5
Orang-orang langsung membopong Hansamu ke klinik. Anak-anak pencinta satwa ghaib melakukan pertolongan pertama pada si Naga. Aku masih di tempat kejadian. Masih mematung menatap naga yang sekarat.
Regu kesatria palapa mulai melakukan barikade. Aku terdorong ke belakang lalu ditarik seseorang.
"Jangan melamun." Nagi menepuk kedua pipiku. Rasanya cukup sakit. "Apa yang terjadi?"
"Aku juga tidak tahu."
Nagi tidak bertanya lagi. Dia menyeretku ke depan rumah adat yang ramai. Kulihat, Onna sibuk bersama regu herbalis. Lalu Novia datang sambil menangis.
"Kau kenapa?" Nagi mewakili pertanyaan di kepalaku.
"Naga itu kesakitan." Novia terisak sambil menyeka air mata— ralat mutiara menggunakan sapu tangan. Entah air mata yang berubah jadi mutiara.
Nagi melirik perhiasan berharga itu penuh minat. Seakan bisa membaca pikiran. Novia mengumpulkan mutiara tersebut dan memberikannya padaku dan Nagi.
"Untuk kalian. Bisa dijual. Aku punya banyak mutiara. Jangan khawatir."
Nagi tidak ingin menolak. Dia tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. Beberapa anak yang melihat Novia, menatap kami dengan penuh minat.
"Jangan menangis di depan umum," kataku. "Mereka mungkin akan menculikmu demi air matamu."
"Ya, kalau mereka bisa menyentuhku," kata Novia dengan nada suara yang menyiratkan sesuatu. "Tetapi, aku tidak tega melihat mata hewan itu. Dia tampak tersiksa."
"Kupikir, kau bisa berbahasa naga." Nagi memberitahu.
"Aku kan bukan penyihir dan penunggang naga," balas Novia yang mulai berhenti menangis. Dia menatap kesal pada Nagi.
"Hanya menebak."
Keduanya malah mendadak canggung. Mungkin bagi Novia itu sindiran. Mereka kaum duyung, hal normal bisa berbicara sesama makhluk laut. Begitupula Nagi yang kaum reptil. Kecuali aku, setidaknya harus melewati beberapa tahapan sebagai penunggang naga untuk bisa memahami bahasa naga.
Kami diam sesaat. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Tidak ada yang ingin kembali ke asrama. Lagipula, semua orang masih menunggu perkembangan masalah yang tengah terjadi.
"Kalian melihat Sahala?" Nias tiba-tiba berdiri di depan kami. Di bawah cahaya bulan, wajahnya tampak khawatir dan cemas.
"Tidak." Nagi menyahut. "Ada apa?"
Nias tidak menjawab. Hanya tersenyum dan berlalu pergi. Kemudian menanyakan hal yang sama pada setiap orang.
"Samsara dan Diwangka." Seruan Nusa dari tangga rumah adat cukup mengalihkan atensi semua orang. "Sekarang, kembali ke asrama masing-masing. Bagi yang tadi siang mendaftar di regu penunggang naga. Berkumpul di ruanganku. Sekarang!"
Tanpa ada bantahan. Semua orang berjalan bubar. Novia dan Nagi memberiku tepukan dukungan. Halaman perlahan sepi. Lalu aku tersadar. Hanya aku sendiri yang tersisa.
Ruang kerja Nusa mirip dengan kantor ala kepala sekolah. Ada lemari penuh piagam dan piala. Beberapa buku mirip kamus tebal dan tumpukan map di atas sebuah meja yang menempel di dinding.
"Tahun ini hanya kau yang mendaftar, Aes. Sebenarnya Hansamu menerima 20 orang lebih. Tapi, mendadak. Semua mengundurkan diri."
"Eh, mengapa?"
"Kau tidak tahu?"
Nusa malah terlihat terkejut. Aku menggeleng. Harusnya aku yang terkejut.
"Siang tadi ada rumor. Debata Naga akan mengutuk kaum penunggang naga tahun ini. Rumor tentang ini sudah sering terdengar sejak dulu. Hal yang bikin pendaftar tahun ini mundur karena kawasan Aestival menyembunyikan diri dari pihak luar. Kau tahu apa artinya? Tidak ada penunggang naga yang akan lahir lagi."
Aku menelan saliva. Merasa menyesal karena siang tadi hanya di kamar. Kalau berharap ada yang memberitahu. Aku rasa semua orang punya kesibukannya masing-masing.
Aku bingung. Tujuanku masuk perkemahan Palapa adalah menjadi penunggang naga. Aku tidak tertarik mempelajari yang lain. Untuk apa belajar selama ini, jika semuanya pupus begitu saja. Aku tidak mau menyerah.
"Aku akan tetap menjadi penunggang naga," kataku mantap pada Nusa. Binar matanya melebar. Berubah-ubah dari warna hijau ke biru.
