8

Lokasi permainan berada di sisi luar aktifitas perkemahan. Kami mengambil lokasi di kedalaman hutan Boven Digoel yang terlindung oleh sihir Sekolah Adat Palapa.

Pemimpin regu Samsara adalah Rakata. Aku mengingatnya. Wajahnya yang datar dan angkuh pernah menyelamatkanku sebelumnya di permainan bakar benteng.

Dia tampak berbeda hari ini. Seolah bertumbuh jauh lebih cepat dalam beberapa minggu. Garis rahangnya tampak kokoh, menampilkan sikap pendewasaan seorang pria. Aku yakin, dia mungkin seumuran dengan Giza. Energi eksitensi dirinya tertutup rapat. Sulit menebak-nebak siapa dirinya.

"Kesatria Palapa menyebar dalam dua regu," ujar Rakata, "aku ingin yang pertama sebagai pemancing Diwangka, sedangkan regu kedua hanya akan bertindak bila situasi tim terdesak. Tim medis sudah bersembunyi di beberapa titik. Jadi, kalian tidak perlu khawatir."

Roan dan yang lainnya mengganguk dan membubarkan diri. Aku mengenali beberapa wajah dan beberapa tampak asing. Sahala menarikku ke kelompok yang di pimpin Roan.

"Kita jadi umpan lagi?" keluhku. Tidak di bakar benteng atau latih tanding. Di sinilah posisiku.

Sahala tidak menyahut. Dia terus mengajakku menjauh dari Roan dan tim yang mulai mengeluarkan senjata masing-masing. Ada yang mengeluarkan keris dan sisanya tampak seperti pedang lokal yang aku tidak tahu namanya apa.

Tiba-tiba, sesuatu meledak. Aku menghalau cahaya menyilaukan dengan punggung tangan sembari memalingkan wajah.

Kemudian, suara makhluk yang menggeram terdengar. Aku menarik napas lega dan membuka mata. Seekor makhluk berkaki empat berdiri gagah di hadapanku. Sisik merahnya berkilau oleh pantulan sinar matahari.

Ukurannya tidak sebesar saat kami latihan pertama kali. Selaput sayapnya mudah ditekuk tanpa merusak batang pohon.

Tidak biasanya, Sahala mengalami perubahan semendadak ini. Entah dia tidak ingin menjadi pusat perhatian atau hal lain.

Anggota tim yang tidak jauh dari kami. Menatap Naga Padoha dengan binar kebanggaan.

"Ayo, Aes. Naik di atas punggungku. Kita akan mengamati Diwangka dari udara dan gunakan mantra Nagas sebagai senjata."

Jantungku berdebar. Ini pertama kalinya, aku bisa merasakan menjadi penunggang naga. Naga Padoha menunduk, aku mendekat dengan perasaan campur aduk.

Kakiku gemetar saat naik ke atas punggung Naga Padoha. Dia membantuku dengan dorongan kecil dari selaput sayapnya.

Tanganku basah oleh keringat. Aku mencengkram dua tanduk di dekat tengkuk.

Aku menarik napas dalam-dalam dan saat menghembuskannya, Naga Padoha mengangkat sayapnya dengan suara angin yang berdesir. Pepohonan hutan berada di bawah kakiku.

Sensasi ini luar biasa mengguncang hatiku. Air mataku menetes tanpa permisi. Aku merasa senang bercampur cemas. Pemandangan di bawah terlihat sangat indah.

Aku bisa melihat lekuk sungai Digul dan kali-kali kecil yang melingkupi perkemahan dengan dedaunan yang tumbuh rapat di pucuk pohon. Namun, di depan kami. Seekor naga hitam terbang dengan seringai bak kawan lama.

"Aes!"

Saat Naga Padoha berteriak dalam benakku. Kami terbang makin tinggi, kemudian napas api berwarna merah menyambar Borneo dan Hansamu.

Lidah api kedua naga membentur udara dan meledak hingga menyebabkan percikan api berterbangan.

Lingkaran sihir berwarna kuning tiba-tiba terbentuk di kedua sisi Naga Padoha. Sudut mataku menangkap cahaya dari gelang manik-manik milik Hansamu.

