12

"Akan kutuntun kalian ke tempat yang hangat. Sudah malam, sisanya bisa dibicarakan di sana."

Laskara menutup pertanyaan Hansamu tanpa menjawab. Dalam remang-remang senja. Aku bisa melihat urat-urat di tangan Hansamu menyembul keluar . Dia mengepalkan tangan terlalu kuat.

Laskara dan Bawang, begitulah dia menyebut namanya. Kurasa itu bukan nama asli. Aku juga tidak punya kepentingan mendesaknya lebih jauh. Laskara membawa kami keluar dari tepian hutan dan berjalan di jalan setapak yang terbuka lebar dengan cahaya kunang-kunang di sepanjang jalan.

Samar-samar, aku bisa menangkap suara-suara kehidupan dari sebuah pemukiman. Kakiku mulai kelelahan dan tubuhku mulai sakit. Aku membayangkan akan tidur di tempat yang empuk.

Di depan, sebuah gapura dari semak belukar berdiri tegak dengan kelopak bunga yang bercahaya. Begitu mendekatinya, ternyata itu bunga berwarna merah mudah yang menyerupai terompet.

"Cantiknya," ungkapku dengan kagum. Bunga itu tumbuh di seluruh gapura.

Iriah lain yang berwarna hijau seperti Homang penculik Borneo, mengambang di dekat pintu masuk dengan tatapan jenaka. Mereka menatap kami dengan penuh minat. Anya yang bertengger di bahuku, melompat menghampiri mereka. Ya, kupikir. Aku harus memberinya nama.

"Bunga-bunga yang bercahaya itu namanya bunga ashar. Mereka akan bercahaya saat hari sudah gelap," ujar Bawang yang tiba-tiba bersikap seperti pemandu.

Perkampungan itu terlihat indah. Bunga-bunga ashar tubuh di setiap pekarangan rumah panggung yang memiliki tiang besar.

Di bagian serambi, beberapa keluarga menatap kami penuh minat. Sebagian tampak penasaran. Lainnya terlihat cemas. Aku sempat berpikir, apakah Laskara benar-benar pangeran? Masalahnya, aku tidak melihat sikap hormat yang diberikan penduduk padanya.

Di ujung perkampungan, ada sebuah bukit yang cukup tinggi. Di atasnya, berdiri rumah panggung yang jauh lebih besar. Aku menghela napas, membayangkan harus berjalan lebih jauh lagi.

"Jangan khawatir." Laskara tiba-tiba berhenti dan menoleh ke belakang. Seolah dia sadar aku tadi mengeluh. Mata dibalik cadarnya tersenyum jenaka, mata itu terlihat cukup sipit ternyata. "Kita tidak akan jalan kaki sejauh itu."

"Hah?" ucapku tergagap.

Dedaunan tiba-tiba berputar di bawah kakiku. Menutupi seluruh tubuhku dan menenggelamkannya. Aku tidak bisa melihat apa pun. Saat dedaunan itu meluruh. Aku dan yang lain sudah berdiri di depan rumah megah tersebut.

Seluruh halamannya di penuhi dengan bola-bola cahaya jingga. Mengambang seperti ubur-ubur. Bawang melirikku dengan tatapan yang mencurigakan.

"Ini rumahku," ungkap Laskara, "malam ini, kalian bisa tidur di sini. Sebelum kita berbicara. Aku harap kalian makan dan membersihkan diri terlebih dahulu."

Laskara menggunakan bahasa tubuh untuk memanggil sesuatu di belakang. Dua bola cahaya berpendar, mendekat ke arahku.

"Mereka akan menuntunmu di rumah tamu. Pergilah bersama mereka, Es. Hansamu akan ikut bersama Bawang."

Sebelum aku bisa berkomentar soal namaku. Laskara berjalan menuju anak tangga di rumah panggung utama dan Bawang menuntun Hansamu ke bangunan lain.

Aku terpaksa menelan kalimat protesku dan mengikuti dua Iriah. Singkat cerita, aku mandi di sebuah kolam air panas. Seluruh keram di otot tampak lemas seketika. Aku bahkan hampir tertidur, jikalau dua  Iriah tidak menepuk pipiku. Dan aku tidak tahu, bagaimana bola cahaya melakukan itu.

Bajuku yang sebelumnya kotor. Diberikan dalam keadaan bersih. Mereka menyajikan semangkuk bakso berkuah pedas yang hangat. Lengkap dengan kerupuk pangsit dan potongan lontong.

Aku merasa sangat hidup bisa menikmati makanan ini. Para Iriah Lampung mungkin bisa membaca pikiran para manusia. Apa pun itu, aku makan sampai kekenyangan.

Mereka lalu menuntunku ke rumah utama. Di area serambi, duduk bersila seorang remaja laki-laki yang menggunakan atasan lengan panjang berwarna putih, celana panjang hitam, sarung khas Lampung yang ditenun dengan benang emas di luar celana.

