03 ♡ Sebilah Rasa
🌻🌻
♡♡--------------------------------
the love ends even it was not started
--------------------------------♡♡
🌻🌻
Rembulan masih berbisik manja dengan bintang-bintang yang gemerlapan di langit. Seolah ratu dengan para dayangnya yang bercengkerama. Bergosip tentang kerajaan angkasa yang maha luas.
Cuaca memang tidak sedang mendung, bahkan melihatnya pun semua orang juga tahu bahwa malam ini seolah Tuhan memberikan kuasanya dengan menampilkan pemandangan indah memukau mata di angkasa. Sayangnya malam yang penuh dengan taburan bintang ini tak mampu menghalau risau yang sudah sejak lama bersarang di dalam dada seorang gadis yang baru saja mengerti seperti apa rasanya mencintai seseorang.
Sejak kepulangannya dari Raja Ampat, sepertinya liburan itu telah memberikan efek yang membuat perangainya berubah seketika.
Afdhal dan Numa beberapa kali bolak-balik seperti setrikaan mengajak sang kakak menikmati bulan purnama yang bertabur bintang di halaman rumah mereka.
"Bang, kak Saba kenapa sih. Sejak pulang berlibur dari Raja Ampat sama Satria kok di kamar terus. Kemarin malah adik lihat kakak menangis sendirian. Waktu adik tanya malah nggak menjawab dan menyuruh adik pergi."
"Sama, dari tadi aku ajakin keluar untuk menikmati indahnya bulan purnama malah memilih ngejogrok jadi penunggu kamar saja."
"Apa perlu kita tanya Satria? Atau kita bilang ke poppa dan momma?" Numa menawarkan alternatif solusi kepada abangnya.
Mengingat seperti apa kondisi kakak mereka sekarang sepertinya bicara kepada orang tua adalah hal yang paling memungkinkan daripada harus bertanya kepada Satria. Mereka tidak tahu apakah Satria sibuk atau tidak.
Hauzan sempat tertegun kala Afdhal berucap ingin berbicara sesuatu yang penting kepadanya juga kepada Nuha. Sepenting apakah hingga dia dan adik bungsunya duduk berdampingan, saling melempar kode untuk menentukan siapa yang mulai bicara. Hingga rasa gemas itu menjalar kepada Ainuha untuk segera bertanya kepada keduanya.
"Abang mau ngomong apa? Dari tadi kok cuma lempar-lempar pandangan dan kode kepada dik Numa."
"Bang, dijawab itu pertanyaan momma. Kakak kalian mana?" Hauzan menimpali karena hingga hampir satu menit terjeda Afdhal belum juga menjawab.
"Itu dia Poppa, ini tentang kak Saba." Numa mulai berbicara. Hauzan dan Nuha mengerutkan keningnya mendengar nama Saba disebut oleh putri bungsu mereka.
"Kak Saba? Memangnya ada apa dengan kak Saba?" suara Hauzan kembali terdengar.
Numa menyenggol lengan abangnya untuk membantu bicara kepada orang tua mereka. Membicarakan anomali yang terjadi pada kakak mereka hingga sulit untuk diajak berkomunikasi.
"Poppa dan momma menyadari atau tidak, setelah pulang dari Raja Ampat sepertinya kak Saba murung dan mengunci diri di kamar. Dik Numa malah sempat memergoki kakak sedang menangis sendirian di dalam kamar. Apa momma sudah berbicara dengan kakak?" Afdhal mengutarakan dengan sangat rinci.
Sebenarnya beberapa kali Nuha sudah merencanakan untuk berbicara dengan sulungnya, namun karena sibuknya pekerjaan di sekolah dan juga pekerjaan di rumah hingga melupakan sesuatu yang sudah dia rencanakan sebelumnya. Jika dihitung, ini sudah hampir satu bulan Saba kembali dari Raja Ampat dan selama itu pula Ainuha jarang sekali melihat putri sulungnya berseliweran di dalam rumah atau bercengkerama dengan mereka selain waktunya makan atau tugas utamanya di rumah.
Cerita demi cerita mengalir dari bibir Afdhal dan Numa, semua memang tentang Saba satu bulan terakhir ini.
