28

Onna dan Amos terbangun saat hari menjelang sore. Aku memberi tahu apa yang terjadi pada tanganku dan keadaan bayi naga ungu. Aku bisa menebak reaksi Onna yang ikut berduka dan berulang kali meminta maaf padaku. Dan aku pun berulang kali mengatakannya bahwa dia tidak perlu meminta maaf.

Hanya saja, wajah Amos tampak berpikir keras. Dia bergumam serius menatap tanganku yang telah sembuh. Maria sang Penyembuh, memberi tahu bahwa darah bayi naga Carstensz punya efek penyembuhan di atas naga Mules. Darahnya sangat kuat digunakan untuk kutukan atau luka yang berhubungan dengan kegelapan atau dunia roh orang mati. Dari Maria pun aku tahu, kalau sebelumnya Kemaharajaan Cartensz terbuka untuk siapa pun yang ingin berkunjung.

Namun, semua berubah ketika pembantaian bayi-bayi naga saat musim bertelur. Telur-telur itu dirampas secara paksa dan mereka dibunuh di sarang-sarang mereka secara langsung di depan ibu-ibu naga. Kengerian itu membuat populasi naga Carstensz berkurang.

Bahkan penguasa Amungsa turun gunung dan terlibat pertempuran selama tiga hari. Tetapi, tiga hari tersebut membawa luka mendalam untuk seluruh penduduk. Warga lokal sebagian terluka, kehilangan nyawa, dan kota porak-poranda dengan sihir kehancuran. Tanaman mati dan hewan-hewan ternak terkena penyakit aneh.

Tidak ada yang tahu, sosok dibalik malapetaka tersebut, selain penguasa Amungsa yang terlibat pertempuran secara langsung dan anggota kerajaan. Amos bahkan keceplosan mengatakan buyut dari buyutnya ikut melihat peristiwa tersebut. Yang mana membuat Maria mengerutkan alis dan bertanya siapa keluarga Amos yang terlibat. Sebab, setiap nyawa yang gugur dimakamkan sebagai pahlawan kota. Kehadiran Carnz yang tiba-tiba mengatakan Amos ponakannya membuat Maria tidak bertanya lebih lanjut.

Kemudian, dia memberi kami selembar kertas lontar. Kertas itu berisi petunjuk. Berbisik bahwa kertas itu muncul sendiri di tangannya.

Temukan aku di sini

"Kita harus menang." Komentar pertama Amos ketika kami berdiri di depan tenda medis. Maria mengizinkanku keluar karena ada seorang anak laki-laki yang masuk akibat gigitan serangga di hutan putih. Carnz bilang, dunia lain roh dunia bawah.

"Makin susah." Onna mengeluh. "Siapa lagi yang harus ditemukan di sini? Penguasa Amungsa?"

Mata Carnz malah melotot tajam ke arah Onna. "Aku rasa bukan."

"Aku yakin, kita diminta mencari Penguasa Amungsa. Sahala sinting sebelumnya terus mengatakan ini."

Aku lupa memberitahu Onna kalau Sahala sinting yang dia maksud benar-benar Sahala. Sayangnya, Sahala tampak tidak peduli. Tetapi, Onna tetap menoleh ke arah Sahala.

"Ada roh yang menyerupaimu. Dia terus menggoda Aes sebagai cintanya."

Wajahku memerah. Aku ingat itu, aku menatap Sahala dengan pikiran tidak karuan. Apakah semua sandiwara itu serius? Sahala hanya menatapku tanpa suara. Emosi wajahnya berkata, dia tidak peduli dan Onna tidak mendesaknya lebih lanjut.

"Gunung dan seseorang yang minta ditemukan." Carnz bergumam kalimat ini sambil menatap sekitar dengan serius. Lalu binar matanya berkilat. Dia tersenyum tipis dan melirikku seolah menemukan hal menarik dan ingin menggodaku apakah aku tahu apa yang sedang dia sembunyikan.

