22
Nowela tidak mau memberitahu kami kapan waktu pasti semua telur-telur menetes. Aku dan Sahala yakin, dia sengaja menahan sebagian Samsara di sini sampai batas waktu yang tidak diketahui. Giza tertidur, artinya tidak ada seorang pun yang bisa menghubungi Sekolah Adat, Sahala memang debata. Tetapi, dia tidak punya kuasa di bagian itu.
Kami membawa empat telur ke kamarku. Pemanas ruangan menyala, saat kami tiba. Untunglah kamar tidak terlalu berantakan. Hanya meja kaca yang penuh dengan skincare dan perintilan anak perempuan.
Empat telur itu berada di atas kasur, sedangkan tangan Sahala berulang kali mengirim energi panas. Cangkangnya mulai retak perlahan-lahan.
Dari dalam, terdengar suara lembut yang membuat jantungku berdebar-debar penasaran. Seolah ada sesuatu yang mencoba membebaskan diri. Retakan di cangkang merambat semakin luas, membentuk garis-garis retak seperti jaring laba-laba. Kemudian pecah. Mengeluarkan serpihan kecil yang jatuh di atas seprei. Telur ini menetas lebih cepat.
Sebuah kepala kecil muncul dari celah yang terbuka—kulitnya basah dan berkilau, dengan sisik-sisik putih yang halus.
Mata bayi naga yang masih tertutup, perlahan mulai terbuka, memperlihatkan pupil merah yang tajam dan bersinar. Lehernya yang panjang menggeliat keluar, diikuti oleh tubuh mungilnya yang menggeliat lemah.
Dia diam sejenak menatap Sahala, lalu mulai menjilat tubuh yang masih dilapisi membran yang membungkus dirinya. Bayi naga ini berusaha mengembangkan sayap-sayapnya. Sayap mereka lebih panjang daripada tubuhnya dan dipenuhi tulang-tulang tipis. Menjulur sampai tepi depan sayap dan sederet tanduk kecil berjajar sepanjang tulang punggung mereka.
Sayap kecilnya, yang rapuh seperti kertas basah dan dia mencoba merentangkan pelan, seolah menguji udara untuk pertama kali. Nafasnya terdengar halus, setiap embusan mengeluarkan sedikit kabut hangat dari lubang hidungnya.
Naga kecil itu terdiam sejenak, matanya berkeliling kamar, mungkin melihat dunia untuk pertama kali dan mata kami bertemu dengan tatapan penasaran, sambil menggeliat keluar dari sisa cangkang yang masih menempel di tubuhnya.
Telur kedua, ketiga dan keempat juga retak. Keempatnya memiliki warna sisik putih berkilau. Hal yang membedakan mereka adalah warna garis putih di pupil mereka. Bayi naga berikut berwarna ungu, biru dan emas.
"Ini pernikahan silang."
Sahala menjauh dari empat bayi naga. Dia menatapku cemas. Aku mendadak merasa pusing, kemudian rasa mual dan perasaan buruk. Aku terjatuh di depan Sahala. Pandanganku kabur, tetapi suara Sahala terdengar jelas. Dia mencoba mengangkat tubuhku, bersandar pada dadanya.
"Aes, bertahanlah."
Tubuhku tiba-tiba terangkat. Aku muntah di pakaian Sahala. Cairan lambungku berbau asam tidak enak. Menghirup aromanya, membuatku kembali muntah. Aku bisa mendengar suara jantung Sahala yang berdetak kencang.
Terdengar pintu terbuka dengan dibanting, kurasakan empuknya kasur dibalik punggung saat Sahala menurunkanku. Pandangan mataku kunang-kunang. Hanya terdengar suara langkah kaki Sahala. Sesaat hening, lalu langkah kaki kembali, tetapi terdengar lebih dari satu.
"Buruk juga." Suara Nowela terdengar berkomentar. Dia menyentuh keningku, tangannya luar biasa dingin dan aku tidak punya kekuatan untuk menepis tangannya. Perlahan-lahan, pandangan mataku mulai kembali. Rasa mual mulai mereda.
