9

"Itu tidak mungkin, Aes," ujar Hansamu.  "Sahala bukan Debata Naga."

"Dia mencurigakan." Aku tetap menuduh. "Dia seolah ingin menjauhkan semua informasi mengenai naga-naga nusantara."

Aku tahu, itu tidak cukup bukti. Firasatku mengatakan, bahwa Sahala memang menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang berkaitan dengan para naga.

Hansamu masih menggeleng padaku. Lalu memberi buku yang tadi direbut Sahala. "Kurasa kau harus membaca ini. Saat siang, kita akan menuju Medan."

Aku menerimanya sambil mengganguk. Hansamu berpaling pada Sahala dan menarik tangannya. Sayang, si Tinggi menolak. Tetapi, Hansamu bersikeras dia harus ikut. Akhirnya, Sahala mau ikut walau terpaksa. Tatapan matanya menyiratkan sesuatu. Itu mencurigakan.

Memastikan Sahala tidak akan menggangu lagi. Aku memutuskan untuk duduk bersila di dekat rak. Sejujurnya, aku sudah cukup sering membaca tentang Naga Padoha. Namun, beberapa penulis punya sudut pandang berbeda dari berbagai hal yang mereka ketahui tentang Naga Padoha.

Aku membaca poin-poin penting yang kurasa akan dibutuhkan. Dari segala informasi tentang Naga Padoha. Tidak ada satupun yang bisa mendeskripsikan lokasi pasti tempat Naga Padoha disegel.

Aku menghabiskan beberapa buku membaca sampai Hansamu kembali seorang diri. Aku tidak ingin bertanya di mana Sahala. Kami berdua berjalan dalam diam dan berhenti tepat di depan pohon perpustakaan.

"Sementara kamu membaca tentang Naga Padoha. Aku dan Sahala mencari-cari petunjuk mengenai Debata Naga dan cara membuat Aestival kembali terbuka."

Aku tidak berkomentar apa-apa. Hanya diam, menatap Hansamu yang memandang lurus ke arah pohon.

"Penerimaan tahun ini akan sulit, Aes," ujar Hansamu dalam keheningan panjang. "Sejauh ini, sesuatu sedang mengejarku dan Borneo sejak kami melarikan diri dari Aestival. Aku sudah membaca beberapa buku mengenai naga di Kalimantan. Aku khawatir, Borneo tidak akan sadar dengan cepat. Jika pun bisa, kita akan diganggu selama perjalanan."

"Lalu?" tanyaku penasaran. Dari yang kutangkap. Borneo merupakan naga Hansamu yang berasal dari Kalimantan."Apa kau ingin menyerah?"

Hansamu menggeleng. "Tidak, Aes. Bukan begitu. Aku hanya khawatir. Kau tidak akan bisa menyelesaikan masalah ini dalam enam bulan."

"Kita harus tetap mencoba," jawabku.

"Begitu?" Hansamu menoleh, menatapku dengan tersenyum lega. Lalu kembali memandang ke arah depan. "Apa kau tahu nama pohon ini?"

"Tidak."

"Ini replika pohon kehidupan yang mewakili mitologi dari Sabang sampai Merauke. Nusa menyebutnya pohon nusantara."

"Seberapa tua Nusa?"

Hansamu tertawa kecil sambil melirik pengunjung perpustakaan dengan khawatir. "Sebaiknya kau tidak mempertanyakan itu, jika kau ingin membebaskan Naga Padoha."

Hansamu diam sebentar. Lalu kembali berkata, "Aes, kau perlu restu dari Mulajadi No Bolon. Dewa Pencipta di suku Batak. Melepas segel Naga Padoha itu artinya kau ikut campur mitologi orang lain. Debata Tanimbar dan Debata Batak akan saling berperang. Aku pikir, kau sudah memikirkan konsekuensinya."

Aku terhenyak. Telingaku seperti menangkap denting bunyi yang bergema nyaring. Aku tidak pernah berpikir sejauh itu. Yang kutahu, tujuanku tercapai dan Naga Padoha jadi milikku.

