14

Menjadi Demigod air, bukan berarti aku menguasai banyak hal tentang air. Aku masih seorang remaja yang perlu banyak belajar. Tidak cukup berpengalaman untuk menghadapi rintangan di depan.

Seseorang mungkin menyerah. Namun aku tidak. Menyerah bukanlah jiwa pemberani. Seorang pemberani tidak akan menyerah. Aku ingat kata Asta di episode 145, 'Pantang Menyerah Adalah Sihirku.' Jadi, seharusnya aku juga bisa. Segala sesuatu pasti ada jalan keluarnya.

Aku berusaha tenang. Panik tidak ada gunanya. Samsara atau Diwangka. Siapa pun punya cakra atau energi sihir yang mereka miliki. Aku sudah berada cukup dekat dengan Hansamu belakangan ini. Seharusnya, aku cukup familiar merasakan cakranya.

Aku kembali memejamkan mata. Merasakan aliran udara di sekitar. Tidak ada yang terjadi. Justru hal lain yang menyambutku. Di pinggir sungai. Dibalik pepohonan, ada Iriah berbentuk wortel seukuran bola basket. Bayangkan saja, badan wortel yang orange itu berwarna hijau muda dan bagian atasnya tetap berwarna sama hanya saja daun-daun di atas kepalanya memiliki cahaya redup. Serta sepasang wajah dengan ekspresi penuh ingin tahu. 

Mereka bergerombolan. Kanan dan kiri sungai. Mata mereka yang bulat tampak sangat menggemaskan. Lalu aku sadar, roh alam kadang bisa menyesatkanku. Tetapi, aku memberanikan diri mengambil risiko.

"Ingin membantu?"

Hanya suara gemerisik dedaunan. Kuyakini itu jawaban Ya. Seutas akar gantung berwarna hijau tiba-tiba dilemparkan dari kedua sisi. Akar tersebut melilit pinggangku dengan kuat. Aku benar, roh alam kadang menyesatkan. Bukannya menolong, aku malah ditangkap.

Begitu aku berpikir seperti itu. Iriah Pohon tidak melakukan apa pun. Mereka masih diam di tempat dan mengamatiku. Kemudian aku tersadar, arus air itu mulai melebur dan bersatu menjadi pusaran yang besar. Tubuhku secara mengejutkan ditarik ke udara tepat sebelum kakiku terisap.

Aku memandang para Iriah Pohon dengan tatapan penuh sesal. Akar ini menyelamatkanku. Aku semakin yakin bahwa Hansamu pasti terseret di bawah sana. Sesuatu muncul dalam benakku. Aku mendapatkan firasat bahwa aku harus masuk ke dalam arus. 

"Aku percaya pada kalian semua," seruku pada Iriah Pohon. Perlahan namun pasti. Tarikan di akar melonggar lalu melepaskanku. Tubuhku tercebur ke dalam pusaran air.

Tidak ada yang bisa dilihat. Kepalaku pusing, tubuhku seperti diputar, diaduk dan aku merasa mual. Di dalam sini, arus terasa cepat. Tetapi, aku bisa melihat semuanya dengan jelas. Ikan-ikan beraneka bentuk berenang melewatiku. Seakan tidak terusik oleh keberadaan orang asing di sekitarnya.

Aku berenang mengikuti arah mereka. Meneriakkan nama Hansamu dalam air. Jangan khawatir, aku bisa bernapas di sini. Aku bukan ikan dengan insan di telinga. Pernapasanku masih menggunakan paru-paru. 

"Terlalu nekat." Suara feminim yang mencemooh. Hanya suara tanpa wujud.

"Kembalikan temanku!" balasku tegas, "apa yang kau inginkan? Bebaskan dia."

"Gadis yang buruk, temperamental, kepala batu dan pendatang baru."

Aku tidak butuh komentarnya tentang diriku. Aku menatap sekeliling. Jelas ini bukan Iriah air yang berbicara. Mereka hanya berbicara lewat energi alam dalam bahasa batin. Entitas satu ini memiliki wujud nyata. Bagiku, dia cukup pengecut karena tidak berani menampakkan diri.

"Kembalikan temanku!" ucapku lagi, "dasar pengecut. Apa kau takut gadis temperamental ini akan melukai wajahmu?"