"Atau jangan-jangan kakak berantem dengan Satria, Mom, tapi kakak tidak cerita kepada kita. Poppa tanya Satria deh, kasihan aku melihat kak Saba yang biasanya selalu ceria kini berubah menjadi murung seperti itu. Biasanya kalau rumah sepi kakak selalu asyik di galery, namun satu bulan belakangan ini malah nggak pernah menjamah ruangan itu." Numa meminta poppanya untuk bertanya kepada Satria, siapa tahu pemegang kunci kemurungan Aresha Sabiha memanglah Satria Dewandaru, adik sepupu mereka.
"Ok, ini poppa message Satria. Kalau dia tidak sibuk poppa akan langsung menelponnya. Kalian kembali belajar lagi deh." Afdhal dan Numa menuruti perintah poppanya, sebagai pelajar tugas mereka jelas belajar untuk mempersiapkan pelajaran besok harinya.
Menindaklanjuti laporan kedua putranya, Hauzan mengajak Nuha bicara sebelum mereka bertanya kepada sang putri sulung.
"Mas, apa mungkin benar yang dikatakan Afdhal kalau semua ini ada hubungannya dengan Satria? Tapi mengapa Satria juga tidak bercerita dengan kita?"
"Mana mungkin, Satria pasti tidak akan bisa membuat Saba menangis. Dari kecil mereka tumbuh bersama, Satria sangat menyayangi kakaknya." Hauzan berlogika, dihubungkan dari sisi mana pun juga sepertinya tidak akan pernah tersambung Satria membuat Saba menangis. Sementara Saba selalu memperlihatkan rasa bahagianya saat bersama adik sepupunya itu.
Melihat kembali ke gawai miliknya yang masih tidak ada perubahan notifikasi centang satu rasanya Satria memang masih bertugas di udara. Hauzan akhirnya memutuskan untuk melihat langsung apa yang terjadi pada putrinya lalu mengajaknya bicara dari hati ke hati. Mungkin dengan demikian akan diperoleh solusi atas masalah yang dirasakan Saba.
Ainuha menyetujuinya, membiarkan sang suami menengok sendiri ke kamar putrinya bukan berarti Nuha tidak peduli dengan Saba. Hanya saja dia merasa bahwa ketika mereka berdua datang bersama Saba akan merasa seperti dihakimi, dan dia justru akan memilih untuk diam.
"Kak, poppa masuk boleh?" Hauzan mengetuk kamar Saba dua kali hingga knop berputar dan terlihatlah sosok putrinya dengan muka kusut dan tatapan hampa.
"Sudah makan tadi Kak?" Saba mengangguk, Hauzan memilih masuk mengikuti langkah Saba yang kembali menuju ranjang petidurannya.
"Poppa mau cerita, kakak mau dengar nggak?" sekali lagi Saba mengangguk tanpa suara.
"Dulu poppa itu pernah bingung, tidak tahu arah kemana harus melangkahkan kaki. Merasa menjadi orang yang paling berjasa untuk menolong orang lain karena poppa seorang dokter." Saba memperhatikan meski dia masih enggan untuk bersuara.
"Menjadi sombong, padahal Allah melarang hambanya untuk bersikap seperti itu. Kakak paham kan?" Saba mengangguk lagi. Hauzan masih berupaya untuk mendekatkan diri, mencari cela dimana dan kapan dia harus bertanya kepada putrinya. Karena segala sesuatu yang berkenaan dengan si sulung semua harus sabar. "Sampai akhirnya poppa bertemu dengan momma, ternyata bukan poppa yang siap membantu orang melainkan poppa yang membutuhkan bantuan dari orang lain." Kening Saba mengkerut tanda dia sedang berpikir. Hingga bibirnya bergetar untuk bersuara.
"Poppa sakit?" tanya Saba. Kini ganti Hauzan yang menganggukkan kepalanya. "Iya, poppa sakit. Kamu tahu siapa yang membantu menyembuhkan poppa saat itu?" Kali ini Saba menggelengkan kepalanya lalu Hauzan menjawab pertanyaan yang dia buat sendiri. "Momma yang membantu menyembuhkan poppa."
"Tapi momma bukanlah seorang dokter seperti poppa, momma adalah seorang guru."
"Benar, momma seorang guru. Karena penyakit poppa ini tidak membutuhkan dokter untuk mengobatinya tapi membutuhkan guru yang bisa mengajari poppa untuk tidak sombong lagi, tidak lupa untuk sholat, dan selalu dekat dengan Allah." Saba tersenyum tipis. Meski hanya tipis sekali perubahannya namun Hauzan bisa memastikan bahwa putrinya sudah mulai membuka diri.
