20

Aku menunggu respon Hansamu. Kemudian melirik Sahala. Tatapan kami berbicara. Kami tidak ingin mengatakan alasan sebenarnya. Cindaku mungkin belum mendengar tentang masalah di Aestival. Perbedaan dunia naga dan harimau terlampau jauh. Kekerabatan bangsa mereka pun berbeda.

Kedua Cindaku masih menatap kami penuh minat. Tidak mendesak, tetapi tatapan mereka tidak mengharapakan kami berbohong. Aku ingin membuka suara. Sayangnya, sebelum kata-kataku keluar Hansamu menyela.

"Kami ada misi dari perkemahan. Misi yang sangat rahasia. Anda berdua bisa memastikannya langsung. Namaku Hansamu, cowok ini Sahala dan ini Aes. Sebut nama kami bertiga, mereka pasti tahu."

Jawaban yang tidak sepenuhnya dusta. Itu benar, hanya saja keterangannya belum lengkap. Cindaku pertama mengamati wajah Hansamu lekat-lekat. Jantungku berdebar cepat. Aku menahan napas, menunggu tidak pasti respon mereka.

Kemudian melirik Cindaku kedua. Aku pun terbatuk. Mata Cindaku itu mengarah padaku. Tatapannya menusuk, aku cemas dia bisa membaca pikiranku. Buru-buru aku mengalihkan perhatian ke arah lain. Sialnya, suara langkah berat itu mendekat. Saking takutnya, aku mundur selangkah.

"Ada apa?" kataku terlalu lirih. "Jangan menatapku seperti itu."

"Kalian menyembunyikan sesuatu. Katakan atau balik—Argh!"

Tanah di depanku tiba-tiba terbuka dan memerangkap Cindaku sampai di pinggang. Hansamu dan Sahala menarik kedua tanganku, mengajakku berlari tanpa suara. Para Mambang berkumpul dan menyelimuti tubuh kami bertiga.

Kedua Cindaku itu berteriak, meminta kami berhenti lalu mengumpat sesuatu yang tidak kupahami. Setelah cukup jauh, tangan Sahala dan Hansamu perlahan terlepas. Jantungku berdebar cepat. Entah berapa lama kami bisa kabur.

Sahala memimpin jalan. Dia berbelok ke kanan, kemudian ke kanan lagi, lalu lurus terus. Pepohonan semakin rapat dan sinar matahari mulai semakin tipis. Sol sepatuku menginjak daun kering yang basah oleh embun. Masalahnya, injakan tersebut membuatku terpeleset. Lantas jatuh menimpa Hansamu yang ada di depan.

"Aduh!" Hansamu mengerang.

"Maaf." Aku buru-buru bangkit. Sialnya, ada rasa nyeri di pergelangan kakiku. Kendati demikian, aku memilih menahan rasa sakitku.

"Kau terkilir." Mata Hansamu tertuju pada kaki kananku.

"Masa? Baik kok."

"Sahala bilang, cobalah melompat," sambung Hansamu. Aku pun melirik Sahala kesal.

"Aku baik-baik saja."

"Lubang jebakan Sahala tidak akan lama. Cindaku lain akan segera menemui kita bertiga." Tangan Hansamu mencoba memegang kakiku. Seketika saja, membuatku refleks mundur ke belakang. Itu menyebabkan rasa ngilu kembali menjalar.

"Kalau tidak segera diobati. Dia akan bengkak, Aes. Percaya padaku."

"Eh, ya? O- Oke."

Kubiarkan Hansamu memperbaiki engsel kakiku. Dia memintaku duduk sebentar di atas tanah, melepas sepatuku dan memutar sudut tumitku dengan bunyi krek yang nyaring.

Ajaibnya, rasa sakit itu mulai mereda. Hansamu lanjut membuat gips dari potongan ranting agar menjaganya tetap stabil dan mengikatnya menggunakan tumbuhan merambat. Pertolongan pertama itu berhasil. Tetapi, aku masih kesulitan berjalan.

"Tinggalkan aku di sini. Kau pergi selamatkan Borneo bersama Sahala," kataku saat Hansamu selesai menolongku. Aku rasa, sebaiknya tidak menjadi beban bagi tim. Tatapan Sahala gelisah. Sejak tadi, dia menatap sekitar kami dengan waspada.

