29
"Kau seorang Debata. Apa kau bisa membuka portal mitologi Mentawai? Sebagai Debata Nusantara, kalian bisa melakukan itu dengan cara berkomunikasi pada alam sekitar," ujar Kaesang sambil menatap Sahala.
Sahala mengganguk. Kemudian menggeleng sembari menepuk pundak Hansamu.
"Sahala memintaku mewakilinya berbicara."
Kaesang jengah. Baginya Sahala terlalu bertele-tele.
"Kau ini bisu?" Frontal Kaesang tanpa permisi. "Kenapa sulit sekali bicara denganmu? Aku tahu kau bisa bicara. Kau hanya terlalu malas melakukannya."
"Ya, berpikirlah seperti itu," ujar Hansamu sambil mengarahkan telunjuk ke Sahala. "Sahala tidak berteman dekat dengan Debata setempat. Alam Mentawai menolak keberadaannya."
Kaesang hanya tersenyum sinis. Daripada mendekat ke garis pantai. Dia berjalan ke arah pepohonan kelapa dan semak-semak di sisi sebaliknya. Rintik air dari langit turun dalam gerimis kecil.
Hansamu memeluk dirinya sendiri. Kaos tanpa lengan mudah membuatnya merasa dingin oleh angin laut. Diperhatikannya, Kaesang yang sibuk memetik dedaunan dari tumbuhan liar.
"K-Kae?" kata Hansamu ragu, merasa tidak sopan memanggil orang yang lebih tua dengan namanya. "Anda ingin melakukan apa dengan daun-daun itu? Jika ingin membuat tempat berteduh, kita bisa menggunakan daun kelapa. Napas Sahala bisa menyalakan api unggun."
"Kita tidak butuh itu."
Setelah mengumpulkan dedaunan yang cukup banyak. Kaesang mengajak kedua remaja itu duduk bersila di atas pasir. Hansamu sempat ragu, karena mereka bertiga duduk di bawah pohon kelapa yang dahannya meliuk-liuk oleh embusan angin.
"Dalam ritual masyarakat Mentawai. Mereka selalu menggunakan dedaunan yang dipercaya dapat menghubungkan manusia dengan Ulau Manua," ujar Kaesang sambil menyusun daun-daun di atas pasir.
"Masyarakatnya cenderung hidup damai dengan alam di sekitar mereka. Sebab, mereka percaya bahwa semua benda di alam memiliki semacam esensi spiritual. Oleh karena itu, kita akan berkomunikasi langsung dengan alam agar bisa terhubung dengan Ulau Manua. Beliau Dewa Pencipta atau entitas tertinggi di Mentawai dan Dewa Laut yang menculik Aes berada di bawahnya."
Hansamu merasa sekujur tubuhnya merinding saat senyum tipis di ujung bibir Kaesang tercipta. Hansamu tidak tahu apa yang Kaesang lakukan dengan mata terpenjam. Jadi, dia tidak akan bertanya atau melakukan sesuatu yang menambah emosi Kaesang.
Saat Hansamu melirik Sahala. Pemuda itu juga ikut memejamkan mata dengan melipat kedua tangan di depan dada.
Gerimis yang semula turun rintik-rintik berubah menjadi deras. Dedaunan yang di letakkan di depan depan mereka mulai mengambang di udara, kemudian berputar membentuk lingkaran sempurna.
Angin kian berhembus kencang. Satu buah kelapa kering jatuh tepat di balik punggung Hansamu. Dia menatap cemas buah kelapa lain di atas kepalanya. Hanya sebuah keberuntungan buah itu tidak jatuh di kepalanya. Namun, sebuah kelapa muda justru jatuh di kepala Kaesang.
Hansamu sontak berdiri, belum sempat menolong Kaesang yang pingsan oleh hantaman kelapa. Sahala di sebelahnya juga pingsan oleh hantaman kelapa.
"Demi Debata Naga!" Hansamu mengumpat panik. Dia bingung, apa yang harus ia lakukan. Ditepuknya pipi Sahala. Tetapi pemuda itu tidak kunjung bangun. Begitupula Kaesang yang bahunya diguncang oleh Hansamu.
"Mereka tidak akan bangun."
Suara asing tidak dikenal terdengar di balik punggungnya. Hansamu menoleh cepat. Entah waspada pada musuh atau bersyukur ada warga lokal yang datang. Sosok di depannya adalah remaja sebaya.
Dia menggunakan cawat, penutup aurat yang terbuat dari kulit kayu pohon baguk dan disebut kabit. Di lehernya ada kalung manik-manik dalam jumlah banyak terbuat dari gelas berwarna merah, kuning, putih dan hitam atau hijau. Begitu pula, kedua pergelangan tangannya juga dihiasi dengan gelang-gelang manik-manik.
"Aku Tai Kalelu." Sosok itu memperkenalkan diri. "Kalian sudah bertemu Tai Leubagat si pengkhianat itu, saudara setanah airku. Oh, aku lupa. Aku Dewa Hutan dan Gunung dari tanah Mentawai. Ulau Manua mengutusku. Maaf, buah kelapa jatuh harus dilakukan."
