37
Bayanganku dan Giza bergerak liar di sekeliling kami. Samar-samar, aku merasakan tekanan yang berusaha mengendalikan kakiku dari bawah. Waktu memang berhenti, tetapi Sahala dan Giza mampu mengerakkan waktu di sekitar tubuh mereka.
Aku sudah sangat dekat dengan Giza. Aku tidak mau menjauhinya. Aku harus menghajarnya terlebih dahulu. Aku berusaha mati-matian menahan gerakan bayangan yang berusaha mendorongku menjauh. Aku pun meraih tangan Giza, memaksanya menjauh dari atas kepalaku.
"Keras kepala." Dia mencibir dengan tetap menahan kepalaku di bawah telapak tangannya.
"Kau ... kau akan menanggung dosa-dosamu karena membunuh bayi naga yang tidak berdosa."
Giza menyeringai dan dia melirik ke arah Sahala dan bayangan dirinya sendiri. Bayangan itu hidup di bawah kaki Giza. Ada sesuatu yang berkelebat di sana. Dadaku terasa tidak enak. Itu ketakutan dan penyesalan terdalam Giza. Sahala membangkitkan itu untuk menghantui jiwa Giza. Dia menyerang secara mental.
Napas Giza terdengar bertambah cepat. Dia masih mematung menatap bayangan tersebut dengan mengatupkan rahang. Dia punya ketakutan, ketakutan bahwa seseorang memiliki kekuatan untuk mengendalikannya dan penyesalannya, dia tidak punya penyesalan apa pun. Entah hatinya memang terbentuk dari lava dan magma atau batu.
"Aku tahu, kau melindungi sesuatu bukan?"
Mata Giza meliriku dengan binar yang menyala-nyala. Dia berusaha mengendalikan emosinya dengan kendali Sahala yang mengorek mental terdalamnya.
"Tahu apa kau anak kecil?"
Aku menjerit histeris. Kepalaku terasa terbakar. Tetapi, Giza tetap menahanku di tempat. Sebaliknya, aku bisa merasakan emosi Sahala yang sedang mencari celah-celah dalam perlindungan diri Giza.
Aku melirik Zayn, dia masih tetap di dekat bahuku. Cahaya apinya kecil dan sangat redup. Dia berbisik halus sehingga hanya aku yang bisa mendengarnya.
"Dunia bawah menyimpan jejak semua ketakutan dan kesalahan setiap makhluk hidup, Aes. Naga Padoha sedang merusak Giza dari dalam. Bertahanlah, aku di sini mencoba menjagamu."
Aku hanya bergumam lirih. Emosi Sahala terus bekerja memanggil bayangan dari kenangan tergelap Giza. Hal-hal yang ia takuti, sesali, atau barangkali di sembunyikan. Emosi Giza tetap tidak terbaca dan aku tahu, Giza tidak punya apa pun yang ia sesali selain kecemasan atas entitas yang bisa lebih kuat darinya.
Jika kami bisa menemukannya.
Bayangan tersebut akan mengelilingi Giza, berbisik dan memutar ulang kenangan terburuknya hingga ia tak mampu membedakan antara ilusi dan kenyataan. Sialnya, belum ada entitas yang cukup membuat Giza merasa takut.
"Kau tidak bisa mengendalikan bayangan." Aku memancing api dalam diri Giza. "Kau tidak semenakutkan yang dikira."
"Dasar bocah."
Aku kembali menjerit. Lengan tangan kiriku di selimuti roh vulkanik. Alam bawah sadarku seolah ditarik paksa oleh sesuatu. Aku bernapas cepat dan jantung berdebar kencang. Kepalaku terasa sangat sakit melawan kendali Giza yang ingin ambil alih. Rasanya, ada puluhan jarum yang ditusuk di setiap sel tubuhku dengan rasa nyeri luar biasa.
Aku menjerit kesakitan dengan berusaha keras menyingkirkan tangannya dari atas kepalaku. Air mataku kembali tumpah. Aku tidak tahan, sakitnya sungguh menyiksa.
Sahala melangkah mendekat dengan mata yang kian gelap dan berbahaya. Benaknya menghantam Giza. Dia memperlihatkan semua
perbuatan keji yang dilakukan Giza.
