16
Aku membuka mulut dan menutupnya lagi. Apa sedang asyik memakan cokelat yang diambilnya dari kabinet. Aku mencoba mengumpulkan keberanian. Bayanganku tentang naga perkasa, tua dan bijak lenyap begitu saja.
Sketsa mengerikan pada buku dan wajah Apa adalah kombinasi yang berbanding terbalik. Aku bingung menjabarkannya. Lalu teringat peringatan di catatan kaki tadi. Jangan tertipu dengan yang terlihat.
Peringatannya jelas. Aku menarik napas dalam-dalam dengan keberanian yang berhasil terkumpul. "Apa?"
"Ya? Ada makanan?"
Aku menggeleng. "Kau bisa mengantar kami ke Medan melewati sungai Asrar?"
Anak itu mengalihkan tatapannya dari colekat ke arahku. Seperti busur panah yang menembus. Mata polosnya berubah mencekam. Tampaknya aku mengusik sesuatu yang salah.
"Tidak boleh," ucapnya dingin. "Jalan-jalan saja di sungai Musi."
"Apa bilang mau membantu tadi," bujukku, "Borneo, naga Hansamu diculik Naga Padoha. Kami harus menyelamatkannya. Naga dan penunggangnya terikat. Apa tidak mau membantu? Borneo naga juga. Dia naga dari Kalimantan."
"Penunggang naga?" Anak itu melompat turun dari sofa. Jendela-jendela kayu terbuka dan tertutup dengan bantingan keras. Kapal bergoyang aneh. Aku harus berpegangan pada kursi kayu yang menempel di dinding kapal.
"Mereka teman Sahala?" Apa menunjukku dan Hansamu. Matanya menatap Sahala. Si Tinggi tampak tidak terlalu peduli melirikku dan Hansamu. Tetapi dia mengganguk.
"Tidak boleh. Anak-anak ini jahat! Naga tidak boleh seperti kuda. Naga terhormat."
Aku menjerit tercekik. Tubuhku dan Hansamu melayang ke udara. Oksigen dalam paru-paruku seolah dirampas. Aku mangap-mangap seperti ikan yang keluar dari dalam air. Mata Apa beringas, berbahaya dan penuh ancaman. Menatapnya lebih dalam, seakan ada penyiksaan yang lebih dari ini.
Kepalaku bedenyut dan rasanya ada sesuatu yang memukul-mukul kepalaku dengan kuat. Aku kesakitan dan sesak. Bocah enam tahun ini akan membunuh kami. Hansamu mencoba merapalkan beberapa mantra. Tetapi, tindakan itu semakin mempercepat penyiksaan.
"Sahala. Kenapa?" Apa bertanya muram.
Aku tidak tahu. Mereka bertukar apa dalam benak. Berharap Sahala bisa cepat-cepat melakukan negoisasi. Setiap detik, kesadaranku menepis. Aku sudah tidak bisa mendengar apa pun. Segala yang kulihat berubah menjadi titik-titik kuning. Kemudian, rasa sakit menghantam kaki, lutut dan kepalaku di lantai kapal.
Seseorang membantuku berdiri dan itu adalah Sahala. Dia masih berwajah dingin dan datar. Tatapan matanya lurus kepadaku hitam pekat dan misterius.
"Aes. Kau tidak apa-apa?"
Wajah Hansamu yang memerah muncul di belakang Sahala. Mungkin wajahku juga seperti itu.
"Ya," sahutku lemah. Rasanya mau mati tadi.
Hansamu terlihat lega. Lalu dia berkata, "Apa bilang, kita harus memanggilnya Yang Mulia."
"Apa?" Maksudku apa yang kalimat tanya. Kenapa juga dia memilih nama itu. Sulit sekali memahaminya dalam beragam situasi.
"Yang Mulia." Hansamu mengoreksi. Bocah itu kembali duduk di singgasananya. Matanya masih menatapku tidak suka. Tatapan ramah dan polosnya meghilang.
