30
"Kau ingin mengutukku, Gadis Tanimbar? Jangan bermimpi. Jika kau melakukannya, aku tidak akan bekerja sama dengan Sahala untuk menyelamatkanmu dari kutukan Wanita Salju."
"Jangan bekerja sama dengannya, Sahala."
Aku berpaling menatap Sahala. Menatapnya dengan sorot tegas dan penuh tekad. Aku dan Sahala adalah naga dan penunggang naga. Seharusnya kami berada di sisi yang sama dengan Carnz.
"Aku tidak ingin kau menjadi patung es. Aku akan bekerja sama dengan Giza."
"Jika aku bilang tidak, tetap tidak!"
"Apa yang kau katakan, Aesa? Jangan memancingku. Kau ingin aku membiarkanmu dikutuk salju abadinya Carstensz? Aku sudah mengatakan ini sebelumnya. Aku tidak peduli dengan risiko apa pun."
"Tapi aku peduli! Aku peduli pada setiap bayi naga di atas bumi ini! Bawa aku kembali menghadap Carnz."
"Tidak! Jangan berpikir kau bisa mengancamku, Aesa. Kaesang menitipmu padaku. Tugasku menjagamu sebagai permataku."
"Nusa meminta kita menyelamatkan daratan yang membeku."
"Aku tidak peduli dengan menyelamatkan Nusantara dari salju abadinya Carstensz, jika dalam prosesnya aku harus kehilanganmu. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi."
Sahala keras kepala dan aku harus menjadi lebih keras kepala darinya. Aku pun melirik ke arah Giza yang menikmati pertengkaran kami.
"Kau ingin melaporkanku pada, Carnz?" Dia menantangku dengan seringai. "Kau yakin bisa melakukannya?"
"Aku tidak akan menjadi ember bocor. Tetapi, akan kuntunjukkan pada Carstensz bahwa Anda pelaku dari insiden memilukan itu."
Dia terlalu percaya diri atas apa yang sudah dia lakukan. Jika Giza mampu membuat kerusakan dan kekacauan dan berhasil menyembunyikan peristiwa ini dari semua orang. Dia bukan sekedar Debata biasa. Dia bahkan bisa membuat Naga Padoha tunduk padanya. Siapa sebenarnya dia? Giza pasti menuntut bayaran, karena aku mengetahui rahasia gelapnya.
"Jangan coba-coba menyelamatkanku dari kutukan Carnz. Aku serius, aku tidak peduli seberapa kuat dan hebat Anda dalam kedudukan mitologi. Aku sudah memiliki kutukan Cindaku, jadi mendapatkan kutukan lagi bukan hal yang baru untukku."
Giza menyeringai, tetapi sorot matanya tajam, sekilas aku bisa merasakan ledakan kehancuran dalam tatapan tersebut. Dia tidak membakar, dia menghancurkan dan meledakkan apa pun.
"Dan kau Sahala," kataku sambil melirik dan melepaskan genggaman tangannya. Melangkah sedikit menjauh. "Jangan coba-coba memaksaku. Aku serius, soal berada di sisi Carnz. Jika kau tidak membawaku padanya, aku akan memanggilnya padaku."
Emosi Sahala gelap dan suaranya semakin tegas di kepalaku.
"Aesa. Kau pikir, Carnz akan berubah pikiran, jika kau berdiri di sisinya karena membela reputasinya?"
"Tidak. Aku berdiri di barisan bayi naga. Loyalitasku ada di naga yang gugur. Dia marah padaku, aku bisa memahaminya. Aku akan menghadapi masalah, bukan melarikan diri dan bersembunyi di bawah tanah bersama dua Debata yang pengecut."
Semuanya terjadi begitu cepat. Tubuhku terhempas, terdorong dalam dimensi sihir api yang meledak-ledak di sekelilingku. Aku berkosentrasi memanggil roh Carstensz. Upaya itu membuat tubuhku kembali di dunia bawah mitologi Carstensz. Daratan salju membentang luas tanpa batas dan langitnya kelabu. Suhu udaranya hangat, walau salju tetap turun dari langit.
"Kau baik-baik saja?"
