19

Rasanya tidurku belum cukup saat Hansamu menepuk-nepuk pipiku. Kereta berhenti di stasiun yang bisa dibilang tampak tidak seperti stasiun.

Rupa stasiun tersebut seperti halte bus dengan dua tiang kristal putih yang menyala terang di kedua sisi. Di timur, langit perlahan terang oleh cahaya fajar. Cahaya keemasannya turun di antara batang-batang pohon berlumut.

Tidak ada seorang pun yang turun di sini selain kami bertiga. Aku sendiri hampir tersandung ikan koi merah yang berenang di bawah lantai gerbong.

Udara di stasiun Kerinci dingin menusuk. Aku bergidik sambil memeluk diri sendiri. Aku tahu wilayah Jambi dan aku tahu mitologi setempat.

"Kenapa kita harus turun di Jambi? Dibandingkan menggunakan Senayan Express langsung ke Medan?" tanyaku yang pada akhirnya menyadari bahwa kami aman selama perjalanan.

Hansamu menatap Sahala, lalu melirik ke arahku. "Tidak bisa Aes. Setibanya di sana, Homang akan langsung menyerang kita."

"Aneh, mereka bisa menyerang di Lampung."

"Betul. Tapi Homang tidak bertahan lama di Senayan Express. Maka dari itu, mereka menggiring kita untuk keluar. Ikan koi akan meleburkan mereka."

Dan aku berharap ikan-ikan itu bisa bekerja lebih cepat. Sayangnya, aku tidak mengucapkan kalimat itu. Sahala sudah memulai perjalanan ke arah hutan melalui jalan setapak berkelok-kelok. Angin pagi berhembus lembut membawa wewangian aroma pagi hutan yang khas. Mau tidak mau, aku harus mengikutinya.

"Sahala punya rencana." Hansamu berkata sambil berjalan di sisiku. "Pertama, kita akan menyamarkan bau kita di setiap persinggahan. Kita harus menyesatkan para Homang yang menunggu kita di jalur Senayan Express. Itu ide yang dikatakan Laskara. Singgahlah dari satu tempat ke tempat lain."

"Ternyata, anak laki-laki suka berbagi rahasia," komentarku setengah sinis.

Hansamu tersenyum canggung sambil menepuk pundakku. Aku tidak menyalahkannya. Kami masih berjalan dalam diam melewati setapak. Matahari mulai merangkak naik. Membuat langit semakin cerah. Aku mulai merasa lapar dan memikirkan nasi kuning sebagai sarapan.

Sahala tidak menoleh ke belakang. Dia terus berjalan dalam diam. Kemudian, dia berhenti. Tidak ada tanda-tanda yang harusnya memperingatkan kami. Tetapi, sosok itu sudah berdiri menghalangi jalan. Dua laki-laki yang menggunakan celana kain berwarna hitam, dada mereka yang berotot tidak ditutupi sehelai kain. Dibanding itu, yang menjadi kami waspada adalah kepalanya adalah kepala harimau. Wajah itu melotot pada Sahala, kemudian aku dan Hansamu.

"Mitologi lain dilarang masuk di teritori ini. Anak-anak seperti kalian sebaiknya putar balik." Salah satu dari mereka berucap. Dia melipat tangan di depan dada sebagai bentuk ancaman barangkali.

"Kami hanya petualang." Hansamu berkomentar. "Kami tidak akan—"

"Kami tidak butuh nasehat dari penyihir cilik. Kau mungkin diizinkan. Tapi, dua kawanmu tidak."

Hansamu maju menghampiri Sahala. Mereka berdiri menghalangi arah pandanganku. Aku berniat turut serta, namun tangan Sahala bergerak mencegahku dari balik bahunya.

Aku yakin, dia sedang bertukar pikiran dengan Hansamu. Karena Hansamu berkata, "Jika kami tidak di izinkan lewat hutan. Maka kami akan memutar arah melewati Asrar."

Kalimat itu mengandung ancaman. Karena kedua Cindaku itu meraung tidak suka. Dia menggunakan ujung jarinya mendorong dada Hansamu hingga dia terdorong mundur. Wajah Cindaku itu beringas. Dipamerkannya gigi-gigi graham yang runcing pada Hansamu.

"Bau-bau anak perkemahan," kata Cindaku yang pertama. "Jika kalian ingin lewat. Setidaknya bahwa surat rekomendasi dari Nusa. Aku tidak bersikap lembut dari ini. Bau dua temanmu terlalu kuat. Kalian akan memancing hal-hal merepotkan."

