19
Onna mencoba menghilangkan bunga kristal itu dengan sesekali merapal beberapa mantra yang tidak kukenal dan mengeram kesal dengan alis berkerut. Tetapi tindakan itu sia-sia. Kami kembali meneruskan perjalanan ke toko hewan-hewan Carstensz. Kali ini, Sahala yang memimpin. Dia tidak lagi menggenggam telapak tanganku. Hanya berjalan di sisiku. Bukan berarti aku memaafatkannya begitu saja.
Kebetulan, kami melewati sebuah bengkel yang dipenuhi suara dentingan logam, seorang pandai besi dengan tubuh kekar berdiri di depan landasan. Otot-otot lengannya berwarna putih tegang saat dia mengangkat palu besar, siap menempa sebatang besi yang membara. Asap tipis mengepul dari tungku di belakangnya, menyebarkan aroma logam panas bercampur arang.
Di depan landasan, ada seekor naga putih yang sisiknya berkilauan. Mata birunya menyala terang, memperhatikan setiap gerakan si pandai besi. Dengan sekali embusan dari mulutnya, naga itu menyemburkan api putih yang menyala terang.
Aku berseru terpukau. Api dari naga itu tak seperti api biasa—lebih panas dan lebih bersih, membakar tanpa suara. Ada yang aneh, Naga Putih dan Sahala juga mengeluarkan api putih sebelumnya. Aku melirik wajah Sahala penasaran. Kemudian menatap balik ke arah bengkel.
Pandai besi itu menyeka keringat dari dahinya, memandangi besi yang kini memerah sempurna oleh embusan naga. Dia memukul sekali lagi, palu itu menimpa logam, memercikkan percikan api ke udara, berkilau sejenak sebelum lenyap di tengah udara.
Kemudian naga kecil terbang di atas kepala si pandai besi. Mata reptilnya seperti mata anak-anak yang tampak penasaran. Dia lalu melirik ke arah Sahala dan tertawa riang mendekati kami.
Naga itu berputar-putar di atas rambut Sahala yang kusut. Mengendus aroma rambutnya dan membakar rambut merah Sahala dengan api merah, setelahnya ia kembali ke bengkel. Sisa napas apinya menjadi uap di rambut Sahala.
"Sihir yang keren. Bagaimana dia merapalkan mantra dengan api putih itu?"
Serempak, aku dan Sahala menoleh pada Onna. Matanya berbinar dan aku tahu, dia sama sekali tidak bisa melihat naga tersebut. Sebelum aku bisa menjelaskan sesuatu. Sahala sudah kembali berjalan menuju toko hewan-hewan Carstensz.
...
Angin dingin berdesir pelan di antara gang-gang sempit pemukiman bersalju, membuat setiap nafas tampak seperti uap yang tebal. Kendati demikian, aku tetap merasa hangat.
Aku mulai memikirkannya, kutatap punggung Sahala seksama. Setiap berada di dekatnya, aku tidak pernah merasa kedinginan. Suhu tubuhku tampak sejuk dan nyaman. Berbeda saat kami berpisah. Kepingan salju yang turun bahkan sama sekali tidak menyentuh rambut merah Sahala dan rambutku. Sedangkan rambut Onna penuh kepingan salju yang kini jatuh di atas bunga-bunga kristal.
Di sudut sebuah jalan yang sepi, berdiri sebuah toko hewan. Jendelanya besar dan berkabut, hampir tertutup oleh salju yang menempel di kaca.
Sebuah lentera tua tergantung di atas pintu, berayun perlahan ditiup angin. Sahala mendorong pintu kayu.
Pintu pun terbuka dengan derit perlahan, udara hangat yang keluar dari dalam menyapu kami dan suara lonceng kecil yang tergantung di atas pintu berdenting lembut.
Toko itu beraroma campuran jerami kering, bulu, dan sedikit aroma rempah asing. Di dalam, langit-langit rendah dan dinding kayunya dipenuhi rak-rak yang dipenuhi sangkar dan akuarium, beberapa berisi makhluk yang tampak akrab.
Ada burung Cenderawasih, dengan bulu bercahaya biru pucat dan putih, yang dapat menyesuaikan dengan lingkungan salju. Ekor panjangnya berkilauan seperti kristal es. Label namanya bertuliskan Cendrawasih Artik.