"Em, Hai." Hanya itu kata yang Hansamu ucapkan. Pikirannya pecah, dia waswas terhadap Tai Kalelu. Dia masih ingat perkataan Tai Leubagat kalau Kepulauan Mentawai menolak mitologi lain masuk di wilayah mereka.
"Aku menerima persembahan mereka." Tai Kalelu menujuk Sahala dan Kaesang. "Untuk orang asing, pria itu cukup ramah mau melakukan ritual dengan bersahabat oleh alam. Aku hanya membantu sekali. Jadi, katakan apa yang kau inginkan?"
"Tolong bebaskan sahabatku yang ditawan Tai Leubagat."
"Laut bukan wilayahku. Aku tidak bisa ke sana kalau tidak diizinkan Tuan Rumah."
"Jadi, kau tidak bisa membantu?"
"Yang itu, bisa kau lewati."
"Kalau begitu, bantu aku masuk ke wilayahnya."
"Tidak bisa."
"Tidak bisa juga?"
"Aku tidak pernah ke laut. Laut bukan wilayahku."
Hansamu menghela napas. Dewa hutan Mentawai tidak seperti yang ia duga. Debata ini tidak mampu menawarkan apa-apa. Tai Kalelu tertengun, Hansamu mengabaikannya dan dia berusaha membangunkan Sahala.
"Sahala? Ayo bangun!" Hansamu mengguncang bahu Sahala. "Aes dalam bahaya. Kita harus menyelamatkannya. Jika aku merapalkan mantra lagi, aku pasti tidak akan bisa selamat."
Suara gemuruh menjawab seruan Hansamu. Angin sudah berhenti berembus. Namun, hujan terus turun semakin lebat. Hansamu tidak ingin melawan seorang Debata. Tetapi, bila keadaanya mendesak, dia harus melakukannya.
"Mereka tidak akan bangun. Sehebat-hebatnya dua pria itu. Jika sudah berada di rumah orang. Kekuatan mereka tidak sebanding dengan tuan rumah. Apalagi si Naga Padoha. Debata terbuang itu tidak berguna di sini."
Petir menyambar pohon kelapa di belakang Kaesang. Beruntung, pohon itu roboh di sisi berbeda. Hansamu menatap ngeri, saat ia berpaling pada Tai Kalelu. Buah kelapa kering jatuh menimpa kepalanya. Tubuh Hansamu linglung, dia melihat Tai Kalelu menjadi dua, kemudian tiga dan pandangan Hansamu menjadi gelap.
...
Sahala adalah tubuh fana Naga Padoha. Oleh karena itu, walau Tai Kalelu membuatnya tidak sadarkan diri dalam cangkang manusia. Jiwa Naga Padoha bisa tetap bergerak bebas dalam bentuk spirit.
Dia memanfaatkan momentum itu untuk menyusuri dunia bawah Mentawai. Dalam mitologi manapun, dunia bawah merupakan tempat yang terletak jauh di dalam tanah atau di perut bumi. Dunia bawah juga tempat bagi para arwah manusia yang sudah meninggalkan tubuh mereka. Oleh karena itu, Naga Padoha yakin Aes ada di sana.
Semakin ke bawah, dunia tersebut semakin suram dan berkabut. Ada banyak lorong yang bercabang-cabang, sebagian menyesatkan pada jalan buntu dan sebagian memerangkap dengan makhluk-makhluk aneh dan perangkap mereka.
Naga Padoha mengikuti satu jalur yang berada di salah satu goa di kaki gunung yang ditemukan berada di bawah laut di selatan Kepulauan Mentawai.
Kemudian terus bergerak mengikuti aura kematian yang suram, kelam dan mistis hingga ia tiba di sebuah gapura yang terbuat dari pohon kelapa. Daun kelapa pada gapura itu tumbuh merambat membentuk sebuah pintu.
Tidak ada sosok yang menjaga di sana. Naga Padoha melirik sekitar, mencari keberadaan entitas yang mungkin berjaga. Karena merasa tidak ada siapa-siapa. Naga Padoha pun mengarahkan cakarnya, tiba-tiba sesuatu bersinar terang dari kedua pohon kelapa tersebut.
Naga Padoha harus menyipitkan mata demi melihat dua bola cahaya mengambang di depannya.
"Kau bukan arwah dan kau seorang Dewa. Tapi ini bukan wilayahmu. Jadi, siapakah engkau?"
Naga Padoha hanya terdiam sambil menghembuskan udara dari lubang hidungnya.
"Mencari roh seorang manusia setengah dewi? Tai Leubagat? Hanya orang mati yang boleh masuk ke sini. Orang mati tidak boleh keluar."
Kesal karena tidak diizinkan. Naga Padoha membuka mulutnya. Kemudian, napas api membakar dua cahaya itu beserta gerbang pohon kelapa di belakangnya.
Saat api itu berangsur-angsur lenyap. Kedua bola cahaya tidak mengalami luka atau lecet sedikit pun. Anehnya, kedua bola cahaya itu tidak melihat keberadaan Naga Padoha lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top