Aku menoleh cepat ke belakang. Melihat Nowela dengan dua Cendrwasih Artik yang terbang di sekelilingnya.
"Aku tahu, cepat atau lambat kau ada di sini."
"Mengapa kau bisa tahu?" tanyaku
"Karena kau mediator roh alam Nusantara. Garis darahmu sangat istimewa. Sekali kau berkomunikasi dengan roh alam. Mereka akan tunduk padamu."
"Jangan bergurau. Aku pernah di kejar Homang sampai Sumatra dan babak belur menghadapi mereka."
"Oh, yang itu? Sebenarnya mereka bisa tunduk padamu. Tetapi, kau tidak cukup meyakinkan mereka. Itulah sebabnya, mereka tetap bekerja di bawah Deak Parujar."
Aku tidak mengerti tentang menjadi istimewa. Itu terlalu mengada-ada. Kemudian, aku teringat Sahala dan Giza. Aku juga ingat soal kalimat Sahala tentang Nowela. Aku sedikit merasa bersalah mencurigainya memerintah Owel.
"Carnz mencarimu di seluruh Carstensz. Saat kau berada di tanah kami. Carnz langsung mendeteksimu. Dia juga tahu, Naga Padoha membawamu ke dalam tanah."
"Baguslah."
"Bagus?" Nowela malah menatapku tidak percaya. "Kau menjadi tempat pelampiasan Carnz atas Naga Padoha dan dia mengutukmu menjadi Wanita Salju. Aes, tidak ada orang yang baik-baik saja dalam situasi ini."
"Aku baik-baik saja. Kau melihatku di sini? Hanya masalah waktu, Carnz tahu aku ada di sini."
Nowela memutar bola mata malas dan seekor Cendrawasih Artik terbang di atas kepalaku dan hinggap di rambutku.
"Kau orang paling aneh yang kutemui. Kau memilih Naga Padoha sebagai nagamu saat orang lain memilih naga biasa. Aestival menyembunyikan diri dari dunia dan Yang Terlupakan sedang mengejarmu sebagai penunggang naga. Sekarang, kau dikutuk Carnz dan kau bilang kau baik-baik saja. Itu luar biasa sinting."
"Terima kasih atas pujiannya, Nowela. Bawa aku menghadap Carnz. Sahala menolak melakukan itu padaku. Aku memanggil roh Carstensz saat sesuatu terjadi pada kami dan mereka membawaku ke sini."
"Ya, double sinting. Aku harus mengakuinya. Masuk akal, jika Sahala menolak."
"Kau melaporkan kami pada Kemaharajaan Carstensz." Aku mengingatkannya. "Jika kau tidak melakukan itu, Deco tidak akan menyandera ku dan membuat Sahala lepas kendali membunuhnya."
"Deco masih hidup. Sahala membuatnya sekarat dengan menjadikannya gosong seperti kayu bakar. Kau pikir, Sahala akan membunuh orang begitu mudah? Tidak, Aes Ongirwalu. Sahala tidak akan membunuh musuhnya secara langsung. Dia menikmati menyiksa mereka menuju kematian. Dia mengirim teror itu pada jiwa Deco yang terjebak di mitologi dunia bawah Batak."
Nowela menanggapi kebisuanku dengan seringai. Kami saling menatap dalam diam. Hening sejenak, kemudian Nowela berkata, "Aku hanya mencoba membantu Samsara. Dua hari lagi, telur-telur di Desa Bailem akan menetas—"
Kepalaku seperti mau pecah. Aku tidak mendengar kalimat Nowela yang keluar lagi.
"Telur-telur naga," kataku sangat lirih. Aku bisa membayangkan apa yang terjadi. Giza masih ada di sini, aku tidak yakin tetapi sangat yakin. Aku punya firasat buruk. Aku menatap Nowela dengan jantung berdebar keras.
"Di mana Onna?"
"Kau mendengarkanku tidak? Telur-telur naga akan menetas—"
"Di mana Onna?" Aku setengah berteriak. "Bawa aku kembali ke Desa Bailem sekarang atau semuanya akan terjadi kembali."