Bercerita kembali sebagai pendahuluan hampir selama satu jam Hauzan memancing Saba untuk bisa cerita apa yang sesungguhnya dia rasakan. Sampai tanpa sadar dari rentetan cerita mereka Saba mulai menyuarakan isi hatinya.
"Saba tidak ingin menikah, Pa." Hauzan terkejut, mengapa tiba-tiba putrinya mengatakan tentang pernikahan.
"Siapa yang meminta kakak untuk menikah? Poppa hanya bercerita tentang poppa dan momma."
"Tapi poppa dan momma menikah kan? Saba tidak mau menikah."
"Mengapa?" Pertanyaan sederhana, Hauzan hanya ingin mengetahui alasan apa yang menjadi dasar putrinya berkata demikian.
"Karena Satria akan menikah dengan orang lain bukan dengan kakak." Klik, di sinilah akar permasalahan bermula. Hauzan memberikan atensinya supaya Saba bercerita lebih namun sepertinya dia masih enggan untuk membuka suara lagi hingga akhirnya Hauzan harus mengakhiri sesi curhat mereka.
Belajar dan berusaha menjadi orang tua yang bijak, menyelesaikan masalah bukan berarti harus clear saat itu juga. Terlebih dengan anak seperti Saba yang menyandang gelar istimewa meski pada kenyataannya dia juga sudah bisa bergaul dengan orang normal lainnya.
"Kakak, istirahat ya. Kalau ada yang ingin diceritakan kepada poppa dan momma, kami berdua akan siap kapan pun kakak minta." Saba menurut dan dia bersiap untuk berbaring. Hauzan membenarkan selimut serta mencium putrinya sebelum akhirnya dia mengganti menyalakan lampu tidur dan meninggalkan Saba untuk segera mengukir mimpi.
Sepertinya apa yang pernah ditakutkan oleh Ainuha, istrinya, benar-benar terjadi. Saba mengenal cinta dari besarnya perasaan sayang yang diberikan oleh Satria kepadanya. Beberapa kali dia mengingat, mengapa harus Satria. Padahal dalam setiap kesempatan selalu ditekankan oleh Hauzan bahwa mereka bersaudara. Jadi selama ini binar bahagia yang seringkali muncul di wajahnya ketika nama Satria didengungkan karena Saba memiliki ketertarikan secara biologi kepada Satria?
Merenung sesaat di ruang keluarga, menghidupkan televisi namun pikirannya tidak terfokus pada acara yang kini sedang diputar oleh chanel yang dipilih Hauzan secara acak. Hingga Nuha datang dan memperhatikan suaminya, sejak kapan sang suami menyukai menonton film kartun bertemakan domba dengan penggembala berkacamata tebal itu?
"Mas, are you ok?" Nuha bertanya namun tidak ada jawaban. Bahkan Hauzan masih bergeming di tempatnya. "Mas__?" Ainuha menggoyangkan bahu Hauzan yang membuat laki-laki itu terkejut sekilas lalu meminta istrinya duduk tepat di sampingnya.
"Saba__?" Nuha melemparkan kembali pertanyaan yang membuat suaminya menghela nafas dalam-dalam.
"Anak kita sepertinya sedang jatuh cinta."
"Saba?" Hauzan mengangguk. Entahlah, ini bisa disebut dalam kategori bahagia atau harus bersedih hati saat Hauzan melanjutkan kalimatnya, "dia mengatakan tidak ingin menikah, karena Satria akan menikahi orang lain bukan dirinya."
Belum sampai mereka berbicara ke pokok permasalahan tiba-tiba gawai Hauzan berdering dan nama Satria tertulis jelas di sana.
"Assalamu'alaikum Pakdhe Zan. Maaf, aku baru saja landing. Sepertinya ada yang serius untuk dibicarakan?"
"Kamu dimana sekarang Ya?"
"Makasar, Pakdhe." Satria menjawabnya dengan tegas. Dia sedang bersiap untuk keluar dari pesawat.
"Ya sudah kamu istirahat dulu, nanti pakdhe telpon lagi."
"Oh, kalau memang serius tidak apa-apa. Aku bisa atensi kok, ini juga sudah selesai tinggal turun dan menunggu jemputan dari kantor ke hotel. Ada yang bisa aku bantu Pakdhe?"
Hauzan menghela nafasnya hingga terdengar di ujung perungu Satria yang masih terpasang buds. "Ini mengenai kakakmu, Saba."