"Dari dunia roh." Carnz beralih menatap Onna. "Sebagai Gadis Pulau, apa kau bisa merasakan jantung Ibu Pertiwi?"

"Tentu saja." Onna menjawab bangga. "Aku bisa merasakan jantung bumi Ibu Pertiwi. Kelas Bumi diajarkan langsung oleh Nusa dan Ibuku saat di rumah."

"Kalau begitu, sekarang giliranmu yang membawa kami ke Ibu Pertiwi."

"Membawa kita ke Nusa? Ke sekolah Adat?"

"Bukan itu."

"Lalu apa maksudmu?"

Carnz memutar bola mata malas, seraya tangannya mengarah ke arah kepalaku. Aku menghindar, tetapi dia berhasil menjangkau kelopak bunga kristal biru dari atas rambutku. Aku lupa tentang sihirnya dan tanpa sadar tanganku menyentuh ujung kelopak bunga tersebut dengan hati-hati.

"Kudengar Giza mengajarkan Kelas Mitologi." Carnz kembali berujar dengan menatap bunga kristal di tangannya

"Jadi?" desak Onna yang tidak paham arah pembicaraan dan aku yang entah mengapa mulai mengerti.

"Petunjuk ini berkaitan tentang mitologi Ibu Pertiwi. Itu yang ingin kau bicarakan."

"Hebat Aes." Sahala mengganguk kecil padaku. "Ibu Pertiwi ini berkaitan dengan tanah Amungsa atau sesuatu yang berkaitan dengan mitologi Papua."

Kemudian, Sahala memberiku sebuah buku bersampul hijau yang tertulis Mitologi Ibu Pertiwi yang tiba-tiba muncul di telapak tangannya. "Dari Seatival, toko buku tempat Said bekerja."

Carnz menepuk bangga pundak Sahala dan dibalas Sahala dengan tatapan angkat tanganmu sebelum kubakar. Lalu Carnz tertawa lebar.

"Aku beruntung membawa kalian dalam regu." Amos berseru senang, mengganguk seperti orang dewasa yang puas atas bawahannya. Dipikir-pikir, dia tampaknya memperlakukan kami sesuai kasta rakyat jelata. "Kita harus menang."

"Kau mengejar apa sih sebenarnya di sini?" tanya Onna yang membuat semangat di wajah Amos memudar.

"Aku." Dia malah menatapku dan aku mengalihkan tatapan membuka buku mitologi dan membaca apa yang harus aku cari tentang Ibu Pertiwi.

Aku tidak menemukan siapa yang menulis. Padahal aku berharap ada nama Gali atau Dali. Buku ini menggambarkan Ibu Pertiwi sebagai roh alam dan kekuatan buminya yang diibaratkan sebagai Ibu yang memberikan kehidupan, sebagai seorang Dewi alam dan lingkungan hidup.

Keyakinan tersebut menyebabkan banyaknya pemujaan pada alam dan tempat-tempat tertentu di setiap kepercayaan lokal, guna meminta petunjuk, perlindungan, dan mengucapkan terima kasih kepada alam yang telah memberikan kehidupan.

Rasa terima kasih terhadap alam sering dilakukan masyarakat melalui berbagai macam upacara adat, persembahan sesajian ataupun sedekah bumi.

Dari Sabang-Merauke, masing-masing memiliki kisah tentang Ibu Pertiwi. Ada bab yang membahas Nusa. Aku melewatinya dan menemukan Ibu Pertiwi dalam mitologi Papua. Lebih tepatnya dalam mitologi masyarakat Sentani, Jayapura. Ibu Pertiwi ini memiliki kaitan dengan gunung. Kalau dipikir-pikir, cocok dengan petunjuk yang Carnz sampaikan.

Isinya, dalam mitologi setempat. Masyarakat Sentani memiliki kepercayaan lokal terhadap Dewi Pemberi Kehidupan bernama Hokaimiyae atau Ibu Pertiwi. Gunung tempat Ibu Pertiwi berada adalah Cycloop.

