29

Carnz adalah penguasa Amungsa? Itu tidak mungkin. Tetapi, Sahala tidak pernah berbohong. Dia membuat lingkaran api merah di sekeliling salju. Bersiap untuk menyerang Carnz atau siapa pun yang berani mendekati kami.

Naga Putih terbang di atas udara. Sayapnya terbentang lebar, dia tidak sekedar ingin membakarku. Dia ingin mencabik tubuhku menjadi potongan kecil dengan gigi-gigi runcing yang terus dia pamerkan padaku.

"Sahala, mengapa kau membunuh Deco?"

"Dia akan membunuhmu lebih dulu. Kau pikir aku akan membiarkanmu mati di depanku? Aku penguasa dunia bawah. Tidak ada yang bisa membuatmu menjadi penghuni dunia tersebut tanpa izinku."

Tepat saat ia mengatakan itu, Naga Putih membuka mulutnya lebar-lebar. Cahaya di dalam rongga mulutnya terlihat dari kecil dan makin lama kian membesar. Sejurus kemudian. Dia menghujani kami dengan napas api putih.

Api merah Sahala bergerak cepat membentuk payung raksasa. Es di bawah kami mencair sampai lapisan tanah cokelat terlihat jelas.

"Carnz yang melepaskan roh salju ke seluruh nusantara. Dia membalas dendam atas tragedi yang terjadi puluhan tahun lalu. Dia memulangkan sebagian Samsara dan meninggalkan sisanya untuk balas dendam."

"Bagaimana kau tahu?"

Sebelum Sahala menjawab. Tanah di bawah kami bergetar dan payung api di atas kepala kami meledak-ledak seperti kembang api. Ironisnya, aku tidak merasa terbakar di bawah sini. Aku justru merasa terbakar oleh amarah Sahala di kepalaku.

"Hentikan! Kita bisa bicara baik-baik dengan Carnz."

Sahala tidak merespon. Tatapannya lurus ke depan menembus lingkaran api yang ia ciptakan. Aku tidak bisa menatap apa pun di sana. Hal yang kulakukan hanya menghentikan pendarahan di leher dengan tetes air yang terasa dingin di kulit. Rasanya luar biasa nyeri. Seperti di tusuk ribuan jarum kecil.

Kemudian api itu padam dan kami di kelilingi oleh dinding es yang berdiri tegak sampai bisa memantulkan wajahku yang panik dan tubuh Sahala yang berkobar oleh api. Payung apinya tidak hilang, hanya meredup dengan lidah api yang masih aktif. Bayangan sayap besar di atasnya terlihat berkelebat.

"Aes Ongirwalu. Kau akan menjadi penunggang naga yang dimakamkan di tanah pemakaman kami."

Suara Naga Putih kembali bergema dalam benakku. Aku punya firasat buruk. Sekuat mungkin, aku menutup akses batin dari luar. Dadaku sampai terasa sesak dan sakit. Gemuruh kembali terdengar dan saat aku meliriknya. Api yang membakar tangan Sahala berubah menjadi hitam.

"Hentikan!" Aku berteriak sekeras mungkin. "Kita dalam masalah besar."

Sahala akhirnya melirik padaku. Matanya menyipit, berkilat marah dan tampak gelap, ada binar kemarahan dan tekad yang bercampur menjadi satu.

"Dengar Aesa. Aku, Naga Padoha akan melakukan apa pun untuk melindungimu. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti permataku. Tidak peduli biaya dan risikonya. Api-apiku akan melindungimu dan membakar siapa pun yang akan menjadi musuh kita. Aesa kau tidak perlu cemas. Jika kita terjebak, aku punya 1001 cara  untuk melarikan diri bersamamu."

