10

Tanah di bawah kaki kami bergetar dan batu-batu kecil bergeser dari tempatnya. Suri memusatkan perhatian di bawah kaki Diwangka, memanggil kekuatan bumi dari celah tanah yang retak.

Keseimbangan Diwangka dipertaruhkan. Getaran tersebut membuatnya kesulitan berdiri karena tanah di sekitar mulai meluruh menjadi lubang jebakan. Tidak hanya itu, Suri membuat tanah mengeras menjadi kepalan tangan di udara dan berusaha memerangkap atau mencekik.

Sebaliknya, gadis itu tidak gentar. Dia
memberi perlawanan dengan keris. Tetapi, benda itu seketika patah menjadi dua, tatkala dipakai menebas batu yang ingin mengurung. Bertepatan dengan pijakan di bawah kaki si gadis meluruh.

Sejenak tidak ada yang terjadi. Lalu, kami dikejutkan oleh dirinya yang melesat keluar dengan tangan dan kaki yang terkepal bebatuan.

Secara spontan, aku mengarahkan tangan sembari bergeser ke depan Suri dengan melafalkan Zazazas Aesa.

Tanah yang terkepal oleh balutan tanah keras hancur berkeping-keping di depan wajahku. Serpihannya membutakan mata dan aku merasakan sesuatu menumbuk ulu hatiku. Aku mengerang kesakitan sampai roboh ke bawah.

"Sebut namamu!" Suri menuntut dengan menenggelamkan tubuh gadis Diwangka dalam baju tempur yang tersusun dari tanah yang mengeras.

"A-Airin."

"Nah-"

"Dewi Gempa Bumi dari Sulawesi." Airin menyela dengan seringai puas.

Sebelum Suri mengangkat tanah baru. Petasan tiba-tiba meledak di mana-mana. Dari kesakitan mengelus perut, aku harus merayap menghindari petasan yang meledak ke dalam semak-semak.

Selain petasan, gemirik semak-semak terdengar oleh langkah kaki yang cukup banyak. Tangan kiriku ditarik seseorang, begitupula tangan kananku.

"Kami duluan!" Dua suara serempak menyuarakan protes. Issa di sebelah kiri dan Rakata di sebelah kanan.

Masing-masing tim saling menahan satu sama lain. Tidak heran, mereka bersembunyi sampai tiba waktu yang tepat untuk menyerang dan membantu.

Suri di tahan tiga anak perempuan dari Diwangka, sedangkan Airin ditahan Nagi. Musamus dibebaskan, tetapi dia di kelilingi perempuan dan teman Airin sedang mendapat pertolongan pertama oleh beberapa penyembuh. Anehnya, wajah mereka pucat.

"Rakata, aku sedetik lebih cepat darimu. Akui saja, kalian kalah lagi bulan ini." Issa menarikku mendekat, lenganku serasa mau patah.

Sebelum, Rakata membuka mulut dan membalas. Aku sudah lebih dulu berujar, "Berhenti menarik! Ketiakku sakit."

"Kau dengar itu, Issa? Berhenti menarik dan kau bisa merasakannya, bukan? Aku yang lebih dulu menyentuhmu daripada dukun itu."

Mata Rakata menuntut dan genggaman tangannya makin menguat. Dia mengancam, tetapi aku tidak tahu apa-apa.

"Kalian menarikku bersamaan," kataku tegas.

"Tidak, Aes. Jangan berbohong. Akui saja Diwangka menang. Rakata-"

"Aku bersama mereka sejak tadi." Rakata memotong kalimat Issa. "Dan kau baru tiba setelah prajuritmu mengirim pesan."

Issa menggeram tidak suka. Dia malah menarik bendera hitam dari saku celananya dan mengibarkan di depan wajahku.

"Kami sudah memiliki Naga Padoha dan kau belum memiliki Borneo-"

"Borneo di sini."

Mata Issa terperangah pada kehadiran Nemma yang membawa Borneo tidur di atas kepalanya. Itu, pemandangan yang aneh. Lenganku tiba-tiba bebas dari belenggu Issa dan dia maju mendekati Nemma.

"Tidak biasanya," sindir Issa.

Nemma hanya mengangkat bahu dengan tawa kecil. "Kau bilang siapa pun bisa bergabung. Lagipula, kalian menambah anggota yang jarang bergabung."

Issa tidak mengatakan apa-apa. Tetapi, aku tahu. Dia sedang menyindir Hansamu. Cara dia mendapatkan Borneo membuatku penasaran. Ikatan Hansamu sebagai penunggang sangat kuat. Borneo tidak mungkin mau ikut orang lain. Kecuali ....