Sahala menampilkan wajah-wajah korban atas tindakannya, membiarkannya mendengar suara-suara ratapan mereka, dan merasakan penderitaan mereka seolah-olah itu miliknya sendiri.
Jiwa yang berdosa tidak akan mampu bertahan dari beban ini. Bertahanlah, Aesa.
Penglihatanku mulai kunang-kunang. Aku hanya bisa mendengar suara Sahala yang berbisik dan sekarang suara Giza.
Aku ingin kau hancur. Kau harus membiarkan dirimu hancur dari muka bumi ini. Lakukanlah.
Tanpa sadar, aku mengganguk pada perintah Giza. Aku bisa merasakan tubuhku bergerak sendiri. Aku mengerjab untuk melihat tetapi pandanganku tetap seperti melihat ribuan kunang-kunang.
Suara Zayn kian samar-samar. Tidak terdengar jelas. Mungkin aku akan seperti Nias dan Musamus. Bertindak di luar kendali dan kesadaran. Giza sungguh jahat dan keji dan tidak berperikemanusiaan.
Aku harus mendesaknya, mencari hal yang ia lindungi. Dia pasti membutuhkan darah naga Carstensz untuk sesuatu. Sesuatu untuk menyembuhkan atau sebagai suplemen. Aku bertanya-tanya, saat tanganku sendiri mencekik leherku.
"Gi .... Giza. Ak ... aku tahu. Kau punya sesuatu ... kau ... punya seseorang."
Aku menjerit keras. Ribuan rasa sakit menghatam kepalaku seperti sambaran listrik yang mengalir melalui otak. Rasa nyerinya semakin tajam, lebih kuat dari sebelumnya, menjalar ke seluruh tubuhku.
Kesadaranku nyaris sirna. Semua yang kulihat gelap total. Kelopak mataku terasa berat. Aku terengah-engah. Aku ingin menyerah pada kendali Giza, dorongan itu begitu kuat. Sesaat, aku berpikir aku hanya perlu menyerah untuk tidak kesakitan lagi. Hanya itu yang perlu kulakukan.
Bangun, Aesa! Lawan dia!
Suara Sahala membuatku tersentak, tetapi semuanya masih gelap. Apa yang harus aku lakukan? Rasa sakitnya mulai mereda, aku mulai terbiasa.
Aes Ongirwalu! Aku bilang bangun dan lawan dia! Aku bilang bangun!
Dasar menyebalkan, suara itu terus mengusikku. Aku suka sekali kenyamanan ini, gelap dan tenang. Kemudian, aku melihat Mata Ungu di tengah kegelapan. Tubuhnya yang bersisik putih bersinar. Aku merasa sedih dan sakit hati. Karena dia, aku masih tetap hidup. Dia seharusnya masih hidup bersama tiga saudaranya. Karena aku, karena aku dia mati.
Mata Ungu terbang semakin dekat padaku. Sekarang, aku bisa melihat dengan jelas mata reptilnya yang berwarna ungu. Dia menatapku cukup lama, lalu mengigit pipiku. Rasanya sakit sekali, aku tanpa sadar menepuk pipiku untuk menghilangkan rasa sakit. Saat itu terjadi, ada kilas balik yang melintas cepat di benakku. Aku membuka mata.
Sahala sedang berdiri mencekik Giza dan aku yang berdiri di belakangnya dengan tangan yang diselimuti roh vulaknik. Kedua tanganku mencekiknya dari belakang.
Aku panik, aku berusaha melepaskan tanganku dari leher Sahala. Tetapi aku tidak bisa, tanganku tidak mau mendengarkanku.
"Sahala?"
Sudah sadar? Aku mengganguk dan aku teringat sesuatu. Ingatan yang ditunjukkan Mata Ungu padaku.
"Sahala, berputarlah."
Napas Sahala semakin pelan. Tanganku makin kuat menekan urat lehernya. Giza hanya berdiri dengan senyum tipis. Seluruh tubuhnya diselimuti bayangan api ungu. Dia tidak bergerak tetapi kendali pikirannya masih bekerja.