"Katakan apa yang kau rasakan?" Nowela langsung melemparkan pertanyaan saat mata kami beradu pandang.
"Lumayan."
"Ibu naga itu mati, tepat saat melahirkan telurnya. Yang bisa kupastikan, ibunya adalah naga Cartenz dan ayahnya adalah si Kutukan."
"Apa? Naga Kutukan?"
Nowela mengganguk. "Seekor naga bisa memberikan kutukan pada makhluk lain, tetapi makhluk yang bisa memberi kutukan pada naga hanya Dewa Kehancuran. Barangkali ayah mereka kena murka oleh Dewa Kehancuran."
"Siapa Dewa Kehancuran itu? Apakah Yang Terlupakan?"
"Aku tidak tahu. Ada banyak Dewa Kehancuran dari Sabang-Merauke. Bayi naga itu tidak bisa disingkirkan begitu saja. Mereka melihat kalian berdua sebagai orangtua."
"Aku tidak mau mengasuh bayi."
"Kau harus melakukannya, Sahala," balas Nowela tanpa menoleh. Dan dia tersenyum tipis padaku. Dia mendengar suara Sahala.
"Sayangnya, aura kutukan itu mempengaruhi penunggang naga. Aku pikir, ini semacam jimat agar mereka tidak menjadi bagian penunggang naga. Buruk juga, ya?"
Nowela tidak memberi solusi. Aku perlahan bangun dari atas kasur. Menatap sekitar, ada tumpukan pakaian di atas sofa duduk. Warna merah dan hitam jadi satu di sana. Jelas, ini kamar siapa. Baju Sahala sudah bersih oleh noda muntah, sedangkan tangannya memegang kaos merah tua. Dia berjalan memberiku pakaian tersebut.
"Sahala, coba bawa naga itu ke lembah. Lihat, siapa yang mau mengadopsinya."
"Kau gila. Tidak ada induk naga yang mau memelihara mereka."
"Coba saja. Kan bagus? Ada yang mau. Kau tidak perlu mengadopsi mereka. Sebaliknya, jika kau mengadopsi. Aes akan terus pusing seperti ini. Eh, tapi ... Penguasa Amungsa bisa membantu kalian."
"Penguasa Amungsa?" kataku
"Legenda kami. Tapi, tidak mudah menuju kemaharajaan Carstensz. Kalian memang diizinkan berkunjung. Tapi hanya kota luar, ini bukan ibukota Kemaharajaan Cartensz yang kalian kunjungi. Ini Desa Bailem."
Sungguh tidak terduga. Tidak, harusnya aku tahu. Memang tidak ada tanda-tanda kerajaan yang terlihat di tempat ini. Kendati demikian, Desa Bailem sudah luar biasa menggangumkan.
"Kenapa kalian meneror nusantara? Membiarkan roh Nemangkawi pergi membuat dunia menjadi daratan es."
Nowela mengalihkan tatapan matanya. Tetapi, kutahan tangannya dengan cepat. Mencegah Nowela beranjak pergi.
"Aku juga tidak tahu, Aes. Itu di luar teritoriku."
"Mengapa?" Aku mendesaknya. "Kau bagian dari tempat ini."
"Aku hanya gadis kuil, pelayan kuil untuk keluarga kerajaan dan rakyat Amungsa. Aku sendiri tidak tahu mengapa mereka memutuskan keluar dari lembah. Tugasku hanya mendampingi kunjungan Sekolah Adat."
Aku melepas tanganku dari Nowela. Dia beranjak berdiri dan menghampiri Sahala. Aku buru-buru turun dari ranjang, aku tidak mau ditinggal.
"Nusa meninggalkan kami di sini untuk mencari tahu apa yang terjadi."
Nowela tidak memberi tanggapan. Dia meminta Sahala mengambil empat bayi naga dari kamarku, sementara aku berganti baju mengenakan kaos Sahala dan kami berdua turun ke lobi. Samsara masih tidur. Tetapi, sofa Onna kosong. Selimutnya terlipat dengan rapi.
