18

Aku kembali ke kamar dengan wajah sembab. Onna sudah bangun, cukup terkejut melihatku namun tidak bertanya apa pun. Kami turun sarapan bersama setelah aku mandi.

Suasana meja makan hening. Telur orak-arik dengan nasi goreng cukup menghiburku. Onna duduk di antara aku dan Sahala. Dia tahu kami sedang bertengkar dan tetap tidak menanyakan apa pun.

Selepas sarapan, Onna menuntun kami berjalan kaki ke toko tanaman yang lokasinya beberapa rumah dari penginapan.

Atap toko tanaman itu dipenuhi salju yang menumpuk. Jendela besarnya memantulkan cahaya matahari pagi. Roh-roh salju terbang di pot-pot tanaman yang berjejer di teras. Tanaman hijau tersebut seolah menantang udara dingin, daunnya mengkilap dan segar.

Onna mendorong pintu kayu tersebut, pintunya berderit dengan aroma tanah basah. Lantai tokohnya adalah tanah, kemudian ada jalan setapak dari batu putih kecil yang memandu kami melewati deretan pot-pot berisi tanaman berbunga kristal tajam berwarna merah, kuning, hijau dan ungu.

"Bunga apa itu?" Aku menunjuk bunga hitam dengan kelopak-kelopak tajam. Putik bunganya membentuk kristal ungu.

"Coelogyne Carstensz," kata Onna, "paling mahal. Tapi, aku ingin menunjukkan sesuatu padamu."

Onna terus menuntun kami melewati jalan setapak dan berhenti di sudut toko, sebuah rak kayu tua
dipenuhi dengan pot kecil berisi biji-bijian yang siap ditanam, sementara di belakang, rak-rak kayu penuh dengan buku-buku tentang merawat tanaman di iklim dingin.

"Aku ingin membeli semua ini. Informasi di sini sangat penting. Apa kau mau membantuku membelinya, Aes?"

Terkejut? Pasti. Aku mengambil satu kartu yang diselipkan di dekat pot kecil.

Tanaman instan, membantumu melakukan pengamatan pertumbuhan dan cara merawatnya.

"Pot-pot dan buku-buku ini berharga. Kau bisa membantuku membeli setengahnya saja. Tapi, jika kau keberatan tidak apa. Aku punya rencana B."

Onna terlihat sekali ingin memiliki semuanya. Matanya berbinar-binar menatap punggung-punggung buku di rak. Mutiara pembelian Novia mungkin cukup. Aku baru memakai setengahnya.

Aku menunduk mencari kantung kain  berwarna merah jambu dalam tas selempang. Kemudian merogoh benda itu keluar. Uang jajanku masih cukup membeli yang kubutuhkan.

"Onna, aku—"

"Wow, Sahala." Onna berujar. Telapak tangan Onna penuh dengan batu mulia berwarna merah muda dengan ukuran yang cukup besar. "Apa semua ini untukku?"

Sahala mengganguk dan menunjuk rak. Itu artinya dia akan membayar semua ini untuk Onna. Aku mengedipkan mata. Rasanya tidak percaya.

"Aes." Onna menatapku sungkan. "Kau boleh ambil setengahnya, jika kau keberatan."

Aku menggeleng. "Ambil saja semuanya. Itu pemberian Sahala."

"Kau yakin? Wajahmu kesal."

"Aku kesal pada Sahala."

"Gara-gara aku?"

"Tidak, Onna. Hanya Sahala. Sekarang, mana penjaga tempat ini?"

"Dia di belakang kalian."

Aku membalikkan badan dan di belakang kami hanya ada kaktus hijau dalam pot kecil. Aku yakin, benda ini tidak ada saat kami melewatinya.

"Tuan Kaktus." Onna memanggil. "Aku membeli semua benda di sini. Bisa dikirim ke Sekolah Adat Palapa?"

Hening sejenak. Lalu Onna tersenyum lebar.

"Sungguh? Benarkah? Sahala, dia bilang kita bisa membeli semua yang ada di toko. Aes, kau boleh memilih tanaman dan buku yang kau suka. Bagaimana pun, ini uang Sahala, 'kan? Aes juga bisa memilikinya."

Aku menggeleng. Batu mulia itu milik Onna. Semua yang dibelikan milik Onna. Aku tidak mau mengambil apa pun. Kantong mutiara Novia kusimpan lagi dalam tas. Perasaanku terasa buruk.

"Onna. Apa kau berbicara dengan kaktus lewat batin?" Aku ingin mengalihkan pembicaraan.

