21
Memori di dalam kepalaku berputar ke masa - masa kemarin. Mulai dari insiden di perpustakaan rumah adat, Sahala yang melompat di punggung Borneo, dia yang mendadak hilang di Monas dan muncul kembali di perpustakaan nasional sambil merebut buku-buku tentang naga dariku. Sikapnya yang misterius membuatku mencocoklogi semua hal menjadi satu.
"Kau," ucapku tidak sanggup. "Debata Naga? N- Naga Padoha?"
Sahala menatapku datar seperti yang dilakukannya selama ini. Dia tidak bereaksi malu, takut, atau cemas. Aneh juga, aku mengharapkan seorang Debata bersikap seperti itu. Para Debata biasanya lihai menyembunyikan emosi.
"Ahahah. Kau bersama-sama dengannya, tapi tidak tahu?" Tama menunjukku dan wajah Sahala silih berganti. "Menarik. Aku mengutuk kalian bertiga. Tiga remaja dari perkemahan palapa yang membuat ulah di tanah Kerinci. Naga Padoha, kau bertanggungjawab akan semua ini."
Petir kembali menyambar pohon di sekitar kami, kemudian disusul bunyi krek yang keras dan tumbang beberapa pohon besar. Langit berubah gelap dan gemuruh tampak menakutkan. Sebuah sensasi dingin menjalar dari tanah dan merambat naik ke tubuhku.
Dinginnya menusuk sampai ke tulang-tulang. Aku roboh di atas dedaunan, begitupula Hansamu. Hanya Sahala yang tetap kokoh berdiri tegak menatap Tama. Dia tampaknya tidak terpengaruh kutukan.
Angin bertiup kencang, menerbangkan pasir dan daun-daun kering di sekitar kami. Cindaku yang sekarat di bawah pergi rekan-rekannya ke dalam hutan. Kendati demikian, masih tersisa cukup banyak Cindaku yang tinggal.
Ada sesuatu yang ingin kuucapkan, tetapi mulutku tidak bisa dibuka. Seluruh tubuhku juga terasa sekeras batu dan nyaris tidak bisa digerakkan. Mungkinkah ini yang disebut kutukan Cindaku?
Aku tidak tahu, aku mulai kehilangan indra perasa. Kelopak mataku terasa berat, kulawan rasa itu setengah mati. Tama dan Sahala masih berdiri saling tatap-tatapan. Kemudian semua berubah.
Tama dan Sahala berpindah cepat sambil saling menyerang dan bertahan. Cahaya kekuningan meledak-ledak di sekitar mereka.
Dari yang tampak jelas perlahan menjadi buram dan gelap. Aku tidak bisa mendengar apa pun, melihat apa pun atau merasakan segala hal. Aku berkonsentrasi pada pikiran demi memanggil air. Aku bertanya-tanya, apakah kutukan bisa membuatku kehilangan kemampuan sebagai Demigod? Jawabannya tidak ada.
Aku kembali berkonsentrasi memanggil Anya. Dia pasti sedang melakukan sesuatu. Sayangnya tetap tidak terjadi apa-apa. Aku memutar otak kembali, mengingat-ingat sesuatu tentang pelajaran lama yang diajarkan ayah. Beberapa kutukan berbahaya hanya bisa dipatahkan oleh pemberi kutukan. Namun, ada pengecualian. Seorang Dewaguru bisa meruwat hal tersebut.
Aku tersenyum sinis dalam hati. Mustahil mengharapkan Dewaguru muncul tiba-tiba di hutan. Kemudian, sensasi panas menjalar di kakiku dan merambat naik.
Aku tersentak, berteriak histeris sambil membuka mata karena kepanasan. Aku menatap pergelangan kakiku dengan cemas. Mencari-cari sesuatu yang membakar.
Panik, aku sekuat mungkin memanggil air. Tetapi, tidak ada air yang keluar dari tubuhku. Tidak kehabisan ide, aku melepas tas canvasku dan memukul api pada pergelangan kaki berulang kali. Kemudian api itu melebur ke dalam udara begitu saja.
Tersadar, aku sudah berdiri dengan napas tersenggal-senggal. Tubuhku tidak lagi kaku. Sebagai gantinya, banyak bercak-bercak hitam timbul di lapisan epidermis bentuknya loreng menyerupai bulu Harimau.
"Tidak buruk juga." Tama yang bertarung dengan Sahala menatapku sinis. Aku melirik Sahala kemudian beralih pada Hansamu. Kondisi bercak tubuh kami serupa. Bahkan wajah Hansamu penuh dengan itu. Aku tidak akan bertanya mengenai wajahku sendiri.
"Lepaskan kutukan tersebut," ucap Hansamu ragu. Dia menatap Tama dengan setengah menunduk. "Sahala yang meminta."