Aku terdiam, kehilangan kemampuan bicara. Lalu tersentak, oleh lidah-lidah api hitam yang mulai membakar dinding es dari bawah tanah dan kemudian meleleh dalam hitungan detik. Perisai api Sahala menjadi tidak terkendali. Setiap lingkaran api memiliki warna berbeda mulai dari merah, putih, hitam, dan ungu. Mereka berkobar sangat terang di bawah cahaya bulan. Setengah daratan es di sini mulai mencair dan menyisakan lapisan tanah dan bebatuan.

Naga Putih membuka rahangnya yang lebar dan bagai keran air. Api itu menyembur begitu deras di atas kepala kami. Aku melakukan upaya membentuk pelindung dari air di atas udara. Walau mengetahui, air itu akan kembali membeku menjadi es dan es tersebut begitu lemah hingga hancur begitu mudah.

Sahala mengalihkan matanya pada Naga Putih dan jilatan api putih dan hitam di lingkaran bawah naik ke udara seperti cambuk. Mencambik-canbik cakar kaki si Naga Putih dengan bunyi meletup dan mendesis.

Konsentrasiku kemudian terbagi ketika mendapati es di tanah bergerak merambat ke arah kakiku dan membekukan dalam sekejap dengan naik sampai ke pinggang.

Aku menarik bandana dari rambut yang seketika berubah menjadi busur. Ujung busur tersebut yang tajam, kugunakan menghancurkan es tersebut. Tubuh bagian bawahku mati rasa, aku mulai tidak bisa merasakan otot-ototku. Tidak ada sensorik yang bekerja.

Perhatian Sahala teralihkan. Dia meliriku di tengah upayanya menjatuhkan Naga Putih. Mereka berbalas api dan api sehingga menciptakan ledakan demi ledakan bagai kembang api di langit. Aku sangat berharap Onna dan Amos sudah pergi berlindung.

Sihir api Sahala kemudian menjalar di tubuhku. Merah, hitam, putih dan ungu menjadi satu. Api itu, membelitku dan bergerak melingkar seperti ular yang membelit mangsanya. Lenganku jatuh sehingga membuat busur terlepas dan jatuh di tanah.  Lengan sampai pergelanganku mulai kram dan berat. Rasa dinginnya menjalar menembus tulang belakang.

Sahala berdiri di depanku dengan tatapan frustasi dan marah. Dia meninju es berulang kali di bawah kakiku dengan tangan terkepal yang dibalut api hitam. Setiap pukulannya mengeluarkan nada mengumpat dan kutukan kepada Carnz. Sementara aku hanya menggunakan mataku memanggil air dan menciptakan lapisan es yang tipis berlapis-lapis.

Napasku terengah-engah. Aku pun sampai di titik tidak bisa mengeluarkan sihir dari tubuhku. Es yang membekuku berhenti sampai batas leher. Udara keluar dari mulutku setiap aku bernapas. Kelopak mataku terasa berat.

Naga Putih itu tidak menghentikan serangan. Dia terus mendesak Sahala. Serangan lidah api Sahala mulai melemah dan dia tersenyum sinis padaku. Dia kembali membuka rahang, kali ini bukan napas api putih melainkan napas api biru yang menyilaukan mata.

"SAHALAAA!!!"

Aku menggunakan seluruh kekuatanku untuk berteriak. Api biru itu berbahaya. Dia bukan membakar musuhnya, para naga jarang memiliki api ini. Kalau pun mereka memilikinya dan menggunakannya. Hanya akan ada satu hal yang terjadi. Eksitensi makhluk itu akan lenyap dari semesta. Ingatan orang terhadapnya akan hilang.

Aku menangis, aku tidak ingin Naga Padoha dilupakan orang. Aku tidak ingin orang-orang melupakan kisah dan mitologinya. Dia sudah cukup terabaikan terkurung di bawah tanah oleh Deak Parujar. Tangisanku membuat mataku sakit, bengkak dan aku pikir akan membeku.

