12
Napasku terengah-engah. Matahari belum terbit. Tetapi, Sahala dan Hansamu sudah merencanakan latihan gabungan. Mata Naga Padoha ditutup sehelai kain, sementara aku harus mengontrol arah terbang dengan mengikuti Borneo dari belakang berbekal cahaya bintang pagi.
Hansamu sebelumnya telah memberikan pelajaran singkat mengenai teknik mengendalikan naga dengan tangan.
Aku mengerakkan kedua tanduk Naga Padoha dengan gerakan lembut dalam mengambil manuver. Dia sempat menolak secara tegas, ketika aku menawari tali kekang. Kendati demikian, Naga Padoha memahami gerakan tanganku walau kedua matanya tertutup.
Aku belajar melakukan kontak batin dengan mengarahkan Naga Padoha melayang dan mengepakkan sayap besarnya dengan gerakan terarah. Aku sangat yakin, wajahku pasti memerah semu membiarkan Naga Padoha mengintip isi hatiku.
Sisik Borneo sesekali berkilau dalam kegelapan. Itu bagai kompas, kami terbang di sekitar lingkungan Sekolah Adat sampai langit malam perlahan-lahan memudar.
Sinar matahari pertama muncul, membelah cakrawala dengan garis-garis keemasan yang
mengusir sisa-sisa malam.
Seluruh pemandangan di bawah, yang sebelumnya tertutup dalam kegelapan, kini tampak terhampar selimut emas pada pucuk-pucuk pepohonan.
Kurasakan, Naga Padoha merespon keindahan pagi ini dengan terbang lebih lembut. Getaran tersebut sampai di bawah telapak tanganku yang memegang dua tanduk kecilnya.
Aku menarik napas dalam-dalam, mengisi paru-paru dengan udara pagi yang segar. Rasanya bertambah semangat.
"Indah bukan?" kata Hansamu dari sisiku. Dia tersenyum lebar. Tapi ada binar kesedihan. "Matahari pagi selalu indah. Biasanya naga-naga di Aestival—"
"Aes harus istirahat. Jam sembilan pagi, Samsara akan berangkat ke Carstensz."
"Ah, ya." Hansamu mengganguk. Terlihat sekali, kalau Naga Padoha mengalihkan pembicaraan.
Sejak masalah kemarin. Aku belum sempat membahas Aestival. Tidak, tampaknya aku seolah melupakannya begitu saja. Begitu pula Yang Terlupakan.
...
Halaman rumah adat penuh. Jumlah Samsara yang hadir jauh lebih banyak dari biasanya. Banyak wajah-wajah asing yang tidak kukenal. Tentu saja sebagian dari mereka menampakkan diri. Kunjungan ke Carstensz itu adalah kesempatan yang tidak boleh di lewatkan.
Semua orang sudah siap dengan pakaian musim dingin. Masing-masing membawa satu koper serbaguna yang bisa memuat banyak barang. Matahari sudah di atas kepala, tetapi suhu terasa ganjil. Angin berhembus dingin.
Novia mengenakan outif serba merah muda. Mulai dari swester tebal hingga sepatu tumitnya yang tinggi sampai ke betis. Dia membagikan aku, Onna dan Nagi gelang mutiara merah muda sebagai perayaan hari ini.
"Pasti seru melihat pohon-pohon musim dingin di Carstensz. Aku membawa banyak buku jurnal dan pensil warna." Onna berkata riang. "Aku juga membawa tas kebun untuk oleh-oleh. Pokoknya, aku harus mengumpulkan semua tanaman eksotis di sana."
"Dan aku akan mendukung finasialmu." Novia malah menarik sekantung pouch merah jambu dari tas tangannya ke tangan Onna. "Mutiara ini bisa jadi nilai tukar."
Mulut Onna terbuka lebar. Dia menatap Novia tidak percaya. Aku pun menganga melihat Nagi mendapat satu kantung yang sama dan tersentak saat Novia menarik tanganku menerima benda tersebut.
"Soal uang. Hubungi Novia." Dia berlagak manis dengan menghempaskan rambutnya yang tergerai oleh pita merah jambu.
"Sayang Novia banyak-banyak." Onna menghambur peluk ke Novia. Diikuti Nagi dan aku terakhir. Kami berempat saling memeluk. Padahal ini bukan acara perpisahan. Anak-anak lain menatap risih pada kami. Tapi aku tidak peduli.
"Makasih, Novia," kataku tulus.
"Iya, makasih Nov. Aku suka hadiah ini." Nagi turut menimpali. Matanya berbinar cerah. Dia memasukkan benda tersebut ke tas selempang hitam di dada. Kami bertukar senyum satu sama lain.
Kemudian, Nusa tahu-tahu berdiri di depan teras rumah adat. Issa seperti biasa berdiri di sisinya. Bersikap selayaknya ajudan. Dia sedikit tersenyum tipis. Seolah menyembunyikan sesuatu yang menarik bagi kami.
"Roh Carstensz mengizinkan Samsara berkunjung. Diwangka terpaksa berjaga di Rumah Adat. Tapi, aku ingin tiap orang membawa satu hadiah dari Carstensz untuk saudari kita di sini—"
"Akan kubeli banyak oleh-oleh." Novia menyela antusias. Dia meraih lenganku dan memeluknya. "Carstensz tempat paling romantis. Ini ketiga kalinya aku ke sana. Oh, tenang saja. Aku akan mengajak kalian ke tempat yang luar biasa."