"Aku naif, ya?" kataku dengan lirih. Merasa terlalu malu untuk mengangkat wajah. Aku hanya menatap sepatu biruku yang mulai kotor. Aku terdengar egois, merasa paling bisa dan paling segalanya. "Kurasa itu ide bodoh."

"Tapi," kata Hansamu lagi. "Jika kau ingin naga yang berasal dari Sumatra. Kita akan mencarinya di Medan. Percayalah, banyak naga hebat yang bisa kita temui bila beruntung."

"Seperti kau dan Borneo?" tebakku.

"Betul. Untuk berjaga-jaga. Berdirilah lebih dekat ke pohon nusantara. Pejamkan matamu dan berdoalah pada Debata yang memiliki keterkaitan dengan masalahmu."

Tanpa bertanya, aku mematuhi perintah Hansamu. Aku memejamkan mata. Berdoa penuh harap pada Mulajadi Na Bolon.

Yang Terhormat di daratan Batak. Saya Aes Ongirwalu, memohon izin untuk mencari naga di wilayah Yang Terhormat. Semoga Yang Terhormat merestui perjalanan saya dan melindungi saya selama di sana.

Saat membuka mata. Aku terhenyak pada telapak tanganku yang memegang daun berbentuk jantung dan berujung runcing. Ada kilatan emas yang menari-nari di dalamnya lalu menghilang.

Aku mendongak. Dedaunan di dahan tampak berbeda dengan yang kupegang. Mereka tampak seperti daun pada umumnya, sedangkan yang kupegang mirip daun sirih.

"Doamu di terima." Aku tersentak oleh seruan Hansamu. "Simpan benda itu, kita akan membutuhkannya nanti."

...

Kami menyempatkan diri makan siang dan aku mengajukan diri untuk membalas kebaikan Hansamu soal sarapan tadi di cafe perpusnas.

Dari luar pagar Monas. Aku menatap Borneo yang tertidur di bawah teriknya sinar matahari. Hewan itu sama sekali tidak bergerak. Tidak ada tanda-tanda dia akan bangun oleh sengatan yang membakar sisiknya.

Lalu, terdengar ledakan kecil yang menimbulkan asap di sekeliling tubuh Borneo. Hansamu berjalan keluar dari asap tersebut dengan Borneo yang tertidur melingkar di atas pundaknya. Maksudku, dalam bentuk kecil yang menggemaskan.

"B- Bagaimana bisa?" tanyaku. Aku tidak bisa menahan diri untuk menyentuh kepala Borneo yang kecil.

"Hanya sedikit jampi-jampi. Akan kuajari saat kau sudah punya naga sendiri."

"Serius? Janji?"

"Janji."

"Janji jari kelingking?"

Aku mengacungkan jari kelingking sebagai simbol perjanjian. Hansamu tersenyum ramah dan membalas menautkan jemarinya.

Lalu, kami pergi menuju stasiun Bendungan Hilir melalui orderan aplikasi online. Satu-satunya transportasi yang bisa membawa kami menuju Medan dengan cepat adalah Senayan Express.

Kami beruntung saat tiba di peron 5/11 kereta akan tiba dalam lima belas  menit. Jaraknya ternyata tidak terlalu jauh dari Monas.

Begitu masuk ke dalam gerbong. Semua tempat duduk telah terisi. Kami terpaksa berdiri sambil bergelantungan. Beberapa Yava tampak tertarik menatap Borneo. Namun, tidak ada yang berani menyentuhnya.

"Kudengar penunggang naga sedang dalam masalah," ujar pria berkemeja putih yang duduk di depan kami. "Apa kalian salah satunya?"

"Tidak," jawab Hansamu. "Ini naga biasa."

Aku tahu Hansamu berbohong. Tetapi pria itu terlihat kurang percaya. Dia menatap lurus ke arah Borneo lalu menunduk membaca buku yang sebelumnya dipangku.

