06A ♡ Janji Setia
🌻🌻
♡♡--------------------------------
pernikahan terbaik itu adalah merasakan jatuh cinta berulang kali, selalu dengan orang yang sama
--------------------------------♡♡
🌻🌻
Menyaksikan orang yang paling disayangi merasakan kesakitan itu adalah satu hal yang paling menyesakkan. Betapa tidak, bersama-sama memperjuangkan kesembuhan dengan cara yang berbeda. Satria dengan semua doa yang dilangitkannya, sementara Saba yang tergolek lemas juga berjuang menerima tindakan dari paramedis yang ada di rumah sakit.
Setidaknya satu hal yang sedikit melegakan adalah Saba telah tersadar dari komanya.
"Pakde ikut masuk saja, Satria nggak tahu harus berbuat apa kalau tiba-tiba Kak Saba kenapa-kenapa." Hauzan mengangguk.
"Satya ... Satya,"
"Iya Kak, aku di sini. Kak Saba ingin apa?" Mata Saba dan Satria bertemu. Ada titik haru yang membuat keduanya terpaku.
Pertemuan dari sekumpulan rasa rindu yang terbelenggu waktu dan tempat.
"Satya...." Suara Saba terdengar sangat lemah, tapi kedua mata itu bergerak menatap Satria dengan kesadarannya.
"Iya, ini aku. Kak Saba ingin apa?" tanya Satria lirih.
Tidak lagi menjawab, Saba justru memilih untuk menitikkan air matanya. Antara sakit, ragu dan bingung harus berbuat apa. Dia memilih untuk diam dan menyelesaikan semuanya dengan caranya sendiri.
"Kalau Kak Saba tidak bicara bagaimana aku bisa tahu. Kakak ingin apa?" Hauzan melangkah mendekati putrinya. Sepertinya Saba tidak ingin diganggu lebih. Dia butuh istirahat untuk memulihkan tenaganya kembali.
Dengan lembut Hauzan menepuk pundak Satria. "Biarkan dia istirahat dulu, kita keluar, sebentar lagi Saba akan dipindahkan ke ruang perawatan."
Satria mengangguk lalu bicara kembali meski Saba masih menutup matanya. "Kak, aku keluar dulu ya. Nanti kita ketemu di ruang perawatan."
Satria telah sampai di pembatas saat suara lemah Saba kembali terdengar, "Satya...."
Hiasan air mata kembali menjadi pemandangan. Selemah itu hati Satria untuk tidak ingin melangkahkan kaki meninggalkan kakak sepupunya. Dia kembali meraih uluran tangan yang sudha menggantung di udara.
"Aku nggak akan pergi, Kak, aku janji. Kakak di sini sebentar ya, dokter akan memeriksa Kak Saba."
Haru itu akhirnya menular kepada Satria. Pertahanannya jebol saat Saba hanya mengangguk mencoba untuk mengerti apa yang disampaikan Satria tanpa terucap satu kata pun dari bibirnya. Satria, berjalan mundur perlahan. Tidak ingin melepaskan tatapannya. Dalam hati berkata betapa zalimnya, jika sampai di titik ini dirinya hanya memikirkan keegoisannya sendiri. Bukankah sedari kecil dia telah tumbuh bersaba Saba?
Kasih sayang yang mereka berikan akhirnya menumbuhkan percik cinta di hati Saba. Masihkah mungkin Satria bisa berpaling? Sementara di pundaknya telah tertulis sebuah tanggung jawab untuk memuliakan. Tidak, dia tidak boleh mundur untuk menghindar. Tidak juga melangkah maju untuk meninggalkan. Satria harus tetap bediri untuk membuat Saba sembuh. Terlepas dari kegundahan hatinya, apakah cinta itu telah ada dan tumbuh.
"Bi, sekali lagi Satria mohon izin." Dengan mata merah, Satria berlutut di depan ayahnya. "Satria tahu, menikah itu adalah ibadah terlama dalam hidup. Mungkin dengan Kak Saba ada hak Satria yang tidak bisa terpenuhi di dunia ini. Satria sangat tahu itu, jika bicara berat, tentu saja berat. Namun, melihat kondisi kak Saba...."
"Jangan salah Satria, menikah itu tidak berdasarkan atas rasa iba dan kasihan. Abi takut nanti kamu salah mengartikannya."
"Tidak, Bi. Satria tahu itu."
"Sayang, pekerjaanmu juga tidak memungkinkan untuk menjaga Kak Saba dengan jumlah jam yang lama," tambah Renata.
"Satria mengerti sepenuhnya, Umi. Satria paham benar semua konsekuensinya. Namun, kematian adalah teka-teki yang tidak akan bisa dijawab oleh manusia walau semua akan merasakannya. Akan menjadi penyesalan terbesar dalam hidup Satria jika itu terlebih dulu menghampiri sebelum Satria bisa membahagiakan Kak Saba."
"Satria....!" Suara tegas Renata terdengar begitu jelas.
"Satria, baru saja mendengar penjelasan dokter tentang penyakit Kak Saba bersama Pakde, Umi. Meski semua itu tetap menjadi kuasa Allah, tapi Satria akan menyesal seumur hidup jika...."
"Kita harus segera bicarakan masalah ini dengan Bang Hauzan, Umi."
Satria memang belum mengantongi izin menikah dari perusahaan tempatnya bekerja. Tapi melihat raut wajah sang putra juga keadaan yang menghimpit, sepertinya sebagai ayah, Azhar harus segera mengambil tindakan.
"Jangan gegabah, ini janji kepada Allah. Tidak main-main, taruhannya dunia akhirat, Dik Azhar."
