11

Aku marah. Aku tersinggung pada semua nasehat yang kelewat sok tahu padaku. Aku sangat yakin, sudah melakukan yang terbaik. Aku kehilangan nafsu makan. Aku memilih tidak berbicara sama sekali saat berjalan pulang bersama Nagi.

Kami menemui Onna yang sibuk mengurus kuda-kuda sembrani yang terluka oleh ledakan sihir tanpa sengaja. Nagi menggeleng pada Onna, seolah memberi kabar atas suasana hatiku yang buruk.

Di depan kamar, ada sebuah paket berisi surat. Aku sedikit girang karena di dalamnya ada jaket dan jubah berwarna biru tua dan surat ayah.

Cuaca akhir-akhir ini kurang bagus. Sebaiknya, pakaian hangatmu bertambah. Jika masih kurang, ayah akan mengirim yang lain.

Apa latihan menjadi penunggang naga berjalan lancar? Aes, dari awal ayah sudah ingatkan. Sahala naksir padamu sejak awal tahun ajaran baru.

Kondisi kalian sekarang membuat ayah bertambah cemas. Sahala menyukai putri ayah. Dia Dewa Dunia Bawah. Aes, ayah tahu kau masih terlalu muda memahami cinta monyet.

Tetapi, kau harus tegas pada perasaanmu. Debata hanya sekali dalam mencintai. Ketika mereka patah hati, wujud fana mereka menjadi rapuh.

Kalau kau menolak Sahala. Masih ada kesempatan sekarang. Katakan, kau masih terlalu muda. Hati-hati dengan mantra Nagas yang akan Sahala ajari. Mantra itu mengikat jiwa kalian berdua.

Sahala memilih Aes. Dia Debata yang mau menurunkan egonya sebagai hewan tunggangan. Ayah mungkin tidak terlalu menyukainya. Tetapi, bila Aes bersama Sahala. Ayah tidak akan cemas.

Tetap di sekolah adat. Jangan mau diajak Sahala berkeliaran.

Ayah tetaplah ayah. Perasaanku sedikit hangat. Aku segera membersihkan diri dan berbaring. Kemudian, membaca surat ayah berulang kali.

Aku sudah mempelajari mantra Nagas dan menimbulkan sedikit masalah. Masalah perasaan, aku tidak ingin membahasnya.

Mendadak, aku teringat ujaran Nagi dan yang lain sebelumnya. Mengingatnya kembali terasa menusuk-nusuk dadaku. Rasanya sesak.

Entah aku harus menerima semua masukan-masukan tersebut atau tidak. Aku perlu waktu untuk memikirkan itu. Aku menyimpan surat ayah di bawah bantal. Kemudian, melanjutkan membaca Kiat-Kiat Menjinakkan Naga Liar Nusantara.

Selain membahas naga Mules. Ada satu bab yang unik. Judulnya tentang naga es nusantara. Tentu saja, negeri ini tropis. Tidak ada naga es yang habitat alamnya daerah bersalju. Kecuali di pegunungan Carstensz

Informasi soal naga Carstensz sangatlah sedikit. Seingatku, desas-desus ini sudah sering dibicarakan di antara buku-buku naga. Beberapa buku biasanya memuat informasi berulang dari buku-buku sebelumnya.

... Carstensz menyimpan sihir mereka sendiri. Tidak ada seorang pun yang bisa membawa keluar kisah-kisah mereka. Udaranya berbisik-bisik di setiap penjuru. Terlampau mustahil mencuri dongeng.

Namun, sepenggal kalimat peringatan
Roh- roh salju Carstensz bisa memberikan kita gambaran tertentu.

Jangan membangunkan penguasa Amungsa. Roh Nemangkawi akan menghakimimu...

...

Aku terbangun saat matahari mulai terbenam. Suhu udara terasa lebih dingin dari biasanya. Aku bergegas mencuci wajah dan berpakaian rapi kemudian keluar kamar.

