I'm Done

Written by Julysevi

***

Sebelas tahun Roni menikah dengan Alis. Perempuan cantik yang sekarang sudah berumur 29 tahun. Perempuan bernasib malang, dan hidup bersama Roni penuh hutang.

Selama sebelas tahun itu, mereka belum dikaruniai anak, dan belum juga hidup benar-benar akur.

Alis lebih memilih mengembangkan bisnis cafe dan rumah makan miliknya. Sedangkan Roni entah apa yang dikerjakan bersama hobinya memelihara berbagai jenis burung.

Hari ini mereka memutuskan untuk berlibur untuk me-refresh otak dan hati setelah beberapa hari bersitegang dengan uang dan hutang.

Niatnya ingin sekalian honeymoon yang entah ke berapa. Tetapi Alis memilih untuk jalan-jalan saja ke luar kota. Pulang cepat. Ia masih ingin melihat bisnisnya.

Cuaca yang panas membuat Alis ingin berenang. Tetapi tentu saja sendiri. Karena Roni sudah berceloteh dengan anak angkat di kolam renang yang dalam.

Selepas berenang, Alis membersihkan diri dan keluar dari area air. Tetapi ia kembali masuk gedung itu untuk mengambil KTP-nya yang tertinggal. Bahkan, suaminya sudah entah ke mana, sehingga ia sendirian. Berkali-kali ia menelepon tapi tak diangkat.

"Alis," panggil Dana, teman Alis yang memang sengaja mengikuti mereka.

"Hei, tadi aku cari kamu, kok baru datang sih?"

"Iya, maaf, ya. Tadi emang muter-muter dulu. Aku telepon kamu tapi nggak diangkat."

"Maaf, baru renang, malah ada suamiku."

Hubungan mereka memang tak wajar. Karena seharusnya sebatas teman, tetapi selalu apa-apa curhat kepada Dana. Alis bahkan terkadang lebih nyaman bersama pria ini daripada suaminya.

"Mau ambil KTP-ku tadi buat pinjam baju renang. Tapi kayaknya harus balik deh, Mas Roni nggak angkat telepon."

"Kok kamu sendiri sih? Aku temani, ya?"

"Jangan, kalau bisa kamu jangan nampakin diri ke dia. Bisa curiga nanti."

"Terus?"

"Ya aku cari sendiri aja."

***

Akhirnya Alis kembali ke gedung berenang sendirian. Beberapa kali Dana menampakkan diri karena ingin mengantar. Tetapi sampai di jalan, ia bertemu dengan suaminya dengan anak angkat mereka yang berumur 10 tahun. Dana segera bersembunyi.

Ia bertanya kepada Roni, "Mas, KTP-ku mana? Sudah kamu ambilkan?"

"Loh kok tanya ke aku sih? Ya mana aku tahu. Memangnya tadi--"

"Tadi aku pinjam baju dan harus menggunakan KTP, tapi selesai berenang, tidak dikembalikan. Tadi kan aku sudah telepon kamu tapi enggak kamu angkat. Ke mana saja? Aku juga udah WhatsApp kok."

"Ya aku nggak tahu. Lagian kan itu KTP-mu kenapa tanya sama aku? Punyamu ya ambil sendiri lah. Ambil lagi sana!"

Alis menatap Roni dengan kening berkerut. Tanpa berkata lagi, ia langsung kembali masuk ke area pemandian untuk mengambilnya sendiri. Air matanya sudah di pelupuk. Inilah hal yang tidak disukai Alis sebagai istri. Suaminya sama sekali tidak perhatian. Roni tak mau menemaninya ke gedung renang. Bersama si anak angkat kembali ke mobil.

Ketika sudah menemukan KTP dan kembali ke mobil, sampai di mobil Roni menyodorkan sekotak nasi berisi ayam bakar. "Nih, makan biar nggak marah lagi," ucapnya.

Tadi malah ditemani Dana dari pintu gedung ke pintu utama. Pria itu bahkan tak masalah apabila dirinya terlihat seperti bucin.

"Apaan nih?" Belum Alis menerimanya tapi sudah bertanya.

"Ayam bakar, buruan!"

"Nggak usah, makasih, masih kenyang."

