31
Karwar terdengar menyapa Sahala dengan memanggilnya Naga Padoha, setelahnya, dia kabur ke arah tempat kami datang. Aku masih berdiri kaku di bawah pengawasan mata Sahala.
"Aes, siapa yang menyuruhmu menjadi seorang roh?" Nada suara Sahala lembut tetapi dia menuntut dan posesif.
"Aku. Aku pikir kau tidak akan menyusul setelah kau dan Giza meledakkanku."
"Menurutmu aku tidak ikut meledak, jika melihat Giza ingin meledakkanmu? Akulah yang meminta Zayn dan roh Carstenz membawamu ke dunia orang mati."
"Mengejutkan. Carnz akan segera mengetahui kau kembali ke sini."
"Aku tidak cukup bodoh hadir dengan tubuh fana. Aku juga menjadi roh orang mati di sini karena mengikutimu. Kau seharusnya tetap di sana bersama Nowela."
"Jadi, kau tahu Nowela menungguku?"
"Tidak awalnya."
"Ya sudah, aku mau mencari bayi naga kita dan mencari Onna dan Amos. Lepaskan aku."
Kutepis tangan Sahala dari pundakku dan berjalan menjelajahi lorong dalam diam. Sahala tidak berkomentar apa pun. Dia mengikuti dari belakang. Sekarang, di depan kami jalurnya menjadi empat.
"Nomor tiga. Dan jangan bertanya, kau ingin bertemu dengannya, bukan?"
Aku melirik Sahala dengan wajah merajuk. Aku emosi dan dia lebih emosi. Kami masuk ke jalur nomor tiga dan lorong itu ternyata buntu. Aku menghela napas, menarik dan menghembuskannya perlahan.
Aku ingin putar arah, aku ingin marah dan bertanya mengapa dia harus memilih jalur yang membawa kami pada jalan buntu. Aku menarik napas lagi dan buka suara.
"Ini buntu."
"Iya."
"Kalau buntu, kita harus ke kembali ke jalan utama."
"Tidak. Ini pilihan yang benar. Kau tidak percaya padaku lagi, Aesa? Aku naga-mu."
"Apa kepalamu sedikit terbentur di suatu tempat Sahala?" ucapku sambil menunjuk kepalaku sendiri. "Kau bersikap tidak seperti biasanya."
Sahala diam saja dan tidak menjawab. Aku tidak tahan melihat matanya yang terus menatapku. Kualihkan tatapan ke arah langit kelabu. Cahaya lampu kristal cukup menerangi sampai di sini. Mencoba menenangkan pikiran. Aku menarik napas lagi dan menghembuskannya. Sahala terus menerus membuatku marah akhir-akhir ini. Ini membuatku lelah. Kami tidak biasanya seperti ini.
Tiba-tiba, aku kepikiran kalimat Novia padaku. Memangnya, seberapa jauh aku mengenal Sahala? Aku meliriknya, dia menatapku dengan tajam. Seberapa jauh? Aku menanyakan itu di dalam hatiku? Aku sendiri tidak mampu menjawabnya.
Kemudian, kami berdua berpaling ke depan, pada retakan yang menjalar di dinding es. Retakan itu makin lama makin membesar. Sahala mengarahkan lengannya agar aku mundur dan berdiri di belakangnya sementara mata kami mengawasi apa yang akan terjadi di depan.
Dari dalam dinding tersebut. Samar-samar, terlihat sosok yang bergerak keluar. Dia menyerupai roh dengan warna biru transparan dengan tepi-tepi kabur yang memancarkan cahaya biru. Aroma air asin menyeruak dalam penciumanku.
"Roh Laut," bisikku. Sahala bergumam menyetujui pendapatku.
Roh Laut itu sepenuhnya telah keluar dari dinding es. Matanya bersinar dengan warna biru laut. Ketika dia melangkah atau bergerak. Aliran udara berputar-putar di sekitar tubuhnya. Dia seorang gadis.
"Kalian ... Roh Orang Mati?" Suaranya feminim lembut. Aku seolah memiliki ketertarikan. "Kau memakai tanda pengenal sebagai peserta Karnaval. Tetapi kau seorang roh?"
Aku menunduk, menatap kertas yang bertuliskan Pelahap Api di dada. Aku benar-benar melupakan keberadaan benda ini.
"Aku dulu pernah ikut Karnaval dan mati di tengah pertandingan karena sakit."
"Sungguh disayangkan. Jadi gentayangan. Baiklah, aku akan tetap bermain denganmu. Mari kita coba, aku berkaitan dengan Tradisi Wor."
