tidak menelfon untuk minta dijemput, itu artinya ia akan menginap di sana.
"Kapan kita bisa seperti ini tanpa sembunyi-sembunyi?" Siza merebahkan kepalanya di dada bidang Arman. Televisi seolah hanya sebuah pengisi suara saja, tanpa mereka tonton. Keduanya memilih sibuk untuk bermesraan menghabiskan waktu bersama.
"Sabar, Sayang. Aku butuh waktu."
"Sampai kapan?" Siza memasang wajah cemberutnya sambil memeluk Arman. Pria itupun membalas pelukan Siza dan mengelus kepala wanita itu.
"Sampai ak—"
Praaannkkk
Keduanya menoleh terkejut saat mendapati wanita dengan bayi di gendongannya dan rantang berisi rendang yang sudah berserakan di lantai.
"F-Firya ...."
Ya. Wanita itu tak lain adalah Firya, istri sah Arman. Firya memang berniat menginap di rumah ibunya. Namun entah mengapa, Aksa begitu rewel. Firya pikir putranya merindukan Arman, tanpa ingin merepotkan suaminya yang lelah pulang kerja ia berinisiatif mengendarai Taxi untuk pulang.
Saat pulang, kejutan tak terdugalah yang ia dapat. Tubuhnya seolah membeku, tak tahu harus bereaksi seperti apa. Jangankan berteriak, untuk berucap lirih pun lidahnya terasa kelu.
"S-Sayang, ini tidak seperti—"
"Jangan mendekat!" Dengan uraian air mata Firya mencegah suaminya yang berjalan ingin mendekatinya.
"Semua yang terlihat sudah menjelaskan semuanya, Mas. Aku tidak buta!"
"T-tapi—"
"Siapa dia? Jawab, Mas! Meski aku sudah tahu jawabannya tapi aku ingin dengar semuanya dari mulut Mas!" ucap Firya dengan bergetar. Pundak rapuhnya terlihat berguncang hebat menahan isak tangisnya.
"Saya Siza, kekasih Mas Arman," lirih Siza. Ia menatap Firya dengan iba. Sesungguhnya tak tega melihat iatangis Firya, tapi ia juga tak bisa melepaskan Arman.
"Diam! Aku tidak bicara denganmu!" Amarah Firya tak dapat terkendali bahkan tas yang ada di tangannya sudah melayang menampar wajah Siza, tepat seperti yang Firya inginkan.
"Apa benar begitu, Mas?" Arman hanya mampu terdiam, menahan sesak yang ada di dadanya saat melihat istrinya hancur karena ulahnya sendiri.
"Jawab tuan Arman Sanjaya yang terhormat!"
Pyaarrrr
Bersamaan dengan itu, kaki Firya menendang guci yang ada di sampingnya. Aksa sudah menangis sejak pertama kali Firya berteriak. Tak mampu menenangkan Aksa, wanita itu hanya mampu mendekap putranya dengan emosi yang diiringi tangis pilu.
"Iya" Satu kata yang lolos dari bibir Arman yang mampu meruntuhkan dunia Firya, tubuhnya luruh ke lantai dengan tangan mendekap erat putranya.
Semudah itukah rumah tangganya hancur?
Bahkan ia tak pernah menyangka, sosok yang selalu ia banggakan telah menghancurkan hidupnya.
Diusianya yang masih muda, ia harus menelan racun yang tak mematikan namun menyiksa.
Inikah akhir dari semuanya? Haruskah ia bertahan dengan menelan kepahitan yang mencekik tanpa ampun.
***
Setelah kejadian semalam, Firya tetap melakukan aktivitas seperti biasanya. Memasak dan menyiapkan segala keperluan suaminya.
Arman dibuat bingung saat mendapati perubahan pada diri Firya. Wanita itu tampak melupakan kejadian semalam dan seolah memaafkan Arman begitu saja.
"Diminum dulu kopinya, Mas."
Kebingungan Arman bertambah saat mendapati 2 cangkir kopi tersaji di hadapannya. Pasalnya, Firya tak pernah meminum kopi. Lantas untuk siapa 1 cangkir kopi itu?