Aku harus membunuhnya. Aku masih bisa menahan rasa sakitnya.
Ibu jariku semakin menekan leher Sahala. Itu bukan keinginanku, tubuhku bergerak sendiri.
"Buih ... Buih Laut." Aku bergumam ragu-ragu untuk di dengar Giza.
Kalimat itu bagai mantra. Roh vulkani k di kedua tanganku menghilang dalam sekejap dan Sahala melompat ke atas tubuh Giza dan menghantamkan kepalanya ke kening Giza.
Kemudian, langit bergemuruh dan terbelah oleh kilatan petir merah dan ungu yang menyala, menampakkan wujud sejati Dewa Dunia Bawah Batak.
Di depanku, berdiri gagah seekor naga merah dengan sisik yang berkilau indah. Sisiknya yang merah mengepulkan asap dan bayangan api dunia bawah yang berubah-ubah warna. Dari merah, hitam dan ungu. Kepalanya yang besar, langsung melahap Giza seperti memakan nyamuk.
Naga Padoha berdiri menjulang melebihi gunung, kepalanya yang runcing dan bertanduk seperti mahkota. Itu tanduk yang sering kupegang ketika menjadi penunggang naga. Sementara ekor Naga Padoha menghancurkan tanah atau apa pun
di sekitarnya.
Mata Naga Padoha serupa bola api yang membara menatapku dengan intens. Aku merasa takjub dan cemas di saat bersamaan. Tatapan itu seolah siap membakar jiwa siapa pun yang berani menentangnya.
Terduduk di atas tanah dan di hadapan Naga Padoha, membuatku tampak sangat rapuh, ukuranku bahkan lebih kecil dari cakar kakinya yang tajam.
"Naga Padoha?"
Mata Naga Padoha bersinar terang. Api merah membakar di atas tanah mengelilingi kami. Ia menundukkan
kepalanya untuk mendekat. Sekali dia membuka mulut, aku pasti bisa langsung di telan.
Gerakan itu membuat getaran di sekitar kami, batu-batu kecil bergeser. Rahang Naga Padoha sungguh besar dan mulutnya di penuhi gigi tajam. Aku sedikit mengkhawartikan Giza. Apa dia benar-benar berada di perut Naga Padoha?
Lalu, Naga Padoha membuka mulutnya sedikit. Terdengar suara geraman rendah.
"Aesa."
Suaranya terdengar mengancam, namun lembut. Tidak semenakutkan dirinya.
Aku memberanikan diri mengangkat tangan untuk menyentuh ujung moncong Naga Padoha.
"Giza, kau memakannya?"
Naga Padoha mengangguk pelan.
Sisik-sisik di sekitar wajahnya memancarkan kehangatan yang tidak biasa.
"Bagaimana kau melakukannya? Mengapa aku tidak merasa terbakar olehmu?"
"Inti jiwanya dihapus."
"Apa? Apa maksudmu?"
"Aku menghilangkan panasnya jiwaku."
"Apa itu baik-baik saja?"
"Sejujurnya tidak. Kemampuan membakarku dan serangan menurun menjadi 5%."
"Mengapa kau melakukan itu?"
"Kenapa kau harus menanyakan itu?"
"Karena aku ingin tahu."
"Kau harusnya tahu."
"Aku tidak tahu, Naga Padoha."
Petir menyambar sekali lagi di atas kepala kami. Membuat sosok Naga Padoha terlihat semakin jelas.
"Giza sedang mengamuk dalam perutku."
Aku hanya menatap ke arah bagian bawah tubuh Naga Padoha. Entah harus bersikap dan mengatakan apa sekarang. Dia setidaknya, masih hidup setelah dilahap Naga Padoha.
Kemudian, angin berhembus dingin. Secara mengejutkan, Nowela dan Carnz berdiri di kedua sisiku. Nowela menatapku penuh kecemasan dan Carnz dengan emosi yang tidak kupahami.
"Kau tampak buruk," ucap Nowela dengan tangan yang ingin menyentuh pucuk kepalaku. Aku segera menghindar, rasa trauma oleh perbuatan Giza di kepalaku masih menghantuiku. "Jangan cemas, Aes. Aku akan membantumu."