"Cycloop?" ujarku pada Carnz.

"Mereka membentuk pos pegunungan ini menyerupai pegunungan di pesisir utara Jayapura yang sepintas seperti raksasa bermata satu yang sedang tidur. Carstensz aslinya tidak seperti ini," ungkap Carnz dengan sorot bangga. "Kita harus menemukan Hokaimiyae yang terlibat dalam karnaval di sini. Barangkali berbaur di antara peserta."

Dan dia menunjukku seolah tidak ada yang bisa dibantah. "Gunakan kemampuanmu berkomunikasi dengan roh Carstensz untuk mencarinya dan Gadis pulau akan menemukannya dengan melacak jantung Ibu Pertiwi."

"Dan kau? Duduk manis di sini."

Mata Sahala melirik Carnz tajam dengan emosi malas, sementara Amos mengacungkan jari ke udara. "Aku akan ikut wanita."

"Anak manis." Onna malah mencubit pipi Amos dengan gemas dan menggandeng tangannya.

Onna lalu mengajakku memulai pencarian di antara peserta. Sahala mengikutiku, tampak tidak peduli dengan wajah Carnz yang tersenyum jahil padanya.

"Kau mulai merasakan jantung bumi, Onna?" kataku ketika kami melewati sekelompok remaja perempuan yang duduk melingkari api unggun. Mereka tampak serius mengasah tombak, belati, panah dan senjata lain yang digunakan.

"Aku sedang melakukan radar pelan-pelan. Biasanya, jantung bumi mengetahui segala sesuatu yang mendekatinya."

"Aes bisa belajar menggunakan itu. Jantung bumi. Cobalah terhubung dengan dua elemen. Roh alam dan jantung bumi."

Aku mengganguk tanpa suara pada Sahala. Berhenti sejenak di bawah tiang lampu kristal dengan mata terpenjam. Kemudian angin berhembus sangat kencang sampai aku bisa merasakan cadar wajahku terlepas. Saat membuka mata, tubuh Sahala sudah menghalangi arah pandanganku. Tetapi matanya menatap waspada ke atas.

Aku mengikuti arah tatapan matanya. Itu jenis tatapan bahwa dia mendeteksi sesuatu.

"Aku dapat! Aku dapat!" Onna berseru riang. "Aku mendapatkannya, Amos."

"Apa? Apa?" Amos merengek bahagia. Kemudian badannya melayang di udara beberapa meter sebelum jatuh dengan posisi yang kurang bagus. "Angin nakal."

Anak itu seharusnya tidak mengumpat. Sayangnya, memang ada angin nakal yang bergerak mengerjai setiap orang. Beberapa syal terbang melayang-layang. Sebagian tertawa melihat rekannya mengejar benda itu. Namun, semakin dikejar, syal itu semakin melayang tinggi kemudian terbang merendah ketika tidak dikejar.

"Roh udara Carstensz mulai usil. Aku akan menangani mereka," kata Amos dengan sikap penuh percaya diri. Baru beberapa melangkah, dia malah terseret mundur dan menoleh menatap kami. "Apa?"

"Apa?" balas Onna.

"Mengapa menarikku mundur?"

"Kami tidak melakukan itu. Kau mundur sendiri."

"Yakin nih?" Amos kembali berjalan ke depan, detik berikutnya dia terseret mundur sampai jatuh di dekat kaki Onna. "Aduh, mereka nakal sekali."

Sementara Amos mulai merangkak di atas salju dan Onna yang tertawa melihat keusilan roh angin Carstensz. Aku kembali memejamkan mata, kubuat pikiranku setenang air sampai merasakan setetes air jatuh di atas genangan air tersebut yang menyebabkan riak.