"Yang Mulia, terima kasih," kataku hati-hati. Dia mengganguk kecil. Hujan belati dari matanya masih tidak dipalingkan. Aku tidak yakin, kami bisa mengambil hatinya. Lalu aku tersadar. Sahala terus saja merangkul lenganku. Aku buru-buru melepaskannya. Mendadak, Apa— Yang Mulia Tamboga tertawa terbahak-bahak. Dia menatap Sahala dengan tatapan cibiran.
"Kita harus apa?" Kami harus kembali fokus. Suasana hati bocah kematian di depan kami tidak bisa ditebak.
"Aku belum pernah bertemu naga mitologi Aes." Hansamu berusaha berpikir. "Ini juga pengalaman pertamaku. Tapi, kata sesepuh. Penting mengambil hati naga. Kita harus menunjukkan tata krama pada mereka."
Kami berdua saling menatap dalam diam. Lalu berpaling pada Yang Mulia Tamboga yang masih terkikik. Dia masih saja menertawakan Sahala.
"Sahala," ucapku. Kali pertama memanggil namanya. Dia menatapku seperti tersengat listrik. "Kita harus apa? Agar naga ini mau membantu? Apa dia sekutu Naga Padoha? Kau ada cara? Tampaknya kalian—"
"Naga Padoha teman Tapa Tamboga." Yang Mulia Tamboga menyela nyaring. Berdiri di atas sofa sambil tersenyum lebar pada Sahala. Dia melirikku hina. Tampak tidak sekasta dengannya. Lebih tertarik pada Sahala. Bahkan Hansamu jauh lebih buruk. Mungkin aku salah, kalau bilang dia punya naga yang dijadikan hewan tunggangan.
"Penunggang mati saja sih? Sahala senang tidak?"
Yang Mulia Tamboga masih asyik berbicara dengan Sahala lewat telepati. Jelas-jelas mengabaikan kami. Si Tinggi hanya menunda waktu kematianku dan Hansamu.
"Tidak mau!" Yang Mulia menggeleng. " Apa tidak mau. Sahala, main yuk?"
Sepertinya Sahala menolak. Wajah Apa berubah memerah. Dia menatap kami murka. Hansamu menarik lenganku dan mundur di belakang Sahala. Dia memberi isyarat dengan telunjuk di depan bibir. Aku menurut tanpa suara. Lalu ada yang meledak. Tidak tahu dari mana asalnya. Yang pasti, ada selubung hitam di sekeliling kami bertiga.
Dibaliknya, ledakan dan kembang api terlihat jelas. Suara Apa yang menangis dan merajuk menjadi satu.
"Aes, buka bukunya." Hansamu berseru. "Pasti ada sesuatu dalam bukumu yang bisa mengatasi Yang Mulia."
"Kau benar."
Kukeluarkan buku itu dari dalam tas. Membalik setiap halaman dengan tangan gemetar dan membaca cepat. Kemudian aku mendapatkannya.
Saat aku berbincang dengan Apa. Dia seperti bocah manusia yang merindukan keluarganya, kesepian. Aku mengajaknya pergi ke perkemahan. Tetapi, dia tidak mau. Aku tidak tahu kenapa, kujelaskan padanya. Bahwa perkemahan tempat terbaik. Dia bisa mengambil wujud manusia fana dan meninggalkan tubuh debatanya di sungai Musi.
Lalu kusadari, Apa sedang menunggu. Dia menunggu keluarganya. Berharap mereka akan segera menjemputnya. Jika dia pergi ke perkemahan. Itu artinya, dia menerima takdir bahwa tidak ada seorang pun yang datang untuknya.
Anak malang ini merindukan keluarganya. Kadang-kadang aku harus mampir di sini dan bermain bersamanya. Dia suka cokelat dan emas. Lebih baik mengajaknya bermain daripada membuatnya kesal. Bocah ini sedikit merepotkan. Amarahnya bisa membuat sungai Musi bergejolak. Aku tidak mau bertanggungjawab soal itu.
"Itu dia!" Aku menutup buku dan memandang Hansamu. "Ayo ajak dia bermain sepanjang sungai Asrar. Dia pasti mau."
"Ide bagus. Aku akan serahkan semua makanan ringan milikku untuknya sebagai imbalan. Sahala?" panggil Hansamu.
Sahala menoleh ke belakang. Dia dan Hansamu bertukar pikiran dalam diam lalu mengganguk takzim. Selubung di sekeliling kami memudar. Kembang api dan ledakan juga ikut menghilang.