Sahala, pergi! Kumohon pergi dari sini. Tinggalkan aku! Sahala, kumohon! Naga Putih memiliki api biru! Tinggalkan aku, aku akan baik-baik saja. Saat nyawaku di ambang kematian. Ayahku akan mendeteksi hal tersebut dan datang menyelamatkanku. Aku tidak akan membiarkanmu hilang dari ingatan mitologi. SAHALA!!!! KAU DENGAR AKU?!

Aku menangis tersedu-sedu. Aku makin kesal karena Sahala tidak mendengarkanku dan terus memukul es berulang kali di bawah kakiku. Mataku sudah berat dan tidak bisa terbuka. Kesadaran yang kumiliki hanya untuk Sahala. Pikiranku gelap, dingin dan sunyi.

Lantas, aku mendengar suara tetes air dalam benakku. Di atas riak air, ada seekor kupu-kupu hitam yang terbang. Kupu-kupu tersebut kemudian hinggap di atas permukaan air. Tindakan itu mengejutkanku. Genangan air itu pecah, bergetar hebat dan meledak dalam pikiranku. Seperti gunung berapi.

"Aesa? Kau baik-baik saja? Apa kau merasakan radang dingin? Katakan padaku bagaimana perasaanmu sekarang? Buka matamu! Katakan sesuatu padaku!"

Aku mendengarnya berbicara. Tetapi, kemampuanku untuk membalasnya belum pulih. Aku merasakan lengan Sahala memelukku dengan hangat. Pelukannya terasa melindungi dan menekankan. Aku berkosentrasi mengumpulkan energi untuk pulih. Pikiranku kembali gelap tetapi ada satu titik di ujung cahaya yang menampakkan kupu-kupu hitam.

Kemudian, secara sadar aku membuka mata yang masih setengah berat. Bulu mataku setengah membeku dan aku menatap wajah Sahala. Alisnya tertekuk, dia marah dan khawatir di saat yang sama. Aku melirik di sekitar kami.

Kami dikurung oleh sesuatu yang menyerupai cangkang telur sebab, ada urat-urat yang menjalar dengan cahaya berpendar.

"Kita dalam telur."

Wajahku mungkin menunjukkan keterjutan atas pikiran dan jawaban Sahala. Aku mencoba menggerakkan tangan dan kemampuan sensorikku kembali. Tubuhku tidak lagi membeku hanya basah oleh es yang meleleh dan hangat oleh api Sahala.

"Kita tidak bisa keluar sekarang. Carnz membekukan daerah di luar cangkang hingga suhu turun di ambang batas. Kau akan membeku."

"Apimu akan menyelamatkan kita."

Sahala menggeleng. Dia mengeram sembari mengalihkan pandangan. Tatapannya frustasi dan kembali gelap. Aura kematian keluar dari tubuhnya dengan tekanan gelap yang membuat jantungku berdetak dengan nyeri. Dia mencoba mengatur emosi di wajahnya sebelum kembali menatapku.

"Dia memberimu kutukan wanita salju." Sahala mengatakannya sambil menatap ke arah rambutku. Aku pun tanpa sadar meraba. Di sana, tidak ada lagi bunga kristal. Tetapi, cukup membuat rahang Sahala menjadi tegang.

"Bunga itu sebagai mediator saat sihir es-nya membuatmu beku. Aku tahu, dia tidak berniat melakukan itu dari awal. Karena kalau pun aku tahu, aku sudah membakarnya. Dia mencoba menjahiliku.

"Tetapi, tindakan itu berubah ketika aku menghilangkan nyawa rakyatnya. Kau boleh membenciku, Aesa. Itu perbuatan buruk, aku tidak akan membantahnya. Aku akan melakukan apa pun untuk melindungimu.

"Aku menahan diri atas segala hal yang ada padamu. Sayangnya, aku tidak bisa menahan diri ketika seseorang membuat darahmu menetes. Tai Leubagut tahu itu, itu sebabnya dia hanya mencuri jiwamu ke dunia bawah dan tidak benar-benar membunuhmu saat itu."

