33

"Kau tahu Giza melakukan itu?" Aku akhirnya berhasil berucap. Lidahku tidak lagi keluh.

"Ya. Kau pikir aku bertarung tanpa melihat lawanku?"

"Tetapi, kalau kau tahu. Mengapa kau membiarkan Giza selama ini? Mengapa kau tidak bertindak saat Giza mengikuti liburan ini?"

"Banyak sekali pertanyaanmu." Carnz menghela napas. Badai salju bergulung-gulung lebih besar di belakangnya, kemudian bergerak mengelilingi aku, Sahala dan Faknik sampai danau beku di bawah kami tidak terlihat.

"Giza adalah Dewa Kehancuran, Dewa Gunung Tambora yang menguasai kekuatan vulkanik, waktu dan iklim. Dia dapat mengubah langit, menggulung awan menjadi badai besar, atau membuat tanah retak dan meletus. Berhadapan dengan dia itu butuh rencana. Dia tahu apa yang harus dia lakukan."

"Jadi?" kataku ingin tahu dan penasaran. Aku tidak paham apa pun yang ia katakan selain siapa Giza sebenarnya.

"Apa kau tahu? Letusan gunung Tambora tahun 1815? Dia memuntahkan beberapa material saat meletus. Debu, lahar, tsunami, perubahan iklim, kemudian terjadi kekeringan, kegagalan panen, kelaparan, dan penyakit. Apa jadinya, setelah gunung Tambora meletus, Puncak Jaya Wijaya ikut membekukan sebagian wilayah Indonesia Timur sampai ke Sumatra?"

Aku tidak bisa menjawab. Itu bencana alam yang luar biasa. Panas dari debu gunung berapi bercampur dengan es yang membekukan apa pun. Tidak ada makhluk yang bisa tahan dengan dua iklim seperti itu.

"Giza adalah sebuah anomali yang harus dihindari. Kekuatan alamnya tidak bisa diprediksi atau dikendalikan siapa pun. Giza tidak punya sesuatu yang harus dia lindungi, sedangkan aku punya sesuatu yang harus dilindungi."

Tampaknya, aku semakin memahami perasaan Carnz. Seseorang akan melakukan apa pun untuk melindungi yang mereka miliki. Tidak peduli sebesar apa pengorbanan dan risikonya. Meskipun, dia harus menahan diri membalas dendam atas kematian telur-telur naganya yang berbahaya.

"Wah, kau semakin bersimpati pada Carnz? Aesa, otakmu mulai bergeser. Jangan dengarkan dia."

Aku melotot tajam pada Sahala. Jangan bersikap kasar. Kemudian menatap Carnz.

"Aku akan membantu melindungi telur naga sebagai bagian dari penunggang naga."

Mata Carnz berkedut, lalu dia tersenyum tipis dan menghilang oleh badai salju di depan kami. Dia menghilang bersama badai saljunya, saat semuanya kembali normal. Aku berdiri di belakang Onna yang bermandi peluh melindungi ribuan telur dalam sarang hijau yang ia buat dengan tumbuhan rambat hijau cae itu lagi. Demi Debata Naga, susah sekali mengucap nama asli bunga kristal itu.

Kelopak bunga kristal mekar di rambut Onna dengan cahaya hijau berkilauan, begitu pula dengan sarang bulat yang ia ciptakan. Bunga kristal itu mekar dengan berbagai warna di kelopaknya. Merah, hijau, kuning, biru dan jingga. Setiap tanaman rambat yang membawa telur akan dibawa masuk lewat celah yang terbuka dan menutup kembali.

Faknik segera membangun cincin air yang lebih besar untuk melindungi kami dan menghadang aliran lava yang mencoba menghancurkan perisai tumbuhan milik Onna dari depan. Dia melirik kami dengan terkejut dan tersenyum lega. Setelahnya, ambruk di atas tanah yang tidak bersalju.

"Onna!" Aku segera mendekatinya. Dia menatapku dengan terbelalak.

"Aes. Apa yang terjadi padamu? Mengapa kau terlihat seperti wanita salju?"

Onna memegang tanganku dengan hati-hati.

"Kau dingin, aku sedikit suka. Demi Pulau Hijau, di sini panas sekali."

"Istirahat."

"Tidak bisa, aku harus menyelamatkan telur yang tersisa, sebagian bayi naga mati dan penduduk desa sudah di evakuasi bersama Nowela. Kita harus menyelamatkan sebanyak-banyaknya."

Aku menggigit bibir bawah. Dadaku sesak dan jantungku terasa kian dingin. Aku mengganguk pada Onna, berdiri menghadapi alam yang berkecamuk di depan. Lava di depan kami itu bukan lava biasa. Dia adalah sesosok roh vulkanik. Jumlah mereka pasti lebih dari satu. Faknik dan Sahala mencoba menahannya mendekat.

"Aes."

Aku menoleh pada Onna.

"Jangan sampai roh di depan terluka."

"Apa maksudmu? Mereka mencoba merebut telur-telur naga dan masa depan para naga."

Aku tidak akan mendengarkan Onna. Aku maju selangkah ke depan. Api hitam Sahala membentuk tali yang menjerat kedua kaki makhluk tersebut dari bawah tanah, sedangkan Faknik terus menerus mengguyur air di atas kepala makhluk tersebut. Tetapi lava yang membentuknya tidak kunjung padam hanya mendesis seperti suara air panas.

Tubuh roh vulkanik berupa magma yang mengalir, bercahaya merah-orange. Setiap langkahnya membakar salju, menciptakan kawah hitam di sekitar. Tatapannya penuh api. Dia menantang semua hal yang menghalanginya.