Aku ragu-ragu, tetapi aku mengganguk. Aku membiarkan tangan Nowela berada di atas pucuk kepalaku. Tidak ada apa pun yang terjadi.
"Apa yang kau lakukan?" tanyaku penasaran.
"Menghilangkan sebagian kutukan Carnz," kata Nowela sambil melirik
sinis Carnz yang masih mengamati wujud sejati Naga Padoha dalam diam. Aku yakin, mereka sedang melakukan telepati tanpa sepengetahuanku.
"Carnz tidak akan mau mematahkan kutukannya. Tapi, aku bisa membuat sesuatu. Kutukan itu akan menjadi kekuatan tambahan untukmu. Saat siang, kau bisa mengendalikan salju dan saat malam hari kau bisa mengendalikan air. Hanya itu yang bisa kulakukan. Aku mengembalikan kekuatanmu."
Aku terpana. Ada perasaan lega dan campuran kebahagiaan serta rasa sedih.
"Jelaskan lebih terperinci? Aku tetap bisa mengedalikan air?"
"Salju dan air adalah dua element yang hampir serupa. Air bisa membeku menjadi es dan es bisa mencair menjadi air. Pelajari itu bersama Sahala. Maka, kau bisa mengendalikan keduanya. Saat ini, hanya itu yang bisa kulakukan."
"Maksudmu, aku bisa mengendalikan salju?"
Nowela mengganguk, "Tentu saja bisa, kau harus menjinakkan kutukan wanita salju di bawah kendalimu."
Ada sensasi aneh yang bergejolak di dalam dadaku. Perlahan, aku bisa merasakan sensasi dingin. Seekor burung mambruk terbang di sekitarku dan Nowela. Sayapnya menyentuh keningku dengan getaran kecil dan itu mengirim sensasi yang super menyenangkan. Rasa sakit yang ditimbulkan Giza perlahan lenyap.
"Wah, kau bisa memanggil hewan seperti ini untuk membantu, ya?"
Aku menggeleng pada Nowela. "Aku tidak tahu, dia datang seperti itu sebelumnya."
"Kau melakukannya tanpa kau sadari roh angin memberitahuku."
"Hah? Benarkah?"
"Hentikan pembicaraan tidak berguna itu, urusanmu denganku belum selesai." Carnz melirikku tajam, dia melipat kedua tangannya di depan dada dan memberiku tatapan menghakimi.
"Kabar baik," timpal Nowela, "telur yang selamat berada di Kemaharajaan Carstensz, Onna sedang bersama Rafayel sekarang dan seluruh Samsara berhasil di bawah ke Dunia Bawah. Debata yang dimanipulasi berhasil ditangani Carnz. Sekarang, kita hanya perlu menyingkirkan Giza."
Aku mengganguk, lega karena sebagian berjalan baik. Aku melirik Carnz, dia masih memberiku tatapan menghakimi.
"Naga Padoha akan tetap tinggal di Carstensz sampai aku memutuskan untuk melakukan apa padanya dan Giza."
"Tidak!" Aku marah, aku tidak mau Sahala tetap di sini sementara aku pulang. "Aku akan tetap di sini, jika Sahala di sini. Kau ingin menghancurkan Giza, 'kan? Kau sudah membalas dendam pada kami, dan kau masih belum puas? Kau memang tidak ada bedanya dengannya Giza!"
Aku mengabaikan cengkraman Nowela di bahuku. Aku tidak terima, sekolah adat membeku dan aku harus pulang tanpa Sahala dan Samsara adalah hal yang tidak akan kubiarkan terjadi.
"Aku sudah menerima hukumanku atas Deco—"
"Deco sudah sadar." Nowela menyela dengan tetap menahan pundakku. "Dia sedikit muram dan trauma dengan hal berbau roh orang mati. Secara fisik dia baik-baik saja, tetapi secara mental dia malah puas bisa berkomunikasi dengan roh orang mati, salah satunya orang tuanya. Aku tidak tahu, tetapi ... Deco cukup merasa sial dan senang dengan efek yang ditimbulkan Sahala. Jadi, Carnz ... kau harus membiarkan Sahala dan Aes. Mereka juga berjuang melawan sisa Debata dan Giza untuk kita. Setidaknya, angkat kutukannya atau biarkan mereka bebas."