Tak ingin banyak bertanya, pria itu meraih 1 cangkir kopi lalu meminumnya.
"Tumben kamu minum kopi?" tanya Arman bingung saat mengetahui ternyata kopi itu untuk Firya sendiri.
"Nggak apa-apa, Mas. Aku hanya ingin menikmati secangkir kopi bersamamu sebelum semuanya berubah." Darah Arman berdesir hebat saat mendengar penuturan Firya, tangannya meraih jemari lentik milik istrinya dengan mata yang sudah berembun.
"Maaf," ucapnya sambil menunduk. Sungguh ia merasa begitu hina di hadapan istrinya sekarang.
"Mas nggak perlu minta maaf. Firya sudah maafkan, Mas." Perlahan gadis itu melepas genggaman tangan suaminya.
"Pagi ini akan menjadi hari pertama dan juga terakhir kita meminum kopi bersama-" Firya menjeda ucapannya lalu menatap Arman dengan lekat. Sedangkan pria itu tak mengerti dengan yang istrinya katakan.
"Di sini aku tak akan mendapat peruntungan sama sekali." Arman tetap diam, menyimak kata demi kata yang keluar dari bibir manis istrinya.
"Salah satu dari kopi yang kita minum tadi—" Firya menyeringai lebar lalu melanjutkan ucapannya lagi."Sudah aku beri racun."
Kedua bola mata Armah melotot tak percaya, perlahan tangannya menyentuh bagian depan lehernya.
"Aku tidak tahu yang mana yang berisi racun. Karena aku sengaja mengacak dan memutar-mutar 2 gelas tadi. Jika aku yang meminum, maka Mas beruntung bisa tetap hidup dan menikahi selingkuhan Mas," ucap Firya begitu santai. Seolah tak peduli dengan tatapan terkejut suaminya.
"Dan jika Mas yang meminum, aku tak akan merasa beruntung karena harus menjanda diusia muda dan membusuk di penjara." Arman memejamkan matanya, ia berdoa semoga ada keajaiban yang menyelamatkan ia dan rumah tangganya.
Ia berjanji dalam hati tak akan lagi mengulangi kesalahannya. Ia masih ingin hidup baghagia dengan Firya dan Aksa.
Bruukkk
Dunia seolah berhenti berputar sejenak. Tidak!
Bukan ini yang Arman harapkan. Bukan akhir seperti ini yang ia inginkan.
"FIRYA!"
Menangis pun percuma, teriak pun hanya akan sia-sia. Sejuta maaf yang terucap tak lagi berguna. Ia mendekap tubuh istrinya yang sudah terkulai di lantai. Mencium tangan Firya yang dingin.
Mengguncang tubuh lemah itu yang tak lagi bernyawa.
"FIRYA!"
"JANGAN TINGGALIN MAS. AKU MOHON."
"FIRYA! BANGUN SAYANG!"
"Mas, bangun! Mas kenapa?"
Arman terduduk dengan nafas yang tersengal-sengal, keringan dingin membanjiri tubuhnya.
"Mas kenapa? Mimpi apa?" Firya mengguncang tubuh suaminya yang terduduk dengan kaku. Dalam hitungan sepersekian detik tubuh Firya sudah tenggelam dalam dekapan Arman. Pria itu menangis dan mendekap tubuh istrinya dengan erat.
Firya menepuk-nepuk punggung Arman, ia pikir suaminya mungkin bermimpi buruk sampai-sampai bereaksi tak seperti biasanya.
Sedangkan dalam hati tiada henti Arman mengucapkan hamdalah. Ia bersyukur ini hanya mimpi. Mimpi buruk yang seolah memperingati dirinya.
Ia berjanji esok ia akan mengganti sekretarisnya. Ia takut hal ini akan terjadi mengingat sekretarisnya—Siza yang akhir-akhir ini berusaha menggodanya. Persis seperti yang ada di mimpinya.
Sebelum semua tercadi, ia harus mencegahnya.
Firya adalah segalanya bagi Arman dan ia tak akan membagi hatinya dengan siapapun.
Selamanya.
Tamat
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top