Aku ragu melepas kedua tanganku dari tanduk Naga Padoha. Akibatnya, aksara Yava yang mengelilingi lingkaran tersebut menjadi rantai yang berusaha menyambar kaki Naga-ku.

"Aes!" Suara Naga Padoha lantang dalam benakku. "Serang mereka dengan mantra!"

"Tidak bisa! Aku bisa jatuh!"

"Percaya padaku. Cepat lakukan!"

Sementara kami berdebat. Naga Padoha terus terbang menghindari rantai yang mengejar.

"Balas dengan lidah apimu!" seruku mengingatkan.

"Aku tidak ingin membuang waktu melakukan itu, sementara kau jadi penungganku. Lakukan sesuatu atau kita kalah."

Aku menggigit bibir bawah. Dengan segenap keberanian. Aku menarik kertas dari saku celana. Aku berusaha membuka kertas tersebut sambil tetap memegang tanduk.

"Zazaras Hamoa?" ucapku tidak yakin
Artinya menyerang dengan memberi tebasan pada lawan menggunakan angin. "Kita tidak punya artefak sihir seperti Diwangka yang memiliki gelang."

"Aes!"

Dua rantai pecah di udara menjadi keping-keping cahaya. Namun, lingkaran sihir kembali tercipta di bawah dan di atas kami. Hansamu tidak segan-segan menyerang.

"Gelang batu itu simbol kekuatan kita. Sihirku ada di sana. Kau—"

Kalimat Naga Padoha terputus. Ledakan cahaya membutakan mata. Aku menjerit karena kami tiba-tiba menukik ke bawah.

"Zazaras Hamoa!" Aku berteriak lantang dengan tangan terkepal ke depan. Sayap Naga Padoha merusak beberapa ranting pohon dan suara seseorang yang terkejut membuatku menengok ke bawah.

Dua anak perempuan menjerit dari persembunyian dan salah satunya adalah Onna yang menggerakkan sebatang pohon menjadi hidup.

"Aes!" Suara Hansamu terdengar lantang di atas sini. "Ayo, serang kami. Kau tidak bisa bergantung pada Sahala. Jangan ragu-ragu, penunggang naga tidak pernah ragu dalam bertarung."

"Aes." Naga Padoha ikut menyela. Sulit memanggil nama fananya jika dia dalam wujud ini. "Kau tidak akan bisa berkembang menjadi gadis hebat. Manfaatkan situasi terdesak sebagai kekuatanmu."

Lagi, lingkaran sihir milik Hansamu muncul lebih banyak di udara. Aku bahkan belum membalas kalimat mereka. Masing-masing lingkaran sihir memiliki reaksi berbeda-beda sementara Naga Padoha terus menghindar.

Ada yang meledak dengan aroma busuk, ledakan lain masih memiliki rantai, dan beberapa serangan cahaya yang mencabik-cabik udara.

Dengan tangan gemetar. Aku menghapal lima mantra Nagas secara kilat. Kemudian menarik bandana dari rambut.

Kutarik panah cahaya sampai mendekati dagu. Aku membiarkan angin menderu di sekeliling tubuhku. Pelajaran pertama Sahala.

"Mengendarai angin," ucapku bagai mantra pada diri sendiri. Aku menegakkan tubuh. "Zazaras Hamoa."

Panah melesat dengan kecepatan yang tidak tertandingi. Aku melihat jejak kilauan kebiruan di udara. Belum sempat serangan pertama selesai. Aku kembali menarik anak panah dan mengarahkannya ke atas.

"Apimu!" teriakku pada Naga Padoha. "Api biru. Zazzaras Aesga!

Napas api biru mengejar anak panahku di udara dan menyelimutinya dalam sekejap. Mendadak, langit menjadi gelap dalam seperkian detik. Kemudian, bunyi petir menggelegar. Langit menjadi semerah api dengan jejak kebiruan yang bergerak zig-zag dengan menyasar Borneo dan Hansamu.

Tanpa diduga, dari arah bawah muncul gerombolan kuda sembrani dengan penunggang yang menarik busur ke arah cahaya zig-zag dan padaku.

