20

Ada kisah yang lebih cocok disebut dongeng. Kisah itu tentang bagaimana proses lahirnya naga. Kisah ini diceritakan oleh seorang pria naga pada gadis manusia yang sangat dicintainya. Kemudian di abadikan dalam Kitab Permata Naga.

Kisah itu luar biasa indah dan aku terus mengingatnya. Naga jantan dan betina akan mencari tempat yang aman dan terlindungi untuk bertelur. Ini sering kali terjadi di gua-gua, tebing yang tinggi, atau daerah terpencil yang tidak terjangkau oleh makhluk mana pun.

Anehnya, naga salju di depan kami muncul di pemukiman warga seperti sihir. Telur-telur ini harusnya diawasi dan dijaga orang tua naga. Proses inkubasi ini bisa memakan waktu berbulan-bulan, tergantung pada jenis naga dan kondisi lingkungan.

Sekarang, warga mulai menabur sesuatu yang mirip tepung halus berwarna kuning keemasan pada telur-telur yang muncul di jalan-jalan. Bahkan si ambbasador turut melakukan hal tersebut. Bubuk itu seolah sedari awal selalu dibawa-bawa untuk ini.

Dia sama sekali tidak membantu Onna dan Samsara yang pingsan. Sibuk dengan berjalan menabur setiap telur. Di mana orang tua naga-naga ini?

Selama periode inkubasi, orang tua naga sangat protektif terhadap telur mereka. Mereka akan mengawasi dan melindungi telur dari ancaman, baik dari makhluk lain maupun cuaca buruk. Ini aneh, berbeda dengan teori yang kuketahui.

Naga umumnya memiliki kemampuan untuk menghangatkan telur dengan panas tubuh mereka, menjaga suhu yang optimal untuk perkembangan embrio di dalamnya. Ngomong-ngomong, tubuhku dan Sahala memanas dengan kilau merah yang berpendar.

"Festival telur, adalah musim lahirnya telur-telur naga di Carstensz. Naga di pegunungan akan mengirim telur mereka di sini untuk dijaga warga lokal. Siapa pun yang tidak memiliki darah Carstenz akan terlelap dalam dongeng. Aes, sihirku melindungimu sebagai nagamu."

Aku luar biasa merasa beruntung. Beruntung menjadi penunggang naga nusantara. Aku menatap punggung tangan kananku. Di sana, tercetak jelas tato sayap naga berwarna merah. Bukti ikatan abadiku bersama Naga Padoha.

"Sahala," kataku, "bantu aku membawa Onna."

Mata Sahala membulat besar. Dia menatapku tidak percaya.

"Punggungku hanya untuk satu wanita."

"Aku bukan memintamu membawanya dengan wujud Naga Padoha. Bantu aku merangkul Onna sampai penginapan. Kita tidak mungkin membiarkannya di sini dan Samsara lainnya."

Mata Sahala tertuju ke depan dan dia mengganguk tanpa mengeluh lagi. Lengan kiri Onna berada di bahu Sahala. Kami harus mengurus teman-teman kami. Urusan telur-telur itu bisa nanti.

Akan tetapi, seseorang dari belakang mengambil alih tubuh Onna dan membopongnya di depan dada. Aku terdorong ke samping. Otot-otot si ambbasador terlihat kuat dan besar. Betapa mudah dia membawa Onna.

"Kalian berdua menyusahkan diri sendiri. Minggir."

Dia berjalan cepat di depan kami. Samsara yang tertidur, mulai dibantu warga setempat. Sebagian menyiapkan gerobak, sisanya lagi menggendong di punggung.

"Ck, telur ini."

Sahala tiba-tiba mengumpat pada satu telur yang menggelinding di kakinya. Sahala mencoba berjalan lebih jauh dan telur itu terus mengikuti dari belakang.

"Barangkali dia merasakan hawa panas yang familiar dari tubuhmu," kataku mencoba berkelakar pada Sahala. Naasnya, Sahala tidak suka.

"Aku tidak punya urusan menjadi pengasuh. Ayo, Aes. Kau mau kembali ke penginapan atau ke toko buku?"