Aku tidak tahu harus berkata apa. Pikiranku berputar-putar untuk merespon setiap pengakuan Sahala. Sudah terlambat untuk menghindar. Aku harus menerima sisi terang dan sisi gelap Sahala. Karena aku sendiri dari awal yang menginginkannya sebagai naga-ku.

"Hey, lihat aku." Sahala memanggilku lagi. "Aku tidak ingin kau merasa bersalah. Kau tidak salah, Aesa. Carnz yang cari mati kerena menargetkan kau dalam misi balas dendamnya. Kau memang Samsara. Tetapi kau bukan bagian yang ikut dalam pertempuran itu. Jadi kematian bocah es itu bukan salahmu."

Aku memang menatap Sahala, tetapi tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

"Aku bisa menghancurkan es Carnz dari luar. Tetapi, api ku tidak bisa menghancurkan es yang ada di jantungmu. Salah sedikit, aku bisa ... sudahlah. Aku akan cari cara. Lupakan karnaval sialan ini."

"Sahala," desakku. Suaraku akhirnya mau diajak kerjasama. "Jangan sembunyikan apa pun. Apa yang Carnz lakukan padaku? Dia mengutuk jantungku dengan es keabadiannya?"

Mata hitam Sahala semakin gelap saat ia menatap ke dalam mataku. Sahala lalu memejamkan mata dengan kepala tertunduk di hadapanku. Itu sudah cukup memberiku jawaban.

"Kutukan itu akan bekerja saat kau keluar dari cangkang telur ini. Bertahanlah sebentar, aku bisa mengatasinya."

Dia masih tetap memegang kedua pundakku dan menundukkan kepala. Rambut merahnya masih berkilau dan bercahaya. Tanganku terasa gatal untuk menyentuhnya. Aku penasaran, bagaimana rasanya memegang rambut merah itu di bawah telapak tanganku.

Kemudian, sebelum aku bisa mengangkat tangan. Tanah di bawah kami longsor. Aku menarik kerah pakaian Sahala karena terkejut. Tetapi, ada medan magnet tak kasat mata yang melindungi kami dari benturan. Tubuhku dan Sahala terus jatuh ke dalam tanah. Aku sempat melihat seekor cacing yang menatapku. Aku pasti sedikit sinting, jika dapat melihat wajah hewan sekecil itu.

Ketika aku bisa merasakan tanah di bawah kakiku. Aku mulai melepaskan cengkraman dari kerah pakaian Sahala.

"Apa yang terjadi?"

Sahala menyeringai, bulu kudukku merinding. "Carnz hanya menguasai apa yang di atas tanah dan aku menguasai yang di bawah tanah. Onna membantu kita. Tiga anak naga kita bersamanya dan Amos."

Tampaknya Sahala sudah setengah gila mengikuti peran yang ditunjukkan oleh Amos tentang merawat naga. Kanan, kiri, atas dan bawah. Kami di kelilingi tanah. Saat Sahala menggenggam tanganku dan mengajakku berjalan. Tanah di hadapan kami membentuk lorong panjang.

"Kau tidak serius membuat lorong bawah tanah sampai sekolah adat bukan?" kataku sedikit ngeri membayangkannya.

"Jika untuk melindungi permataku, Ya."

"Mengapa kau memanggilku Aesa dan permatamu?"

"Aku tidak perlu menjawabnya. Aku tahu, kau tahu."

"Tidak. Aku tidak tahu."

"Kau tahu, Aesa. Aku tahu pikiran dan isi hatimu. Kita bertukar jiwa. Ada pertanyaan?"

"Sekarang, kau terlihat berubah. Kau lebih banyak bicara."

"Karena bersamamu. Lorong ini akan membawa kita menemui seseorang."

"Nowela? Sejujurnya, aku tidak menyukainya."

"Aku tahu, tetapi dia sahabatku. Dia boleh membencimu, tetapi tidak cukup berani menyakitimu."