Sesuatu meletup dalam udara. Di depanku, tampak seorang wanita dengan kain berwarna kuning yang melingkari tubuhnya sampai atas lutut. Seolah sengaja memamerkan kaki jenjangnya yang putih mulus. 

Dia juga mengenakan gelang bulat emas di kedua lengannya. Rambut hitamnya yang tergerai bergerak meliuk mengikuti aliran air.

"Kau wujud fana sungai ini," kataku menuduh. Ujung bibir wanita itu tertarik tipis. Kurasa aku benar.

"Namaku Vivi."

"Aku tidak tanya."

"Nah, sombong sekali kau gadis kecil."

Aku mengertakkan gigi. Kami tidak bisa terus-menerus melemparkan sindiran. Aku yakin, Vivi yang menyembunyikan Hansamu. Memaksanya secara kasar tidak akan membantu. Aku memikirkan cara lain menyelamatkan Hansamu sambil mengecohnya. Busur tidak bisa digunakan di dalam air.

"Kau pasti kesepian." Aku mencoba. "Sendirian di sungai ini tanpa siapa-siapa hingga menculik orang lain. Wanita malang."

"Jangan sok tahu." Vivi maju selangkah dan aku mundur selangkah. "Ini rumahku. Jaga adab dan sopan santunmu."

"Kalau begitu, kembalikan Hansamu. Dia milikku. Jika kau wanita terhormat. Seharusnya kau tidak mengambil milik wanita lain. Aduh—"

Rambutku dijambak. Aku berusaha menggapai balik rambutnya untuk membalas. Sialnya, Vivi malah menyeretku dan memaksaku untuk ikut dengannya. 

Citra air ini perlahan berubah. Tahu-tahu, aku berjalan di antara koridor dengan pilar-pilar putih gading. Lantainya berkeramik bersih. Beberapa pria dengan tombak berdiri di antara pilar, menatapku heran. Sekaligus penuh minat. Tubuhku tahu-tahu dihempaskan ke arah mereka.

"Kurung dia! Manusia pengacau!"

Aku memberontak. Kedua lenganku ditahan kuat. Sulit rasanya membebaskan diri. Dua prajurit ini berganti menyeretku ke dalam sebuah ruangan yang memiliki tangga ke arah bawah. Dan dengan kasar mendorongku ke dalam kegelapan pekat di dasar tangga.

Tubuhku terseret di lantai yang dingin dan bau amis. Tempat ini pengap dan sedikit basah. Saat aku bangkit menuju cahaya, tubuhku terpental mundur membentur dinding. Punggungku mati rasa. Aku mengarang kesakitan.

Kutarik bandana dari atas rambutku. Kemudian menarik anak panah yang terbentuk dari cahaya kebiruan. Tembakan itu melesat menembus cahaya di depan dan lenyap begitu saja. Entah berhasil atau tidak.

Tidak putus asa. Aku kembali menarik busur dan tahu-tahu saja seseorang menepis tanganku kasar. Wajahku pun ditendang begitu kuat.

"S- Siapa?" ucapku sambil meringgis. Vivi benar-benar tidak ragu membuatku babak belur.

"Nona bilang kami boleh menghukummu." Tubuhku merinding. 

"Benar. Jarang sekali ada manusia di sini." Suara pria kedua membuatku merangsek mundur. Aku menoleh ke sana kemari. Mencari-cari sumber suara dalam kegelapan.

Pekikanku tercekat. Seseorang berdiri di belakangku dan merentangkan kedua tanganku. Napas amis tercium di sekitar tengkuk.

"Jangan bergerak. Kita akan menyelesaikan ini dengan cepat." 

"Bajing—" 

Mulutku dibekap dari belakang. Tubuhku menggigil saat ia berbisik. "Sstt, diam."

Aku melawan. Kedua kakiku mencoba menendang-nendang tangan dingin lain yang mencoba menyentuhku dari arah bawah. Mereka pikir, mereka bisa mengalahkan seorang anak perempuan dengan begitu kuat.

Amarahku bangkit. Kurasakan seluruh tubuhku memanas. Aku bukan gadis lemah yang bisa dengan mudah digerayangi. 