"Hewan ini dikenal karena kemampuannya meramal cuaca dan memanggil aurora lokal sebagai bentuk tarian. Cenderawasih ini juga dianggap sebagai perantara antara dunia manusia dan dunia roh."
Aku tersentak. Pria rambut putih kembali muncul. Jika di toko tanaman hijau rambutnya terurai. Sekarang, ia kembali mengepang rambutnya dari kulit kepala. Dia mengenakan kaos cokelat dan tas pinggang cokelat.
"Kau muncul di mana-mana seperti roh salju." Onna menunjuk si pria dengan tatapan waspada.
"Aku memang di mana-mana. Aku pegawai setiap toko."
Pria misterius ini tidak punya papan nama. Dia menatapku dan Onna seperti hewan pemangsa. Karena gelisah, aku mengalihkan tatapan pada seekor burung mambruk di dalam sebuah kandang. Bulu putihnya tebal dan memiliki jambul es yang indah di kepala.
"Hewan ini dianggap sebagai makhluk suci yang jarang terlihat. Mereka dapat menyembuhkan makhluk lain dengan getaran dari sayapnya. Ia juga bisa membuat jejak langkahnya menyamarkan dirinya, sehingga sangat sulit ditemukan."
Lagi-lagi, pria ini berujar di dekatku. Aku khawatir, dia bisa membaca pikiranku. Itu buruk, cukup Sahala yang mengintip isi hatiku.
"Dia hanya melihat emosi wajahmu, Aes. Jangan cemas, memang hanya aku yang tahu."
Wajahku pasti memerah, memalukan. Sahala mengeluarkan kantong uang berwarna merah dan memberikannya kepada si pria salju atau entahlah. Aku tidak tahu harus menyebutnya apa.
"Membeli semua makhluk eksotis ini lagi?"
Dia tersenyum lebar. Tunggu, ada yang aneh. Dia mengucapkan kata lagi pada Sahala dan sebelumnya, di toko tanaman. Dia tahu tentang identitas asli Sahala. Siapa dia? Apa dia dan Sahala saling mengenal? Aku melirik Sahala yang menunjuk semua hewan di toko.
"Sahala." Onna berujar senang. "Kau luar biasa. Semua hewan eksotis ini harta karun Sekolah Adat."
Sahala melotot pada Onna tersinggung. "Enak saja, ini milikku. Sekolah hanya mendapatkan catatan pengamatannya saja."
"Apa? Aku salah?"
Onna tampaknya menyadari tatapan Sahala dan dia melirikku.
"Sahala membeli ini untuk dirinya, Onna." Aku menjelaskan. "Bukan untuk Sekolah Adat."
"Oh, tatapan matanya membuatku takut. Aku cemas loh," ujar Onna sambil mengelus-elus dada.
Sementara itu, Sahala menyelesaikan transaksi. Dia bahkan pergi tanpa menunggu nota pembelian dan mengajak kami keluar. Padahal Onna ingin mengutarakan sesuatu pada si pria misterius itu.
Di luar, salju masih tetap turun dan aku masih memperhatikan rambut Onna yang dipenuhi butiran-butiran putih. Kami keluar dari gang kecil menuju jalan utama.
Perutku bergejolak. Aku mengelusnya tanpa sadar tapi, mata Sahala mengarah ke gerakan tanganku.
"Tanggadia?"
Aku mengganguk dan Sahala balas mengganguk. Di depan, ada sebuah kios kecil yang dipenuhi anak-anak Samsara dengan sedikit antrian. Semakin aku mendekat, ada aroma manis roti yang dibakar.
Aku memperhatikan roti yang dibungkus kertas cokelat tersebut berwarna ungu dengan lelehan keju. Aroma roti yang dipanggang semakin kuat ketika kami ikut mengantre.
"Roti Manis Ubi Ungu." Onna mengeja nama menu di depan toko. Tulisan itu dicetak besar di atas jendela besar yang terbuka lebar. "Aku ingat ini, Novia bilang kedai ini hanya buka dari jam 12 siang hingga jam 6 sore."
"Kapan Novia menceritakannya?" tanyaku.
"Saat Aes pergi jalan-jalan dengan Sahala."
"Oh."
Aku hanya bergumam pendek. Naga Putih membuatku melewatkan banyak waktu. Dipikir-pikir, aku menatap sekeliling, terutama langit. Tidak ada naga yang berkeliaran.
