34

Kami akan dikutuk dalam edisi tiga, jika harus melawan Fumeripits. Sahala sudah membakar ribuan patung itu dengan api putih. Sekarang, aku jadi bertanya-tanya. Apa yang membedakan semua nyala api dan manfaatnya?

Jika, setengah patung kayu terbakar, maka akan muncul setengah patung baru. Mereka tidak pernah habis. Aku membiarkan Sahala mengurus patung-patung Fumeripits tersebut. Dia membakar mereka dengan begitu mudah seperti membakar serangga. Sialnya, Fumeripits sama sekali tidak melirik Sahala. Dia terus fokus menatapku dan bernyanyi lirih dengan memukul tifa dengan gema yang teratur.

"Kau belum menyebut namamu, Gadis Air." Faknik berujar tidak jauh dariku. Dia memotong puluhan patung kayu dengan air yang dibentuk menjadi sabit raksasa. "Aku mau bilang, Fumeripits tersihir untuk menghabisimu."

"Namaku, Aes," balasku, mencoba memilih tindakan apa yang harus aku perbuat.

"Jangan melakukan seperti itu!" Faknik mengerang frustasi. Cincin airnya mengangkatku tinggi ke udara saat sebuah patung kayu dilemparkan hampir mengenai kepalaku. Terlambat sedikit saja, aku bisa memancing kemarahan Sahala edisi kedua. Aku berdarah dan dia akan berubah menjadi anjing neraka menghajar Fumeripits. Bukan maksudku menyamakannya dengan anjing neraka. Tetapi, dia memang terlihat seperti itu.

"Aes!" Wah, aku terpukau Faknik menyebut namaku dengan lantang. "Apa kau sering lupa? Aku sudah bilang padamu, kau tidak boleh terlalu lama berpikir dalam bertindak. Perbaiki kelemahan tersebut. Oh Laut Biak, selamatkan gadis payah ini. Dia berbakat tetapi terlalu lambat."

Aku melirik masam Faknik saat cincin airnya membuatku kembali menginjak tanah. Dia bergerak membantu Sahala dan membiarkanku berhadapan dengan
Fumeripits.

Aku tidak bisa bertindak tanpa berpikir. Sebuah patung kayu melompat ke udara dan aku segera berguling sebelum tangannya mengenaiku. Aku berteriak Zazaras Aesa dengan lantang padanya. Dan patung itu jatuh tidak berdaya di atas salju yang mencair. Tidak bergerak.

Aku takjub melihat hal tersebut, lalu menatap ke arah Fumeripits. Alisnya sedikit berkerut. Aku memang harus menghadapinya. Aku kembali memanggil roh angin dan roh salju dengan tornado kecil yang membimbingku mendekati Fumeripits.

Kemudian, hanya sekali mengedipkan mata. Aku sudah terkurung oleh kumpulan patung kayu yang melingkariku, setelahnya mereka menjadi lebih tinggi dan besar.

"Zazaras Aesa!"

Aku berteriak mengarahkan tatapan pada semua patung tersebut. Mereka tidak bergerak. Aku menatap dengan waspada. Kemudian angin tak kasat mata mendorong tubuhku sampai membentur patung kayu. Belum juga aku mengerang kesakitan. Aku didorong ke depan membentur patung kayu lagi hingga kepala ku terasa sangat sakit. Aku tidak bisa memikirkan tindakan balasan. Tubuhku terhempas ke depan dan belakang berulang kali. Sampai aku terkapar di bawah patung yang menyeringai dengan darah.

Kusentuh pelipisku lagi dan buru-buru menyekanya. Aku tidak bisa memanggil roh alam lagi. Aku kesakitan dan kelelahan. Aku memejamkan mata.

Aku tidak peduli kau ini milik Naga Padoha atau bukan. Karena kau menentangku, maka kau akan mendapatkan hukuman, anak kecil.