Tidak ada respon. Semua Cindaku saling melemparkan pandangan kemudian mengganguk serentak dan berjalan pergi meninggalkan kami begitu saja. Aku berdiri diam menatap semua ini dengan kebingungan. Aku tidak yakin, kami bisa keluar dari tanah kerinci seperti ini.
"Aes, aku minta maaf." Hansamu akhirnya buka suara. Ia melangkah mendekatiku. "Sebagai seorang Diwangka, aku hanya tertarik mempelajari sihir hitam. Aku akan kena detensi dari Nusa dan para penunggang naga. Seharusnya, aku tidak melibatkanmu."
"Itu kan bentuk pertahanan," balasku sesantai mungkin. "Kutukan ini tidak menghilang, 'kan? Sahala— emm, maksudku Debata hanya mengurangi efek kutukannya saja. Sebenarnya ini kutukan apa?"
Hansamu mengganguk dengan tatapan menerawang. "Sahala bilang, panggil saja Sahala. Tapi, dia ingin kita tidak membicarakan identitasnya lebih lanjut. Menurut Sahala, kutukan ini membuat kita menjadi batu. Sahala menghilangkan hal tersebut, sebagai gantinya, timbul bercak ini. Tapi tetap saja, kita berdua tidak bisa keluar dari tanah Kerinci, sebab kita akan kembali menjadi batu."
Aku tertengun. Syok dan kehilangan kata-kata. Aku tidak bisa pulang, ayah mungkin akan khawatir dan masalah bisa tambah runyam. Mimpi menjadi penunggang naga semakin jauh. Kemudian aku menyadari sesuatu. Aku menatap Sahala lekat-lekat.
"Jika bukan kau yang memerintahkan para Homang dan menculik Borneo. Jadi, siapa? Siapa yang memerintahkan mereka?"
Sahala tidak menjawab. Dia memalingkan wajah dariku dan sebuah jawaban mengalir dari bibir Hansamu.
"Aes. Sahala tidak mau menjawab. Tapi untuk melepas kutukan ini. Kita harus mencari Debata dari Mitologi Jambi."
"Dewa-Dewi Mitologi Jambi?"
Aku merenung sebentar. Mungkin ini solusi terbaik kami. Masalahnya, kami tidak bisa keluar dari tanah Kerinci, jika menjadi batu. Butuh waktu untuk memutar otak dan aku tahu ada cara lain. Aku menarik keluar buku pemberian Tapa Tamboga dan sebuah pena. Kemudian duduk bersila di atas dedaunan sambil menulis. Hansamu dan Sahala pun mendekat untuk mencari tahu.
Yang Mulia, ini aku Aes. Bisakah kamu membantu kami? Aku, Sahala dan Hansamu terjebak di tanah Kerinci.
Dalam perjalananan kami melewati Jambi. Para Cindaku menghalangi kami dan timbullah pertikaian. Hansamu tidak sengaja menggunakan sihir hitam untuk melindungi diri.
Akibat itu, Cindaku yang bernama Tama mengutuk kami menjadi batu. Sahala meringankan hal tersebut. Kami memang tidak jadi batu lagi, tapi kami akan jadi batu, jika keluar dari Jambi.
Sahala bilang, kami harus mencari tahu tentang Dewa Dewi Mitologi Jambi. Apa kau tahu, Yang Mulia?
"Benar juga, Tapa Tamboga mungkin bisa membantu. Dia bisa bertanya pada sang Hyang," seru Hansamu dengan binar mata penuh harapan.
Aku mengganguk setuju. "Mari tunggu balasan suratnya. Eh, sudah ada."
Goresan tinta yang kubuat terserap ke dalam halaman kertas. Kemudian, digantikan oleh tulisan tangan baru yang sangat indah.
Halo, Aes.
Aku sedih membaca masalah kalian. Tapi, aku senang benda ini bisa digunakan lebih cepat dari dugaanku.
Aku heran, kenapa kau tidak bertanya seorang Sahala bisa melepaskan kutukan tersebut. Lalu aku sadar, situasi di sana pasti buruk. Aes mungkin tahu identitas Sahala. Kutukan Cindaku tidak bisa diangkat oleh manusia biasa, jika dia bukan entitas di atasnya seperti para Debata.
Aku sendiri tidak tahu tentang Dewa Dewi Mitologi Jambi yang tidak berhubungan dengan para naga nusantara. Tapi, setahuku ... Di tanah Kerinci mereka menyebut tiga entitas yang setara dengan Hyang. Yaitu Dewo, Mambang dan Peri.
Peri sebagai penguasa angin dan elemen udara lainnya serta bersemayam di langit
Mambang Sebagai penguasa Hujan dan elemen air serta bersemayam di Laut.
Dewo sebagai Penguasa hutan dan elemen tanah serta bersemayam di pegunungan atau hutan larangan
Kalian harus menghubungi salah satu dari mereka atau ketiganya. Para Cindaku menghormati entitas ini.
Ps : Hansamu, kau dalam masalah besar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top