11
Hansamu merapalkan beberapa mantra asing. Mantra-mantra itu berbentuk percikan api berwarna-warni ke tubuh Serimol. Sialnya, serangan itu tidak berdampak apa pun.
Aku mencoba memanggil air untuk menghempaskan Serimol. Namun aku lupa, energi sihirku sudah habis. Kedua tanganku mengepal. Kemudian aku mencoba menghadiahkan bogem mentah. Tetapi yang terjadi, aku malah memukul udara kosong.
Serimol ini tertawa dengan sangat buruk. Seperti orang yang tersedak dan melengking. Aku ingin memukul wajahnya. Bandana tenun yang kupakai hampir terjatuh dari rambut dan seharusnya aku ingat tentang ini.
Aku meraih kasar bandana tersebut dari rambutku. Dalam sekejap, benda tersebut berubah menjadi busur biru yang bercahaya menyilaukan. Tanpa pikir panjang. Aku menyodok ujung busur tersebut tepat di bawah lubang hidungnya yang besar.
Serimol itu menjerit. Cengkramannya pada kedua kakiku terlepas. Aku terjatuh dengan kepala membentur tanah lebih dulu. Rasanya dunia bergoyang di pelupuk mataku.
"Kau tidak apa?" Pertanyaan Hansamu kujawab dengan menggeleng. Tidak ada yang baik-baik saja.
Hansamu membantuku berdiri. Kami berlari sebelum Serimol itu menyadari buruannya terlepas. Belum juga melangkah jauh. Aku malah melihat empat atau enam Serimol bergoyang di depan.
"Enam Serimol?"
"Hanya dua," sahut Hansamu sambil menyembunyikan diriku dibalik punggungnya. Tiba-tiba saja, aku merasa ingin muntah. Dan aku benar-benar muntah.
"Aes, jangan pingsan dulu."
"O- Oke." Tetapi semua yang kulihat berupa kunang-kunang. Aku memegang busur dengan kuat. Mengambil posisi, berkosentrasi sekuat tenaga. Lalu aku merasakan tubuhku digeser oleh Hansamu.
"Kau salah posisi," katanya. Aneh, aku seolah bisa merasakan dia tersenyum geli di saat seperti ini.
Aku membayangkan dalam batin bahwa bidikanku akan tepat mengenai jidat Serimol. Aku merentangkan busur dari dalam udara. Lalu dengan cepat menariknya hingga ke dekat daguku. Kemudian melepaskannya secepat mungkin.
"Hebat." Aku mendengar bisikan Hansamu. "Lengannya terluka."
Oke, sedikit meleset dari perkiraan dan sekarang aku kembali muntah. Aku tidak kuat lagi. Rasanya ingin tidur. Aku mundur entah ke arah mana. Aku berpikir, jika mau pingsan. Seharusnya aku mencari posisi yang bagus. Ya, dan aku jatuh di atas dedaunan kering begitu saja.
Aku tidak bisa melihat apa pun. Semuanya mendadak gelap. Telingaku menangkap suara Hansamu yang berkali-kali mengucapkan mantra. Lalu terdengar sesuatu seperti ditusuk dan cairan amis memercik ke wajahku. Baunya semakin ingin membuatku muntah. Campuran antara ikan dan nasi basi yang direndam dengan kaos kaki bulukan.
Aku merasa sangat menyesal membiarkan Hansamu melawan makhluk jelek itu sendirian. Kepalaku berdenyut-denyut. Lalu aku membuka mata. Seseorang memercikkan air ke wajahku dan aku mengusapnya dengan telapak tangan.
Iriah melompat dengan wajah sendu. Sebelum aku mengucapkan terima kasih. Pelupuk mataku, teralihkan oleh remaja laki-laki tinggi dan berambut berantakan yang tidak disisir. Dia dan Hansamu saling berdiri membelakangi.
Hal terburuk, pelipis Hansamu berdarah dan dia bernapas dengan tersenggal-senggal, sedangkan Sahala tampak baik-baik saja. Dua Serimol tergeletak di bawah kakinya. Sisanya berada di dekat kaki Hansamu, tidak bernyawa dengan dada berdarah.
Kupaksakan diriku untuk bangun. Percikan air dari Iriah mengurangi rasa mual dan pening.
"Kau," seruku kesal. Sahala melirikku dengan tatapan mengasihani. "Dari mana saja kau?"
"Aes, kau baik-baik saja?"
Hansamu yang tiba-tiba menyela menambah jumlah kekesalanku. Namun aku sadar. Aku tidak boleh marah pada Hansamu.
"Sahala ternyata mengikuti kita," jelas Hansamu yang seolah bisa menangkap apa yang kupikirkan.
"Bersembunyi hingga kita terpojok," balasku dengan nada sengit.
Sahala balas menatapku dan demi para Debata. Aku seolah bisa menerjemahkan arti tatapan itu. Aku pikir kalian butuh bantuan.