"Aku mengkhawatirkan Onna dan yang lain."

"Mereka baik-baik saja. Lihat? Warga lokal memperlakukan mereka dengan baik. Lagipula, pria penjual itu akan muncul di toko."

Sahala benar. Pria itu pasti akan muncul bila kami membeli sesuatu. Walau masih mencemaskan Onna, aku mengikuti Sahala menuju toko buku. Sepanjang jalan, telur-telur naga selalu ada. Entah di bawah jendela, di dekat pot bunga, tepi jalan raya dan di bawah tiang-tiang lampu kristal.

Aku membayangkan. Ketika
telur tersebut siap untuk menetas, bayi naga akan menggunakan cakar dan gigi kecil mereka untuk memecahkan cangkang.

Begitu telur pecah, bayi naga yang baru lahir akan membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan dunia luar. Biasanya, mereka masih lemah dan perlu perawatan dari orang tua mereka. Tetapi, apakah mereka bisa dengan hal seperti ini? Jauh dari orang tua naga.

Lagipula, bayi naga perlu belajar
cara terbang, berburu, cara menjaga diri dari ancaman, mengenal tradisi dan budaya seekor naga serta menggunakan kekuatan sihir mereka. Apa orang tua mereka akan datang saat mereka menetas? Aku tidak tahu, tetapi aku penasaran.

Telur naga ini juga tidak hanya satu. Apa mereka berasal dari induk yang sama? Naga liar identik dengan banyak saudara. Dalam satu sarang, bisa jadi ada beberapa telur yang menetas pada waktu bersamaan, menciptakan ikatan yang kuat di antara satu sama lain.

Barangkali Borneo punya saudara lain di Kalimantan, sedangkan Sahala tidak masuk dalam kategori tersebut. Terlalu banyak memikirkan hal ini. Kami tahu-tahu sampai di sebuah kios buku sederhana.

Pintu depannya terbuka lebar. Box-box buku second dijual setengah harga di luar. Sebagian majalah, di tata di atas meja dan seorang pria dewasa sedang duduk di bangku kecil yang di depannya ada keranjang biru tua berisi buku.

"Halo." Dia menyapa kami ramah. Secara fisik, dia sedikit berbeda dari warga lokal. Kulitnya cokelat eksotis dengan warna mata hitam mirip langit malam dan senyum yang memesona. Binar matanya sedikit tersentak sedetik padaku sebelum berubah. Itu senyum paling manis yang pernah aku lihat. Tunggu, apa aku terpikat?

"Penunggang naga?" katanya, "tidak heran."

Aku mengganguk.

"Cari buku tentang naga? Kami punya banyak koleksi. Sebagian ditulis oleh Gali dan Dali mau yang mana? Mau kisah naga Sumatra? Kalimantan? Maluku? Atau berdasarkan unsur sihir? Api? Air? Jantan? Betina? Klasifikasi para Debata?"

"Anda mengenal Gali? Dia pembimbingku." Aku berseru semangat. "Gali memberiku banyak buku tentang naga. Aku suka tentang Kiat-Kiat Menjinakkan Naga Liar."

"Ya. Ngomong-ngomong panggil aku Said. Jadi, mau buku dari Dali? Mengingat kau tidak membutuhkan buku Gali di sini."

"Bagaimana kau tahu kalau aku penunggang naga?"

Said tertawa, kemudian dia tersenyum dengan cara paling memesona untuk kedua kalinya padaku.

"Hari ini festival telur. Jika kau Samsara harusnya terlelap dalam dongeng. Tapi, kau tidak dan aku mendengar Samsara punya satu penunggang naga. Jawabannya jelas, bagaimana, Nona?"

Tebakan yang tepat. Dia akhirnya berdiri, memberi bahasa tubuh agar kami mendekati. Aku seolah terhipnotis mengikutinya. Said menuntunku ke rak buku yang sampul bukunya penuh warna biru.