"Kau Faknik. Roh Laut dari Mitologi Biak."
Mata Faknik melebar. Dia menepuk tangan dengan ceria. "Mudah, 'kan? Sekarang kau bisa mati dengan tenang."
"Em, makasih."
Telapak tanganku mendadak bercahaya. Totem berbentuk aliran air dan tengkorak orang mati bergerak melingkar di telapak tanganku. Tampaknya, Karwar juga memberiku hadiahnya.
"Apa aku lolos?"
"Tidak juga." Faknik terkekeh sambil menunjukku. "Aku ingin kita bertarung. Aku mengendus aroma air asin dari tubuhmu. Jika kau menang, aku akan memberimu jalur tercepat menuju hadiah utama."
Aku ingin bilang. Aku tidak peduli dengan hadiah utama. Aku hanya ingin mencari bayi nagaku, Onna dan Amos. Aku pun menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.
"Jika aku menolak?"
"Totemnya akan hilang. Sayang sekali, bukan? Hanya satu lawan satu. Kekasihmu tidak boleh ikut campur."
Aku melirik Sahala. Dia tetap diam tidak bergerak. Tatapannya masih waspada, walau tidak seperti sebelumnya.
"Hadapi saja, Aes. Sebisa mungkin kurangi kecurigaan."
Aku mengganguk. Sahala memberi ruang untuk kami. Retakan dinding tempat Faknik keluar kembali menutup seperti sedia kala. Kemudian, suara gemuruh ombak terdengar di sekeliling kami. Tiap deburannya bergerak seirama dengan napas Faknik.
Faknik menjentikkan jarinya, semburan air laut menyembur dari dalam dirinya dan membentuk cincin bundar yang besar mengelilingi tubuh Faknik.
"Wow, itu hebat. Maukah kau mengajariku nanti?" Aku terpesona. Aku memang separuh Dewi Laut. Tetapi, aku masih terlalu pemula mempelajarinya. Ada hal-hal yang tidak bisa kupelajari sendiri.
Alis Faknik terangkat satu. "Itu metode dasar pengendali air. Bayangkan saja debur ombak dan air laut. Silan pernah memberitahuku, dia mengajarkan tips ini."
"Siapa Silan?"
"Keturunan Dewi Laut. Ayo, aku ingin lihat kemampuanmu."
Air yang melingkari Faknik bergerak ke arahku. Aku hanya tahu, bahwa aku harus mengeluarkan air ku lebih kuat daripada miliknya. Ketika telapak tanganku mengarah ke depan. Ombak seketika melahap serangan Faknik. Tetapi itu hanya serangan pengalihan. Air laut milik Faknik terpecah belah dan kembali bergerak di atas kepalaku, meliuk-liuk tanpa batas dan mendorong tubuhku hingga aku terdorong dan punggung membentur dinding es.
"Gadis Laut," ucap Faknik ketika tubuhku tidak basah sama sekali. "Kau kuat, tetapi ini tentang siapa yang bisa mengendalikan air dengan baik. Kau harus memiliki kendali atas sihirmu dalam pertempuran. Kau sedikit membuang waktu untuk berpikir sebelum menyerang dalam menentukan serangan."
"Dia benar."
Aku melirik Sahala tanpa sadar. Dia mengamatiku seperti guru olahraga.
"Apa kau pernah mencoba serangan lain?" Faknik bertanya dan aku menggeleng. "Baiklah. Ada beberapa serangan berbeda yang bisa dilakukan dengan sihir air, masing-masing serangan lebih efektif dari serangan sebelumnya. Misalnya, kau bisa menciptakan pedang es dari air atau air, atau gelombang air yang besar atau gelembung air yang besar untuk menjebak musuh. Coba serang aku dengan variasi tersebut. Bayangkan saja semuanya dalam kepalamu dan sihirmu akan melakukannya."
Aku mengganguk semangat. Tetapi aku lupa satu hal yang penting. Tubuhku tidak lagi dalam wujud roh. Kedua kakiku bisa menapak di atas danau dengan jelas. Aku harusnya ingat peringatan Nowela. Namun, semuanya terlambat. Ombak yang kupanggil adalah hal terakhir yang bisa kulakukan. Karena telapak tanganku setengah membeku. Kutukan wanita saljunya aktif.
Catatan :
Btw, Aestival edisi sumatra mythology ready stok ya. Bisa cek insta story di instagramku @winnylola11
13/11/2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top