Suara Giza bergema dalam pikiranku. Api dalam dadaku berkobar lagi. Aku memaksa membuka mata, aku harus bangkit. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan kalah. Aku tidak akan membiarkan Giza merugikan para naga. Entah dirasuki roh kutukan milik Sahala atau memang aku menjadi sedikit gila.

Aku menyeka darah di pelipis menggunakan telapak tanganku dan menjilatnya. Rasanya sulit dijabarkan, tetapi itu memberiku desakan baru. Tubuhku kembali didorong ke belakang dan aku menggunakan lengan untuk melindungi kepalaku.

Tunduk padaku! Aku mengeram frustasi di dalam hati pada angin yang mendorong tubuhku. Dia tidak mendengarkan. Dia kembali mendorongku lagi ke depan, kemudian memutar tubuhku ke udara sebelum di hantamkan kembali ke bawah.

"Aku bilang tunduk padaku! DENGARKAN AKU!"

Tulang-tulangku mungkin remuk atau patah. Aku merangkak di tanah dengan pelipis berlumuran darah. Sakit sekali menggerakkan tubuhku. Aku merasa sekujur punggungku merinding. Aku melawan desakan Giza menyusup ke kepalaku lagi. Aku mengigit bibir bawah dengan sekuat mungkin.

Terus berkosentrasi membangkitkan apa pun yang kumiliki. Roh angin, roh salju, roh air atau apa pun itu. Patung-patung kayu itu mulai merapatkan diri mengelilingiku, mengurungku seperti burung dalam sangkar. Sampai aku melihat seekor burung mambruk yang berdiri di depanku. Bulu putihnya tebal dan memiliki jambul es yang indah di kepala. Aku ingat dia, hewan yang dibeli Sahala. Entah dia mambruk liar atau bukan.

Dia menggerakkan sayapnya menyentuh keningku dengan getaran dingin yang menyelimuti seluruh tubuhku. Samar-samar, aku teringat kalimat Carnz.

"Hewan ini dianggap sebagai makhluk suci yang jarang terlihat. Mereka dapat menyembuhkan makhluk lain dengan getaran dari sayapnya. Ia juga bisa membuat jejak langkahnya menyamarkan dirinya, sehingga sangat sulit ditemukan."

Rasa sakit pada tubuhku sedikit berkurang. Tetapi, itu tidak cukup untuk membuatku bergerak. Seluruh tulang-tulangku masih sakit dan hewan itu terbang meninggalkanku.

AESAAAAAA

Mataku menyipit, patung-patung kayu di depanku menjadi debu hitam. Rambutku ditarik paksa oleh Fumeripits. Dia memaksaku menatap wajahnya yang diselimuti roh vulkanik. Panasnya membuat kulitku terbakar dan ingin meleleh. Aku menggeliat seperti seekor cacing.

Aku masih mendengar amarah Sahala di kepalaku, berteriak putus asa sebelum aku jatuh lagi ke dalam lengan Sahala. Wajahku terkena cipratan darah. Tangan Fumeripits terpotong oleh api hitam-ungu dan sisa tangannya terbakar oleh api itu. Tangannya yang lain perlahan menghitam terkulai tidak bergerak. Dia menjerit frustasi. Tidak terkendali, tetapi sihir api merah Sahala dengan cepat membukam mulutnya dan roh kutukan menarik Fumeripits ke dalam tanah.

Mata Sahala yang hitam terlihat gelap, posesif dan menakutkan. Aku bisa merasakan gelombang ketegangan dan bagaimana cara Sahala menggertakkan giginya.

Jangan berkata apa pun. Aku tidak akan membiarkanmu sendiri. Aliran api hitam mendorong tubuhku berpindah ke punggung Sahala dan kepalaku terkulai di pundaknya. Aku bisa menghirup aroma gosong dari  rambutnya. Dia berdiri, napasnya terengah-engah. Kedua lengannya yang kokoh menahan bobot tubuhku.

