35
Sahala terus membawaku berlari. Dia bisa saja bersembunyi di rumah-rumah penduduk yang pintunya sudah hancur. Tetapi tidak, Sahala terus berlari. Aku mengeratkan pegangan dengan melingkarkan tangan di lehernya. Lalu, embusan angin mendorong Sahala. Kami beruntung, tidak jatuh.
"Siapa kalian?"
Seorang anak laki-laki berambut ikal dengan tubuh sedikit kehijauan dengan mata berwarna emerald menatap kami penuh waspada. Kedua tangannya terkepal kuat dan rambutnya berantakan oleh dedaunan yang menempel. Aku bisa merasakan aura familiar yang terpancar darinya.
"Roh hutan," bisikku di telinga Sahala. Bocah laki-laki itu masih menatap kami penuh selidik.
"Kalian ... belum tersihir Yang Menghancurkan?"
"Dan siapa kau?" balas Sahala datar. Padahal aku sudah bilang padanya, itu roh hutan.
"Aku Auyu. Kalian harus menyingkir, saat ini sebagian Debata Papua sedang tersihir oleh Yang Menghancurkan. Para Demigod berubah menjadi roh vulkanik, bersembunyi untuk menyergap."
"Dari mana kau berasal?" kataku ingin tahu. "Asal mitologimu."
"Aku sudah bilang aku Auyu. Kau tidak dengar? Salah satu suku di Kabupaten Mappi dari Papua Selatan. Aku roh hutan yang menjaga wilayah adat suku Auyu."
Aku ingin mengucapkan nama Giza. Tetapi lidahku keluh tidak bisa bergerak. Auyu masih menatap kami dengan tatapan galak. Sebelum akhirnya dia menurunkan sedikit kewaspadaan.
"Di depan sana sudah tidak ada salju. Tanahnya membara. Tetapi ada kabut yang tebal bila mendekat, kalian bisa tersesat. Aku mengintip. Para Debata lokal berdiri mematung di beberapa titik tidak bergerak seolah menunggu atau menjaga sesuatu. Carnz tidak bisa dihubungi dan aku bisa gila di sini. Mafif sudah melindungi telur naga yang tersisa."
"Siapa Mafif?" tanyaku lagi. Jantungku berdebar tidak enak.
"Dewi Bumi dari Mitologi Sorong. Dia saudaranya Suiwa, Dewa Langit."
"Apa kau melihat Yang Menghancurkan?" tanya Sahala dengan nada dingin.
"Tidak. Tapi ... ada yang aneh di sini. Aku merasakannya, tapi aku tidak tahu."
Sahala mengumamkan sesuatu lalu berjalan melewati Auyu yang terbelalak.
"Jangan ke sana!" Dia berteriak. "Itu tempat berbahaya."
Sahala tidak mempedulikannya. Dia terus berjalan melintasi bangunan yang atapnya hancur dan dindingnya runtuh, sebagian setengah terbakar dengan sisa-sisa puing bangunan. Auyu berusaha menyamakan langkah kakinya dengan Sahala.
"Kau Debata Lokal. Kau bukan dari sini? Apa kau dari Samsara? Dengar, teman-teman kalian menjadi pion roh vulkanik. Aku berhasil membuat mereka pingsan dan mengikat mereka di suatu tempat sampai pembuat onar ditemukan."
Sahala terus berjalan tanpa mempedulikan Auyu. Lalu dia berhenti di depan sebuah kabut. Auyu pun ikut berhenti, dia maju selangkah di depan kami. "Ada yang mendekat."
Dan seorang remaja perempuan yang kulitnya kehijauan dengan mata hitam menatap kami tidak percaya telah keluar dengan seponyongan dari dalam kabut. Rambut hitamnya bergelombang dengan potongan tidak rata. Bulu matanya lentik dan dia menatap Auyu dengan perasaan lega.
"Kabutnya mulai menyebar. Telurnya aman."
"Bagus," jawab Auyu, "Mafif, ini Samsara yang selamat. Mereka tidak tersihir."
Mafif menatap kami dengan tatapan bersyukur. Dia Dewi Bumi yang sangat eksotis. Senyumnya manis dengan dua lesung pipi.
"Jangan masuk ke dalam kabut," ujarnya padaku. "Kabut itu menyesatkan."