Aku mencari-cari di sekeliling lobi. Kulihat, Nowela sedang mencari sesuatu. Awalnya, kupikir dia mencari buku. Tetapi, bukan itu. Ada selimut yang tersampir di lantai. Itu tempat Giza sebelumnya berbaring.
"Onna—"
Kalimatku putus. Onna tiba-tiba datang dengan wajah tidak bersalah dan di tangannya ada dua tumbler berwarna biru tua. Dia melirik ke arah Nowela yang terbelalak. "Dia kenapa? Aes, lihat Giza? Dia tadi minta minuman hangat."
"Bagaimana kau bisa bangun?" kataku tidak percaya. Bunga kristal di rambut Onna mekar dengan kilau warna pelangi.
"Emm, aku terbangun begitu saja. Mengapa semua orang tidur di sini? Pelayan hotel ini juga melihatku seperti hantu. Apa yang terjadi?"
Kuceritakan pada Onna secepat yang aku bisa. Dia terpana, lalu berubah serius. Diberikannya satu tumbler padaku. Isinya cokelat panas. Aku meminum sedikit, rasanya manis dan hangat. Kemudian jari telunjuk Onna menunjuk ke belakangku.
Aku menoleh dan tertawa. Di atas rambut merah Sahala si mata hitam tidur melingkar, mata ungu menarik-narik pipi Sahala, mata emas mengulum telinga Sahala sedangkan mata biru dalam dekapan Sahala. Dia berdiri cukup jauh dariku. Tetapi, Nowela malah menarikku lebih jauh.
"Bagaimana kau terbangun?" Dia mengulang pertanyaan sama dengan diriku pada Onna.
"Aku tidak tahu. Aku bangun saja."
"Di mana Giza-ku?"
"Giza-mu?" Onna mengulang dengan nada geli. "Apa maksudmu Giza-mu?"
"Cepat katakan. Apa yang terjadi?"
Nowela sama sekali tidak terkesan dengan ucapan Onna. Dia sangat serius menatap Onna. Terlebih bunga kristal yang ada di rambut Onna. Disentuhnya kelopak bunga tersebut.
"Sihir Carstensz. Bagaimana bisa?"
Onna memutar bola mata malas. Mungkin dia lelah, karena Nowela terus melemparkan pertanyaan.
"Seorang pegawai toko tanaman memberiku bonus sihir."
"Orang gila mana yang memberimu sihir kami?"
"Aku tidak tahu namanya."
"Jadi, kau berbohong?"
"Enak saja. Aes, katakan yang sebenarnya."
Kujelaskan secara singkat tentang Carns atau Carnz, aku tidak ingat namanya. Tetapi, itu cukup membuat Nowela tidak mendesak dan dia berjalan keluar lobi.
"Ikuti dia."
Aku melirik Sahala dan mengganguk kecil. Kutarik Onna untuk mengikuti Nowela. Dia tidak keberatan kami mengikutinya. Onna memekik melihat telur-telur di sepanjang jalan. Kuberitahu padanya, bahwa kita tidak punya waktu untuk itu.
Nowela pergi ke salah satu toko makanan manis. Ketika pintu kayu itu terbuka dengan bunyi lonceng halus,
udara hangat menyambut—bercampur dengan aroma manis karamel, cokelat, dan rempah-rempah yang hangat.
Lantainya, terbuat dari batu hitam yang halus. Rak-raknya penuh dengan toples-toples kaca besar, di dalamnya permen berbentuk bulan sabit, bintang, dan makhluk-makhluk ajaib seperti kupu-kupu bercahaya dengan bentuk tangkai, berkilauan dengan warna yang tak biasa—ada yang memancarkan cahaya lembut, sementara yang lain tampak seperti bergerak pelan di dalam toples.
Tidak ada orang di toko ini, sepi. Rak biru tua di depan kami berisi kemasan biskuit sachet aneka warna, di lemari pendingin. Ada setumpuk ice cream warna-warni yang kami lihat sebelumnya di Argo Senayan. Onna mengambil satu yang berbungkus cokelat.
