02 ♡ Birunya Janji
🌻🌻
♡♡--------------------------------
miss you like a habit
--------------------------------♡♡
🌻🌻
Menjadi penumpang istimewa, sesuai dengan angan yang selama ini tercipta dalam benak. Mengukur ratusan bahkan ribuan jam, jutaan menit, milyaran detik hanya untuk menikmati menjadi bahagia saat diajak mengudara pesawatnya langsung dikemudikan oleh orang yang begitu berati dalam hidupnya.
Announcement voice, terdengar merdu di seluruh cabin pesawat. Meski melalui speaker dan dengan intonasi yang begitu spesial, telinga Saba masih cukup familiar dengan suara yang nyaring menyapa seluruh menumpang.
Co pilot Satria Dewandaru, mendampingi capten pilot Baviyan Singh membelah angkasa. Mengemudikan pesawat penumpang airbus A330
Senyum 3 jari atau tersebutlah sebagai senyum pipsident menjadi bukti seberapa besar rasa bahagia itu menyeruak ke permukaan. Gulungan awan berwarna putih menambah pemandangan yang sedari tadi tak bisa terlepas dari titik pandang seorang gadis yang bukan untuk pertama kalinya merasakan bagaimana rasanya mengudara bersama garuda besi, namun kali ini dia sendiri. Duduk di kursi penumpang tanpa orang tua dan saudara yang mendampingi.
Penerbangan kali ini memang penerbangan terakhir sebelum akhirnya Satria mengambil off duty on airnya. Membawa serta ke pulau paling timur negara Indonesia tercinta bersama sepupu tersayangnya setelah mendapat izin dari para orang tua mereka.
Setelah dua setengah jam akhirnya sampai juga pesawat akan mendarat di Bandara Domine Eduard Osok, Sorong, Papua Barat. Suara pramugari memberikan informasi bahwa pesawat telah mendarat sempurna dan sedang mencari posisi untuk parkir.
Kedua mata Saba bergerak lincah menandakan bahwa dia sudah tidak sabar lagi untuk bertemu dengan Satria lalu mengucapkan selamat. Bangga dalam hatinya bisa menaiki pesawat yang dikemudikan langsung oleh orang yang paling istimewa menurutnya.
"Kak Saba, mohon untuk menunggu di cabin sampai co pilot Satria Dewandaru menemui Kak Saba di sini." Pesan itu disampaikan oleh seorang pramugari kepada Saba saat dia membantu menurunkan beberapa barang bawaan penumpang di laci cabin.
"Apakah itu pesan dari Satyaku?" Pramugari itu tersenyum lalu mengangguk dan menggenggam tangan Saba hangat. "Co pilot Satria akan ke cabin sesaat lagi." Kini gantian Saba yang menganggukkan kepala tanda bahwa dia telah mengerti.
Lima belas menit berlalu, cabin juga telah kosong dari penumpang yang tadi penuh sesak dan rapi. Namun Saba masih setia duduk di kursinya. Bahkan sabuk pengaman pun terlupa untuk dilepasnya. Dia terlalu asyik memandang beberapa aktivitas petugas bandara di luar badan pesawat. Sampai tidak mengetahui bahwa sejak beberapa detik yang lalu Satria telah berdiri di ujung seat yang dia tempati.
"Masih ingin melihat mereka dari sini atau turun? Kita telah sampai di Papua." Saba mengalihkan pandangan matanya. Sosok tegap berseragam putih dengan topi khas di kepalanya membuat senyumnya kembali terbit.
"Satya sudah selesai?" Satria mengangguk lalu mengajak Saba untuk turun dari pesawat. Menjelaskan beberapa alat yang sedari tadi menjadi tumpuan pandangan Saba di ujung penglihatannya.
"Selamat berlibur Cap, jangan lupa absensi terakhir." Satria memberikan jempolnya. "Selamat berlibur juga Kak Saba, semoga menyenangkan." Saba tersenyum melewati teman-teman crew penerbangan Satria.
"Satya hebat__" kalimat pendek yang tercetus dari bibir Saba membuat Satria berpikir sejenak namun tidak juga mendapatkan jawaban.