Lalu kulepaskan ledakan dan amukkan dalam tubuhku. Kedua pria amis itu tiba-tiba terpental entah ke mana. Busurku kembali di tangan. Lalu aku menarik satu anak panah bertubi-tubi dengan gerakan memutar. Terus-menerus memanah sampai terdengar jerit kesakitan di sudut kegelapan.

Aku pun meluncur menuju sumber cahaya dengan gelombang air di bawah kaki. Semakin aku mendekat cahaya tersebut. Aku terus memanah tanpa berhenti. Tidak peduli betapa sia-sianya tembakan itu. Lalu, saat cukup dekat. Aku mengepalkan telapak tangan kiriku yang terbungkus air dan meninjunya dengan kuat.

Pilar tersebut runtuh dan aku buru-buru berlari naik di atas tangga. Dua pria ikan itu berteriak frustasi dari belakang. Serangan tadi mungkin tidak terlalu mencederai mereka. Namun, aku tidak peduli. 

Aku terus berlari tanpa menoleh. Karena derap kaki yang mengikuti dari belakang menjelaskan semuanya. Bangunan putih gading ini mirip istana. Mau di mana pun, aroma amis itu terus tercium.

Kumanfaatkan air di sekeliling tempat ini untuk mencari Hansamu dengan mengalirkan cakraku ke dalamnya. Kemudian, melepaskannya untuk menarik seperti medan magnet

Para pelayan wanita yang kutemui. Kuhempaskan jauh-jauh sebelum mereka memekik. Samar-samar, aku bisa merasakan hawa keberadaan Hansamu dibalik pintu diujung koridor.

Kubiarkan dorongan air mendobrak pintu kayu tersebut sampai terbuka lebar. Di atas tempat tidur kelambu. Wajah Vivi memerah kesal. Mata sipitnya terbelalak padaku. Sialnya, aku melihat Hansamu di bawahnya. Tertindih dengan kedua tangan terikat kain.

"Aes?" ucapnya lega.

"Kau baik-baik saja?"

"Buruk."

"Sialan!" Vivi menyela dan itu bukan pertanda bagus.

"Dia pacarku. Sudah kubilang, kau tidak bisa memilikiku. Jantungku tidak enak."

Alisku bertaut. Aku tidak paham dengan apa yang Hansamu katakan. Pacar? Jantung? Memiliku? Apa pun itu. Aku bisa menanyakannya nanti.

Sosok Vivi berubah menyeramkan. Mata sipitnya membulat besar seakan ingin melompat keluar. Urat-urat di wajahnya menyembul tidak normal.

"Jangan serang dia, Aes!"

Panah yang siap membidik, kutahan mati-matian agar tidak terlepas. Aku melirik Hansamu kebingungan.

"Dia menculikmu. Aku harus—"

"Membunuhnya? Tidak, jangan lakukan itu."

Busur kuturunkan. Entahlah, aku terlalu tercengang dengan alasan Hansamu atau aku hampir lupa diri membunuh seseorang. Memikirkan itu, membuat tubuhku sedikit bergidik ngeri 

"Dia menyuruh anak buahnya untuk menyentuh tubuhku!" Aku mengatakannya dengan rasa kebencian yang begitu menjijikkan.

Mulut Hansamu terbuka. Tetapi, tidak ada sepatah kata yang ia ucapkan. Aku menggeleng tidak mengerti padanya. Begitu aku ingin mengangkat busur. Sesuatu melintas begitu cepat di samping telingaku. 

Perutku mendadak sakit dan mual. Vivi buyar dalam udara. Di tempatnya berdiri, ada Sahala dengan pedang perunggu merah bergerigi yang berkilat-kilat berbahaya. Dia lalu bergerak memotong kain yang mengikat lengan Hansamu.

"Kau!" Aku kehilangan kata-kata untuk berkomentar.

Sebelum kami sempat bicara. Pijakan di bawah kakiku bergetar. Lalu, embusan angin menerjang tubuhku. Begitu tersadar aku melihat cahaya matahari yang menyilaukan dan pantatku mendarat keras di atas papan kayu. Air pun terciprat di mana-mana. Sumpah serapah yang kukenal baik, membuat telingaku sakit.