Naga-ku menukik turun ke bawah. Tetapi, serangan tersebut terus mengikuti di belakang kami. Aku terpaksa setengah menyampingkan tubuh sembari menarik panah. Tetapi, sihirku dihancurkan dalam sekejap.

Langit masih semerah darah. Kemampuanku memanahku tidak sebagus mereka. Roan tiba-tiba muncul dari depan kami dengan menunggang kuda sembrani yang menyengir padaku. Aku tidak pernah melihat kuda sepede itu untuk tersenyum pada manusia.

Roan mengarahkan ujung tombaknya menghancurkan panah-panah serangan Diwangka. Aku kagum, pengalaman belajar jelas menunjukkan kemampuan seseorang dan aku merasa sangat tertinggal jauh dari mereka.

"Jangan murung begitu dong," ujar Roan dengan kuda sembrani yang masih menyengir. "Selimuti senjatamu dengan mantra agar menambah daya kekuatannya. Aku mengerti kau kecewa karena tidak berhasil mengalahkan Diwangka. Tapi, mereka memang kuat. Mereka adalah aset Diwangka. Mereka penyihir hewan yang punya kemapuan serangan paling hebat yang aku kagumi."

Dibilang seperti itu, aku makin merasa terbakar semangat bekerja keras dan berlatih. Tetapi, kelegaan itu hanya sebentar.

Rombongan tadi terbagi dua kubu. Kubu pertama, masih berusaha menghancurkan cahaya zigzag yang mengejar Borneo. Sedangkan, kubu kedua membentuk formasi segitiga. Seorang di depan mereka memainkan suling tanpa suara.

Aku tidak mendengar apa pun. Tetapi, sekumpulan burung liar terbang menutup langit di atas kami.

"Oy, Naga Padoha. Aku tidak tahu, apa yang kalian berdua lakukan sampai langit menjadi merah. Tetapi, aku senang—"

Kalimat Roan tidak selesai. Tubuhnya dan kuda sembrani terdorong oleh angin yang membawa gerombolan penunggang dari Diwangka terserat sampai menabrak ranting pohon.

Di samping itu, napas api makhluk asing membakar tubuhku tanpa membuatku terpanggang. Hansamu tiba-tiba melompat di atas kepala Naga Padoha dan menginjaknya bersama Borneo yang duduk di atas kepalanya.

"Patahkan sihir itu atau—"

Kalimat Hansamu tidak selesai juga. Cahaya zigzag itu mengejar kami. Naga Padoha menggeram kesal dan dia membalikkan tubuh. Dalam sekali tebasan, cahaya zigzag tersebut hancur menjadi keping-keping cahaya. Bersamaan dengan cahaya matahari yang kembali bersinar.

Tetapi, sesuatu luput dan menggores pipi Hansamu hinggan berdarah dan aku mendengar suara geli Naga Padoha dalam kepalaku.

"Sahala! Apa yang kalian lakukan? Mantra Nagas apa yang Aes lafalkan?"

Naga-ku tidak menjawab. Dia berputar-putar sejenak di udara. Sebelum menarik Hansamu dengan sayapnya turun. Tetapi, Hansamu gesit menghindar.

"Aes," kata Hansamu

"Apa? Eh, pipimu berdarah!"

Tanganku ditarik dan dalam sekejap, aku dan Hansamu mengambang di udara. Dia sama sekali tidak memedulikan luka tersebut.

"Tunggu. Mengapa aku?"

"Hanya sedikit sihir ilusi, Aes. Kau harus belajar banyak setelah ini."

Tangan Hansamu menggengam tanganku kuat.

"Ada situasi kau tidak berada di punggung nagamu. Kau harus mengengarai angin sampai nagamu menyelamatkanmu. Diwangka men—"

"Samsara menang!"

Nagi mendadak muncul untuk melanjutkan kalimat Hansamu. Dia melemparkan sesuatu seperti bom asap yang membuatku menepis tangan Hansamu.

Saat aku jatuh ke bawah. Roan dan kuda sembraninya datang menolongku.

"Kita harus mundur. Mereka mendapatkan Sahala."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top