"Hebat?"
"Iya hebat, pesawatnya bisa terbang dan Satria yang menjadi sopirnya." Jika orang lain yang bicara tentu saja Satria akan tertawa namun kali ini adalah Sabanya yang bicara tentu saja dia bisa menerima dengan baik dan meluruskannya. "Iya, sopir pesawat itu namanya pilot, Kak."
"Iya pilot, Satya hebat menjadi pilot, bisa menerbangkan pesawat sebesar itu." Saba menunjuk pesawat yang baru saja mereka tumpangi. Satria hanya bisa mengangguk dan mengucapkan terima kasih kepada Saba atas apresiasi yang telah dia berikan kepadanya.
Setelah selesai mengambil koper di baggage conveyor belt, Satria mengajak Saba untuk sesaat absensi di unit perwakilan kantornya yang ada di bandara. Selain itu dia juga butuh mengganti pakaian dinasnya sebelum akhirnya mereka terbang kembali ke Marinda, Raja Ampat.
"Kita akan naik pesawat lagi?" Saba bertanya ketika Satria memesan kembali tiket penerbangan dengan menunjukkan kartu identitas miliknya dan juga milik Saba.
"Iya, tapi bukan aku yang akan menerbangkannya. Jadi selama 30 menit di awan nanti aku akan tetap duduk di samping kakak."
"Mengapa?"
"Karena Satyamu tidak sedang bertugas, tugas Satyamu sekarang adalah mengajak Saba untuk menikmati pemandangan yang indah. Kita akan jalan-jalan, naik gunung, berjemur di pantai lalu berenang dan juga diving atau snorkeling." Satria sengaja mengajak Saba untuk menikmati alam Indonesia khususnya di Indonesia bagian timur sesuai dengan janji yang pernah dia ucapkan dulu bahwa ketika dia sudah bekerja di udara akan mengajak kakaknya jalan-jalan. Melihat dari dekat keindahan alam Indonesia.
Pemandangan pertama yang terlihat setelah pendaratan di Marinda, Waisai, Raja Ampat adalah hijaunya alam yang memukau mata. Decak kagum dan juga tatapan enggan beralih merupakan kewajaran bagi siapa pun yang baru saja menginjakkan kaki untuk pertama kalinya mengunjungi Raja Ampat.
Satria sengaja memilih bulan Juli, dimana arus laut lebih tenang dan juga jernih karena matahari berada tepat di atas kota ini. Sehingga banyak ikan dan juga kura-kura yang muncul ke permukaan.
Perjalanan wisata itu tentunya membuat Satria dan Saba terlihat seperti pasangan muda yang sedang menikmati fase berbulan madu. Namun dengan sangat telatennya, Satria menjawab kala ada beberapa pertanyaan dari resepsionis hotel ataupun dengan tour guide yang mereka sewa.
"Cantik, seperti kak Saba." Satria menunjukkan hasil jepretannya melalui pocket camera yang selalu menemaninya kemana-mana. "Kakak suka?"
"Suka sekali, katamu kita akan naik ke bukit. Aku sudah siap, tidak capek." Melihat antusiasme Saba, Satria sedikit bisa bernafas lega. Dia pikir akan membuat Saba enggan untuk mengikuti semua tour yang ditawarkan melalui paket wisata yang telah terpesan. Nyatanya justru Saba begitu bersemangat untuk menikmati liburan mereka.
Sesuai jadwal akhirnya mereka menikmati juga hampir semua yang telah mereka nikmati melalui foto. Mulai dari Piaynemo, Wayag, Star Lagoon, Batu Pensil, Arborek, Pasir Timbul, Batanta waterfall hingga ke desa wisata penuh pesona Sauwandarek dan juga menanti senja turun di desa Selpepe.
"Nanti kalau aku sudah menikah, aku akan mengajak istriku datang kemari. Menikmati alam bersama sekaligus berbulan madu di indahnya pesona Papua Barat yang memukau mata." Satria bergumam panjang, lirih namun sampai di telinga Saba.