"Ya. Aku bisa berkomunikasi dengan tumbuhan apa pun. Tuan Kaktus bilang, bunga yang tadi Aes tanyakan akan dikirim padamu."

"Aku tidak mau. Kau yang membeli semua ini."

"Sahala yang membelikanku dan bunga itu khusus untuk Aes. Aku hanya mendapatkan sampel biji-bijian dan buku tanaman. Semua bunga milik Aes, itu yang Tuan Kaktus katakan."

Aku bingung. Aku menatap Sahala. Dia ini sedang melakukan apa? Apa dia sedang menyombong padaku karena punya banyak batu mulia?

"Kau masih marah?"

Aku mengalihkan pandangan ke arah Onna yang sibuk memasukkan buku-buku ke dalam tas ransel hijau lumutnya.

"Aes. Lihat aku."

Kaktus dalam pot bergerak seolah melayang di atas tanah. Kemudian naik hingga ke rak paling atas biji-bijian. Aku memandang tumbuhan itu yang seolah sedang berbicara dengan Onna. Karena sahabatku itu sesekali mengganguk girang.

"Aes. Aku bisa memberimu lebih banyak batu mulia. Warna biru? Itu warna kesukaanmu, bukan?"

"Aku tidak cemburu soal batu itu. Aku masih marah padamu karena kau merusak gelang pemberianku. Sahala, kau sama sekali tidak menghargai kerja keras orang lain. Itu menyakitiku."

Onna menoleh dengan wajah terkejut. Dia menatapku dan Sahala silih berganti. "Kalian butuh ruang privasi? Aku akan tunggu di depan toko."

"Tidak."

"Aes. Aku tidak apa. Aku dan Tuan Kaktus akan menunggu. Wajahmu kusut sekali. Selesaikan masalah itu dan temui—"

"Luar biasa. Sebuah anugrah Debata Dunia Bawah Batak membeli semua barang di toko hijau kami. Akan kami kirimkan beberapa bonus untuk kalian."

Entah dari mana pria itu muncul. Dia tiba-tiba merangkul Sahala yang segera mendapat penolakan. Pria ini memiliki rambut putih panjang sebahu dengan kulit sepucat salju. Aku pikir, dia pramuniaga di toko parfum kemarin.

"Oh, Kakak di toko parfum." Onna menunjuk heran. "Anda bekerja di sini?"

"Tuan Kaktus memanggil." Dia tersenyum manis pada Onna. "Kau sangat menyukai hijau ya?"

Onna tidak menjawab. Dia buru-buru menghampiriku. Pria itu tertawa kecil.

"Aku tidak berniat menakutimu."

Hari ini, dia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna hijau dengan apron cokelat. Dia masih tersenyum lebar pada kami. Kemudian wajahnya tertutup oleh wajah Sahala yang tiba-tiba menarikku keluar.

"Belanja sudah selesai, 'kan? Ayo keluar."

Aku menatap tangan hangat Sahala yang menggenggam telapak tanganku. Namun, langkahku berhenti oleh suara Onna yang menjerit.

Kami berbalik dan menyaksikan rambut Onna yang mengeluarkan bunga Coe? Cloe? Apa pun itu. Bunga dengan kelopak hitam tajam transparan seperti kristal.

"Coelogyne."

Sahala berbisik. Genggaman tangannya makin erat. Aku meliriknya sekilas dan menatap Onna. "Apa yang terjadi?"

Onna langsung berjalan cepat menghampiriku. Bunga es itu terlihat berbahaya di rambutnya.

"Aku tidak tahu, pria itu mengejutkanku dan tahu-tahu begini." Dia menunjuk rambut hitamnya. Onna sama sekali tidak menyentuhnya.

"Itu bonus atas pembelian toko Tuan Kaktus. Sekarang pergilah menghabiskan permata di toko lain."

Tubuh kami bertiga tiba-tiba didorong oleh angin sampai ke luar toko. Pintu menutup keras di belakang.

"Pria aneh," gumam Onna. Dia masih mencoba berkaca lewat pantulan kaca jendela. "Bunga ini harus disingkirkan."

"Kau yang membuatnya?" tanyaku

"Ya, aku bisa mengeluarkan tanaman apa pun yang aku tahu dari tubuhku. Reaksi spontan karena terkejut memunculkan itu. Tapi Coelogyne bukan tanaman hijau. Dia tumbuhan bersalju. Tuan Kaktus memberi sedikit sihir itu di kepalaku."

"Itu artinya, bunga itu akan hilang jika kita kembali ke Sekolah Adat."

"Semoga saja."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top