Energi yang aku rasakan berbeda. Aroma manis atas roh salju Carstensz harusnya tampak familiar dengan roh angin Carstensz. Roh di sini memiliki cita rasa yang manis, sedangkan yang aku tangkap. Rasanya seperti aroma hujan dan tanah yang basah. Jenis roh yang berkaitan dengan hutan hijau. Masalahnya, Carstensz tidak identik dengan ini.

"Aes?"

Sahala menekan bahuku. Matanya yang hitam menatapku dengan khawatir. "Kau merasakannya?"

"Ya. Roh angin ini bukan milik Carstensz. Apa ini milik Dewi Hokaimiyae?"

"Kita akan tahu saat menangkap roh angin tersebut. Mereka berjumlah empat. Misi kedua tidak sekedar menemukan tetapi menangkap roh itu. Taruhan, kelompok pertama yang berhasil adalah pemenang."

Aku berharap semoga itu benar. Insting Sahala selalu bekerja baik. Aku memberitahu rencana tersebut pada Onna, tetapi dia kebingungan tentang cara menangkap angin. Itu membuatku tersadar, bagaimana caranya menangkap angin?

Sahala sudah memisahkan diri membantu Amos. Bocah itu berkali-kali dipermainkan. Tubuhnya akan diseret, jika dia cukup jauh merangkak, sedetik kemudian dia akan berputar-putat seperti gasing di udara dan detik berikut dia mencakar-cakar udara dengan emosi.

Amos membekukan sesuatu yang tidak tampak dan Sahala pun membakar yang tidak tampak. Onna memilih fokus pada jantung bumi demi bertemu Hokaimiyae.

Aku membiarkannya berkosentrasi, sedangkan aku fokus pada roh angin Carstensz untuk mengendarai mereka. Tubuhku pun perlahan melayang ke udara.

Kalian lihat? Ada tamu di sini, ayo tangkap dia dan ajak dia berkenalan.

Dari udara, perlahan muncul titik-titik kecil berwarna biru dengan cahaya kilau. Mereka mengambang di sekitarku dan bergerak mengikuti pusara angin yang masih menikmati menjahili Amos.

Pusara angin seperti gasing itu luar biasa tidak bisa disentuh. Aku bahkan baru memikirkan gerakan apa yang akan kuperbuat. Roh angin itu sudah lebih dulu menghindariku.

Air, salju, dan api dihempaskan berulang kali ke udara tanpa bisa mengenai sasaran. Amos sampai sudah tidak tahan dan menangis sehingga memeluk kaki Sahala dengan kuat. Itu membuat mereka berdua semakin dijahili.

"Hei! Hei! Hei! Hentikan." Seorang remaja laki-laki dengan totem putih menyelimuti wajahnya menatap kami curiga. Dia memperbaiki letak kacamata bulatnya dengan dua jari.
"Kalian tampak asing."

"Yuhuu Wana."

Onna melambai dengan senyum yang bisa kurasakan sedang menyembunyikan sesuatu. Dia meniru salam yang dilakukan Amos dan Carnz sebelumnya.

"Yuhuu Wana." Laki-laki itu membalas. Dia menatap Onna dengan tatapan menyelidik. Kemudian fokus pada bunga kristal di rambutnya. "Kau pernakan, ya?"

"Iya, ahahaha." Onna tanpa ragu mengulurkan tangan. Dalam bahasa Indonesia Timur, merujuk pada orang tua yang beda suku sehingga menghasilkan keturunan dari campuran keduanya. "Aku Onna."

"Aku Deco. Aku baru pertama kali melihat kalian di sini."

"Oh, tentu saja. Kami kerabat jauh Carnz."

"Sihir kalian hebat. Api dan air, Carsztenz sulit sekali merapalkan elemen itu dengan mantra. Aku tidak tahu, Carnz punya keluarga yang aneh."

Entah dia memuji atau mencibir. Deco masih mengamati kami dengan gasing angin yang mencoba menggoda untuk mengacak-acak rambut merah Sahala yang terang.

"Aku tidak tertarik dengan warna rambutmu," kata Deco yang dibalas Sahala dengan mata melotot.