Kabinnya berantakan. Semua kayu berubah hitam dan gosong. Emas dan cokelatnya tampak baik-baik saja, sedangkan Yang Mulia Tamboga menelengkan kepala penuh minat padaku dan Hansamu. Dia berhasil dibujuk.
"Kalian mau bermain bersama Apa?" tanyanya.
"Mau. Tapi, hanya sepanjang sungai Asrar. Benarkan, Hansamu?" Aku menyikut pinggulnya.
"Benar. Aku punya banyak cemilan di sini. Kita akan bermain dan makan sambil berlayar di sungai Asrar."
Yang Mulia Tamboga duduk melipat tangan di depan dada. Alisnya bertaut. Dia tampak berpikir keras. Menimbang-nimang pilihan bijak. Membunuh kami atau bermain bersama kami.
Aku dan Hansamu masih bersembunyi di belakang Sahala. Kami berdua masih ragu keluar dari pelindungnya. Aroma gosong masih tercium. Kapal ini terlihat baik-baik saja. Aku berdoa, semoga dia tidak tenggelam karena terbakar oleh ledakan.
"Sungai Asrar berbahaya." Apa berujar. "Tidak semua makhluk boleh lewat. Wilayah terlarang. Naik pesawat saja."
Itu ide bagus. Sayangnya, siapa yang mau mendanai kami. Kalau Apa memberikan emasnya satu sebagai sponsor, tidak ada tawaran yang lebih baik. Tetapi, Yava lebih suka menggunakan Senayan Express.
"Tidak bisa main di pesawat," ujar Hansamu. Apa menatapnya kesal. "Kalau di sungai Asrar. Kita bisa bermain. Mau main ular tangga?"
"Ular tangga? Ularnya naik tangga?" Mata Yang Mulia Tamboga berkedip. Sekarang dia terlihat penasaran. "Bagaimana caranya?"
"Akan kami ajarkan kalau pergi ke Jambi lewat sungai Asrar. Apa ada Debata lain di sini? Kita bisa mengajaknya kalau Yang Mulia mau."
Yang Mulia Tamboga memekik nyaring. Aku terpaksa menutup kedua telinga. Dia berteriak histeris.
"Tidak boleh ada Hyang!"
Terserah kalau kataku. Kami toh diizinkan melintas sungai Asrar hanya bersamanya.
Kapal Yang Mulia Tamboga berubah bersih seperti sedia kala dalam sedetik. Hansamu dan aku bergantian mengajarkan Yang Mulia mengocok dadu. Sungguh tidak terduga, Hansamu membawa mainan itu ke dalam tas sabuknya.
Sahala tidak menemani. Dia duduk di buritan belakang. Bersandar pada salah satu tempat dan duduk di sana. Citra sungai Musi berganti dengan hutan yang penuh suara serangga. Kapal ini digiring oleh rombongan ikan emas selama berlayar.
Yang Mulia bilang. Sungainya aman, namun pinggiran sungai tidak. Banyak makhluk yang mengamati dari sana. Beberapa akan berusaha mengacau. Kami mujur, karena kami menumpang kapal naga Tapa Tamboga.
Permainan itu terasa seru dan menyenangkan. Rasanya, aku tidak ingin berhenti. Aku mulai lupa, mengapa kami ada di sini? Mengapa bermain ular tangga jadi terasa berbeda dari sebelumnya? Aku tidak tahu. Tetapi tidak ambil pusing. Suara tawa Yang Mulia Tamboga dan Hansamu semakin membuatku semangat. Aku merasa jauh lebih senang bermain. Tidak ada hal menarik lainnya.
Anehnya, semakin aku merasa ingin bermain terus. Bahuku semakin berat. Seolah-olah, seseorang menaruh beban di atasnya sedikit demi sedikit.
Non, sadar. Non?
Aku mengerjab. Menoleh ke arah bahu kiriku, kemudian terbelalak. "A- Anya?"
Hai, Non? Ayo bangun.
"Bangun? Kau bisa bicara?"
Bisa dengan restu alam. Non, kau harus bangun.