"Sebaiknya kita segera pergi. Serimol lain mungkin akan datang."
Perkataan Hansamu ada benarnya. Dia menghampiriku. Menatapku begitu lekat-lekat. Lalu membisikkan kata, "Anjana Omprakash."
Sesuatu yang dingin terasa menembus ke dalam diriku. Rasanya menyejukkan. Rasa mual, muntah dan pusing mendadak lenyap. "Mantra apa itu?"
"Mantra pemulihan," jawab Hansamu, "mantra untuk memanggil cahaya suci untuk membantu pemulihan pada diri seseorang yang terluka. Cocok untuk penanganan pertama."
"Keren."
"Syukurlah kau baik-baik saja," balas Hansamu dengan wajah lega. "Kita harus segera pergi. Keributan ini bisa memancing Serimol lain."
Aku setuju. Tanpa melirik Sahala, kami bertiga berlari menembus belukar. Sahala memimpin di depan. Dia terlihat tangkas menghindari ranting-ranting dan melompati akar pohon yang menyembul dari tanah.
Perutku keroncongan. Aku teringat rasa lapar, yang kuinginkan makan bakso dengan kuah yang sangat pedas sekarang. Kemudian dimakan bersama nasi atau lontong.
Jalanan di hutan mulai menurun. Aku sudah mulai kehabisan napas.
"Kita istirahat," seruku lantang. Berhenti berlari. Mencoba mengumpulkan oksigen untuk memenuhi paru-paru.
"Tidak cukup aman, Aes," ujar Hansamu dengan lirikan mata ke sekitar. "Tapi kita akan istirahat."
Hansamu melirik ke arah Sahala. Tetapi ia seolah tidak setuju. Dia menatapku lalu menoleh ke arah tanah menurun di depannya. Lalu pergi meninggalkan aku dan Hansamu begitu saja.
"Aku ingin memaki," ucapku kesal. Emosi di wajah Hansamu kusut. Aku tidak bisa menebak apa yang ia pikirkan.
Dia berdiri di dekatku. Gelang manik-maniknya berkelap-kelip. Aku menunjuk ke arah benda itu. "Apa itu gelang sihir?"
"Ya, penyihir Diwangka menggunakan ini sebagai media sihir. Motifnya menyesuaikan asal suku masing-masing. Ciri khas Diwangka."
Aku mengganguk takzim. Benda itu unik dan keren. Aku jadi kepikiran, bagaimana dengan anak-anak Samsara? Sejauh ini, tidak ada informasi apa pun mengenai itu di buku panduan perkemahan.
"Hari sudah hampir sore," kata Hansamu dengan mata menerawang ke atas pepohonan. "Apa kau masih bisa berjalan, Aes?"
"Ya, berjalan. Aku tidak sanggup kalau berlari."
Aku ingin mengatakan kalau aku lapar. Namun, Hansamu juga pasti merasakan hal yang sama. Dia telah kehilangan Borneo. Tetapi tidak berarti membuatnya menjadi lemah dan tukang mengeluh. Luka di pelipis wajahnya pun sudah sembuh dengan mantranya sendiri.
Aku memilih memendam hal itu dalam diam. Kami berjalan menyusul Sahala. Tidak ada yang mau membuka topik mengenai si Tinggi. Aku tidak percaya, dia mengikuti kami dengan cara yang aneh. Muncul di waktu yang tidak diduga.
Semakin berjalan menembus hutan. Aku tidak tahu, bagaimana Hansamu menentukan arah mata angin. Tetapi karena dia pekemah senior. Aku percaya, dia punya segudang informasi dan pengalaman yang cukup baik.
Suara serangga yang terdengar semakin menunjukkan kalau malam akan tiba. Aku kehausan, botol air di dalam tas kosong sejak kami meninggalkan Jakarta. Kalau tahu, kami akan tersesat di hutan. Harusnya sejak awal aku membeli banyak perbekalan.
Langit tiba-tiba menggelap lebih cepat. Gerimis mulai turun dan membuat tanah berubah licin. Kami harus berjalan ekstra hati-hati. Sesekali berpegangan pada apa pun yang kebetulan tumbuh di samping.
Saat kami menemukan jalan yang datar. Aku benar-benar senang. Iriah hanya mematung di bahuku sejak tadi. Aku bahkan hampir lupa mengenai keberadaanya.
"Kita tidak boleh bermalam di sini." Hansamu tiba-tiba membuka suara.
"Kenapa?"
"Lebih banyak Serimol. Api akan memancing mereka mendekat," jelas Hansamu. Dia mematahkan pohon kecil di dekatnya dan menyerahkan benda itu padaku. "Pakai ini untuk memandumu berjalan."
"Oke," ucapku sambil menerimanya.
"Kau lapar Aes?"
"Sangat. Kira-kira, Bor— di mana Sahala? Maksudku ke mana dia pergi?"