"Onna? Faknik?" ucapku lirih

"Mereka pergi bersama Nowela untuk menyelamatkan telur tersisa." Sahala lagi-lagi mau buka suara. "Onna akan menyusul setelah memastikan semuanya aman. Sebagian telur berada di Giza. Kita harus merebutnya."

Aku mengganguk. Anehnya, aku baru menyadari lagi, bahwa aku tidak merasakan panas dari tubuh Sahala. Dia berjalan pelan dengan penuh waspada. Menyusuri jejak-jejak pertarungan yang berlangsung beberapa saat. Samar-samar, aku masih bisa mendengar dari jauh suara keributan.

Langkah kaki Sahala tidak pernah goyah, dia melangkah mantap.

"Ada tulang yang patah sepertinya. Otot tubuhku sakit sekali," kataku lirih.

Sahala hanya mengganguk. Kemudian, langkahnya berhenti. Aku berusaha mengangkat kepala dan mengintip lewat bahu Sahala. Di depan kami, berdiri Musamus dengan sebagian roh vulkanik membentuk sisi kiri wajahnya.

"Sial." Dia mengumpat dan lengan Sahala di bawah kakiku menegang. "Aku tidak ingin melawan kalian. Tapi, Roh sialan ini merasuki tubuhku. Dia mengambil alih sebagian diriku. Tetapi, teman-teman kita yang tidak kuat ditelan oleh roh sinting ini."

"Itu karena kau seorang Debata." Suara Sahala kembali terdengar seperti mencibir. Apa sekarang dia tidak lagi malas berbicara?

"Wow, Bro. Kau bisa bicara ya? Aku pikir, kau akan terus membisu— Eh!"

Aliran magma di lemparkan oleh tubuh bagian kiri Musamus yang dilahap roh vulkanik. Wajah sisi kirinya mengeram.

"Kalian harus lari! Aku tidak mau melawan apalagi melukai wanita."

Musamus memang tidak akan melukaiku mengingat apa yang terjadi sebelumnya waktu melawan Diwangka. Tetapi, sebagian roh vulkanik mengambil alih dirinya karena dia seorang Debata. Debata? Tunggu, Debata? Demi Debata Naga, mengapa aku selalu lupa dan lemot berpikir.

"Musamus," ucapku lirih, "kau seorang Dema? Debata dari Mitologi Merauke?"

"Eh, ya?" Dia menjawab sambil memaksa mundur menjauh kami. "Jangan bilang Roan dan Beto. Ayo pergi!"

Peringatannya datang dengan sesuatu yang seperti gundukan tanah. Bentuknya menjulang tinggi di atas permukaan tanah menyerupai stalakmit di gua-gua. Tekstur permukaannya berlekuk-lekuk dan berwarna cokelat kemerahan.

"Itu musamus, rumah semut. Terbuat dari rumput kering, tanah dan air liur rayap." Musamus menjelaskan musamus.

Detik itu juga, rayap-rayap itu keluar dan secepat mereka keluar, api sahala yang berwarna hitam membakar mereka sampai menghancurkan musamus yang berdiri kokoh menjadi tanah yang berantakan.

Wajah sisi kiri Musamus mengeram marah. Bunyi tifa ditabuh kembali terdengar. Seiring dengan kepala tengkorak yang lagi-lagi mengelilingi kami. Tengkorak-tengkorak itu tertawa. Beruntungnya, mereka tidak berwarna hitam seperti Pitok.

"Sial!" Musamus mengumpat, masih berjuang mengendalikan dirinya. Dibalik punggung Musamus muncul sepasang sayap hitam yang terbentang lebar dengan begitu besar. "Lari, Naga Padoha. Aku tidak bisa menyakiti kalian."

Sahala menurut dan putar arah dengan lingkaran api yang berputar melindungi kami saat kepala tengkorak itu mengejar. Lalu, suara Musamus yang mengerang kesakitan, terasa mengelus dada. Kebencianku pada Giza semakin bertambah.

Akan kuhancurkan dia.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top