Alisku bertaut. "Aku sedang main ular tangga, Anya. Ini menyenangkan. Kau harus melihatnya."
Aku menunjuk ke arah dadu yang dilempar Hansamu. Secara mengejutkan, Anya melompat ke keningku. Tubuhnya itu hanya butiran air. Anehnya, jidatku terasa sakit.
Sadar, Non. Tapa Tamboga menyihir kalian. Malam sudah larut. Ingat tujuan Non datang ke sini. Naga, Borneo, Naga Padoha? Sahala?
Jiwaku seperti ditarik. Aku melihat sekeliling. Kami masih berada di kapal yang sama. Hansamu dan Yang Mulia masih menghitung petak. Sahala menatapku murka. Dia hanya berdiri. Lalu menunjuk sesuatu di depannya. Aku menyipitkan mata untuk melihat. Tidak ada yang aneh di depannya.
Non? Dia bilang bangunkan Hansamu. Dia sudah berusaha menyadarkan kalian. Naga Tapa Tamboga hanya berlayar memutar. Kalian tidak pernah berlayar menuju Jambi.
Aku mengerjab. Buru-buru berdiri dari atas meja. Lalu ada yang pecah tiba-tiba. Kemudian, Sahala memukul kepala Hansamu dengan begitu cepat.
Tentu saja pasti sakit. Hansamu ingin balas memukul. Kepalan tangannya berhenti di udara dalam sedetik sebelum menyentuh wajah Sahala. Kemudian tangannya turun, Hansamu menatapku dan Yang Mulia Tamboga silih berganti.
"Nakal. Sahala nakal." Yang Mulia Tamboga merajuk tidak suka.
Aku terperangah, saat tanganku ditarik Sahala. Dia juga menarik tangan Hansamu menjauh dari kertas ular tangga. Sahala membawa kami keluar dari kabin kapal. Kudengar Yang Mulia terisak dan bergumam lirih di belakang.
Non, dia menangis. Tapi, dia tidak akan pernah bisa membawa kalian melintas Asrar. Aku bersimpati padanya.
"Tunggu!" Aku menahan langkah Sahala. Tampaknya dia ingin membawa kami keluar dari kapal ini. "Aku akan bicara pada Tapa Tamboga."
"Namanya Yang Mulia, Aes." Hansamu mengoreksi.
"Tapa Tamboga." Aku mengulang. "Kita dari perkemahan Palapa. Kita harus membawa misi Bhineka Tunggal Ika."
Aku terpaksa menghempaskan kasar tangan Sahala. Lalu berbalik menghadapi bocah malang yang sedang membersihkan ingus dengan lipatan kutangnya.
"Naga Tapa Tamboga," ucapku sambil berlutut satu kaki di depannya. "Aku bersedia menjadi teman mainmu. Kita bisa bermain sepanjang waktu. Namun, ada urusan yang harus kami kerjakan. Naga-naga di Aestival dalam bahaya. Para penunggang terancam. Kami harus menyelamatkan mereka."
"Aes benar." Hansamu ikut berlutut di sampingku. Aku tersenyum lembut padanya. "Aku dan Borneo menjalin ikatan seperti seorang saudara dalam naga dan penunggangnya. Jika kami memiliki maksud buruk. Naga tidak akan menerima kami dari awal."
Hansamu lantas mengulurkan tangan ke depan. "Aku dengar, Debata bisa mengambil wujud manusia dan meninggalkan wujud Debatanya di tempat asal. Yang Mulia ingin mencari keluarga?"
Kata-kata itu berhasil menghipnotis bocah yang bingung kupanggil namanya. Dia menerima uluran tangan Hansamu.
"Keluarga?"
Hansamu mengganguk. "Di perkemahan Palapa banyak keluarga. Banyak teman dan permainan. Yang Mulia tidak perlu berpura-pura menjadi manusia di pinggir sungai Musi untuk bermain."
"Seperti Sahala?"
Aku tidak paham apa maksudnya. Hansamu juga kebingungan. Dia diam sebentar. Namun, aku melihat pupil matanya melebar dan ujung bibirnya tertarik tipis.
"Benar," ucap Hansamu kalem. "Seperti Sahala."
_/_/___//
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top