"Wah, Nona manis. Kau akan memborong semua jajanan ini?"
"Eh? Siapa? Aku?" Onna tampak terkejut. "Tidak, aku hanya ingin mencoba. Tertulis rasa tanah di sini, aku hanya penasaran."
Dan entah bagaimana, pria itu muncul lagi. Kali ini ia memakai kostum kelinci putih dengan pita biru di lehernya. Dia tersenyum tetapi hanya sedetik, ketika Nowela berdiri di hadapannya.
"Sihirmu membuatnya kebal, Carnz." Nah, Nowela mulai memarahinya. Namanya Carnz.
"Hanya bonus. Itu pembelian luar biasa."
"Tarik kembali, ada empat Samsara yang terbangun."
"Aku hanya melihat dua di sini dan satu di luar." Carnz tampak tidak peduli dan membela diri. Dia benar-benar hantu toko.
"Satunya menghilang." Nowela menjelaskan. "Giza-ku."
Carnz mencoba menahan tawa, tetapi tawa tersebut meledak. Onna pun tertular tawa tersebut. Wajah Nowela memerah, dia terus menatap Carnz dengan bola mata yang hampir keluar.
"Nowela, kau tidak bisa memiliki semua pria tampan yang kau sukai. Kau naksir Sahala dan kau juga mengklaim pengajar mereka? Aku punya palu bagus untuk memukul kepalamu. Mau coba?"
"Cabut sihirmu dari dia!" Nowela tetap bersikeras.
"Siapa?" Carnz bertanya. "Namanya?"
Nowela terdiam, dia melirik Onna dengan kode agar menyebut namanya. Tampaknya, Nowela memang tidak tahu.
"Aku tidak akan memberitahu namaku."
"Kau ini." Nowela malah makin kesal. Dia melirik padaku. "Nama temanmu siapa?"
"Dia tidak ingin memberitahunya. Kecuali kau memberitahu kami cara mengembalikan Sekolah Adat yang membeku dan cara menangkap roh Nemangkawi."
Itu penawaran yang seimbang. Sihir Carnz menjadi jimat pelindung bagi Onna untuk tida tertidur dalam dongeng, sedangkan Giza. Aku tidak tahu. Barangkali, Nowela memberi sihirnya? Mustahil. Dari sikapnya, dia jelas tidak melakukan itu.
Aku menoleh keluar jendela. Sahala masih di sana, berusaha sebaik mungkin menjaga empat bayi naga yang makin menggangunya. Sekarang, mereka mulai mengeluarkan napas api dalam batuk-batuk kecil.
"Kapan telur-telur menetas, Carnz?" Onna tiba-tiba bertanya dengan membayar satu ice cream cokelat.
"Tidak tahu."
Aku ingin bilang pada Onna. Mereka merahasiakan itu dari penduduk luar.
"Apa di sini ada perpustakaan kota?" tanyaku.
"Ada." Kali ini Nowela yang menjawab. "Letaknya di ibukota. Dan kalian tidak punya izin ke sana."
"Bagaimana caranya untuk memiliki izin?"
"Satu-satunya cara adalah keluarga kerajaan yang mengundang. Tapi, untuk apa mereka mengundang kalian? Mengizinkan kalian di desa Bailem saja sudah cukup."
Tidak ada keluarga kerajaan di Samsara atau Sekolah Adat. Kami Tucca bagi mereka. Maksudku si darah campuran, begitulah kaum Yava menyebut kami.
Yava keturunan berdarah sihir, Sudra manusia tanpa sihir dan Tucca adalah campuran keduanya. Bahkan keturunan setengah debata juga mereka kategorikan Tucca. Aku benci mereka.
Tunggu sebentar, aku punya ide. Aku punya seseorang yang berdarah ningrat. Said, tetapi bagaimana menghubunginya? Tidak, Said bilang aku keluarga cabang dalam kemaharajaan Tanimbar. Aku keturunan ningrat. Mungkin aku harus mencobanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top