"Itu sebabnya, Bang, kami membicarakan kepada Abang dan Kak Nuha. Apa yang baik untuk mereka? Satria meminta kepada kami dan sudah menjadi tanggung jawab kami untuk menyampaikannya kepada kalian berdua."
Hauzan menerima maksud baik kedua adiknya, tapi dia telah berjanji untuk tidak menyusahkan siapa pun tentang masalah Saba. Dia dan Nuha pasti bisa mengatasi semuanya walau untuk itu pasti membutuhkan waktu.
"Pakde, tolong, jangan egois karena Kak Saba berbeda dengan kita. Satria siap dengan semuanya, nikahkan kami, untuk kebahagiaan Kak Saba, kebaikan kita semua."
"Lalu kebahagiaanmu sendiri seperti apa Satria?" tanya Satria.
Semua mata memandang ke arah Satria. Menunggu jawaban apa yang akan diberikan hingga menjadi kunci kemana Hauzan harus melangkah.
"Satria sanggup, Satria bersedia, itu artinya bahwa kebahagiaan Satria adalah bisa melihat Kak Saba bahagia bersama kita. Atau Pakde Zan akan lebih tenang jika menyerahkan Kak Saba kepada laki-laki yang baru saja mengenalnya?" Semua terkejut dengan pertanyaan Satria di akhir kalimatnya.
Menyerahkan Saba kepada laki-laki? Memikirkan putrinya jatuh cinta saja Hauzan masih belum berani, alih-alih berpikir untuk menyerahkannya kepada laki-laki.
"Jangan pernah menganggap Kak Saba berbeda Pakde, dia juga perempuan yang memiliki rasa dan hati yang sama seperti Bude dan Umi."
Sejenak Hauzan mengingat perjalanan cintanya dulu dengan Nuha. Dia yang awalnya membenci penampilan Nuha justru takluk dengan kesederhanaan sang istri. Dia juga berani maju walau banyak tentangan dari papanya, dan kini saat ada seorang laki-laki yang Hauzan kenal begitu baik sedari kecil meminta putrinya untuk dijadikan istri, akankah dia menjelma menjadi sang papa untuk tidak memberikan keadilan kepada putri tercintanya yang dengan jelas menaruh hati kepada Satria?
"Tapi, tempatmu bekerja juga belum membolehkannya, Satria."
"Tidak perlu dicatatkan terlebih dulu. Satria siap dengan segala konsekuensinya."
"Cita-citamu masih panjang, Satria," kembali Hauzan meyakinkan hati.
"Sebagai seorang dokter, apa Pakde juga bisa menentukan waktu? Tidak ada yang bisa menjamin, andaikata tidak pun Satria bersedia menikah dengan Kak Saba. Tolong, nikahkan kami segera."
Tidak banyak berkata, Satria telah mantap dengan keputusannya. Hauzan tidak lagi bisa berbuat banyak. Benar apa yang disampaikan Satria, hidup dan mati itu bukan milik manusia. Hauzan mengangguk sebelum akhirnya senyum haru yang berbalut air mata itu muncul dari wajah Satria.
"Tidak sekarang, tunggu sampai kakakmu bisa diajak bicara dengan baik."
"Terima kasih, Pakde."
Autoimun yang menyerang Saba bisa dikategorikan sangat serius, itu sebabnya mengapa dia bisa langsung terbaring dan koma untuk beberapa saat. Tanpa dijelaskan Hauzan pasti sangat mengerti jika setiap kali menerima tekanan, baik itu dari luar ataupun berasal dari pikiran Saba sendiri, kemungkinan terbesar yang akan terjadi adalah Saba akan kembali lemah dan jika itu sering terjadi akan mengakibatkan semakin rusaknya jaringan tiroid yang ada di dalam tubuhnya.
"Satya," panggil Saba lirih.
"Satria harus pulang dulu, Sayang. Ini ada Momma, ada Poppa juga. Kak Saba ingin apa?" Suara merdu Nuha tepat disamping telinga Saba.
"Satya, aku ingin Satya." Nuha menatap Hauzan, memintanya untuk membantu menyampaikan.
"Iya, besok pagi Satria kemari. Sekarang sudah malam, Satria harus istirahat. Mulai besok, Satria akan menjadi milik Kak Saba selamanya. Sekarang tidur lagi ya?" Hauzan mengusap kepala Saba dengan lembut. Mencium kening putrinya lalu membisikkan beberapa kata yang membuat senyim Saba terbit kembali.
Rasanya sudah sangat lama Nuha tidak melihat senyum Saba sebahagia malam ini. Dalam hati dia berharap bahwa pernikahan mereka akan membawa kebaikan untuk semuanya.
"Kita tidak salah kan? Mempercayakan Saba kepada Satria, hanya saja aku merasa sangat kasihan kepada Satria jika harus menanggung kekurangan Saba kelak."
"Kita bantu dengan doa, Mas, semoga memang Satria yang dipilih Allah untuk menjaga Saba sampai mereka menua."
Belum pernah sekalipun Hauzan melihat putrinya meminta sesuatu seserius ini kepadanya. Biasanya hanya dengan penjelasan sederhana, Saba akan mengerti atau maklum dengan keadaan. Tapi dengan Satria, sepertinya rasa memang tidak lagi bisa dibelokkan untuk memilih yang lain. Dunia Saba adalah senyuman manis milik Satria.
🌻🌻
to be continued__
Jadikan Alqur'an sebagai bacaan utama
Makne Hawwaiz
Blitar, 16 Juni 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top