Dalam hati Alis menggerutu, kalau memang berniat memberi, tidak seperti ini tingkahnya.

"Ya sudah buat Satya saja." Roni memberikan nasi itu kepada Satya--anak angkat mereka--yang duduk di jok belakang.

Mereka keluar mobil, duduk di gazebo terdekat. Sedangkan Alis memilih untuk di dalam mobil. Ia melipir di balik mobil yang tak terlihat jangkauan Roni. Sehingga bisa berkomunikasi langsung dengan Dana.

"Begitulah Mas Roni. Sekarang berubah banget dari yang dulu. Sikapnya benar-benar nggak mencerminkan sebagai seorang suami," adu Alis membuka percakapan.

"Apa-apa aku yang mikir, asal kamu tahu. Dia enak-enakkan nikmati hasilnya saja. Yang nyari tempat di sini, yang bayarin sampai bahan bakar pun aku. Nafkah, aku juga yang nyari. Yang ngelola cafe, nggak pernah sedikit pun dia bantuin aku soal keuangan. Dari awal masih nol sampai sekarang." Alis menangis sesenggukan, mengambil tisu dan mengelapnya lalu mengambil kacamata untuk menutupi matanya yang sembap.

"Kan, Roni ...."

"Dia nggak bisa apa-apa, Dan! Buktinya dia sama sekali enggak bantu aku cari uang untuk kehidupan. Mana anaknya juga semakin besar, semakin banyak menghabiskan uang."

"Memangnya nggak ada niatan jual ayam begitu? Dia kan hobi sama ayam dan burung."

"Dan, sekalipun jual ayam, nggak pernah dia ngasih aku uangnya. Masih untung dia aku kasih makan. Dulu, pas jual ayam, uangnya buat beli Smartphone padahal istrinya lagi susah nyari utangan untuk mencukupi kehidupan. Sepeser pun, nggak ada dia ngasih aku uang. Nggak akan kulupa, dia juga pernah bantu aku di cafe. Dan ... dia emang aneh.

"Kamu tahu? Apa jawaban yang dia lontarkan ketika aku tanya, 'Mas kamu nggak bantu aku bayar hutang?'?"

Dana mendengarkan dengan saksama p

Waktu itu, memang Alis sedang pusing gara-gara hutangnya belum juga lunas. Ia menghampiri suaminya yang sedang bermain ponsel di depan ruang nonton TV.

Ia bertanya, "Mas aku pusing banget nih. Hutangnya belum juga lunas, penghasilan akhir-akhir ini sedikit. Bingung mau gali lubang di mana lagi buat tutup lubang."

Alis duduk di sofa samping suaminya sembari menggenggam remote dengan tatapan kosong ke depan.

Hening.

Beberapa detik kemudian, Roni yang sedang tiduran, duduk di sofa dengan mencari posisi nyaman.

"Kamu mau aku bantu?"

"Iyalah, Mas. Kamu kan suamiku, sudah sepatutnya nyari nafkah keluarga."

"Kamu kan tahu sendiri aku nggak punya uang. Kalau setiap hari setiap aku kerja bantuin di cafe, kamu kasih gaji. Misalnya, 50 ribu per hari, aku sisihkan, aku bantuin kamu bayar hutang. Kalau begitu sih bisa." Alis menoleh dengan cepat ke arah suaminya.

"Apa? Sama saja kamu jadi babu aku! Cari kerjaan sana, jangan enak-enakkan main Hp di rumah. Kamu kira aku ini enak apa cari uang? Jadi istri sekaligus tulang punggung keluarga. Kamu ini kenapa sih, Mas? Sekarang sudah nggak pernah lagi peduli sama aku. Sudah bosan? Bilang saja!"

Tangis Alis semakin sesenggukan, ia tak tahan mengingat kejadian itu, sehingga Dana segera memeluk tubuhnya.

"Ya Allah, Lis. Kayak begitu kok jadi suami? Suami macam apa yang seperti itu. Berengsek banget sih jadi lelaki!"

Alis mengambil tisu di tangan Dana dan mengusap ingus serta air matanya sendiri.