Barisan di depan mulai bergerak, Onna merangkul lenganku. Antrian mulai semakin memendek. Seorang anak laki-laki berambut ikal putih sedang sibuk membungkus beberapa roti ungu dengan gerakan gesit.
Apronnya putih bersih tanpa noda. Di belakangnya, ada seorang pria yang sibuk mengatur nampan berisi roti-roti yang masih mengepulkan asap.
Semakin dekat, Onna sudah sibuk merogoh tas kecilnya yang berwarna ijo lumut. Mengutarakan akan mentraktir aku dan Sahala roti tersebut. Dia sengaja memesan ukuran jumbo.
Kami pun duduk di kursi kayu panjang yang diletakan di dekat dinding kios tersebut. Rotinya lembut di dalam dan gurih di luar. Wangi ubi ungunya harum sekali. Kami bertiga makan dalam diam.
Samsara yang lain juga ikut duduk dan makan sambil bercakap-cakap. Awalnya mereka menceritakan tentang resep makanan dan kudapan manis untuk oleh-oleh Diwangka. Pembicaraan itu, entah mengapa malah berbelok membahas tentang naga salju.
"Sahala. Apa dibalik pegunungan ada roh naga?" Salah seorang dari mereka bertanya. Anak laki-laki yang rambutnya setengah membeku oleh gel.
"Bilang saja tidak ada." Sahala menatapku.
Aku menghela napas, melakukannya.
"Menurut legenda." Laki-laki ini masih tetap tidak puas dengan jawabanku. "Nemangkawi adalah roh salju. Anak-anak di sini memiliki dongeng tentang roh Nemangkawi yang menjaga garis keturunannya. Dongeng itu berbicara tentang mata ...,"
Dia kesulitan berbicara. Terdengar oleh kami desis-desis ganjil seperti suara hewan melata. Sekujur tubuhku merinding. Aku benci reptil tersebut.
"Aih, sial! Aku ingat tentang itu. Tapi, sulit untuk diungkapkan." Dia mengeluh. Mirip dengan sikap Novia sebelumnya.
"Apa maksudmu, dongeng tidak bisa dicuri?" tanyaku.
"Ya. Dongeng tidak bisa dicuri. Oleh karena itu. Kami sedang mencari perpustakaan Carstensz untuk menyalin beberapa informasi. Tapi, Nowela memberi kami peringatan."
"Peringatan apa?" Aku merasa tertarik.
"Perpustakaan itu tidak bisa ditemukan dengan mudah. Hanya jika roh Nemangkawi mengizinkannya. Giza ingin kita memasukinya. Dia bilang, mereka yang pernah mendekatinya bercerita tentang desiran angin yang tak biasa, seakan menyampaikan bisikan rahasia yang tidak dimengerti."
Aku terdiam sejenak sambil memakan habis roti unguku. Kertas pembungkusnya perlahan memudar dalam udara.
"Terletak jauh di dalam pegunungan yang tertutup es, tersembunyi dari pandangan makhluk biasa."
Aku mengerjab ke arah Sahala. "Kau tahu?"
"Ya, hanya Giza yang pernah ke sana. Dia tidak menceritakan kronologinya. Tapi, kata kuncinya sesuai. Desiran angin yang tak biasa, seakan menyampaikan bisikan rahasia yang tidak dimengerti. Lupakan soal tempat itu, kita bisa ke toko buku."
Aku menggeleng. "Bagaimana jika ada informasi soal Yang Terlupakan dan penunggang naga?"
Aku tidak bisa membicarakan ini di depan orang banyak. Telepati dengan Sahala praktis tapi dia jadi lebih mudah bereaksi atas emosiku.
"Perpustakaan ini dikatakan berada di tengah pegunungan Carstensz, mungkin di tempat yang selalu diliputi kabut atau badai salju abadi. Akses menuju ke sana sangat sulit, hanya bisa dicapai oleh mereka yang memiliki tekad kuat dan hati yang penuh dengan rasa ingin tahu."
Suara familiar itu kembali terdengar. Sekarang, dia berpenampilan dengan kemeja biru tua, kacamata bulat dan satu tangan memegang sampul buku bertuliskan Naga Padoha.
