1
Disclaimer
Bijak Dalam Membaca. Semua budaya, mitologi, legenda hingga mitos. Merupakan bentuk referensi dalam cerita. Tidak ada unsur untuk menjelekkan suatu budaya tertentu. Justru untuk memperkenalkannya lebih luas dengan cara fiksi.
.
.
.
Wali Hanya Boleh Mengantar Sampai Gerbang
Begitulah aturan yang tertulis di depan gapura perkemahan Palapa. Aku tidak sendiri di sini, ayah di sampingku. Berdiri sambil menatap tiap anak yang datang bersama wali mereka. Mungkin, mencari-cari kenalannya. Berusaha menitipkan pesan agar anaknya dan aku berteman.
Aku juga tidak mengenal siapapun.
Sebagai Demigod, aku tumbuh di lingkungan normal. Sesekali, aku memang berpapasan dengan para Yava. Istilah yang digunakan untuk mereka yang berdarah makhluk mitologi dan memiliki sihir. Tetapi, itu tidak membuatku dekat. Ayah menginginkanku menjalani kehidupan normal bersama Sudra, sebelum hari ini tiba. Dan Sudra adalah kebalikan dari Yava. Jika kalian ingin tahu.
Ada banyak wajah asing yang kutelisik. Pertama, seorang anak laki-laki berambut ikal dengan mata berwarna hijau, kulit gelap dan senyum yang manis. Dia mengenakan ikat kepala yang terbuat dari bulu burung berwarna hitam.
Remaja kedua adalah seorang gadis dengan bola mata besar. Dia memiliki senyum yang manis, kulit putih, menggunakan cardigan peach dan rambut panjangnya terurai bak model iklan shampo. Dari sisi manapun, dia terlihat good looking. Aku suka, melihat anting-anting mutiara hitam yang ia kenakan.
Dan ketiga. Aku bersitatap dengan seorang remaja bertubuh paling tinggi di antara remaja seusianya. Dia memiliki rambut hitam ikal berantakan dan berkulit sedikit gelap. Berwarna cokelat eksotis dengan mata berwarna hitam. Dia menatapku penuh minat dan perutku bergejolak. Aku memalingkan wajah dan tersadar ayah sedang menatap balik remaja tersebut.
"Dia naksir Aes."
Mataku terbelalak ke arah ayah. "Ayah!" Aku berseru tidak suka.
"Aes?" Ayah membalas dengan nada teguran. Aku menarik napas dalam-dalam. Aku tahu, ayah tidak akan membiarkan si Tinggi itu mendekatiku. Dia cari mati, kalau ingin berkencan denganku tanpa izin ayah.
"Sudah waktunya." Seorang remaja lain, dengan perawakan yang lebih dewasa. Berseru di depan gerbang sambil membaca daun lontar. Dia memiliki alis mata yang galak dan mata yang tajam. Aku punya firasat dia pengawas perkemahan yang berbahaya bila aku berbuat masalah.
"Siap, Putriku?" kata ayah sambil menepuk kedua bahuku. Aku mengganguk.
"Aku siap."
"Bagus. Jangan lupa kirim pesan. Ayah akan menghubungi Issa, jika kau terlambat mengirim."
Aku tersenyum samar. Tetapi mengganguk. Ayah memelukku dengan kuat. Pelukannya terasa lebih lama. Mataku mendadak perih. Ini akan jadi pertama untuk kami berdua. Ayah dan aku selalu bersama. Aku tidak bisa menangis sekarang. Ayah akan khawatir dan itu bisa membuatnya bersedih.
Karena tidak sanggup berkata. Aku hanya tersenyum dan melambai. Berjalan sambil memegang tas selempang dengan kuat menuju Issa. Dia menatap setiap wajah yang melewatinya dengan seksama. Mungkin berpikir akan ada penyusup. Tetapi, siapa yang mau jadi penyusup di sini?
Aku ingin menoleh sekali ke belakang. Aku ingin melihat wajah ayah. Apa dia baik-baik kutinggal? Apa dia menangis? Baiklah, aku tidak pernah melihatnya menangis dan jika itu terjadi. Itu momen yang langka.
Ada terlalu banyak yang kupikirkan. Aku hanya menunduk menatap jalan setapak yang terbuat dari batu-batu kerikil berwarna putih. Suara jangkrik seperti nyanyian selamat datang. Begitu tersadar, aku sudah berhenti di sebuah halaman yang sangat luas. Di depan kami, ada sebuah rumah panggung panjang berwarna cokelat yang memiliki tiga lantai. Teras luarnya luas dengan beberapa kursi rotan.
"Jadi, apakah kalian semua pekemah tahun ini? Kenalkan namaku Nusa. Aku pencetus perkemahan Palapa dan jangan bertanya berapa usiaku."
Nusa mirip mahasiswa akhir tahun yang tidak suka disinggung mengenai skripsi. Dia punya rambut yang dipotong sebahu berwarna hijau bercampur biru. Aku suka jaket denim yang ia gunakan dengan kaos putih polos.