Bisunya Issa menvalidasi bahwa Samsara bulan ini menang. Alih-alih ikut bersorak. Penyembuh yang mengurus Airin dan rekannya terus memasang wajah cemas padaku.

Issa menghampiri mereka, seseorang membisikkan sesuatu yang membuat bahu pemuda itu menegang.

"Rakata!" Dia memanggil keras. Kemudian menunjuk ke arahku. "Ide gila apa lagi yang kalian tambahkan dalam permainan. Sihir boleh digunakan-"

"Tapi, aku tidak membuat nyawa seseorang terancam." Jantungku berdebar tidak enak.

"Sihir Airin dan Arya menghilang. Sesuatu menghapus energi itu secara total."

Aku kehilangan kata-kata. Kata Hah? Apa? Terdengar saling bersahut-sahutan di sekeliling. Kegembiraan Samsara lenyap. Anak-anak lain berkumpul mengelilingi Arya dan Airin. Suri dan Musamus menatapku heran. Nagi malah tiba-tiba menarikku menjauh.

"Bagaimana kau melakukannya? Sihir terlarang tidak boleh dilakukan oleh anak di bawah umur."

"Aku tidak melakukan apa-apa."

"Kau mengucapkan mantra Nagas." Pendapat Suri membuatku terdiam.

Nagi masih mengguncang bahuku. Masih menuntut sebelum Nemma mendekat. "Mantra Nagas yang mana?"

"Aku tidak tahu, Sahala yang memberitahu."

Saat Nemma mendekat. Nagi dan yang lainnya bergerak mundur. Teman-teman lain mulai berdatangan dengan mengendarai kuda sembrani. Aku melihat Hansamu dan Sahala bersama Roan. Menunggang kuda sembrani bersama. Suasana makin terasa tegang.

Begitu mataku bertemu Sahala. Aku hanya bisa menatapnya. Dan tampaknya dia memahami situasi. Ujung bibirnya sedikit berkedut. Aku yakin melihatnya.

"Mantra Nagas," gumam Nemma padaku. Bahkan dia tidak repot-repot menoleh atas kedatangan Hansamu dan Sahala.

Sahala pasti mengatakan sesuatu lewat batin. Karena binar mata Nemma berubah mencekam padaku. Sedetik kemudian, kepalan tangan Nemma bergerak mengincar wajah Sahala yang berada di belakangnya.

Adegan itu membuat sebagian orang memekik dan menahan napas. Tangan Nemma ditahan oleh Sahala tepat di depan wajahnya. Tidak ada yang mereka ucapkan. Tetapi, Nemma kembali memberikan serangan dengan tangan lainnya.

Gerakan tersebut menciptakan embusan angin yang kuat. Sahala terpaksa melompat mundur. Tetapi, tendangan udara Nemma dengan cepat mendarat di dada Sahala hingga ia terdorong jauh.

Aku pun berlari menghampiri Sahala. Dia sama sekali tidak membalas serangan Nemma dan aku tahu, Sahala menyembunyikan sesuatu.

"Apa mantra itu berbahaya?" tanyaku sambil mengulurkan tangan. Sahala menerimanya dan aku menariknya berdiri.

"Ya."

"Apa?"

"Jangan panik. Itu-"

"Jangan dengarkan dia." Suara Nemma memotong.

Semua orang memandang kami. Aku memberanikan diri melirik Airin dan Arya. Mereka baik-baik saja, tidak ada yang luka atau lecet. Tetapi tatapan matanya mengandung kesedihan, kekecewaan dan amarah yang menjadi satu.

"Arya dan Airin kehilangan sihir mereka sebagai penyerang." Nemma menunjuk keduanya. "Mantra Nagas melenyapkannya. Mantra yang kau ucapkan adalah mantra yang dibuat Sahala sebagai naga-mu dan jiwamu."

Entah bagaimana ekspresi wajahku. Jantungku bertalu-talu makin keras seolah ingin melarikan diri. Teman-teman menatapku tidak percaya. Takut, kecewa dan marah. Tidak seorang pun bersuara. Tetapi, tatapan mata mereka telah mewakili.

Situasi ini menegangkan. Lidahku keluh, aku bahkan terlalu takut bertanya kondisi keduanya. Ketika Airin dan Arya berdiri dengan tubuh sigap. Mata mereka menuntut jawaban padaku.

"Ini masalah serius." Issa akhirnya buka suara. Cukup menurunkan atensi ketegangan. "Mantra penangkal?" Dia menatap Sahala, alih-alih menatapku.