"Aku rasa Sahala tidak sedang membanggakan rambutnya," ujarku.

"Roh angin yang memberitahu. Eh, tunggu— kau bilang dia Sahala? Jadi kau Onna." Dia menunjukku dengan terkejut dan jari telunjuknya bergeser ke arah Onna. "Dan kau Aes."

"Aku Onna dan dia Aes." Onna membenarkan dengan alis bertaut bingung. "Kok tahu nama kami?"

"Kalian Samsara! Kalian—"

Amos sudah melempar bola salju untuk membukam mulut Deco, sedangkan Sahala mengunci kedua tangan Deco dari belakang dan menjatuhkan wajah Deco untuk mencium salju. Dia mengangkat wajahnya dengan alis tertekuk.

"Samsara! Beraninya sampai ke sini! Aku akan memberitahu kemaharajaan!"

Tubuh Deco membeku sampai Sahala harus melepaskannya. Suhu udara di sekeliling kami mendadak turun. Onna bergerak lebih cepat, menarik jatuh kaki Deco dengan tanaman merambat. Kemudian, membelit tangan dan mulutnya dengan tumbuhan tersebut.

Aku memandang sekitar, tidak ada yang tampak menarik menatap pertengkaran kami. Seolah mereka tidak peduli, jika dua tim berlainan arah saling menghabisi. Hanya masalah waktu, rekan-rekan Deco datang menyelamatkannya.

"Jadi?" tanya Onna padaku. "Apa yang harus kita lakukan?"

"Boneka salju." Amos mengusul dengan tangan melempar-lempar bola salju ke udara dengan senyum jahil.

"Tidak. Bawa dia. Deco dan timnya gugur. Adiknya kena racun serangga. Membiarkannya begitu saja, akan membuat mulutnya memanggil Kemaharajaan."

Carnz secara luar biasa muncul dalam  badai salju kecil di depan kami. Menatap penampilan Sahala yang berantakan dengan tawa, melirik Amos dengan kepala menggeleng, aku  dengan tatapan jahil dan Onna dengan wajah penuh minat.

"Dia menjadi tawanan kita sampai karnaval selesai. Matahari akan terbenam. Kalian harus menyelesaikannya karena pos ini juga akan menghilang."

"Kau suka sekali menyuruh," cibir Onna yang menguatkan sulur-sulur di tubuh Deco yang mencoba memberontak.

"Aku dipaksa ikut, bukan berarti aku akan menikmatinya." Carnz tampak bangga mengatakan itu. "Lagipula, aku memintamu menemukan jantung bumi."

"Kami mau menangkap angin." Aku menyela dan sialnya membuat Carnz tertawa terpingkal-pingkal.

"Aku menjual angin. Kau ingin angin jenis apa?"

"Tanyakan, apa dia juga ikut menjual Ibu Pertiwi? Aku akan membayarnya tinggi."

Aku menatap Sahala tidak suka. Mustahil, memperjual belikan kaum Debata. Aku tahu Sahala juga Debata, tetapi Debata bodoh mana yang mau dirinya dijual.

"Bukan angin yang itu. Angin di sini." Aku menunjuk sekitar.

"Ah, bisa diurus."

"Angin nakal." Amos menambahkan. "Aku dengar, ada yang berternak angin di atas Amungsa."

Tawa Carnz kembali pecah dan dia menggangukkan kepala. Tampak yakin bisa menjual angin pada kami.

"Aku rasa, dia kerasukan." Onna berbisik pelan di dekatku. "Carnz menjadi sinting oleh roh sinting itu lagi."

"Aku mendengar itu Gadis Pulau."

"Dengarkan saja," balasku. "Aku berani bertaruh kau tidak bisa menangkap angin nakal yang ada di sini. Itu angin yang sangat unik."

Senyum Carnz memudar. Tatapannya berubah tajam. Seolah, aku baru saja merendahkan harga dirinya sebagai seorang pebisnis.