"Meninggalkanmu? Tidak bisa, Aes." Hansamu menolak tegas. Aku tahu, dia tidak setuju.

"Lalu bagaimana? Kau ingin membuatku melayang?"

"Emm, itu." Hansamu melirik Sahala dengan pipi memerah. "Kau yakin?"

"Kalian berbicara apa?" kataku gemas. "Pergilah. Aku akan baik-baik saja. Lihat, ada Anya dan Mambang. Aku bisa meminta mereka menyembunyikan diriku."

Sahala menggeleng dan Hansamu mengganguk. Sungguh, tidak bisakah mereka berbagi telepati denganku. Hansamu lalu menatapku dengan pandangan mata yang tertunduk dan wajah tersipu. "Kita akan gantian menggendongmu."

"Tidak mau!" Aku menolak tegas. Aku tidak mau diangkat anak laki-laki di punggung mereka.

Sahala tampaknya tidak peduli dengan keluhanku. Dia berjongkok di depanku dengan punggung di depan wajahku.

"Aes, Sahala bilang mereka akan segera tiba di sini." Aku menatap Sahala. "Ayo, kami tidak akan berbuat hal buruk padamu. Percayalah, kita teman. Sahala dan aku tidak bisa meninggalkamu."

"Tetap saja, aku tidak bisa. Aku tidak mau! Tinggalkan saja aku."

"Aes!"

"Hansamu!" balasku tegas. "Cepat pergi dari sini.

Non, Bikin repot saja.

Mendadak seluruh tubuhku diselimuti cahaya hijau. Kemudian mengambang di atas punggung Sahala. Sebelum dadaku bersentuhan dengannya, sebuah buntalan hijau dari dedaunan liar membatasi kami.

Tangan Sahala meraih kedua kakiku. Kurasakan dia mengepalkan tangannya di bawah lututku. Saat Sahala berdiri dan berlari. Aku terkesima. Dia berlari begitu cepat. Langkahnya terasa ringan dan lentur. Padahal, jelas-jelas dia sedang menggendongku.

Hansamu berlari di belakang kami. Tetapi, di belakang Hansamu terdengar auman harimau yang buas. Suaranya tidak satu, namun lebih. Semuanya saling menimpali satu sama lain.

Aku mengutuk diri sendiri. Kenapa aku bisa terluka sekarang. Aku benci diriku, selalu menjadi beban. Dilempar ke sungai Musi oleh Hyang, bertemu Banyu Air, dan sekarang kaki terkilir.

Aku butuh air. Aku bisa menyembuhkan diri dengan itu. Sayangnya, dengan kondisi sekarang. Itu kurang efektif. Apa alam di hutan ini mau mendengarku atau tidak?

Aku memejamkan mata. Mencoba berkomunikasi dengan alam Jambi agar mereka mau menurunkan hujan.  Sayangnya, tidak berhasil. Tidak ada setetes air yang jatuh.

Lalu, apa yang kutakutkan terjadi. Sahala berhenti berlari. Kami bertiga tertangkap dalam lingkaran harimau yang mengaum. Gigi-gigi mereka tajam dan liur menetes di sana. Mereka berjalan mendekat, memaksa kami tidak bergerak.

Aku memandang jauh ke belakang punggung harimau. Mungkin ada sesuatu yang bisa kami lakukan untuk melompati mereka. Tetapi, masih ada harimau yang keluar dari balik semak-semak. Semakin diperhatikan, rupa hewan itu berubah menjadi manusia tulen.

"Anak-anak nakal," ucapnya kesal. Aku mengenali suaranya. "Aku akan mengirim kalian pulang."

"Enak saja," balas Hansamu. Tetapi, tangannya menunjuk Sahala. "Aku tidak mau mengatakan kalimat berikutnya. Itu tidak sopan, Sahala."

Dari raut wajah Hansamu yang ditekuk. Tampaknya, Sahala tidak menerima penolakan.

"Hey, kau menyuruh Hansamu apaan sih?" Kutepuk pundak Sahala. Dia melirikku malas. Dari tatapannya, aku seperti merasa dia berkata, diam saja. Jangan ikut campur.

"Kekuatanmu bumi ya? Gunakan itu. Hansamu, berapa banyak mantra yang kau hafal?"