Carnz hanya diam, tidak memberi respon apa pun. Dia mengamatiku, mengukur sesuatu dari kalimat Nowela, lalu kilat kembali menyambar. Aku memejamkan mata oleh silaunya cahaya tersebut. Saat kilat itu menghilang. Aku bisa merasakan tangan hangat menggengam telapak tanganku.
Kau bertahan sungguh baik, Aes.
Suara Sahala membuatku membuka mata. Rambut merahnya setengah berasap dan warna matanya yang hitam pun berubah merah. Mata itu menatapku dengan teduh.
Kau baik-baik saja? Apa ada bagian yang diperbuat Giza masih membekas?
Aku kembali menangis. Aku tidak tahu mengapa aku ingin menangis. Aku terisak-isak, membiarkan semua beban yang terjadi tumpah bersama air mataku. Sahala hanya diam, tetapi tangannya tetap menggenggam telapak tanganku dengan erat.
Nowela dan Carnz juga tidak mengusikku. Aku terus menangis sampai aku puas.
"Giza," ucapku lirih, "apa dia masih di perutmu?"
Nowela mengeluarkan tawa yang ditahan. Tetapi aku mengabaikannya. Aku menatap mata Sahala penuh ingin tahu.
"Dia pergi. Alam Carstensz membuatnya tidak diterima. Carnz hanya melakukan itu untuk semua yang terjadi. Lagi pula, kau sudah mengungkapkan sesuatu tentang Buih Laut."
Mata Sahala melirik Carnz yang diam mengamati kami. Dia belum memberi komentar apa pun yang terjadi.
"Sangat sulit mengendalikan alam membuat Giza ditolak." Nowela ikut menimpali dengan mendesah. "Giza cukup kuat mengendalikan iklim dan membuat alam mengusirnya itu hal paling tersulit yang aku dan Carnz lakukan."
"Mengapa kalian tidak melakukan itu sejak awal?" Aku menatap Carnz ingin tahu.
"Gadis Air, kau benar-benar menyebalkan. Jika, aku melakukan itu, Giza tidak akan bisa ke sini. Aku membiarkannya untuk hari ini."
"Apa kau cukup puas membuatnya tidak diterima oleh alam mu? Maksudku, setelah dia menghancurkan telur naga Carstenz, menghancurkan lembah, dan memanipulasi semua pihak."
"Ahahahah. Kau mengkhawartikan itu? Baiklah, aku cukup puas. Kau dan Sahala memberiku satu mantra yang bisa membuat Giza tunduk. Mantra yang cukup untuk memperbudak Giza setiap saat."
Senyum Carnz membuat bulu kudukku merinding.
"Untuk yang terjadi di sini, aku akan memanfaatkan semuanya." Tangan Carnz kembali meraih wajahku, tetapi dengan cepat ditepis Sahala. "Sabar, aku hanya perlu menyentuh Gadis Air untuk melakukan berkat dari kutukanku."
Mata Sahala penuh waspada. Dia menarik tanganku dan membiarkan Carnz hanya boleh menyentuh ujung telunjukku. Carnz tersenyum miring dan menyentuh telunjukku dengan telunjuknya. Setelah itu, Sahala menarik tanganku menjauh darinya.
"Kutukan itu berubah menjadi berkat sihir. Kau bukan lagi wanita salju, tetapi kau bisa mengendalikan salju. Sihir Nowela akan jadi pemandu dalam darahmu. Kau butuh waktu untuk mempelajari dan mengendalikannya."
"Bagaimana dengan sekolah adat dan daratan yang membeku?"
"Kau seharusnya mengucapkan terima kasih terlebih dahulu," sindir Carnz, "kau punya tiga naga Carstensz. Ya, anggap saja itu ujian dan penebusan dosa atas kejadian Deco. Besok lusa, kalian semua harus menyingkir dari sini. Aku tidak mau terlibat lagi dengan anak-anak seperti kalian."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top