9

Sementara aku bertempur di udara melawan Hansamu. Tim di darat mencoba mencari petunjuk yang disembunyikan Issa di salah satu pohon.

Petunjuk itu merupakan secarik kertas yang menggambarkan penunggang naga. Karena hanya Sahala yang tertangkap. Skor kami 0-1. Jika aku tertangkap. Sesuai prediksi Hansamu, Diwangka akan menang. Tetapi, bila aku menyelamatkan Sahala dan menangkap Borneo dan Hansamu, sebaliknya, Samsara yang akan menang.

Panas matahari membuatku mulai haus. Tubuhku berkeringat dan terasa lengket. Kami tidak bisa istirahat, Rakata menyusun rencana kedua agar kami melalui kali-kali kecil yang membelah perkemahan. Sebab, Diwangka berada di hilir kali.

Regu pertama menjadi anggota yang berlayar, Roan dan sisa anggota mengendarai Kuda Sembrani dari pinggir kali, sedangkan Novia dan para penyembuh bergerak dengan menaiki pepohonan hidup.

Rakata tidak ingin menunda penyerangan dan ambisi memenangkan kompetisi meliputi semua orang. Aku menatapnya pergi ke arah berlawanan di antara pepohonan, sementara perahu kami bergerak tanpa dikendalikan.

Otot-otot tubuhku menegang, aku waswas akan serangan kejutan dan benar saja, jantungku mencelus.

Air kali menjadi gelombang pasang yang bergerak menelan kami. Aku segera menggerakkan dinding air di depan haluan. Sisa air yang tidak terlindungi menumpahkan perahu lain.

Aku melihat sebagian Demigod berusaha membalikkan perahu yang terbalik. Aku mencari-cari seseorang yang bisa mengendalikan air selain diriku. Karena tidak fokus, gelombang air yang kutahan tumpah membasahi perahu. Tetapi, aku masih sanggup menyeimbangkan perahu agar tidak tenggelam.

"Aku akan membentuk perisai," kataku pada dua rekanku. "Kalian maju untuk menyerang."

Gelombang air kembali datang dengan lebih tinggi. Diwangka mengandalkan mantra untuk menyerang dan Samsara mengandalkan bakat.

Dua perahu berhasil maju ke depan tanpa hambatan. Aku berusaha keras membangun dinding air di kedua sisi sementara aku menahan serangan dari depan. Lalu muncul perahu ketiga tanpa penghuni.

"Aes, lompat ke perahu itu." Seorang cowok berkulit tan melompat ke perahu. Diikuti seorang gadis.

"Diwangka pasti bersembunyi di pinggir kali. Ketika aku melompat, pertahanan kita dan perahu lain akan buyar."

"Lakukan saja, perahu kita bocor."

Aku menunduk, sebagian air sudah tergenang. Aku terpaksa melompat ke perahu lain, begitu aku melakukannya. Dinding pertahanan menjadi luruh. Sedetik kemudian, perahu yang kami tumpangi terbentur ke pinggiran kali hingga aku tersungkur di antara semak-semak berlumpur. Ini pendaratan tidak terduga. Kami terpisah dengan rombongan di depan.

"Maaf, Manteman. Ayo berdiri."

Si gadis menarikku berdiri dan si cowok berkulit tan itu mengumpat sesuatu yang asing. Kami berlari-lari dari tanah berlumpur tanpa sempat membersihkan diri.

"Berhenti di sini, Musamus. Rakata, ingin kita tidak mendekat. Kita harus tunggu signal."

Musamus yang sebelah matanya tiba-tiba berwarna merah tampak sangat mengintimidasi. Warna mata itu membuat bulu kudukku meremang.

"Dia benar." Aku setuju dengan pendapat tersebut. "Aku incaran Diwangka."

"Kau benar, Aes. Kenapa tadi kau tidak coba menarik perhatian Hansamu dengan pesonamu?"

"Maaf?" kataku

"Jangan dengarkan, Suri. Kau masih terlalu muda untuk memahaminya." Musamus menatap Suri dengan bola mata malas. "Kau awasi saja pergerakan Diwangka. Anak-anak itu sangat licik dan pintar."

"Kau mengatakannya seolah-olah, kau sudah sangat mengenal mereka, Musamus."

Musamus hanya tersenyum kecil atas pendapatku dan aku berkata, "Tapi, gelombang air tadi cukup hebat dengan sebaris mantra. Energi airnya kuat, tapi tidak terlalu mengancam.

"Mereka sedang menguji batasan kekuatanmu untuk serangan selanjutnya." Musamus memberitahu dengan satu tangan dimasukkan dalam saku celana, sementara matanya mengawasi Suri. "Rakata ingin kita menguasai wilayah air. Tetapi perahu bocor tidak berguna."

Suri terus-menerus menatap ke bawah, lebih tepatnya ke sekitar tanah tempat kami berpijak. Emosi wajahnya tampak familiar.

"Belum ada yang mendekat," kata Suri, "tetapi, Samsara sudah masuk lokasi mereka. Sahala di ikat di tiang sebagai tawanan dan dijaga oleh Borneo dan Hansamu."