Tanpa janjian, Nagi juga keluar dari kamarnya yang berada dua pintu dari depan kamarku. Dia mengenakan baju hitam berajut yang kerahnya tinggi pada leher, celana hijau lumut panjang dan rambutnya tergerai setengah basah.

"Dingin," ujar Nagi sambil menghampiriku. "Kau baik-baik saja?"

"Ya," jawabku sembari kami berjalan turun bersama. "Lihat Onna dan Novia?"

"Mereka sibuk. Berhati-hati dengan Onna. Dia kelewat girang dengan pekerjaannya. Dia terus berbicara tentang pohon."

"Pohon?" ulangku, "dia menghidupkan sebuah pohon tadi pagi. Pohonnya hidup."

"Hidup." Nagi hanya mengulang kalimat itu dengan datar. Di ruang bawah, hampir semua orang menggunakan baju hangat. Tebakan ayah tampaknya benar. Cuaca mungkin akan masuk musim penghujan.

Nagi mengajakku duduk di salah satu meja baca. Kami memperhatikan kerumunan yang sedang bermain ular tangga. Tetapi ada yang beda, ular tangga itu hidup. Dia memakan pion warna merah dari mulutnya dan mengeluarkannya sembari menurun ke petak terbawah.

Lalu ular itu bersendawa dan mendesis menatap Nagi.

"Dasar ular jelek!" umpat Nagi. Ular itu mendadak terbakar hangus. Kemudian muncul kembali seperti sedia kala.

"Adoh, Nagi. Ko bikin ular kita mati saja. Ko jangan tersinggung begitu kah? Ini kan hanya permainan? Eh, maksudku. Nagi, kamu jangan serius gitu." Seorang dari mereka buru-buru meralat ucapannya. Padahal, aku senang mendengarnya berbicara logat papua.

Yang lain mengganguk setuju. Sebelum ledakan amarah Nagi terjadi. Aku menyeretnya menjauh sampai ke teras asrama. Aku mengajaknya duduk di kursi rotan.

"Bagaimana latihan menjadi Kesatria Palapa?" kataku berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Menyenangkan. Aku suka latihan fisiknya, Aes. Otot-ototku terasa kuat. Kau harus ikut latihan kita. Cocok, buat dirimu yang jadi penunggang naga. Roan mengajarkanku banyak hal."

"Kalian sangat akrab."

Wajah Nagi mendadak memerah.

"Dia pacarku. Kau tahu? Aku yang lebih dulu mengatakan perasaanku padanya."

"Eh?" Aku tidak bermaksud mengarahkan pembicaraan ke arah seperti ini. Sesuatu tentang cinta. Aku tidak nyaman.

"Aes, Novia dan Onna tahu kok. Aku sendiri yang memberitahu mereka. Kau orang terakhir yang tahu. Roan baik, aku suka. Dia selalu memahamiku sebelum aku mengatakannya. Bagaimana denganmu?"

"Aku?" Aku malah menunjuk diriku sendiri. "Tidak. Aku mau menjadi penunggang naga."

"Ya ampun." Nagi malah memutar bola mata malas padaku. "Semua orang tahu, Sahala menyukaimu. Bagaimana denganmu? Apa yang kau sukai dari Sahala?"

"Dia nagaku. Bukan cowokku."

"Aku pikir kau menyukainya."

"Sebagai naga."

"Jadi kau menyukai Hansamu?"

"Demi para Naga! Hansamu sahabatku."

"Ck. Kau lebih polos dari yang kuduga."

Aku tersinggung dengan kalimat itu. "Kita masih remaja. Ayahku bilang, jangan fokus ke cinta monyet. Tapi cita-cita."

"Justru karena kau remaja. Kau pasti puber."

Aku diam saja. Kebingungan harus menjawab apa. Kualihkan tatapan ke arah asrama sebelah. Anak laki-laki tampak lebih asyik duduk sembari berkelakar. Aku tidak melihat Sahala. Tetapi, Nemma tampak berbicara serius pada beberapa orang termaksud Rakata.