"Sejujurnya, aku hanya ingin mencoba apa mantra itu berefek." Tanpa sadar, aku menoleh menatap Sahala yang berbicara di kepalaku.

"Cara mengembalikannya hanya satu, Aes. Kau harus menciptakan mantra pembatal itu. Butuh waktu tapi, itu satu-satunya cara."

Aku hanya bisa meneruskan kalimat Sahala pada semua orang. Setidaknya ada harapan. Wajah-wajah cemas berubah lega. Gelang hitam perkemahan sedikit terasa panas. Simbolis, bahwa aku dan Sahala menambah masalah.

Issa membimbing Arya dan Airin kembali ke Diwangka. Yang lain bubar bersama kuda sembrani. Menyisakan hanya anak-anak Samsara. Kami saling diam, aku pun terlalu takut buka suara.

"Hebat! Itu luar biasa, Aes! Kau membuat Diwangka panik setengah mati."

Roan berseru senang, diikuti sorakan teman-teman yang lain. Rakata tersenyum puas padaku. Nagi malah memelukku dengan kuat. "Aku takut, Issa akan menghukum kita semua."

"Ugh? Nagi?"

Dia melepaskanku. "Nemma bermain suling dari jauh. Melodinya mampu memancing Borneo meninggalkan Hansamu."

Hansamu masih bersama kami. Dia berdiri bersama Nemma. Berbincang sebentar dengan sesekali melirikku sambil tersenyum.

"Semudah itukah? Aku pikir, aku berbuat kesalahan."

"Hey!" Suri tiba-tiba menepuk pundakku dari belakang. "Bulan lalu, Diwangka membuat sebagian hutan menjadi sakit, menarik roh-roh bumi yang nakal untuk mengacau dan mereka melakukan serangan uji coba pada seseorang yang diketahui adalah Debata. Mantra itu pukulan telak. Tapi, biarkan saja mereka seperti itu beberapa waktu. Setidaknya pelajaran untuk Diwangka. Nusa, mengadakan ini sebagai latih tanding mengukur kekuatan Diwangka—"

"Kasarnya, Samsara hanya area kelinci percobaan. Penyihir-penyihir itu tidak bisa berkembang, jika berlatih dengan sesamanya." Musamus menambahkan dengan wajah malas. Kemudian, bergabung bersama penunggang sembrani.

"Kekacauan dan kejutan adalah hal biasa. Namun, tidak seorang pun berpikir menghilangkan kemampuan seorang Yava. Itu kejutan bulan ini." Suri mengepalkan tangannya sambil menumbuk lenganku. Lalu, berpamitan pergi bersama Rakata yang berinisiatif mengusulkan sesuatu untuk Issa bulan depan bersama yang lain.

Hansamu pun menemuiku. Borneo telah kembali padanya. Hewan itu tertidur pulas.

"Saat Sahala bersama Diwangka. Kami sedikit berdiskusi tentang kemampuanmu. Aes, kau masih setengah ragu dalam bertindak."

Aku terdiam, mendengar ceramah Hansamu. Dia ada benarnya.

"Aku tahu."

"Kau masih sungkan dan setengah ketergantungan pada Sahala, Aes. Meninjau pengalaman kalian bersama. Kau belum terbuka, seperti Sahala terbuka padamu."

"Aku tidak paham."

"Maksud Hansamu. Aes, kau harus membiarkan perasaanmu dan Sahala saling terbuka. Aku bisa menangkap maksud Hansamu. Kau hanya menganggap Sahala sebatas nagamu. Bukan bagian jiwamu. Aku bukan penunggang naga. Tapi, kurasa itu maksudmu, 'kan Hansamu?"

Wajahku memanas. Kalimat Nagi agak sedikit menusuk. Aku sedikit tersinggung. Aku mengalihkan tatapan ke arah Sahala. Menimbang-nimbang, dia mungkin akan mengatakan sesuatu yang lain.

"Aes. Aku tidak tahu perasaanmu," ucap Nagi, "tapi, setidaknya kau bisa menganggap Sahala saudara laki-lakimu. Kau berani, tapi masih setengah ragu. Maaf, jika aku ikut campur."

"Penunggang naga dan sang naga." Kali ini, Nemma ikut berpendapat. Aku masih diam. "Kau terlalu sombong, Aes Ongirwalu. Sejujurnya, aku tidak setuju bahwa nagamu adalah Naga Padoha. Berpikir naif atas ego sendiri. Sekarang, saat Naga Padoha memilihmu. Kau tidak sepenuhnya memperlakukannya dengan baik. Jika kau tidak percaya pada nagamu, sebaiknya jadilah pengurus kandang naga."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top