"Apa kau Dewi Bumi?" kataku menebak.

"Lebih tepatnya Dewi Gempa Bumi," balas Suri tanpa balas menatap padaku. "Jangan tanya nama Debataku dan asalku atau kau kukutuk jadi Gunung."

"Temannya Gege." Musamus menambahkan dengan berjalan pada salah satu pohon dan duduk bersandar di bawahnya. "Kalau Hansamu tidak keluar dari sarangnya, kita harus maju. Mereka akan mendesak kita membawa Aes."

Suri menarik keluar kalung Bantimurung miliknya yang berwarna hijau, sayap kupu-kupu pada liontin tersebut berpendar redup.  "Tidak. Rakata masih belum mengirim sinyal."

"Waktu terus bergerak," kataku dan Suri menatapku masam.

"Kita hanya bertindak sesuai arahan. Terakhir kali pertandingan. Kita kalah, karena beberapa Demigod kepala batu bertindak di luar rencana dan aku tidak ingin itu terjadi."

Aku diam saja. Ada sebagian diriku yang merasa gelisah. Ini bukan pertarungan penunggang naga. Aku harus bergerak dan terus bergerak. Tetapi, karena Suri pemimpin. Aku harus patuh. Sementara Musamus bermalasan di bawah pohon dengan dedaunan bergerak aneh.

"Atas—"

Kami melupakan satu hal. Walau memilih kali sebagai medan yang unggul dan lapisan bawah tanah yang bisa mendeteksi pergerakan lawan. Kami luput dari udara.

Wajahku pasti memucat sampai pipiku terasa terbakar. Aku langsung berlari ke arah pohon terdekat. Menarik busur dari bandana dan menembakkannya pada penunggang kuda sembrani.

"Zazaras Aeasa!" Aku berseru lantang. Si kuda meringik kencang tetapi hanya sebentar. Kaki-kakinya menghentak tanah sementara tuannya berusaha membisikkan sesuatu dengan frustasi.

Suri segera meluruhkan tanah di bawah mereka menjadi pasir yang menenggelamkan. Aku mencari-cari di antara dahan. Tidak mungkin hanya ada satu penunggang. Roan bilang mereka terlatih.

Umpatan Musamus membuatku berpaling. Keris emas dari seorang gadis berusaha melukainya dengan gerakan tangan terlatih yang menyerang titik-titik tertentu tubuh Musamus.

"Waspada!" Musamus berteriak. Aku menargetkan gadis Diwangka dengan busur. Aku akan membidiknya dengan fokus pada betis. Sayangnya ini sulit. Dia terus bergerak tanpa jeda. Tidak memberiku sedikit ruang melukai. Salah perkiraan, aku malah mencederai Musamus.

"Sihir apa yang kau gunakan? Ini curang!"

Kendali atas busur panah buyar. Aku terpaksa menoleh pada Diwangka yang ditahan Suri dengan kaki dan tangan yang terkekang tanah yang mengeras. Kuda Sembraninya memiliki nasib serupa.

"Selama tidak membunuh," kataku, "itu hanya mantra menghilangkan energi sihir seseorang."

"Oh, ya?"

Dia tidak percaya. Suri masih menatap waspada. Tatapan matanya cemas antara langit dan tanah. Masing-masing regu hanya boleh memakai enam kuda sembrani. Di sini hanya ada dua, sisa empat yang tidak terlihat.

Suri tidak bisa mendeteksi udara, dia Dewi Gempa Bumi. Aku bisa mengendarai angin.

"Kita harus ke sarang mereka," kataku, "kita harus memaksa Diwangka."

"Aturan permainan, dilarang menyandera lawan demi kepentingan tim."

Gadis Diwangka menahan Musamus di batang pohon dengan mengikatnya menggunakan tali hijau yang berpendar dan meredup. Rambutnya dikuncir tinggi. Matanya tajam penuh fokus. "Musamus lemah terhadap wanita."

"Benar-benar lemah." Temannya ikut bersuara dengan tawa mengejek. "Kami punya daftar catatan tiap Demigod beserta kekuatan dan kelemahan mereka. Satu-satunya informasi yang belum kami miliki adalah tentang Aes Ongirwalu. Penunggang Naga yang dipilih Naga Padoha—Hmph!"

"Berisik." Suri malah menyumpal mulutnya dengan sapu tangan.

"Aku juga tahu kelemahanmu."

Gadis ini sebaiknya tidak melempar umpan. Tampaknya, aku bisa menebak kelemahan Suri dari interaksi singkat ini.

"Berani? Mau kukutuk—"

"Jadi gunung?" Dia tersenyum tipis.

"Aes! Pisahkan mere—"

Adonan tanah liat tiba-tiba membekap mulut Musamus. Dia seharusnya kuat. Tubuh Musamus atletis dan kokoh. Dia bisa saja dengan mudah melawan. Tetapi, perkataan Diwangka benar. Musamus tidak bisa melawan wanita.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top