"Kau yakin, Aes? Hansamu sendiri sedang terluka. Hanya dia yang berhasil keluar dari sana. Kalau mau berharap dia akan membimbingmu. Banyak waktu yang terbuang. Begini saja, banyak keilmuan yang bisa kau coba. Bagaimana dengan kelas elemen air? Kau bisa belajar bersama Diwangka."
Aku menggeleng. Tanpa kukatakan. Aku tetap tidak mau. Aku tidak mau belajar hal yang tidak kusukai. Kalau masalahnya seperti ini. Lebih baik aku pulang ke rumah dan bertemu ayah.
Nusa tidak mengatakan apa pun. Dia hanya duduk diam sambil bertompang dagu. Menatapku lekat-lekat.
"Katakan padaku. Bagaimana caranya kau menuju daratan Aestival? Tidak ada naga yang bisa kau temui."
"Masih ada naga nusantara. Aku akan mencari di sini."
"Naga nusantara adalah makhluk mitologi yang tidak mudah kau temui. Sebagian dari mereka menyembunyikan diri dan hidup di alam berbeda. Samsara Tujuh belum punya kemampuan menjelajah."
Aku tidak paham. Mengapa Nusa terus mendesakku untuk menyerah. Sebagai pemimpin perkemahan. Dia seharusnya mendukung atau membantuku. Aku agak kecewa padanya.
"Boleh aku pergi menemui Hansamu?"
Nusa tidak menjawab. Dia hanya memainkan jemari sambil mengetuk di atas meja.
"Pergilah. Aku sudah memperingatkanmu. Kalau kau berubah pikiran. Segera melapor padaku atau Issa."
...
Hansamu sudah sadar saat aku datang ke klinik. Lecet di tubuhnya sudah menghilang tanpa bekas. Wilona sebagai penyembuh tetap memintanya istirahat. Aku diizinkan menjenguk. Dengan catatan, tidak membuatnya terganggu.
"Kau terlambat," kataku sambil memandang ke arah nakas.
"Benar. Naga tidak suka terlambat. Aku minta maaf, Aes."
"Jangan meminta maaf."
"Harus. Karena aku tidak menepati janjiku. Terima kasih, karena kau masih mau bertahan sebagai penunggang naga."
Kuberanikan diri menatap wajah Hansamu. Tulang rahangnya tampak manis. Karena ada sepasang lesung pipi di sana. Dia terus tersenyum ramah.
"Apa yang terjadi? Siapa yang memasang sihir di Aestival?"
Hansamu mengalihkan tatapan ke arah lain. Seolah sedang menerawang jauh. Aku menunggu.
"Para tetua adat. Mereka sepakat menutup diri agar naga dan penunggang naga tidak punah oleh para Debata. Walau mereka tahu, eksitensi mereka akan terlupakan suatu hari."
Aku duduk diam saja. Mendengar Hansamu bercerita. Aku cukup tahu tentang Aestival. Itu, adalah benua yang berada di luar dinding es antartika. Sebuah benua dengan peradaban berbeda berada. Daratan itu penuh naga. Tempat di mana sihir adalah hal yang alamiah.
"Pagi tadi. Ada serangan di beberapa titik. Kami tahu, Debata Nusantara tidak bisa menyebrang ke Aestival. Itu bukan ranah mereka. Beberapa orang curiga. Ada yang berhasil menyelinap dan jadi penghianat. Entah itu utusan sang Dewa atau si Debata sendiri."
"Bagaimana dengan nagamu dan kau? Naga itu tidak mungkin tertahan di perkemahan. Lama-lama, dia bisa menjelma menjadi pulau atau roh alam."
Hansamu tersenyum tipis. Begini, dunia para penunggang naga sedang dalam masa yang kurang baik. Dari tadi, aku tidak melihat binar kepanikan di mata Hansamu. Aku pikir, dia terlalu santai melihat situasi.
"Borneo akan pulih. Dia tidak akan mati."
Aku tidak bilang dia akan mati. Maksudku, dia akan berubah menjadi entitas lain. Tetapi, Borneo adalah nama yang unik.
"Kalau begitu. Kau istirahat. Aku akan datang besok."
"Tidak." Hansamu mendadak menyibak selimut dan turun dari ranjang. "Kita akan pergi mencari nagamu. Semakin lama kita di sini, perkemahan dalam bahaya."
"Kau terluka," seruku dengan nada tercekat.
"Aku baik-baik saja. Wilona sudah menyembuhkanku."
"Borneo?"
"Dia juga."
"Bagaimana kau tahu?"
"Saat kau bertemu nagamu. Kau akan memiliki ikatan batin. Sekarang, pergilah berkemas. Temui aku di terminal. Kita akan pergi diam-diam."
__/_/___/
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top