Aku hampir saja menanyakan tentang Borneo tanpa sadar. Syukurlah, aku cepat-cepat memutar topik pembicaraan.
"Kurasa mencari pertolong—"
Sesuatu tiba-tiba jatuh dari langit dan menindih tubuh Hansamu sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya.
Aku nyaris berteriak untuk memperingatkannya. Namun, ada seseorang yang membekap mulutku dari belakang.
Dengan refleks, aku menekuk sedikit kakiku. Lalu menghujaninya dengan pukulan siku tangan. Suara laki-laki yang merintih. Membuatku memanfaatkan situasi tersebut untuk memutar badan dan langsung menendang bagian masa depannya hingga dia terdorong mundur dan jatuh sambil menjerit kesakitan.
Orang berbaju serba hitam yang mirip ninja menatapku dengan binar mata terbelalak. Hansamu yang kupikir pingsan. Ternyata masih sadar dengan sikap siaga melancarkan pukulan dan serangan mantra.
"Kami bukan orang jahat." Si Ninja mengangkat tangan. Matanya tersenyum jahil padaku. "Kau seharusnya tidak melakukan itu padanya."
"Harus," jawabku tegas. "Siapa kalian? Serimol jadi-jadian?"
"Hey! Kami bukan makhluk jelek itu."
"Kalian Yava?" sela Hansamu dengan kepalan tangan. Bersiap untuk melakukan pemukulan.
"Kami penduduk area gunung Persagi. Kalian memasuki teritori Dewi Iriah."
Aku menoleh ke belakang. Si Ninja yang tadi kutendang aset masa depannya berdiri. Rekannya mendadak berpindah ke sisinya begitu misterius dan cepat. Dia berusaha untuk membantu. Tetapi kawannya menolak.
"Demi Debata Iriah. Kami tidak akan menyakiti kalian berdua." Dia berucap. "Kau pasti Hansamu. Penunggang naga yang dibicarakan itu."
Sikap siaga Hansamu perlahan melonggar. Tatapan matanya berubah bersahabat pada dua Ninja. "Maaf, untuk yang barusan."
"Kami juga minta maaf. Semoga yang ini baik-baik saja."
Dia menatapku dan aku mengalihkan mata ke arah batang pohon yang berlumut. Langit sudah berubah lebih gelap. Semburat jingga terlihat samar dari celah-celah dedaunan. Gerimis telah reda.
"Kami mendengar kabar bahwa sesuatu terjadi dengan penunggang naga. Nusa mengirimkan informasi tentang keberadaan kalian. Gadis ini pasti Es?"
"Aes," balasku meralat ucapannya yang salah.
"Ehehe, baik. Aes. Tetapi, aku boleh memanggilmu Es?"
"Tidak."
"Hei, jaga bicaramu. Kau berada di wilayah kekuasaannya." Entah kenapa, malah kawannya yang marah. "Kau seharusnya menurunkan pandanganmu. Tidak, kau bahkan bisa kena hukuman karena telah menyakiti Pangeran."
"Hah? Pangeran mana yang malam-malam jadi ninja?"
"Aes." Tangan Hansamu menepuk pundakku. Lalu menggelengkan kepalanya. Seolah memintaku untuk tidak bersikap lebih dari ini.
"Namaku Laskara. Awalnya kami ingin sedikit bercanda. Tetapi, siapa yang tahu. Kalau kalian cukup serius. Di mana yang satunya?" tanya Laskara yang menatapku dan Hansamu silih berganti. "Sebaiknya dia tidak berkeliaran sendiri. Ini adalah batas sihir kami. Di luar itu, banyak makhluk mitos yang akan mengejarnya."
Laskara sepertinya sangat mudah membaca emosi di wajah kami untuk mendapatkan banyak informasi.
"Jadi—" ucapku.
"Kami tidak akan balik ke perkemahan," sela Hansamu dengan sikap siaga. Wajahnya kembali tegang.
"Aku tahu," balas Laskara sambil mengganguk. "Nagamu di bawah pergi oleh Homang. Iriah di bahu Es telah menceritakan semua."
"Aes," ulangku tidak suka. Berarti, dugaanku soal Laskara bisa membaca emosi di wajah tadi salah. Dia tahu karena Iriah yang berada di bahuku. Mereka telah berkomunikasi melalui batin. Jika Laskara begitu mudah melakukannya. Itu artinya, aku menggeleng. Tamat sudah riwayatku.
"Roh alam itu Homang? Tunggu, jangan bilang." Hansamu menatapku dengan sorot mata terbelalak. Dia tidak mempercayai sesuatu.
"Jika ada yang bisa memerintahkan roh alam untuk memburu kalian dan menculik nagamu. Itu benar," jelas Laskara. Sorot matanya berubah tajam dan serius dibalik cadar. "Hanya Debata Batak yang bisa melakukannya."
__/___//___/___
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top