"Darah penyihir belok ke kanan dan yang bukan berdarah penyihir belok ke kiri. Ingat," seru Nusa sambil menatap kami satu persatu. "Kedua golongan dilarang memasuki kawasan lain. Kalian hanya bisa bertemu di kawasan netral seperti ini. Lebih lengkap, akan dijelaskan pengawas masing-masing."
Aku tidak tahu, berapa banyak jumlah kami. Aku masih tinggal, untuk memperhatikan rombongan keturunan penyihir. Melihat-lihat, apa yang ada di sisi seberang.
"Aes Ongirwalu." Teguran Issa membuatku menoleh cepat.
"Aes," ucapku. Aku lebih suka dipanggil seperti itu.
"Aku tidak peduli. Teman-temanmu sudah pergi."
Aku melirik dan Issa benar. Aku akan ketinggalan, jika tidak segera bergabung. Buru-buru, aku melangkah cepat mengikuti barisan belakang dan sialnya. Issa berjalan di belakangku.
Perkemahan ini penuh dengan pohon-pohon besar yang dahannya melebar ke mana-mana. Tiap batang dan dahan penuh dengan lumut. Seolah menegaskan betapa tua umur mereka.
Dari pelupuk mataku, aku menangkap lapangan terbuka yang memiliki kursi tribun di sisi kanan dan kiri. Kami lalu berbelok ke area lain yang penuh dengan papan penunjuk arah dan di antaranya ada papan mading besar. Beragam kertas di tempel di sana. Aku tidak sempat membaca apa yang tertulis. Tapi, sebagian besar ada gambar-gambar yang menarik.
"Silakan masuk ke rumah panggung masing-masing. Perempuan di kanan dan laki-laki di kiri. Entah kau adalah Demigod atau darah campuran. Semuanya satu rumah bersama para senior."
Aku tersentak. Menoleh ke belakang, lalu melihat ke depan. Aku tidak tahu, jika Issa bisa berpindah begitu cepat.
"Di perkemahan Palapa. Secara garis besar. Yava terbagi dua." Issa melanjutkan. "Golongan Diwangka adalah mereka yang memiliki darah penyihir dari orangtuanya, sedangkan Samsara adalah kalian. Para Demigod dan darah campuran dari makhluk mitologi. Kalian bebas berkeliaran di wilayah Samsara. Tetapi, jangan berani mendekat ke Diwangka. Makan malam nanti, akan dibagikan jadwal kalian selama semester. Barang-barang kalian sudah berada di kamar masing-masing. Cari pintu dengan aksara Yava bertuliskan nama kalian. Sekarang bubar."
Lagi, arus rombongan terbagi. Aku mengikuti barisan ke kiri. Menaiki undakan tangga yang terasnya tergantung hiasan aneka rupa. Mulai dari kerang laut hingga batu-batu berwarna.
Rumah panggung ini luas. Ruang tamunya penuh dengan kursi sofa empuk. Beberapa sudut penuh rak buku, aku suka bagian itu. Di sudut lain ada meja panjang yang berantakan oleh kertas dan buku. Beberapa golongan Samsara terlihat sibuk mengerjakan sesuatu.
Oke, ada dua tangga melingkar yang mengarah ke lantai atas. Seharusnya kami naik saja. Tetapi, tidak ada satu pun yang melangkah.
"Apa ada pengumuman lagi?" ujarku dari baris belakang. Tidak ada yang menjawab. Hanya wajah-wajah penasaran yang menoleh menatapku. "Issa bilang, kita bebas sampai malam."
"Benar. Tapi, di asrama. Kalian di bawah pengawasanku."
Seorang gadis dengan kaos hitam berlambang dua bulan sabit saling membelakangi. Berjalan dari depan ke arahku melewati kerumunan yang membuka jalan.
"Pesta penyambutan adalah agenda resmi tiap tahun."
Entah siapa dia. Aku bisa menangkap ada hal jail yang dipersiapkan untuk kami.
"Namamu?"
"Aku?" Aku menunjuk diri sendiri.
"Ya. Kau."
"Aes."
"Aestival?"
"Tidak, hanya Aes." Aku menjelaskan.
"Oke, Aes. Kau ketua regu angkatan ke 78." Itu keputusan sepihak. Aku ingin memprotes. Tetapi, sepertinya tidak bisa. "Setelah makan malam. Aku ingin kalian menyelinap di asrama laki-laki."
Aku mengerjab. Satu detik, dua detik dan tiga detik kemudian. Belum sempat aku membuka mulut. Seseorang menyela lebih dulu.
"Issa akan menghukum kita." Si Good Looking rupanya. Dia menatap ketua asrama perempuan yang masih belum memperkenalkan diri.
"Kalau begitu. Lakukan agar tidak ketahuan."
_//__/___
Tbc
Jangan bilang next dan kapan update. Saya bakal tetap up kok. Tapi jangan ditagih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top