"Dengarkan aku!" Nowela balas berteriak. Terlihat kesal dan benci dibantah. "Aku ke sini untuk menyelamatkanmu. Bayi naga yang mengikuti kalian bukan bayi naga biasa. Mereka berempat adalah kunci membuka akses menuju Aestival. Ayah naga mereka adalah keturunan klan kuno.
"Ibu mereka adalah naga Carstenz yang mati setelah melahirkan telur-telurnya. Mereka penghubung roh leluhur para naga dan mereka memilihmu dan Naga Padoha sebagai wali. Jadi, dapatkan mereka kembali untuk membawa kalian pulang dan teror salju abadi Carnz bisa terpecahkan. Empat bayi naga itu bisa melawan sihir Carnz. Karena bayi naga itu berkerabat dengan Owel."
Nowela berdiri di hadapanku dengan wajah frustasi. Dia memijat pangkal hidungnya dengan mata terpenjam dan mendesah panjang. Kemudian, menatapku lagi dengan emosi yang lebih baik.
"Di Carstenz. Sihir yang bisa menandingi Carnz cuma Naga Agung Carstensz. Kami hanya punya Owel dan kini empat bayi naga itu. Induk bayi naga itu adalah sepupu Owel yang melarikan diri saat tragedi di masa lampau. Semua orang mengira dia telah mati saat itu. Kejutannya, dia hidup bahagia di Aestival dan berkeluarga.
"Dan saat dia mati. Telurnya kembali menetas di sini. Tidak peduli seberapa jauh naga-naga kami pergi. Semua telur mereka akan kembali dan menetas di sini."
"Hanya tiga," kataku lirih. Aku menyeka air mataku dengan cepat. "Hanya tiga sekarang. Satu ekor sudah mati. Bayi naga Mata Ungu."
Wajah Nowela memucat.
"Dia mengorbankan darahnya untuk menyelamatkanku dari kutukan Tawwa."
Bahu Nowela merosot, dia semakin memucat. Cendrawasih Artik terbang di depan wajahnya seolah sedang menghibur. Dia tersenyum tipis.
"Selamatkan yang tiga kalau begitu sebelum Carnz tahu."
"Bagaimana kau mengetahui semuanya?"
Binar mata Nowela kembali cerah. Dia tersenyum bangga padaku. "Aku roh alam salju pertama di Carstensz. Aku bisa mendengar roh-roh salju yang berbisik dalam angin. Yang hari ini hingga yang tidak di ingat manusia lagi. Aku mendengar dan melihat yang terjadi di Carstensz. Aku Nemangkawi dan Penguasa Amungsa Yang Agung adalah Carnz. Carnz adalah Naga Salju Abadi Nusantara. Dia roh keabadian."
"Jangan membangunkan penguasa Amungsa, roh Nemangkawi akan mengutukmu."
Aku kembali melafalkan kalimat tersebut. Takjub dengan apa yang kuketahui.
"Aku akan mengutuk, itu betul." Nowela menjawab. "Masalahnya, jika Carnz terbangun dalam wujud Penguasa Amungsa Yang Agung, sebagai Naga Salju Abadi. Sihirnya tidak terkendali. Dia akan meledak seperti gunung Tambora. Carnz tidak punya lava api, tetapi saljunya bisa membuat daratan menjadi sedingin kutub utara dan membekukan segalanya. Laut, gunung, dan hutan akan membeku. Tidak ada sumber daya alam dan akan membuat manusia mati. Jika bukan karena cuaca, mereka akan mati karena kelaparan."
Jantungku berdebar-debar. Kepalaku mulai pusing. Terlalu banyak fakta dan informasi yang masuk di kepalaku. Aku hanya seorang remaja dan harus memikirkan semua masalah pertikaian para Debata. Bahuku tidak sekuat itu memikul semuanya. Mengapa harus aku? Itu sangat menggangu.
Aku tahu ini berat. Hanya saja, aku tidak menyerah. Novia dan yang lainnya pasti bekerja keras di sekolah adat menyelamatkan daratan. Aku kembali menatap Nowela.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Memanggil bayi naga ke sini?"