"Kau mau menawarkan apa jika aku bisa menangkapnya? Daun pisang ajaib itu bisa dibicarakan kalau kau berminat."

"Oke."

"Itu pemberian Sera."

"Aku tahu. Ayo manfaatkan dia." Kataku diam-diam pada Sahala. Mata hitam Sahala berbinar menyetujuinya. Sedangkan Carnz hanya berdiri melipat tangan di depan dada dengan mata terpenjam. Wajahnya tampak serius. Posisi itu membuatnya tampak gagah. Cahaya matahari sore perlahan menghilang dan langit mulai menggelap dengan salju mulai turun.

Saat Carnz membuka mata. Empat kurungan emas berjejer di depan kami. Isinya hanya angin yang berpusing-pusing seperti gasing. Angin itu tampak marah dan tidak berdaya.

"Nah, satu, dua, tiga dan empat." Dia menghitung, terlihat sangat mudah. Padahal kami kesulitan menangkapnya. Aku penasaran, bagaimana dia bisa melakukan itu. "Kalian tertangkap dan beri aku hadiahnya, Gadis Manis."

Carnz mengulurkan tangan menagih janji. Aku mengeluarkan gulungan daun pisang sembari melirik Sahala. Dia tampak menyetujui keputusanku. Aku merasakan itu dari cara dia menatapku.

"Kau mendapatkatnnya."

Carnz menatap gulungan daun pisang tersebut dengan mata berbinar-binar. Kemudian benda itu menghilang dalam sekejap dari tangannya.

"Apa yang kau lakukan pada benda itu?" kataku ingin tahu.

"Mengoleksinya dengan harga tinggi. Ayo, ambil masing-masing satu hadiahku."

Carnz tersenyum penuh kemenangan. Sementara Amos menatap satu kurungan emas dengan berjongkok di depannya. Dia tertawa senang mengusili angin dengan es yang dibentuk menyerupai jarum es besar dan menusuk-nusuk angin itu ke dalam sangkar.

Aku baru saja hendak mencegahnya melakukan itu lebih lanjut. Ketika seorang anak perempuan  berambut ikal hijau menendang Amos hingga ia terguling di atas salju.

Anak itu mengepang kedua rambutnya menjadi kunci kuda. Mata hijaunya menatap kami silih berganti. Dia tampak sebaya dengan Amos, tetapi aura yang keluar dari tubuhnya jelas berbeda.

"Per—pertiwi, I- Ibu Pertiwi." Onna tergagap sampai jatuh merosot ke tanah. Sihirnya yang melemah membuat Deco berhasil bebas dan malah berdiri di belakangku dengan belati menusuk leher. Kemudian, Sahala berdiri di depanku dengan tangan yang terbakar menahan Deco di belakang. Dari posisi tangannya, kutebak dia mendapatkan kepala Deco.

Lepaskan

Amarah Sahala meledak di kepalaku dan tubuhku merasakan dua aliran elemen saling bertubrukan. Es dan api saling menyulut, berusaha menunjukkan eksitensi mereka.

"Pengkhianat," desis Deco di belakang telingaku.

Kakiku terasa dingin, aku melirik ke bawah. Demi Debata Naga, dia membekukanku dan Zayn sedang berusaha mencairkan es tersebut. Kaki Sahala justru terbakar seperti tangannya.

"Samsara penghianat."

"Bukan seperti itu," balasku dan Deco cukup berani menusuk belati tersebut hingga darah menetes. Detik berikutnya, api meledak. Aku tetap berdiri di depan Sahala, tetapi Deco terkapar dengan tubuh seperti es batu, sementara api Sahala menjilat-jilatnya.

"Hentikan!" marahku. "Kau bisa membunuhnya."

"Tidak akan!"

Aku menatap ngeri perubahan sikap Sahala. Mata hitamnya berubah semerah darah dengan liar dan rambut merahnya berpendar layaknya debu-debu peri.