"Padahal ... hiks, dulu, pas dia lagi sakit, yang jagain siapa. Yang berusaha untuk terus giat bekerja dan cari uang juga siapa. Yang merelakan uangnya demi membayar biaya pengobatan dengan tujuan supaya dia segera sembuh. Aku juga ingat banget waktu itu nyawa Roni sudah hampir saja hilang kalau nggak aku usahakan ke dokter yang lebih baik lagi."

Suara tangisannya tidak terlalu keras karena ia menahannya. Sesekali menoleh ke belakang lewat jendela mobil, untuk memastikan Roni masih di gazebo bersama si anak angkat.

"Tapi sekarang, atau bahkan kemarin pas aku yang sakit sampai dadaku rasanya kayak nggak punya rongga untuk bernapas, nggak ada dia merawatku. Aku cuma bisa berdzikir sambil terus mengingat-Nya."

"Sudah, jangan nangis lagi, sayang." Dana memeluk lebih erat tubuh Alis.

"Aku sudah nggak kuat, Dan, kayak ada yang mengganjal di dada."

"Jangan gitu. Kamu pasti kuat, aku yakin. Aku akan siap kapan pun kamu butuh."

Alis menatap kesungguhan Dana lewat tatapan mata.

***

Alis merenung, sekarang Alis bingung, apa semangat hidupnya? Apa yang membuat Alis harus terus bertahan sampai titik akhir? Tidak ada. Orang tuanya tinggal ibu. Dan ibunya selalu membela Roni. Ia seakan memang tak punya tujuan hidup. Atau mungkin Dana? Pria itu hanyalah salah satu orang yang berlalu lalang di hidupnya.

Tidak Roni, pria itu semakin membuat Alis naik darah. Semakin hari, selalu membuat masalah dengannya. Semakin terlihat ketidak-peduliannya. Tersisa anak angkatnya yang bisa saja tak peduli juga padanya apabila suatu saat nanti tahu dia bukan anak kandung.

"Aku sedih banget, Dan. Ingin menyerah saja," adu Alis pada Dana lewat telepon. Suatu hari ketika ada masalah lagi antara Alis dengan Roni.

"Jangan gitu sayang, kamu harus terus berjuang. Kan ada aku. Eng, maksudku, kamu harus pertahanin diri kamu. Jangan sampai karena hal kayak gini malah kamu yang harus hancur."

"Nggak cukup, Dan. Aku sudah cukup menderita karena sikap Mas Roni yang bikin aku selalu sakit hati. Hari ini Mas Roni minta uang buat beli entah apa aku nggak paham."

"Berapa?"

"Sebanyak lima juta. Nggak banyak sih, tapi bisa buat makan selama satu bulan."

Grep! Ponsel Alis berpindah tangan,ia harus melongo di tempat.

"Oh, jadi sekarang ngadunya ke pacar?" Roni merebut ponsel Alis dari samping telinganya. Entah sejak kapan pria itu ada dan menguping pembicaraan. Dia melihat ponsel itu. "Nggak disimpan nomornya karena sudah hapal?"

Alis hanya meneguk ludahnya pelan.

"Yang udah bosan siapa? Aku apa kamu? Kamu tanya sama aku, masih sayang apa nggak dan aku sengaja nggak jawab. Ternyata kamu yang udah nggak sayang dan malah beralih ke orang lain!" Suara Roni keras dan rahangnya mengeras. Dia sengaja tidak mematikan sambungan agar yang di sana dapat mendengar pertengkaran mereka. "Kamu berkhianat, Lis!

"Aku ...."

"Mau ngeles bagaimana? Hah? Bentar lagi semua orang bakal tahu kebusukan kamu selama ini! Ibuku dan Ibu kamu. Biar semua orang tahu kalau kamu yang salah! Bukan aku!" Roni menghela napas kasar, melihat wajah Alis membuat emosinya ingin menampar pipi mulus itu.

Namun ia lebih ingin melemparkan ponsel yang ada di genggamannya.

"Kamu jadi suami nggak bertanggung jawab!" seru Alis dengan penuh penekanan. "Kamu yang memulai, Mas. Kamu mulai nggak peduli sama aku. Nggak mau kerja, nggak mau cari nafkah, nggak pernah sayang sama aku. Nggak pernah kamu rawat aku tiap aku sakit!"

"Tapi kamu berkhianat, Lis!" Roni masih berseru dengan suara lantangnya.