"Aes." Aku mengerjab, tersentak mendengar suara Sahala dalam kepala. "Temui aku sekarang di perpustakaan."

"Aes. Kau kenapa?" Nagi menatapku bingung, aku tiba-tiba berdiri tanpa sadar.

"Sahala memanggilku."

"Menarik. Pergilah, aku akan di sini sambil menunggu yang lain makan malam. Apa kau akan bergabung? Nemma dan Kori punya kejutan untuk kemenangan hari ini."

"Aku tidak janji. Tapi, aku akan datang bersama Sahala."

...

Lampu-lampu di rumah adat telah menyala. Aku tiba di pepustakaan seperti deja vu. Sahala telah duduk bersama Hansamu dan Gali. Sudah terlalu malam, jika ketiga orang ini ingin aku belajar.

"Met sore, Aes." Gali menyapaku ramah. Dia mengenakan hoodie abu-abu dengan tudung menutup sebagian rambutnya. "Mari duduk bersama kami."

"Aes," ujar Hansamu saat aku duduk di sisi Sahala. Tidak ada buku yang mereka letakkan di atas meja.

"Apa kalian ingin membahas tentang latih tanding tadi siang?" kataku

"Sebagian besar dugaanmu tepat. Tapi, Aes ... aku ingin melihat pergelangan tanganmu."

Aku mengulurkan tangan kananku. Di sana ada tiga gelang manik-manik batu berwarna biru, merah dan hitam. Gali hanya melihat saja tanpa menyentuh.

"Ada sihir Sahala di dalam benda tersebut. Cukup untuk dirimu melafalkan mantra saat bertarung. Sayangnya, kau masih setengah ragu menggunakan kekuatan penunggang naga."

Lagi-lagi bicara tentang ini. Aku menahan diri tidak berkomentar apa pun. Hansamu dan Sahala lebih banyak diam.

"Jika Aes tidak bisa membuka diri pada Sahala. Kemungkinan besar hubungan ini tidak bertahan."

Aku berpaling menatap Hansamu. Dia  mengeluarkan sesuatu dari bawah meja dan meletakkannya di atas. Borneo sedikit terbatuk dengan mengeluarkan napas apinya.

"Borneo akan tinggal beberapa waktu dengan Aes. Dia akan menjadi guru tambahan."

"Tunggu. Aku tidak paham, bisa jelaskan?" Kutatap semua orang satu persatu. Sahala hanya melirik Gali dan Gali malah melirik Hansamu.

"Aes, kau mungkin sudah mendengar nasehat tentang apa yang terjadi dari sesi pertandingan ini. Sahala mungkin mengajarkanmu mantra Nagas, tetapi kau tidak sepenuhnya mempercayainya. Apa kau sudah membuat lawan dari mantra yang kau ucapkan pada Diwangka? Jika belum, belajarlah bersama Borneo. Kau beruntung, Hansamu mau melepaskan Borneo."

"Aku menolak."

"Apa?" balas Gali.

"Aku menolak membawa Borneo," kataku sembari menatap Hansamu. "Kau pernah terluka waktu Borneo diculik Homang. Aku tidak akan melakukan ini. Borneo tidak akan ikut denganku."

"Jadi, kau percaya padaku?" Kalimat Sahala membuatku mengalihkan pandangan padanya.

"Beri aku waktu."

Dia hanya berkedip tanpa membalas permohonanku. Tangannya sibuk menggelitik dagu Borneo.

"Aku bisa menjamin latihan fisikmu. Tetapi kombinasi pertarungan kita masih kurang solid. Setelah liburan di
Carstensz, Hansamu sepakat melakukan latihan gabungan."

"Aku tidak keberatan tentang itu. Tapi, memangnya Nusa mengizinkan kita keluar dari Sekolah Adat? Ingat, kita bertiga dihukum."

"Soal itu aku sudah mengurusnya." Gali menyela dengan semangat. "Besok pagi, seluruh Samsara akan berlibur tiga hari dua malam. Tanpa terkecuali. Aku yang akan menjadi penanggung jawab kalian."







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top