Sahala kembali melangkah, jelas tidak mempedulikan peringatan tersebut dan masuk ke dalam kabut. Mafif dan Auyu terbelalak dengan mulut terbuka di belakang kami.
"Dengar Aesa. Teman-teman kita berhasil di tangani oleh Nowela dan roh kutukanku. Musamus mungkin sudah berada di Dunia Bawah. Kita harus terus maju. Giza menyiapkan sesuatu untuk kita berdua dibalik kabut."
"Tapi ... Sahala."
"Aku akan memburu Giza dan membalas dendam, memastikan dia tidak akan pernah berpikir untuk menyakitimu lagi."
Aku juga ingin balas dendam atas telur-telur naga. Aku juga ingin memastikannya tahu diri. Bukan berarti karena dia Dewa Kehancuran dia bisa melakukan apa pun yang dia inginkan. Aku yakin, Giza pasti punya celah, dia pasti punya sesuatu yang ia lindungi. Carnz pasti salah, Giza punya sesuatu yang ia lindungi sampai memerlukan darah dari bayi naga Carstenz.
Lalu tanah yang terbakar itu tampak dibalik kabut. Garis api membentuk sebuah garis yang berpola di atas tanah. Setiap garis api memiliki seseorang yang berjaga. Cara mereka berdiri sangat terstruktur dan rapi. Ini agak familiar. Terlihat seperti permainan Ada Tali Kah?
"Sahala," bisikku.
"Giza ada di belakang sana. Dia menunggu kita." Suara Sahala terdengar berbahaya dan menyeramkan.
Sahala kembali melangkahi api di depan kami dan ada sensasi aneh yang kurasakan saat melewati garis api tersebut.
Seorang Dewi dengan tangan dibalut roh vulkanik tersenyum tipis padaku. Kulitnya eksotis, rambut hitamnya panjang terurai. Tatapan matanya teduh tetapi terlihat menjebak. Sahala mencoba bergeser ke kiri dan Dewi Lokal itu ikut bergeser ke kiri.
Dia tidak maju mendekat atau menyerang kami seperti Fumeripits. Maka, Sahala bergeser ke kanan dan Dewi itu ikut ke kanan.
"Sahala," bisikku, "ini permainan. Kau harus melewatinya tanpa disentuh. Jangan sampai keluar dari garis api yang tercipta."
"Hey! Kalian!" Sahala tidak menoleh, tetapi aku tahu itu suara Auyu. Dia menatap kami dengan tatapan kesal. "Kalian berdua benar-benar keras kepala."
Sahala mendengus tidak peduli. Dia mencoba bergeser ke kiri lagi dan sosok di depan kami turut melakukan hal yang sama.
"Mereka aneh, 'kan?" ujar Auyu dengan dedaunan yang terbang mengelilinginya. Dia mencoba bergerak ke kanan dengan jarak yang cukup dekat. Dan secara mengejutkan muncul air pasang yang mendorong Auyu menjauh. Aku terpesona, aku rindu aroma air asin. Penciumanku terasa hambar.
Auyu tidak putus asa. Dia mencoba mendekat dan kesempatan itu dimanfaatkan Sahala untuk berlari di sisi yang tidak terjaga. Tetapi, Dewi itu dengan cepat memanggil gelombang air pasang dari bawah kaki Sahala dan menyeretnya menjauh.
"AMBAI! SADARLAH! DEMI DEBATA! BUKA MATAMU!"
Auyu tampak histeris. Dia tidak putus asa, dia masih mencoba mendekati Dewi Ambai dengan melilit tubuhnya seperti mumi hijau dengan puluhan dedaunan beraneka ragam yang membungkusnya. Sahala kembali memanfaatkan momentum untuk menyelinap dan kami terhempas gelombang pasang. Airnya mengguyur tubuhku. Ada sensasi familiar dan perasaan nostalgia yang bangkit dalam diriku.
Mata Dewi Ambai melirikku dengan tajam. Dia terpaku padaku, lengan Sahala di bawahku mengencang kuat kedua kakiku. Dia menahan dirinya dalam lilitan api hitam dari bawah tanah. Kami seolah ditarik paksa oleh medan magnet milik Dewi Ambai.