"Ada apa sih ini?" tanya Ibu Alis ketika beliau datang.

Disusul seorang wanita tua, yaitu Ibu Roni.

"Jadi gitu, ya? Tiap ada kesalahan, hutang, dan yang bersangkutan uang, yang disalahkan Roni. Tapi ternyata uangnya dihamburkan untuk selingkuh. Kamu ini wanita apa hewan jalang sih?"

Mata Alis memerah, hatinya tertancap kuat duri dan paku. Otaknya seketika dipenuhi rasa ingin marah dan mengumpat. Tetapi masih ia tahan karena ia tahu, melawan orang tua bukanlah hal baik.

"Alis, apa-apaan sih kamu ini? Jangan begitu dong. Roni itu suami kamu, masa kamu .... Kamu cuma bikin malu keluarga saja!" Ibu berkata penuh penekanan terutama di kalimat terakhirnya.

"Bu ... Alis memang salah, tapi Mas Roni juga bersalah!"

"Alis," ucap Ibu lirih. "Ibu malu sama kamu!"

Jleb.

Adakah hal yang lebih menyakitkan dari ini? Alis tak bisa berucap lagi. Karena baginya, sakit ini terlalu dalam. 

***

Segera ia berlari dari rumah. Mengambil kunci motor dan mengendarai motor tanpa helm dengan kecepatan lebih. Ia tidak peduli ada kendaraan lain atau apa pun yang menghalangi jalannya. Yang jelas, ia ingin pergi! Jauh!

Namun nasib baik selalu melindunginya. Dana datang dan menenangkannya. Yang Alis harapkan adalah ia pergi saat itu juga menemui ayahnya. Agar ia bisa merasakan kebahagiaan yang tertunda itu.

"Bentar ya sayang, aku mau cari tisu sama minum buat kamu. Kamu tunggu di sini ya, jangan ke mana-mana." Dana mengusap puncak kepala Alis pelan. Kemudian pergi untuk mencari yang akan ia cari.

Mereka berhenti di depan sebuah kios yang sedang tutup. Dana emninggalkan Alis sendiri di sana.

Mungkin juga sudah menjadi takdir Alisia yang tidak akan pernah berubah seberapa pun usahanya. Masih dengan tangisnya, Alis menunggu Dana di tempat terakhir mereka bersama.

Namun, sudah berjam-jam, hingga akhirnya Alis memutuskan untuk pergi juga. Mengendarai motor lagi entah ke mana bertujuan agar ia menemukan Dana.

Motor itu meliuk-liuk di jalanan, mendahului banyak mobil dan motor lain. Alis membiarkan angin menerpa wajah dan tubuh mungilnya. Hingga ia memejamkan mata dan terdengar suara berdebum keras. Ia merasa melayang menuju surga.

Ia menyerah pada Tuhan. Menyerahkan sisa hidupnya untuk direnggut kembali oleh Sang Pemilik Kehidupan.

***

Dana menyesal, mengapa ia harus melawan begal pasar itu ketika mencari tisu dan air. Sehingga ia datang terlambat menjemput Alisia. Sama saja ia membiarkan Alisia pergi. Penyebab meninggalnya Alisia adalah dirinya.

Dana mengaku kepada Roni, Ibu kandung Alisia, dan Ibu Roni, bahwa ia memang berniat menyelingkuhi Alisia. Membuat perempuan itu berkhianat atas pernikahannya, tetapi tak semata-mata untuk kesenangan. Bahwa selama ini memang Roni yang bersalah.

“Itu karena kamu nggak becus menjadi suami Alisia! Setiap hari Alisia harus menerima perlakuan buruk darimu! Padahal Alisia sedang kalut dan merasa tertekan atas sikapmu!” aku Dana.

Roni menunduk, menyesali perbuatannya. “Aku memang salah. Patut dihukum karena sudah menjadi suami dan kepala rumah tangga yang tidak bertanggung jawab.”

Semua yang berada di ruangan itu menangis, menyesali meninggalnya Alisia. Ibunya Roni dan Ibunya Alisia menangis sejadi-jadinya. Mereka menyesal telah membuat Alisia kalut dan harus menjemput ajalnya saat itu juga.

*****

END

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top