Mataku dan Hansamu saling bertemu. Dari tatapan tersebut, aku tahu. Hansamu ingin kami merahasiakannya. Aku pun mengganguk dalam diam. Kemudian matanya terbelalak akan sesuatu di belakangku.

Sebelum aku sempat menoleh. Hansamu menarik pergelangan tanganku. Memaksaku untuk ikut. Namun dia kembali berhenti melangkah.

"Ada apa?" tanyaku heran. Hansamu tidak menjawab. Dia terlihat panik. Aku tidak melihat ada sesuatu di gerbong yang mencurigakan.

Dari luar jendela gerbong. Kami sudah melintasi keluar dari dunia sudra. Pepohonan rimbun dan hijau lewat di belakang kami.

"Para roh." Hansamu kembali berjalan ke gerbong depan. Setiap langkahnya terasa berat. Seolah-olah, ada sesuatu yang menempel di bawah sol sepatu. "Kita harus turun."

"Apa?"

Hansamu memencet bel darurat di dekat pintu antar gerbong. Setelah kami bersusah payah berjalan. Senayan Express pun mendesis aneh. Pintu gerbong terbuka dan aku terpaksa melompat keluar bersama Hansamu. Para penumpang hanya menatap kami dengan keheranan. Lalu kereta kembali berjalan menembus hutan.

Rel kereta di belakangnya lenyap mengikuti gerbong-gerbong yang menghilang. Hanya kami berdua, di tengah pedalaman hutan tidak dikenal dengan pepohonan berlumut. Aku yakin, Hansamu sekarang bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

Aku ingin membuka mulut. Namun, terlalu terkejut. Karena mendadak
diajak berlari menembus semak belukar. Tidak ada komando yang keluar dari bibir Hansamu. Aku tidak tahu, kami ini kabur dari apa.

Saking penasarannya, aku menoleh dan tercekat. Ada roh alam yang mengejar kami. Dia memiliki kepala bulat berbadan kecil. Rambutnya seperti nyala api yang berkobar hijau ke atas. Bagian tubuh bawahnya meliuk-liuk menjadi ekor dengan dua tangan kecil yang terancung ke depan.

Mereka tidak melakukan apa pun selain mengejar. Tetapi tampaknya aku salah. Hansamu tiba-tiba tersandung sesuatu dan aku pun ikut terjungkal ke belakangnya. Mencium semak belukar yang daunnya sedikit kasar dan membuat wajahku menjadi gatal.

"Penunggang naga harus dilenyapkan. Berikan naga itu dan kami akan membebaskan kalian."

Suara - suara menggemaskan mengelilingi kami. Roh alam ada yang baik dan jahat. Kalau pun mereka menginginkan Borneo. Itu artinya, mereka diperintah oleh entitas yang cukup berpengaruh.

"Dengar Hansamu, berlarilah ke depan. Biar aku yang mengurus mereka," kataku. Bukan maksudku terdengar sombong. Hanya saja, aku cukup memahami pengetahuan tentang roh alam. Aku tidak ingin Borneo tertangkap.

"Tidak, kita akan melakukannya bersama-sama." Hansamu menatapku dengan binar mata yang bulat. Rasanya, mustahil memaksanya pergi.

"Roh alam tidak bisa diserang sembarangan," balasku memberitahu.

"Benar," ujar Hansamu. Jadi dia mengucapkan sebaris mantra dengan sangat lirih sehingga aku tidak bisa menangkap setiap suku kata. Kemudian sesuatu meledak di sekitar kami.

"Lari!" teriak Hansamu .

Kami kembali berlari menembus asap. Semak belukar semakin dalam dan melukai betis dan lenganku. Lalu tanah di bawah kami tiba-tiba berubah menjadi lumpur isap dan mulai menenggelamkanku hingga sebatas pinggang.

"TIDAKKK!" Hansamu berteriak.

Roh alam mengangkat tubuh Borneo dari lehernya. Tangannya berusaha menggapai. Tetapi tidak ada yang bisa dilakukan. Borneo lenyap dari pandangan. Dan aku tertengun melihat air mata di wajah Hansamu.

_//___/___
Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top