"Bagaimana kita?" tanyaku bingung. Mataku dan mata Bawang bertemu.

"Baguslah, kau masih hidup," ucap Bawang tanpa minat. Dia lalu menelengkan kepala ke arah belakang. Seolah - olah, kepergian kami bukan sesuatu yang patut dicemaskan.

"Kau pasti lengah. Itulah alasannya kau diculik Vivi. Dan kau, anggota baru. Siapa kau sebenarnya? Bagaimana kau bisa membawa dirimu mengikuti kapal ini? Tunggu, kau pasti diam-diam mengikuti kami?"

Perahu ini kecil. Jadi, aku harus bersusah payah menoleh ke belakang. Sahala memutar bola mata malas. Dia duduk malas di belakang Hansamu. Menggunakan buntalan-buntalan Bawang sebagai sandaran.

"Maafkan aku Aes. Tadi, pikiranku terbagi untuk Borneo. Sayup-sayup, aku mendengar seseorang berbisik-bisik dan aku tidak ingat apa-apa selain tersadar di atas tempat tidurnya."

Perutku kembali sakit. Aku memilih memutar badan menghadap ke depan. Bingung harus berkata apa pada Hansamu. Aku pikir, dia tidak lagi terpukul. Nyatanya, bayang-bayang Borneo masih menggucang jiwanya. 

Aku diam sebentar. Berusaha menyusun kalimat yang baik untuk diucapkan. Tetapi sebelum itu. Hansamu kembali berujar. "Kau baik-baik saja, Aes? Apa itu menggangumu?"

Aku cukup yakin, apa yang sedang dimaksud oleh Hansamu. Jadi, aku mengganguk. "Ayahku mengajarkan jurus-jurus pamungkas untuk menghadapi keadaan itu."

Itu benar. Saat tahu, aku mendapatkan menstruasi pertama. Ayah memaksaku belajar bela diri. Jangan berpikir konyol. Aku tidak punya ibu sejak kecil. Tidak ada seorang pun yang bisa kuajak cerita soal itu pada ayah. Lagipula, ayah kelihatan panik. Dia memborong beragam merk pembalut wanita untukku.

Ayah bilang, bukan tidak mungkin. Aku akan berada di situasi ketika seseorang ingin menyentuh tubuhku. Aku dilarang panik, jika aku panik. Aku tidak bisa melawan. Aku juga dilarang menunjukkan kelemahan. Apa pun yang terjadi, lawan tidak boleh membaca kelemahan kita. Sebaliknya, aku harus memberikan dia balasan yang setimpal. Misalnya, menghancurkan masa depan mereka agar tidak bisa digunakan untuk menggoda perempuan lain.

"Aes?" Suara Hansamu melembut di belakang. Tampaknya, aku kebanyakan berpikir.

"Aku baik-baik saja, Hansamu. Percaya padaku. Selain bokongku yang sakit menghantam perahu jelek ini."

Bawang mendadak menoleh dengan tatapan sinis. "Jelek?"

"Emm, jadi … begitu. Hansamu, kenapa tadi kau melarangku menyerang Vivi? Tubuhku babak belur." Aku harus mengalihkan pembicaraan.

"Kau terluka?" Suaranya mengandung kepanikan.

"Ya, tapi. Air menyembuhkan semuanya."

"Begitu? Tidak, kita tidak boleh membunuh makhluk apa pun. Bukan kuasa kita melakukannya."

Aku tidak paham apa maksudnya. Aku hanya bergumam untuk membalas kalimat Hansamu. "Sahala membunuhnya."

"Tidak." Bawang mendadak ikut menyela. "Selama sungai ini masih ada. Vivi tidak akan mati. Temanmu itu cuma membuyarkannya. Dia akan kembali mewujud. Agak lama tapi tidak terlalu."

"Kenapa kau tidak balik menyelamatkan kami? Laskara memintamu menjaga kami." Aku masih kesal karena sikap cuek Bawang.

"Aku sudah membantu kalian."

"Di mana?" kataku menyindir. "Duduk bersiul di haluan perahu ini?"