Kurungan Auyu meluruh. Dia dihempaskan oleh air pasang lagi yang mengurung dirinya dalam gelembung raksasa. Bocah itu berusaha menghancurkan kurungan tersebut dengan kesal. Menendang dan memukul berulang kali.
"Mendekatlah." Suara Dewi Ambai berbisik dingin di telingaku. Sahala tetap mempertahankan diriku di punggungnya dan itu membuat kerutan di wajah Dewi Ambai tercipta. Dia menghampiri kami, dia bergerak dan Sahala melemparkan bola-bola api, membangun selubung dari api merah yang melingkari kami.
Dewi Ambai berhenti. Dia tidak mendekat. Tetapi, di atas kepala kami tiba-tiba ada bulan purnama yang bersinar terang. Cahaya itu menyilaukan mata. Aku harus menutup mata untuk menghalau cahaya tersebut.
Tulang-tulangku yang kurasa patah dan otot tubuh yang memar perlahan mereda. Rasa sakitnya lenyap seketika.
Ambai adalah Dewi Bulan dari Pulau Yapen yang berasal dari mitologi Teluk Cendrawasih. Salah satu kekuatannya adalah penyembuhan dan pemurnian.
Aku melirik Auyu yang masih berusaha menghancurkan gelembung air. Dewi Ambai masih berdiri di depan tirai api Sahala. Gaun peraknya berkilauan. Tetapi, roh vulkanik yang menyelimuti tangan kirinya makin bersinar terang. Tatapannya masih tajam dan misteri. Aku penasaran, apa yang sedang dia pikirkan tentang kami. Seharusnya, dia tetap di garisnya. Menjaga agar tidak seorang pun bisa lewat. Itulah aturan permainan.
"Gadis Air."
Aku menelan saliva dengan tercekat. Dengan penampilan wanita salju, Dewi Ambai masih mengenaliku.
"Sebelum kau melangkah lebih jauh. Aku akan menunjukkan kepadamu apa yang menanti di ujung perjalanan ini."
Ambai bisa meramal. Dengarkan saja. Aku melirik Auyu yang mulai lelah menghancurkan kurungan Dewi Ambai. Kemudian, secara mengejutkan sebuah cermin dengan pigura berwarna perak dan emas menggantung di udara, di depanku dan Sahala.
Pantulannya berupa kabut putih. Kemudian perlahan menipis dan menunjukkan betapa kacaunya diriku selama perjalanan di Carstensz. Tanganku terkepal kuat melihat semua kilas balik itu. Aku tidak mengerti, mengapa Dewi Ambai menunjukkan ini pada kami.
Kemudian, citra di cermin berubah menjadi bayangan dunia yang hancur. Langit gelap, tanah hangus dan bercak darah di tanah. Giza ada di tengah-tengah semua itu. Berdiri sendirian dengan tangan berlumuran darah. Tetapi, sosok Giza itu berubah menjadi roh vulkanik dan roh vulkanik berubah menjadi Sahala.
Aku tercekat oleh napasku sendiri menyaksikan semua itu dan cermin itu perlahan menghilang.
"Takdir adalah bayangan dari setiap pilihan. Ada ribuan garis takdir yang bisa terbentuk karena pilihan. Berhati-hati, tindakanmu terikat dengan dunia bawah—"
Dan suara Dewi Ambai perlahan lenyap ke dalam asap. Tidak, itu api hitam milik Sahala yang membungkusnya dari bawah tanah. Sahala memanfatkan momentum ketika pikiran sang Dewi teralihkan oleh ramalannya.
Jangan dengarkan dia. Suara Sahala semakin terdengar berbahaya. Gelembung air yang mengurung Auyu pecah dan Sahala tetap melanjutkan langkahnya pada garis petak baru. Di hadapan kami berdiri Nias dengan kobaran api ungu. Aku kembali tercekat oleh napasku sendiri. Mataku bergerak liar menatap kedua tangan Nias yang terbungkus roh vulkanik yang berkobar kemerahan. Tetapi badan Nias mengeluarkan kobaran api ungu.
Mendadak, tanah di bawah kami runtuh bersamaan dan tubuhku melayang di udara. Tetapi, tangan Sahala dengan cepat meraih pergelangan tanganku. Menarikku jatuh di bawah kedua lengannya.
Nias brengsek. Nias terhipnotis sihir Giza. Kemarahan Sahala membuat matanya semakin gelap.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top