Dia juga menggunakan perhiasan berupa gelang datar yang memiliki aksesori bentuk Elang di lengan kiri dan kanan, sabuk emas di pinggang dan  kalung dengan gantungan berwujud tiga lempengan siger kecil dengan ukuran berbeda.

Remaja itu tampak beribawa dan kharismatik. Begitu melihatku mendekat, mata cokelatnya tersenyum jenaka.

"Laskara," ucapku takjub. Aku bukan terpesona. Aku hanya takjub. Maksudku, dia terlihat tampan. Lebih terlihat seperti pangeran. Mata cokelatnya mengikutiku mengambil tempat untuk duduk di depannya.
"Di mana Hansamu?"

"Mereka akan datang. Lihat." Laskara menunjuk ke belakangku. Hansamu tampak lebih rapi dari sebelumnya. Wajahnya yang tertimpa bola cahaya roh alam terlihat segar dan penuh semangat. Dia masih menggunakan kaos tanpa lengannya. Otot-otot tubuhnya tampak baik-baik saja.

Di sisinya, aku bertatapan dengan mata yang nyaris menghilang, jauh lebih sipit dari Laskara. Mungkin tadi sore aku tidak terlalu memperhatikannya. Tatapan Bawang, memberiku atensi intimidasi yang kuat.

"Bagaimana dengan yang itu?" ujar Laskara penuh minat pada Hansamu. Aku menangkap kata itu adalah hal yang menarik.

"Hebat," sahut Hansamu dengan ceria. Dia mengambil tempat untuk duduk bersila tidak jauh dariku. "Sisiknya tampak seperti emas. Aku senang, dia terlindungi baik di sini. Tetapi, aku punya firasat bahwa Rakin tampaknya akan diburu juga jika dia digunakan sebagai hewan tunggangan."

"Tunggu," selaku, "kalian berbicara tentang naga yang mana?"

"Rakin, salah satu keturunan naga Ranau yang dititipkan di sini." Laskara menjelaskan. "Aku tadi meminta Hansamu untuk melihatnya sebentar. Apakah ada pengaruh Debata Batak di sana atau tidak. Dan, seperti yang tadi Hansamu katakan."

"Sebelum kalian tiba." Bawang ikut menimpali. "Perkemahan Palapa memberi pesan peringatan kepada para Yava yang memiliki naga di seluruh nusantara. Besar kemungkinan, naga-naga nusantara akan melakukan kudeta yang dipicu oleh seseorang."

"Debata Batak tidak mungkin ingin perang dengan Debata lain," kataku yang terdengar seperti pernyataan. "Dewa-Dewi nusantara tidak bisa melakukan intervensi mitologi orang lain."

"Benar," sahut Hansamu, "aku juga tidak yakin, apakah semua ini adalah titah Debata Batak. Jika ada yang mampu memerintahkan Homang, menangkap para naga dan melukai para penunggang naga. Maka sosok tersebut adalah Debata Naga. Raja dari segala raja naga di nusantara."

"Belum cukup bukti untuk menyalakan Naga Padoha sebagai biang kerok," ucap Laskara yang berpaling padaku. "Dia disegel sejak penciptaan dunia di suku Batak. Maaf, Nusa juga mengatakan bahwa kau ingin Naga Padoha sebagai nagamu."

"Tujuan itu berubah. Aku hanya akan mencari naga biasa."

Aku menundukkan pandangan. Aku merasa malu mengingat mimpi konyol itu.

"Kami akan membantu kalian sampai Medan." Suara Laskara terdengar lembut dan menenangkan. Aku mengangkat wajah. "Hansamu satu-satunya penunggang naga yang berhasil keluar dari Aestival. Besar kemungkinan, dia juga diburu. Dan aku setuju, kalau Borneo ada di Medan. Kalian mungkin bisa mendapatkan informasi di sana."

"Kita butuh Senayan Express," kataku.

"Terlalu berbahaya," balas Laskara. Homang lain mungkin menunggu kalian di sana."

"Tetapi, aku tidak mau jalan kaki dari Lampung sampai Medan."

"Bawang akan mengantar kalian."

"Apa?" Aku menatap tidak percaya padanya. Senyum tipis di wajahnya terlihat angkuh.

"Ingin rasanya aku mendampingi kalian," ujar Laskara, "sayang, aku tidak bisa. Aku harus menjaga gunung ini. Bawang akan menuntun sampai Palembang."

Aku sungguh tidak enak melihat mata Laskara. Dia menatapku dengan cara yang berbeda. Jantungku tidak nyaman.

Pertemuan itu berakhir. Ada banyak hal yang ingin kukatakan. Terlebih mengenai naga bernama Rakin. Aku juga ingin melihatnya. Namun aku sadar, aku tidak punya kapasitas untuk itu.

__/__/___/____
Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top