Judulnya tertulis dengan huruf tegas berwarna emas yang bersinar halus, Jejak Naga di Lautan Nusantara, Naga Langit, Naga Bintang, Ramalan Naga, Cakar Naga, Raja Naga dari Samudra Dalam, Gelombang Amarah Naga
Di Bawah Bayang Naga Laut,
Nyanyian Naga dari Dasar Laut,
Misteri Naga Biru Lautan,
Legenda Naga di Laut Tak Berujung,
Seruan Naga dari Kedalaman,
Naga Laut dan Kota yang Tenggelam,
Di Bawah Permukaan: Kebangkitan Naga Laut.

Demi Debata Naga. Banyak sekali buku menarik di sini. Aku menarik punggung buku Ramalan Naga. Buku ini sangat mencuri perhatianku. Ketika buku itu di tangan, detail naga pada sampul buku berkelok-kelok menghiasi bagian bawah judul, seolah naga itu sendiri hendak melompat keluar dari sampulnya.

"Covernya bergerak," ucapku terpukau, "pasti mahal sekali buku ini."

"Sesuai harga." Said menegaskan. "Tulisan Dali penuh sihir, kau tahu? Sebagian aksara miliknya tidak bisa ditulis ulang. Seperti Carstensz, dongeng-dongeng mereka tidak bisa dicuri. Jadi, siapa namamu?"

"Aes," jawabku

"Nama yang manis. Apa Bandana itu milikmu?"

"Ya, milik ibuku."

"Kau Samsara, apa kau Demigod atau makhluk mitologi?"

"Demigod."

"Kau pasti memiliki marga."

"Ya, Ongirwalu."

Mata Said terbelalak. Dia antara terkejut dan senang. Aku tidak mengerti emosi senyum manisnya, tetapi itu sungguh mustahil untuk memalingkan wajah. Aku yakin, Cinderella pasti akan meninggalkan Pangerannya bila menatap Said.

"Ongirwalu—"

Kalimat Said terpotong. Sebuah buku tiba-tiba menghalangi wajah Said. Aku melirik pelakunya, Sahala tampak kesal setengah mati.

"Aes, kau terpikat oleh pesona sihirnya."

"Hah? Kita kan sedang mengobrol tentang buku."

"Kau terus tersenyum lebar padanya."

"Jadi, kau ingin aku menekuk wajah setiap berbicara dengan orang lain?"

"Dia memakai pesona pelet."

"Aku tidak kena pelet."

"Kau tersihir seperti saat bersama Tapa Tamboga bermain ular tangga."

Aku mendengar ada gelembung udara yang pecah di kepalaku. Aku mengerjab berulang kali pada wajah Sahala. Sungguh? Aku tersihir lagi? Kutatap wajah Said yang masih tersenyum manis padaku. Lihat, dia hanya tersenyum. Sahala berlebihan.

"Jadi, Aes. Kau mau membeli satu atau lima buku padaku?"

"Em, aku— Api!" seruku panik.

Sesuatu terbakar dibalik rak. Aku kenal aroma api ini. Api tersebut milik Sahala. Said segera berlari pada sumber api dengan air yang bergerak keluar dari tubuhnya. Air tersebut membentuk tentakel panjang yang memukul api hingga padam.

"Tidak boleh ada api di sini." Said menatapku dan Sahala dengan mata melotot. Mana senyum manisnya?

Sahala tersenyum tipis, diberikannya satu batu mulia dengan warna biru keunguan di atas meja kasir. Said terpana pada benda tersebut. Sahala lalu menarik napas dalam-dalam dengan emosi yang sebenarnya sangat malas dia lakukan, tetapi harus dia lakukan.

"Hari ini, api itu hanya membakar bukumu. Besok lusa, jika kau masih memainkan peletmu pada permataku, semua kisah yang kau jual akan menjadi debu."

Aku terpana. Ini pertama kalinya Sahala bersuara. Dia kembali menghela napas, tatapannya melembut terarah padaku.

"Buku-buku ini akan dikirim ke asramamu. Cukup?"

"Kenapa kau kembali melakukan telepati?"

"Aes, aku terlalu malas berbicara dengan suara. Aku malas melakukannya lagi. Jangan memaksaku, cukup bagiku kau yang mendengar. Sebaiknya, kita pulang. Ambil beberapa buku dari rak sebelum kita pergi."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top