"Kak Saba? Ada apa dengan kakak? Maaf pakdhe aku belum bisa balik, setelah cuti kemarin penerbanganku full. Ada satu atau dua hari off tapi aku memilih untuk beristirahat di mess."
"Di Raja Ampat kemarin apakah dia mengutarakan keinginannya untuk menikah denganmu atau__" Satria hampir saja melupakan hal itu karena rutinitas tanpa jeda yang membutuhkan konsentrasinya.
"Maaf Pakdhe, aku kelupaan untuk bercerita." Lalu mengalirlah cerita sebagaimana yang telah dialami oleh Satria dan Saba ketika di Raja Ampat satu bulan yang lalu. Sesungguhnya, Satria mengajak Saba berlibur adalah untuk menunaikan janjinya. Satria juga berkata bahwa dia tidak memiliki calon untuk dinikahi, hanya saja sepertinya Saba salah mengartikan kalimat yang diucapkannya dan dia terlanjur merajuk dan memboikot Satria dengan memilih mendiamkannya hingga sisa liburan mereka berakhir.
"Ya begitu pakdhe, aku pikir kak Saba akan cepat melupakannya. Aku juga belum menghubunginya karena ya mengejar jam terbang, supaya bisa menjadi pilot beneran." Hauzan bisa sedikit bernafas lega. Namun early warning system ini merupakan peringatan pertama untuk bisa meluruskan semuanya.
"Ya sudah kalau begitu. Nanti biar pakdhe yang berbicara dengan kakakmu. Kamu fokus saja dengan pekerjaanmu di sana. Hati-hati, jangan lupa selalu berdoa."
"Iya Pakdhe, pakdhe Zan dan budhe Nuha sehat-sehat juga di rumah." Percakapan mereka terhenti dan Hauzan kembali dihadapkan kepada kenyataan bahwa dia harus bisa mentranslate apa yang menjadi maksud Satria atas ucapannya yang membuat Saba bersedih hati seperti sekarang ini.
"Mas__"
"Kita memang harus menjelaskan kepada Saba, bahwa apa yang dianggapnya adalah satu kekeliruan."
"Jangan sampai nanti Saba berpikir bahwa dengan kelirunya Satria berucap kemarin justru semakin memupuk keinginan dan harapan Saba untuk menikah dengan Satria." Nuha memberikan penekanan.
"Nah itu dia yang harus kita pikirkan, bagaimana caranya bicara kepada Saba supaya bisa memahami maksud kita. Atau kamu punya usul?"
"Aktifkan Saba pada hobbynya kembali. Dengan melukis sepertinya dia akan bisa melupakan perasaannya. Tidak ada salahnya mengikutkan dia lomba, pameran atau semacamnya. Supaya Saba berkegiatan aktif dan tidak berpikir tentang Satria terlalu berlebihan. Atau aku usulkan untuk bisa membantu merapikan perpustakaan di sekolah ya Mas, siapa tahu nanti jika bertemu dengan siswa-siswa dia akan melupakan itu?"
Hauzan menimbang sesaat, bukan ide yang buruk namun berada di tengah-tengah anak-anak normal membuat ketakutan Hauzan timbul kembali. Bagaimana jika putri mereka dibully karena berbeda dengan yang lainnya, terlebih Ainuha tidak bisa mengawasi penuh.
"Kamu yakin Saba aman bersama anak didikmu, mereka tidak akan membully?" Nuha akhirnya juga mendesah. Memikirkan pergaulan anak jaman now membuatnya bergidik ngeri. Anak-anak sudah pandai menjilat, menghujat bahkan lebih parah mereka sudah mengenal kata bullying dan itu selalu ditujukan kepada teman-temannya yang dianggap nyleneh, berbeda atau lemah.
Hauzan dan Nuha masih berpikir mencari jalan keluar, sementara Saba di dalam kamar masih belum bisa memejamkan mata dengan sempurna. Dalam benaknya masih teringat kata-kata Satria.
'Ya nanti aku akan menikah, menikah, menikah, menikah__' seolah berputar-putar terus di dalam kepalanya hingga Saba tak lagi kuat untuk meredam dan raungan keras mengakhirkan pergulatan otaknya.
Hauzan dan Ainuha mendapati Saba pingsan di dalam kamarnya.
🌻🌻
to be continued__
Jadikan Alqur'an sebagai bacaan utama
Makne Hawwaiz
Blitar, 17 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top