"Kau belum melakukan kontak. Kau ingat? Mereka suka muncul dan kembali padamu dan Sahala? Kau harus memancing mereka datang padamu. Bangun ikatan batin."
"Apa maksudmu, aku harus jadi penunggang naga untuk tiga bayi itu?"
"Mereka masih terlalu bayi untuk itu. Jadilah Mama Naga."
"Itu sinting. Aku baru dua belas tahun! Aku Samsara Tujuh."
Nowela malah memutar bola matanya dengan malas, kembali menghela napas panjang
"Hanya satu cara kalau begitu, jika ingin mencari tiga bayi naga tersebut. Tinggalkan tubuh fanamu di sini agar kutukan wanita salju tidak bekerja."
"Memangnya apa yang terjadi, jika aku jadi wanita salju? Aku ini Dewi Langit dan Air."
"Kau tidak akan menjadi keturunan seorang Dewi Langit dan Air."
Itu pernyataan yang sangat mengejutkan. Aku suka langit dan laut dan aku tidak mau kehilangan semua itu.
"Jadi, hanya jiwamu yang bisa keluar dari Carstensz. Kau akan berbaur bersama roh alam kami. Carnz tidak akan tahu. Tantangannya, apa pun yang terjadi. Jangan keluarkan kekuatan Dewi-mu selama kita mencari. Karena roh dan tubuhmu akan kembali seperti semula dan detik itu juga kau akan menjadi wanita salju. Kau mengerti Aes Ongirwalu?"
Aku mengganguk.
...
Menjadi roh tidak buruk. Tubuhku seringan bulu dan aku bisa bergerak ke udara dengan bebas. Tempat yang kami tuju adalah sebuah danau beku yang di kelilingi pegunungan yang menjulang tinggi. Langitnya kelabu membentang tidak terbatas.
Kendati demikian kristal-kristal putih melayang di beberapa titik di udara untuk memberikan cahaya. Aku menatap ke bawah kakiku, menemukan samar pantulan wajahku yang mengilap seperti kaca.
Di atas permukaan danau, berdiri sebuah labirin dari dinding es yang menjulang tinggi. Ada satu pintu masuk yang di depannya berkumpul warga kota yang duduk di atas balok-balok es yang membeku dengan cahaya biru terang. Mereka memegang bendera warna-warni. Tampak semangat menonton apa yang ada di hadapan mereka.
"Ini tantangan terakhir karnaval," seru Nowela padaku. Dia kini benar-benar seperti roh alam. Tampak transparan dan berpendar. Tetapi tidak sepucat hantu. Di punggungnya ada sayap putih yang berkilauan bagai permata.
"Kau harus masuk ke dalam sana. Bayi nagamu sedang bermain bersama salah satu tamu undangan."
"Tamu undangan?" tanyaku balik.
"Kau sudah bertemu Hokaimiyae, ada banyak Dewa Dewi Mitologi Papua di dalamnya. Peserta harus menemukan mereka di dalam labirin dan mengumpulkan totem untuk memenangkan pertandingan. Peserta yang menang akan mendapatkan Manik Salju Kehidupan yang kami sebut Tari Balige."
"Apa itu Tari Balige?"
"Tidak ada waktu untuk menjelaskan. Lebih cepat kau bergerak, lebih bagus."
Nowela tiba-tiba mendorongku ke depan pintu masuk labirin. Pintu masuk labirin di apit dua patung es yang dibentuk seperti Tuan Penjaga yang dingin dan tidak tergoyahkan.
Saat melangkah masuk ke dalam. Tinggi dinding es nya menjulang tinggi lebih dari yang kukira. Lorongnya panjang yang tampak tidak berunjung. Aku melangkah dalam keheningan. Suara riuh warga setempat tertinggal samar-samar di belakang.
Ketika mataku menatap lebih jelas ke dinding es. Dindingnya memiliki kilau dengan semburat biru pudar di dalamnya. Aku menyentuh dinding tersebut sembari menempelkan telinga. Lapisan es nya seperti memiliki suara dan saat aku menjauhkan wajah. Sekilas, ada sisa-sisa cahaya di dalamnya.