Menikah, rasanya kata itu tidak asing dalam pendengarannya ketika orang lain yang mengucapkan. Namun saat Satyanya yang berucap dan menyebutkan kata istri membuat hati Saba tercubit, sakit.
"Satya ingin menikah?" Satria mengalihkan pandangannya kepada Saba. Dia tersenyum lalu berkata, "jika sudah saatnya nanti kita pasti akan memiliki pasangan hidup Kak. Seperti umi dan abi atau pakdhe Hauzan dan budhe Nuha, orang tuamu. Kakak akan memiliki suami dan aku juga akan memiliki istri." Saba sempat berpikir sebelum akhirnya dia bersuara kembali. "Artinya kamu tidak akan mengajakku pergi-pergi lagi, tidak sayang lagi padaku, tidak rindu lagi, tidak__"
"Bukan, bukan seperti itu kakakku sayang." Satria memotong kalimat panjang yang sepertinya lebih tepat dikatakan sebagai sebuah tuntutan.
"Aku tidak akan menikah!" Saba pergi meninggalkan Satria yang kini terbengong karena ucapan saudaranya.
Ini adalah malam terakhir mereka akan menghabiskan waktu di Raja Ampat. Bukan kali pertama Satria mengetahui Saba marah, namun sepertinya kali ini dia harus berusaha untuk membujuknya lebih cepat. Tidak ingin melukiskan kenangan yang tidak indah untuk diingat dalam liburan mereka dengan berdiam diri di sisa waktu yang ada.
Satria memanggil Saba lirih, mengetuk pintu kamar kakaknya dan berusaha untuk menjelaskan sebagaimana kalimat yang mudah dimengerti oleh Saba.
"Keluar dulu Kak, kita bisa bicara? Besok kita akan pulang, aku tidak ingin jika pakdhe dan budhe bertanya lalu kita menjawab kalau di sini bertengkar. Kak Saba keluar dulu, kita bicara, bisa ya Kak?" Dengan bekas air mata yang sepertinya telah berurai dihapus Saba dengan kasar.
"Jangan menangis, Kak. Apa aku menyakiti hatimu?" Satria bertanya dan berharap Saba akan menjawabnya dengan jujur.
"Aku tidak ingin menikah."
"Ok, Kak Saba tidak ingin menikah. Lalu mengapa kakak menangis?" tanya Satria penuh dengan kehati-hatian.
"Aku_aku_aku__" bola mata Saba berputar, artinya dia sedang berpikir atau sedang bingung ingin mengutarakan sesuatu namun tidak bisa mengatakannya. "Aku mau menikah." Satria bergeming, keningnya berkerut menyeimbangkan pendengaran dan juga kata yang akan diucapkan supaya tidak lagi membuat sang sepupu marah kepadanya.
"Kakak tidak ingin menikah tadi, sekarang ingin menikah. Yang benar yang mana?" tanya Satria lagi.
"Aku, maksudku__" Saba kembali terdiam. Matanya menatap Satria tajam, seolah mengukur hati antara ingin berkata jujur dan rasa malu mengakui. "Aku inginnya menikah dengan Satya, bukan dengan yang lain."
Lolos sudah satu kalimat panjang yang membuat Satria menghela nafas dalam-dalam. Sejauh ini tidak pernah menganggap kakaknya bisa menaruh rasa yang berlebih diantara hubungan persaudaraan mereka. Namun nyatanya kemanjaan Saba, perhatiannya, dan juga hubungan mereka membuat ikatan persaudaraan itu menjadi rumit. Apa yang harus Satria katakan untuk tidak menyakiti perasaan kakaknya?
Rasa sayang itu tumbuh dari dalam hati, tulus, ikhlas, dan rasa ingin melindungi. Sebagai saudara yang bisa dikatakan lebih sempurna daripada sang kakak, Satria seolah mengambil sebuah tanggung jawab untuk bisa membahagiakan kakaknya. Mendapatkan perhatian, rasa diperhatikan dan disayangi.