"Lumayan. Jujur, aku tidak terlalu suka menggunakannya."

"Kenapa?" desakku penasaran. Bukankah dengan bermodalkan sebaris mantra semuanya akan baik-baik saja? Itu adalah kelebihan anak Diwangka. Sayangnya, Hansamu tidak mau menggunakan bakatnya itu. Sejauh ini, dipikir-pikir memang tidak ada mantra sihir yang familiar kudengar.

Auman itu menggema. Seekor harimau melompat ke arah kami. Aku memejamkan mata sembari meremas kaos Sahala kuat-kuat.

Hansamu terjatuh, seekor harimau membuka mulutnya lebar-lebar di depan wajah Sahala. Sebelum mengkhawartikan orang lain, aku harusnya memperhatikan diriku sendiri.

Sahala bergerak mundur dengan luwes. Dia menghindari cakar harimau lain dengan tangkas. Satu dari samping ikut bertindak. Kami beruntung. Tetapi teman kami tidak.

"Hansamu," teriakku pada Sahala. Entah apa yang terjadi padanya sekarang. Ketakutan pada Hansamu yang akan celaka oleh harimau kini berganti.

Aku justru mengkhawartikan seorang Cindaku yang terhenyak pada Hansamu. Pemuda ramah yang jarang sekali marah tidak tampak pada diri Hansamu.

Tangan Hansamu yang menekan dada Cindaku berubah hitam seperti jelaga. Diiringi dengan berkas cahaya kehitaman menjalar di seluruh tubuh Cindaku.

Manusia harimau itu mendadak muntah darah. Langit bergumuruh, petir menyambar beberapa pohon di sekitar kami. Sesuatu mendorong Sahala hingga aku terjatuh ke tanah yang mulai basah oleh air dari langit.

Mambang yang berwarna hijau tampak bercahaya di bawah air hujan. Mereka terus bermunculan di sekitar kami. Ada amarah yang kurasakan.

"Maaf, teman-teman." Hansamu menarik tangannya, wajahnya berubah bersalah. Salah seorang mendekati Cindaku yang tergeletak di bawah tanah.

"Sihir hitam apa yang kau gunakan di tanah Minang kami?!"

Pria itu membentak sambil memeriksa kawannya yang terbujur kaku. Aku terperangah menatap Hansamu yang menunduk lesu.

"Tama!" Seseorang menyebut namanya. Kemudian dia menggeleng.

Tama bergerak seperti angin menerkam Hansamu dengan cakar yang melukai wajahnya. Sahala bergerak cepat menolong, sebelum Cindaku lain menyusul dengan serangan serupa.

"Itu Cuca Peruntus," kata Hansamu dengan napas tersenggal. Dia berusaha menghentikan darah yang merobek pipinya. "Itu ilmu sihir hitam tingkat tinggi yang memiliki efek mematikan. Mampu merusak dan menghancurkan organ tubuh seseorang tanpa sedikit pun melukai tubuh luar. Aku hanya sedikit mempengaruhi detak jantungnya."

Tidak ada seorang pun yang berkomentar. Sahala masih berdiri di depan Hansamu. Aku tidak tahu, kalau di Diwangka ada kelas yang mempelajari ilmu seperti itu.

Tama memperhatikan kami bertiga silih berganti. Lalu satu tangannya mengepal ke udara. Rintik air dari langit mulai bertambah deras.

"Atas nama tanah Minang. Aku mengutuk seorang Diwangka yang telah menggunakan ilmu Cucu Peruntus di tanah Kerinci. Seorang Demigod  dan seorang ...,"

Kalimat Tama terputus. Ditatapnya Sahala dengan seksama.

"Sebut namaku jika kau berani," sela Hansamu yang mewakili Sahala seperti biasa.

"Naga Padoha. Apa kau mau bertanggungjawab atas perbutan rekanmu? Seperti kau bertanggungjawab disegel Deak Parujar demi saudara laki-lakimu?"

Sahala berdecak dan Tama tersenyum sinis. Aku menatap Sahala dan Hansamu bergantian. Sahala adalah Naga Padoha? Benar-benar lelucon.

Naga Padoha tersegel di bawah Banua Tonga. Dia tidak mungkin berada di sini?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top