"Hai."
Aku tersentak, menoleh ke arah depan dan menemukan seorang gadis berambut ikal dengan wajah chubby menatapku penuh minat. Dia mengenakan terusan putih di atas lutut.
"Kau ikut jadi tamu undangan?"
Aku terlalu terkejut sampai tidak bisa berkata apa pun. Dia bisa melihatku, dia tampak solid dan fana.
"Hai," balasku akhirnya. "Aku cuma lihat-lihat saja."
"Begitu? Jadi kau bukan tamu undangan? Hanya roh Carstensz?"
Aku mengganguk untuk berbohong.
"Oh, baiklah. Aku belum menemukan peserta. Aku Karwar, roh orang mati atau roh leluhur dari salah satu Mitologi Papua . Aku ikut berpatisipasi bersama beberapa saudaraku di sini. Kami harus menguji pengetahuan peserta tentang mitologi Papua."
"Bagaimana kalau mengujiku?" Aku punya ide tentang ini. Aku bisa mencari bayi naga tanpa takut ketahuan.
"Kau bukan peserta."
"Anggap saja aku peserta. Tidak ada lagi yang akan masuk. Aku yakin, semua peserta sudah masuk ke dalam dan menemukan Debata lain. Memangnya, kau mau tidak bertemu siapa pun?"
"Aku bisa menunggu."
"Ya sudah. Aku akan pergi, Saudaramu yang lain pasti mau bekerja sama denganku. Sebelum mati, aku pernah ikut permainan ini. Eh, bagaimana kalau aku membantu peserta?"
Aku tidak cukup yakin bisa membodohi Karwar, jika aku tidak salah mengingat namanya. Jadi, aku berpura-pura melewatinya. Tetapi dia tidak kunjung memanggilku. Lorong di depanku mulai bercabang. Kanan dan kiri. Aku memilih ke kanan.
"Gadis Roh, kau yakin?"
Aku menoleh ke belakang dan Karwar tampak tersenyum miring padaku.
"Aku yakin."
Aku mengabaikannya dan berjalan ke jalur kanan. Aku mendengar suara langkah kaki Karwar di belakang, dia berjalan sembari bersenandung.
"Apa kau tentang Tradisi Wor?"
"Tidak," jawabku tanpa menoleh. Dinding es di sini terlihat memiliki retakan. Hanya saja, retakannya
tampak terukir dengan pola-pola alami—garis-garis halus yang mengalir seperti alur sungai beku.
"Aduh, mengapa kau tidak tahu? Kau bilang pernah menjadi peserta."
Aku tetap berjalan dan mengabaikannya.
"Tradisi Wor, tarian? Masih tidak ingat?"
"Tidak."
"Ya ampun."
"Mengapa kau mengikutiku?"
"Aku ingin mengujimu."
Aku pun memutuskan berhenti melangkah. Kemudian membalikkan tubuh dan menatap Karwar dengan wajah serius tanpa minat.
"Tradisi Wor?" Aku mengulangnya. Sejujurnya, aku memang tidak tahu apa yang dimaksud. Namun, mengingat ini masih mitologi Papua. Aku yakin bisa mencobanya.
"Apakah ini berkaitan dengan adat?"
"Hampir benar."
"Upacara atau pesta adat?"
"Ya. Nowela pasti mengajarkan kalian tentang kelas Mitologi di Carstensz. Ayo ingat yang kau pelajari sebelum mati."
Karwar tampak sangat menikmati permainan ini.
"Nggo Wor Baindo Na Nggo Mar. Artinya Tanpa Upacara atau Pesta Adat, Kami Akan Mati. Aku sudah memberimu tiga petunjuk. Namaku, Tradisi Wor dan semboyan ini. Sekarang jawab."
"Apa ada hadiah?"
"Em, karena kau sudah mati. Kau akan mendapatkan totem dariku."
"Baiklah."
Aku berpura-pura konsentrasi. Tetapi sebenarnya, aku sedang meminta bantuan roh salju dan roh angin membantuku. Angin berhembus, jawabannya tidak membentuk bisikan, tetapi tertulis di dinding labirin dalam retakan-retakan kecil yang terlihat hanya bisa aku pahami.