Sebelum aku membuka mulut. Nagi lebih dulu bersuara. "Seberapa tua dirimu?"
Senyum semangat Novia memudar. Alih-alih mendengar arahan Nusa dan Issa, fokusku teralihkan.
"Jauh lebih tua dari yang kau pikirkan, Gi. Semakin kau menuntutku bercerita. Semakin sedikit loyalitasku padamu."
Nagi buru-buru memberi gerakan mengunci bibir. Onna menatapku dengan lirikan mata yang mengandung kode. Dan kubalas lirikan ke arah rumah adat. Sialnya, arahan selesai. Barisan membubarkan diri menuju halte Palapa.
Halte itu masih sama dengan terakhir kalinya aku menyelinap malam-malam bersama Hansamu dan Sahala. Dedaunan hijau menjadi atap, di kelilingi akar gantung yang berpendar hijau kekuningan. Tidak ada kunang-kunang. Tetap saja indah.
Rel kereta api tiba-tiba membentuk di depan halte yang buntu, saling terhubung menjadi jejak yang panjang. Argo Senayan seolah membelah udara sembari meluncur dengan lembut. Kemudian berhenti sempurna dengan suara khas yang merdu.
Tanpa disuruh, rombongan mulai memasuki gerbong dengan suara riuh. Dekapan Novia di lenganku semakin menguat. Onna dan Nagi berjalan di depan kami. Begitu masuk ke dalam gerbong wangi permen karet menyeruak.
Banyak kompartemen di sepanjang lorong. Tiap pintu sudah memiliki palang merah yang berarti sudah terisi. Kami mengambil jalur kiri sambil terus berjalan mencari pintu dengan palang hijau. Sampai akhirnya, Nagi membuka satu pintu kompartemen dan Onna melambai agar kami masuk.
Ruangan kompartemen seolah menyambut liburan kami. Langit-langitnya di hiasi tirai biru yang berpendar bila bergoyang.
Ada sofa empuk berwarna biru tua yang dikelilingi oleh bantal-bantal empuk dan selimut berbulu putih. Masing-masing ranjang lipat berada di dinding.
Di sudut ruangan ada satu pintu kecil dan dapur mini yang berisi cemilan ringan dan beberapa air mineral.
"Sempurna," ujar Novia dengan duduk di dekat jendela. Masih ada sebagian Samsara yang belum masuk.
Nagi keluar dari dapur mini dengan tangan membawa baki penuh ice cream dengan bungkus warna-warni polos tanpa motif dan tulisan pendek yang aku yakini, ini bukan sekedar ice cream biasa. Setiap pembungkus punya peringatan.
"Rasa salju panggang," ucap Onna dengan plastik ice cream merah.
"Rasa kebenaran. Berhati-hati pada kebenaran yang disampaikan?" kata Novia setengah percaya. "Baiklah."
Kutatap, bagaimana Novia membuka plastik pembungkusnya dan mengigit sepotong. Ice cream itu berwarna putih kebiruan. Aku mengambil satu yang berwarna kuning. "Rasa air mata duyung galau."
Novia seketika terbatuk-batuk. Dia bergerak cepat menyambar benda itu dari tanganku. Membuka bungkusnya dan memakan ice cream tersebut secepat yang ia bisa.
"Kau serius?" tanya Nagi. Gerbong mulai bergerak. Penutup jendela kompartemen mendadak menutupi pemandangan dari luar.
"Hanya orang gila yang menjual air mata ini pada Ilaga."
"Ilaga? Siapa Ilaga?" Onna penasaran. Dia mengembalikan ice cream ke tempatnya semula.
"Penguasa bisnis Carstensz. Kau akan menemukan hampir semua produk ada di sana." Sepertinya efek ice cream yang Novia makan mulai bekerja.
"Pria atau wanita?" Nagi mendesak.
"Demigod atau Debata?" timpal Onna
"Aku tidak tahu. Tidak ada yang tahu sosok asli Ilaga. Entah wanita atau pria. Yang pasti dia roh salju Carstensz. Desas desus yang kutahu cuma itu. Dia penguasa industri Carstensz."
Untuk beberapa saat kami terdiam dengan saling menatap satu sama lain.
"Dia pasti sangat kaya," celutuk Nagi. Aku punya firasat buruk soal kalimat selanjutnya. "Dia punya banyak uang dan bebas bersenang-senang."
"Jangan membangunkan penguasa Amungsa. Roh Nemangkawi akan menghakimimu."
Badanku seketika merinding mendengar Novia mengucapkan itu. "Kau tahu tentang peringatan tersebut?"
"Penduduk di sana sering mengucapkannya. Barangkali Ilaga adalah bagian dari mitos tersebut."
"Tetapi, seseorang bilang. Kita tidak bisa mencuri dongeng dari sana."
"Informasi umum seperti ini tidak termaksud, Aes. Kecuali kau membahas sesuatu yang sensitif. Sihir Carstensz akan membelenggu lidahmu."
"Memangnya apa sih yang mereka sembunyikan?" Onna menyela dengan tatapan penasaran pada kami.
Sesaat, semua orang menatap Novia. Hening menyelimuti kami sesaat. Dengan menarik napas dalam-dalam, Novia berbicara setengah berbisik, "Jangan membangunkan penguasa Amungsa. Roh Nemangkawi akan menghakimimu. Itulah yang terjadi."
Aku tidak mengerti tetapi aku seolah mengerti. Aneh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top