"Teman bisumu menolong kalian. Dia mungkin bisa mengelabui temannya sendiri. Tapi dia tidak bisa mengelabui Lampung. Laskara punya banyak mata. Dia tahu, ada seorang di kelompok kalian yang berjalan jauh mengamati. Aku bersiul untuk memanggilnya datang membantu."

Sungguh mengejutkan. Aku menoleh ke belakang. Menatap Sahala yang tampak tertidur di bawah matahari terik. Kemudian, matanya terbuka. Aku buru-buru menoleh kembali ke depan.

"Dia memang selalu mengikuti kita."

Aku semakin terkejut mendengar suara Hansamu. Aku balik menoleh ke arahnya.

"Tampaknya dia tidak suka berjalan bersama kita."

"Jadi, selama ini kau tahu?" tanyaku dengan perasaan terpukul. Para anak laki-laki ini tahu keberadaan Sahala. Lantas, kenapa aku tidak? Rasanya menyakitkan. 

"Dia tidak suka berdekatan dengan perempuan. Itulah dia menjaga jarak."

Aku tidak butuh pendapat Bawang. Beruntung, dia tidak menoleh. Aku tidak mau melihat wajahnya yang sok tahu itu. Saat matahari di atas kepala. Pelayaran kami terhenti. Ada sebuah dermaga kecil di pinggir sungai.

Perahu menepi. Satu buntalan lusuh diserahkan Bawang padaku. Namun, diambil oleh Hansamu dengan cepat. Manusia Bawang ini pasti sengaja ingin membuatku membawa beban.

"Makanan kalian selama perjalanan. Ini perbatasan." Bawang menatap kami satu persatu. Binar matanya tampak lega melepas tiga remaja merepotkan. "Keluar dari dermaga ini. Kalian akan menemukan pinggiran sungai Musi. Berhati-hati. Makhluk pengganggu seperti Vivi ada banyak. Tidak banyak penjaga alam seperti Laskara yang akan membantu kalian."

"Tunggu. Kita udah di Palembang? Hanya setengah hari?" Sungguh di luar akal sehat. Tetapi, sihir selalu seperti itu bukan?

"Ck, ini sungai ghaib. Sungai yang tidak mungkin dilihat oleh manusia. Tapi, memang seperti itu. Orientasi waktunya berbeda dengan waktu para sudra. Sejujurnya, ini mengalir dari Aceh sampai Lampung dan sebaliknya."

"Kalau begitu, kita bisa ikut sungai ini sampai ke Medan. Perjalanan kita bisa selesai lebih cepat."

"Tidak Aes." Hansamu menepuk pundakku. "Tiap sungai melewati tiap provinsi. Setiap provinsi punya mitologinya sendiri. Kita tidak bisa melewatinya begitu saja. Ini aliran sungai Lampung, batas akhir kekuasaan Laskara." 

Hansamu lantas menoleh ke arah Bawang. "Kalian menyebut apa nama sungainya?"

"Asrar," sahut Bawang, "Laskara menyarankan kalian melewati setiap Asrar. Untuk itu kalian perlu menemui penjaga masing-masing wilayah guna minta izin melintasinya. Tapi, aku rasa percuma. Penjaga lain tidak sebaik Laskara. Sungai Asrar keramat. Itu jalur privasi. Tidak semua makhluk diizinkan melintasinya. Emm, aku sudah banyak bicara. Aku harus pergi sekarang."

Setelah mengucapkan salam perpisahan. Bawang melompat ke atas perahu. Lambat laun, perahu dan dirinya buyar ke dalam kabut. Aku menghela napas. Yang benar saja, kami tidak mungkin menyusuri hutan untuk minta izin setiap makhluk mitologi. Saat berpikir seperti itu, bayangan Sahala telah lenyap. 

"Dia pergi lagi?"

"Ya, biarkan dia." Hansamu melangkah di depan. "Ayo, Aes. Nasehat Laskara benar. Kita hanya bisa melewati Asrar. Itu satu-satunya jalan di mana Debata Batak tidak bisa masuk. Sungai Asrar tidak mengizinkan mitologi provinsi lain masuk ke wilayah orang lain. Kita aman dari jangkauannya."

"Tapi tidak dengan makhluk lain," ucapku sambil ikut melangkah di samping Hansamu.

__/_/____

Tbc 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top