"Dia mengutus Naga Putih menahanku."

"Tidak, bukan Nowela. Owel bekerja untuk Carnz. Naga Putih yang menculikmu dariku ulah Carnz. Dia mencoba menjahiliku. Tetap saja, aku tidak suka. Owel berbohong padamu, jangan pernah mempercayai setiap kalimatnya. Kau mengerti?"

"Ya. Aku mengerti."

Aku memilih diam saja. Emosi Sahala di luar bumi, maksudku di luar kendali. Genggaman tangannya sangat erat tetapi tidak membuatku merasa sakit. Kemudian, kami berhenti di depan pintu  kayu lapuk yang di kelilingi kupu-kupu hitam. Aku merasa serangan familiar dengan keberadaan serangga tersebut.

Tanpa di sentuh Sahala, pintu itu terayun terbuka ke dalam. Cahaya di dalamnya bercampur warna. Ketika aku melangkah masuk bersama Sahala.

Hal yang pertama kutemukan bahwa cahaya itu datang dari ribuan kupu-kupu Bantimurung yang terbang di seluruh ruangan. Ruangan ini penuh buku dengan rak yang menempel di dinding, seperti kamar rahasia. Lantainya bersih, berbanding terbalik dengan kondisi di luar.

Ada satu meja kayu yang penuh tumpukan buku dan dibalik meja itu, duduk salah satu pengajar kami yang hilang. Dia mengangkat kakinya di atas meja dan melipat tangan di depan dada. Giza melirikku sekilas dan menatap Sahala dengan tatapan menuntut.

"Aku pikir, Anda diculik," kataku dengan kejutan tidak diduga. Giza melirikku dengan seringai tipis.

"Sebelum membodohi lawan, kau harus menipu kawanmu, Gadis Tanimbar. Ingat ini dalam pelajaranku."

Aku tidak suka gaya bicaranya, menyebalkan.

"Anda pemilik kupu-kupu hitam itu? Aku ingat melihatnya pertama kali di ruang makan dan di alam bawah sadarku."

"Benar. Aku mengawasi kalian sepanjang waktu."

"Jadi, Anda tahu. Bahwa Carnz menjebak Samsara dan mengutuk Nusantara dengan es?"

Giza mengganguk. "Naga Padoha kaki tanganku. Carnz menerima kunjungan Samsara bukan tanpa alasan. Dia memang berniat balas dendam. Dia tahu, musuhnya ada di sekolah adat."

"Maksud Anda, si Pengacau itu? Yang menghancurkan bayi naga?"

"Sahala." Giza tidak menjawab pertanyaanku. Dia beralih melirik Sahala. "Seberapa banyak kau berbagi rahasiaku dengannya?"

"Sesuai takaran."

"Baiklah, sesuai takaran yang kau anut. Tetapi aku punya takaranku sendiri. Apa Sahala mengatakan akulah penyebab murkanya Carstensz?" Giza menatapku tajam. Sikap sombongnya makin terlihat jelas.

"Apa? Apa maksud Anda? Andalah yang membunuh bayi-bayi naga?"

Tanganku terkepal tanpa kusadari. Aku marah, ada rasa tidak terima yang mulai meledak-ledak dalam dadaku. "Mengapa Anda melakukannya?"

"Gadis Tanimbar, kau hanya anak kecil bagiku dan kau tahu, bukan? Ada beberapa masalah yang tidak perlu di ketahui anak-anak dan bukan urusanmu."

Aku hampir tidak terkendali dan maju menerjang Giza, jika  Sahala tidak melepaskan genggamannya padaku. Aku tidak bisa menerima bahwa dia tega membunuh bayi-bayi naga Carstensz yang tidak berdosa. Aku jadi paham perasaan Carnz sekarang, kami marah dan berduka. Karena aku telah kehilangan satu bayi naga yang mengorbankan diri untukku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top