Aura Dewa Dunia Bawahnya terasa sangat kuat. Ini pertama kali aku merasakannya. Kekuatan sejatinya bocor. Bahkan saat disegel oleh Deak Parujar dan ketika aku membebaskannya. Sahala tidak pernah menunjukkan ini.

Deco meraung, mengumpat, mengutuk, dan merapalkan segala mantra untuk menghentikan api Sahala. Api merah itu perlahan berubah menjadi putih dan aku tahu, Sahala sudah melewati batas.

Kukerahkan air dari langit untuk menyiram Deco. Tetapi, air itu sudah membeku setengah jalan dan aku terpaksa menghempaskannya menjauh.

"Sahala hentikan! Kau membunuhnya!"

Aku menggunakan tanganku yang bebas untuk menamparnya dan Sahala menggerakkan sihir apinya menahanku bergerak, mengekangku seperti patung.

Kemudian napas api putih menyerang kami. Aku menutup mata karena takut terbakar. Api itu tidak berhasil membakar. Api putih itu pecah di udara oleh sihir Sahala. Deco diselamatkan Carnz yang tangannya bersinar putih, sedangkan di depan keduanya berdiri dengan gagah Naga Putih yang memamerkan gigi-giginya yang tajam.

"Kau melukai Carstensz, Naga Padoha." Suaranya bergema dalam kepalaku. "Roh Nemangkawi akan mengutukmu."

"Lakukan saja." Sahala benar-benar menjadi sinting.

Carnz menarik Onna dengan sihir tak kasat mata bersama Amos. Menugaskan keduanya menjaga Deco yang menghitam. Itu pemandangan mengerikan. Jantungku berdebar. Naga-ku tidak mungkin membunuh. Aku menatap takut-takut ke sekitar pegunungan. Tempat ini menjadi kosong. Rumah Honai dan peserta lain tidak ada di manapun.

"Nu, Wai, Ebun dan Dorbon tidak terlibat di insiden ini, Carstensz."

Anak perempuan itu berdiri di antara aku dan Carnz yang tampak luar biasa marah.

"Tapi, aku sedikit terluka keturunamu mengusili mereka." Ibu Pertiwi menatapku dan Sahala. Tidak ada emosi di sana yang bisa ditebak.

"Karnaval ini adalah bagian dari kerjasama antar mitologi Papua. Empat roh mata angin adalah penjagaku. Nu adalah timur, Wai adalah barat, Ebun adalah selatan dan Dobon adalah utara. Nu, Wai dan Ebun adalah roh mata angin yang membawa petaka seperti penderitaan, kesengsaraan dan berbagai macam penyakit serta bencana alam.

"Seharusnya, jika salah satu perseta menangkap mereka. Itu akan membawa kalian ke tantangan selanjutnya. Peserta beruntung yang menangkap Dobon berpeluang menang. Karena dia adalah roh mata angin yang mendatangkan kemakmuran."

Aku hanya mendengarkan tanpa memahami. Pikiranku bercampur-campur. Deco setengah mati atau mati pun aku tidak tahu. Aku marah pada Sahala. Kucoba memaksa terlepas dari belenggunya tetapi sia-sia saja.

Naga Putih, Hokaimiyae, Amos dan Onna berada di pihak Deco. Sahala membuat kesalahan fatal dan aku turut bertanggungjawab.

"Kau menyakiti rakyatku." Kalimat itu bergetar di bawah suara Carnz. Aku menatapnya heran. Seharusnya Amos yang melakukan itu. "Kau akan mendapatkan hal setimpal."

"Rakyatmu melukai permataku yang berharga."

Sahala kembali bersuara untuk kesekian kali. Suaranya lebih dalam, gelap, menantang dan tidak peduli.

"Itu harga yang harus dia bayar untuk satu tetes darah permataku. Kalian mengutuk Nusantara dengan membuat daratan membeku. Siapa yang jahat di sini, Carstensz? Ah, maksudku Yang Terhormat, Penguasa Amungsa."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top