"Oh, maaf. Aku tidak sengaja mendengar kalian berbicara. Apa itu membantu? Mau tahu tentang rumor? Katanya, buku-buku yang tersimpan di sana diyakini berisi pengetahuan kuno, sihir, dan rahasia yang hilang dari peradaban. Beberapa orang mengatakan bahwa buku-buku di perpustakaan tersebut ditulis oleh naga, roh Nemangkawi, atau bahkan manusia dari zaman yang sangat tua."
"Siapa kau sebenarnya?" Onna tiba-tiba berdiri. Seolah dia siap akan suatu hal. "Namamu? Kau muncul di mana-mana. Itu aneh."
"Aneh untukmu, tapi tidak dengan warga lokal. Gadis hijau." Nada suaranya terdengar tersinggung. Dia melirik Onna dari ujung rambut hingga ujung kaki. Seolah sedang menilai barang di etalase toko.
Aku pun ikut berdiri, menarik Onna sedikit mundur ke belakang. Di sisiku, Sahala turut berbuat serupa.
"Kalian saling kenal?" Anak-anak lain menatap kami.
"Dia kan selalu muncul di toko-toko yang kita kunjungi." Onna memberi tahu. "Apa kalian tidak merasa aneh?"
"Tidak, dia kan seorang ambbasador Carstensz. Tentu dia muncul di mana-mana. Onna, jaga sikapmu. Kami masih belum ingin didepak Nowela."
Onna menahan amarahnya. Dia melirik si ambbasador dengan tajam. Bunga kristalnya bersinar indah di bawah pantulan sinar matahari. Aku tidak tahu soal informasi itu.
"Aku punya saran untuk kalian. Perpustakaan itu tidak akan muncul saat dicari. Jadi, jangan mencari. Menurut legenda, ada penjaga yang tinggal di sana, dia yang ditugaskan untuk melindungi pengetahuan di dalam perpustakaan. Beberapa mengatakan bahwa mereka telah bersumpah untuk menjaga rahasia di dalamnya tetap aman dari tangan-tangan yang tidak layak.
"Tapi ada petunjuk. Untuk menemukan perpustakaan ini, legenda menyebutkan bahwa seseorang harus mengikuti tanda-tanda alam—pola salju yang tidak biasa, cahaya bulan yang menerangi jalan tersembunyi, atau bahkan mengikuti jejak burung mistis. Tempat ini tidak bisa ditemukan dengan peta biasa."
"Siapa sih namamu?" Onna terlihat tidak peduli tentang perpustakaan. Tetapi, aku peduli.
Jika keberadaannya tersembunyi. Pengetahuannya lebih berharga dari permata. Bahkan Sahala pun belum pernah ke sana.
"Gadis Hijau. Jangan penasaran denganku. Pertemuan kita hanya sekedar lewat."
Beberapa Samsara memilih meninggalkan obrolan. Onna sudah memberiku kode lewat tatapan mata agar kami juga pergi. Tetapi, aku penasaran. Pria ini bisa berguna.
Saat aku hendak membuka mulut. Gemuruh tiba-tiba dari langit. Cahaya matahari menghilang, awan gelap menyusul seolah hujan. Tubuh Sahala tiba-tiba berpendar merah, begitupula tubuhku.
Orang-orang di sekitar kami berlarian keluar dari rumah. Anak laki-laki penjual roti ungu ikut keluar dengan tangan memegang serbet. Matanya berbinar indah. Tetapi, terlihat sedih menatap kami.
Warga setempat memandang kami dan Samsara yang setengah perjalanan di depan. Kemudian, bunyi plop-plop dari udara bertubi-tubi di sekitar kaki kami.
Bunyi itu mengeluarkan puluhan telur putih sebesar bola kaki. Satu, dua, tiga, telur-telur itu muncul begitu saja. Onna di sampingku tiba-tiba pingsan. Aku bergegas menahan bobot tubuhnya. Di depan, anak-anak Samsara jatuh tidak sadarkan diri.
"Waktu yang kurang tepat." Si pria ambbasador menghela napas. Roh-roh salju muncul dalam kelap-kelip biru di seluruh telur yang muncul di jalanan.
"Apa? Apa yang terjadi?"
"Penetesan telur," ujar Sahala
"Festival Telur," kata si pria.
Aku langsung tahu. Ini telur-telur naga. Ribuan bayi naga salju akan lahir di seluruh kota.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top