"Mitologi Biak?" ucapku pura-pura mengingat. "Ah, Tradisi Wor yang identik dengan kehidupan religi masyarakat Biak ya? Seperti kepercayaan lokal. Nowela kalau tidak salah pernah bilang, upacara adat itu sangat penting karena untuk melindungi seseorang. Itu kepercayaan lokal suku Biak."
"Benar. Tradisi Wor adalah kepercayaan warga lokal. Nah, Wor memiliki dua definisi."
Karwar tampak semakin semangat dengan permainan teka-teki ini. Aku mencuri pandang ke arah dinding es di dekatnya dan kembali menjawab pertanyaan yang terukir di sana.
"Em, seingatku. Definisi pertama memang sebagai upacara adat dan yang kedua sebagai nyanyian adat. Itu adalah dua simbolis Tradisi Wor. Itu sebabnya, kau sedikit bersenandung tadi. Sejujurnya, jika di ingat dengan seksama. Melodi yang kau lantunkan memiliki nuansa sihir yang indah."
Aku tidak berbohong soal itu dan Karwar tampak puas dengan jawabanku yang tidak jujur itu. Dia melipat kedua tangannya di depan dada.
"Kami sangat mencintai Tradisi Wor. Ini simbol budaya antara manusia dengan kami. Wor menghubungkan manusia dengan Sang Pencipta, alam dan sesama manusia. Ini juga sebagai pemujaan terhadap penguasa tertinggi dalam Mitologi Biak."
"Kalian juga punya daftar Dewa Dewi? Maksudku para Debata." Aku penasaran dengan ini. Jarang sekali, aku mendengar tentang Dewa Dewi Mitologi Papua langsung dari sumbernya.
"Yap." Karwar menatapku dengan tatapan yang tiba-tiba curiga. "Kau sudah mempelajarinya di kelas mitologi."
"Iya, tetapi aku lupa. Kan kalian punya banyak. Itu baru dari Biak. Bagaimana dengan Serui? Jayapura? Timika? Merauke? Boven Digoel? Wamena? Fakfak?"
Karwar menghela napas panjang. "Aku mengerti. Terlalu banyak sampai lupa di ingat. Jadi begini, dalam Mitologi Biak. Kami punya penguasa tertinggi, Mansrem Manggudi. Lalu, ada Nanggi, dia penguasa langit dan alam dewa."
"Terdengar seperti Nanggini," ujarku, teringat Nagi dan Roan
"Nagini dalam Mitologi Jawa? Kalau pengucapannya aku pikir benar. Tetapi, jangan coba-coba menyebut namanya dengan salah. Dia akan mengirim petir padamu."
"Oke aku janji. Ada lagi?"
"Ada kok. Ada Dabyor, dia roh alam yang menguasai gunung, batu besar, sungai, tanjung dan lainnya di Mitologi Biak. Arbur, roh alam yang mendiami pepohonan. Faknik, roh alam yang mendiami lautan."
"Faknik? Seperti apa dia?" Aku tertarik dengan roh lautan satu ini.
Karwar menyeringai mendengar pertanyaanku.
"Dia ikut dalam Tamu Undangan. Kau akan tahu saat melihatnya. Ngomong-ngomong, siapa namamu?"
"Aes—," ucapku. Teringat panggilan Sahala. Maksudku, aku ingin menyebut Aesa, seperti yang disebut Sahala. Tetapi lidahku keluh.
"Aes apa?" Karwar menatapku bingung. Sedetik kemudian, wajahnya membeku dan dia memucat. Seolah dia sedang melihat setan. Padahal, dia penguasa Roh Orang Mati di Mitologi Biak. Sayangnya, tatapan Karwar tertuju di belakangku.
Lalu aku menoleh ke belakang. Aku ikut membeku dan memucat. Tangan Sahala meremas bahuku dengan kuat dan matanya berkilat oleh api. Aku ini roh, tetapi dia bisa dengan mudah menyentuhku.
"Siapa yang menyuruhmu jadi roh?"
Aku tidak berani menjawab.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top