"Itu teman-teman kita, Aes! Kau tidak boleh melukai mereka! Mereka dikendalikan."

Aku berdiri terpaku menatap roh vulkanik dengan lidah keluh. Aku tidak sanggup menoleh ke arah Onna. Mataku terus tertuju ke wajah roh vulkanik yang meraung marah pada Sahala dan Faknik. Dia melemparkan beberapa muntahan lava yang cukup membakar sol sepatu Sahala.

"Kita tidak bisa menahannya terus menerus," kataku. Aku marah dan setiap berpikir tentang Giza dan perbuatannya. Level rasa marahku meningkat. Aku memejamkan mata. Membiarkan angin dingin dan panas menjadi satu.

Aku menuang semua amarahku. Kubiarkan amarah tersebut meledak-ledak dan tidak terkendali dalam benakku. Kekuatanku sekarang bertumpu pada kendali atas roh-roh alam-makhluk tak kasat mata yang melingkupi segala unsur dan kekuatan penunggang naga. Carnz tidak bisa merebutnya.

Aku merentangkan tangan, membiarkan roh angin dan roh salju mulai berputar di sekelilingnya. Aku memusatkan pikiran dengan kuat. Mengisi semuanya dengan amarah yang menggebu-gebu. Semakin banyak di isi, energinya semakin padat. Angin dingin dan panas berhembus, melingkar seperti tornado kecil di sekelilingku.

Kuperintahkan tornado itu bergerak ke arah roh vulkanik, berpikir mencuri panas dan memaksanya untuk melambat. Setiap aku menekannya, dia melawan balik dengan dorongan yang lebih kuat. Kakiku bahkan sampai terdorong mundur.

Aku tidak akan menyerah. Aku membayangkan kekuatan besar di sekelilingku. Aku meyakinkan diri bisa mengatasinya, aku lebih hebat dari mereka. Samar-samar, aku mendekati jantung bumi. Meminjam sedikit bantuan untuk memperkuat roh alam dan kekuatanku.

Kakiku kesemutan karena seperti disetrum ribuan listrik pada setiap sel dalam tubuhku. Aku tidak mau menyerah. Energi jantung bumi sangat kuperlukan. Aku menatap Sahala dan dia segera mendekatiku.

"Zazaras Aeasa!"

Mantra ini beresiko. Tetapi lebih baik dari mantra pertama yang menciptakan fenomena langit saat pertandingan di sekolah adat.

Roh vulkanik meraung, tubuhnya berusaha mempertahankan panasnya yang kini perlahan memudar. Tornado kecil bergerak lebih lincah berkat dorongan mantraku. Aku berkonsetrasi keras hanya menghapus kekuatan Giza dari mereka. Aku sama sekali tidak ingin hal yang sama menimpa Airin dan Arya kembali terjadi di sini.

Kupanggil lebih banyak roh-roh alam untuk bergabung. Dari dalam tanah muncul bayangan roh kutukan Dunia Bawah. Mereka mencengkeram tubuh roh vulkanik, membatasi gerakannya.

Faknik memanfaatkan tersebut membuat gelembung air di wajahnya, mendesaknya kehilangan napas. Roh tersebut mulai meronta akibat kombinasi serangan kami. Kemudian, aku teringat ucapan Nowela tentang bakatku. Aku pun memberanikan diri.

"Wahai bagian yang berasal dari alam," kataku tegas dengan uap putih yang keluar dari mulutku. "Di bawah kendaliku. Kau akan menemukan keseimbangan. Dan keseimbangan itu adalah kembali ke sumber asalmu. Ini bukan wilayahmu."

Saat kata-kata itu selesai. Roh vulkanik yang menyelitmutinya lenyap. Di depan kami, pingsan Beto dengan wajah pucat. Aku tersentak, di awal hampir melenyapkannya. Sebelum aku bertindak. Roh kutukan Dunia Bawah membungkusnya dan membuatnya lenyap dari pandangan mata. Aku menoleh cepat ke arah Sahala.

"Dia aman, Beto akan dirawat di Dunia Bawah. Apa kau masih sanggup? Ini belum berakhir."

Aku mengganguk. Belum juga menarik napas lega. Sesuatu bergerak dengan suara keras mendekat. Awalnya dua patung kayu berbentuk manusia. Kemudian menjadi tiga, empat, lima, enam, tujuh dan terlalu banyak untuk dihitung.

"Itu apa?" Onna berdiri di dekatku. Tampaknya dia telah mengumpulkan energinya kembali. Tubuhnya berpendar kehijauan. Sahala pun berpendar kemerahan dan Faknik berpendar kebiruan. Aku? Putih keperakan.

"Hai anak-anak." Seorang pria berkulit gelap dengan totem merah putih yang berbentuk melingkar di kaki dan tangannya berdiri di depan kami. Aku mencari-cari apakah dia kawan atau lawan. Kemudian kepalanya berubah menjadi roh vulkanik. Patung-patung kayu semakin banyak mengelilingi kami. Sebagian bahkan mendekati sarang bunga Onna. Onna terpaksa mundur untuk mengusir mereka.

"Kita dalam masalah, Manteman." Faknik menatapku dengan menggeleng. "Dewa dalam mitologi Asmat. Manusia pertama dari Matahari Terbenam. Fumeripits. Jangankan biarkan dia bernyanyi."

Fumeripits tiba-tiba bernyanyi. Peringatan Faknik terlambat. Dia memegang alat musik tradisional, Tifa dan memukulnya. Secara serentak, patung-patung itu menjadi lebih hidup. Mereka mengepung kami.

Giza menyihir Debata Lokal dan kami harus melawan seorang Dewa lagi. Demi Debata Naga. Mungkin kutukanku akan bertambah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top