Cindaku kedua masih menfokuskan tatapan ke arah Sahala. Sejak tadi, dia tidak melepaskan pandangannya. Dia memandang Sahala seperti bom yang bisa meledak kapan saja, sedangkan rekannya tampak mengimintidasi Hansamu.

"Kita bisa putar arah," ujarku demi mengalihkan perhatian. "Kalau di kota, itu bukan wilayah Cindaku, 'kan?"

"Hah? Kau bilang apa? Anak kecil, kemaharajaan Jambi mengawasi wilayah tersebut. Mungkin kau lupa tentang itu. Kecuali, Nusa tidak mengajarkan bahwa Demigod seperti kalian akan dibunuh sebelum memohon ampunan."

Aku mungkin lupa soal itu. Tetapi, bisa tidak? Dia tidak memanggilku anak kecil. Bukan berarti karena mereka adalah pria dewasa, remaja seperti kami dianggap sebelah mata. Kami bertiga sudah melalui banyak hal sampai di sini. Ancamannya bukan rintangan baru.

Aku mengertakkan gigi. Kupandang alam sekitar. Memohon roh alam di hutan Jambi bisa melakukan negoisasi kepada dua pengawas hutan. Perlahan, kontak batin pada abstrak alam membuahkan hasil.

Dari daun-daun pohon, semak-semak liar, batang pohon berlumut dan pohon tumbang. Bermunculan roh alam dalam simfoni warna hijau, mereka berbentuk bulatan cahaya hijau berpendar lembut.

"B- Bagaimana kau?"

"Apa?" balasku pada Cindaku pertama. Dia terbelalak padaku. Terkejut dan kesal.

"Dewo. Bagaimana kau memanggil Dewo?"

"Maksudmu roh alam di Jambi disebut Dewo?" tanyaku balik.

"Jawab pertanyaanku!" Dia menerobos Hansamu yang menahan lengannya, sedangkan Cindaku kedua menahan bahu Sahala kuat. Nyaliku ciut. Dia memiliki proporsi tubuh tinggi yang tegap. Aku merasa semakin bertambah kecil berdiri di bawah tatapan matanya.

"Ayahku yang mengajarkan berkomunikasi dengan roh alam. Apa? Semua orang pasti bisa melakukannya."

"Ayahmu? Tampaknya ayahmu tahu sesuatu dengan roh alam. Sudah berapa banyak roh alam yang kau kontak?"

Jantungku berdebar cepat. Rasanya seluruh tubuhku gemetar hebat. Cindaku pertama tampak menikmati reaksi tersebut.

"Roh alam yang pertama kukontak adalah roh alam dari tanah leluhurku di Tanimbar, kemudian Homang."

Aku hampir mengucapkan Homang yang mengejar kami gara-gara Borneo. Lalu melanjutkan. "Kemudian Iriah dari Lampung. Itu saja, ada satu di sini." Aku menepuk pundak kiriku. Sialnya, Anya muncul di pundak kanan.

Nonaku hebat, bukan?

Rasanya aku ingin memukul kepala ke arah batang pohon yang mengganggur. Bisa-bisanya Anya muncul dengan pertanyaan seperti itu. Namun, Cindaku kedua tampak tidak tersinggung. Dia menatap Anya dan diriku bolak-balik.

Kemudian, Anya melompat ke tanah. Bergabung dengan butiran-butiran cahaya kehijauan. Dia lantas tersenyum lebar ke arah kami.

"Dalam kepercayaan kami." Cindaku kedua yang sedari tadi diam. Kini, angkat suara. "Orang Kerinci percaya adanya roh yang disebut Semangat dan Aman yang memengaruhi kesehatan dan keselamatan seseorang. Mereka biasanya menghuni gunung, hulu sungai, langit, dan laut. Makhluk supernatural ini disebut dengan mambang, dewo, dan peri. Bisa berkomunikasi dan interaksi dengan mereka adalah tingkatan tinggi dalam spritualitas pada Sang Hyang."

"Dan kau bisa melakukan itu," sambung Cindaku pertama. Dia mengganguk. Entah kepada siapa. "Mambang menjamin dirimu dan teman-temanmu. Kalian akan diizinkan lewat sampai batas wilayah. Tapi, ada satu syarat. Kami ingin tahu alasan anak Palapa menempuh perjalanan jauh dari perkemahan tanpa surat rekomendasi."

___/__/____
Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top