Saba memang terlahir istimewa namun bukan berarti dia tidak memiliki rasa untuk bisa memiliki atas sesuatu. Mungkin itu yang tidak Satria pelajari dari awal. Hingga kini saatnya tiba dan telah tersampai, Satria sendiri yang pada akhirnya kebingungan mencari diksi yang paling tepat untuk menjawab ungkapan perasaan yang telah Saba sampaikan kepadanya.
"Apa kamu tidak mau menikah denganku, Satya?" pertanyaan Saba berikutnya membuat lamunan Satria berakhir. Dia harus menjawab supaya Saba tidak lagi berlari menjauh dan menganggap Satria tidak menyayanginya lagi.
"Ya sudah, kakak istirahat saja ini sudah terlalu malam. Kita bisa bicarakan kembali besok." Berharap dengan mereka tidur Saba akan melupakan apa yang terjadi malam ini. Saba mengangguk, menuruti kata-kata Satria namun bibirnya bergumam lirih. "Jadi Satya tidak ingin menikah denganku. Aku juga tidak akan menikah kalau begitu."
Matahari seolah sedang salah jalur putar atas orbitnya. Semua sayang Saba, Satria, keluarganya, saudaranya, bahkan teman-teman sekolahnya semua sangat menyayangi. Saba sosok mandiri meski dia terlahir istimewa namun kini menjelma menjadi wanita yang terkesan ulet dan teguh, meski sifat manja itu tidak bisa dihilangkan saat dia menginginkan sesuatu.
"Tuhan, mungkin salah caraku menyayangi kak Saba. Tapi jujur aku tidak ingin mengecewakannya. Aku hanya ingin membuatnya bahagia. Lalu apa yang harus aku lakukan ya Rabb. Rasanya tidak mungkin bagi kami menjalin ikatan yang seharusnya memang bukan untuk kami meski itu diperbolehkan secara agama." Satria memutar gawainya. Malam ini rasanya seluruh pikirannya hanya tertuju kepada Aresya Sabiha seorang.
Kelebatan bayang-bayang, kebersamaan mereka mulai kecil hingga sedewasa kini. Satria memang hadir sebagai sosok pelindung bagi kakaknya. Menawarkan perjanjian tak tertulis untuk saling menyayangi dan membagi semua cerita dengan kakaknya. Apakah perhatian dan semua sayang yang dia curahkan selama ini kepada Saba merupakan perwujudan dari rasa cinta yang masih belum dikenali keberadaannya?
Lalu darimana Satria akan mencoba berkenalan dengan rasa itu? Sementara kini dia masih bingung untuk memilah dan mengejawantakan bahasa hatinya sendiri.
Garuda besi ini telah meninggalkan Bandara Domine Eduard Osok dua jam yang lalu, itu artinya setengah jam lagi mereka akan mendarat di Bandara Sultan Hasanudin Makasar, namun selama itu juga Saba masih setia dengan kebungkamannya. Sejak meninggalkan bungalow tempat mereka menginap di Raja Ampat belum satu pun kata yang keluar dari bibir Saba jika bukan menjawab pertanyaan Satria.
"Kak, jangan diamkan aku seperti ini. Kak Saba boleh memarahi aku sekarang tapi please jangan marah kepadaku dengan cara diam seperti ini. Aku bukan patung." Satria berbisik tepat di sisi telinga Saba ketiga gadis itu sedang menikmati gumpalan awan putih di luar jendela yang ada di sebelahnya.
"Aku tidak marah." Saba menjawabnya tanpa berusaha untuk mengalihkan pandangan.
"Tapi kakak diam, itu artinya kak Saba marah." Hening sesaat lalu Saba memperhatikan Satria dari ujung rambut hingga ke ujung kakinya, meski hanya dengan sekilas lalu karena mereka sedang duduk berdampingan dan tidak memungkinkan untuk melakukan lebih daripada itu.
"Aku hanya sedang mengingat, kalau kamu pernah berjanji akan merindukan aku, aku juga selalu merindukanmu. Itu benar dan aku telah melakukannya, aku merindukanmu. Kamu juga akan menjagaku seperti janjimu dulu, tapi aku berpikir bagaimana caramu menjagaku Satya, kalau kamu saja tidak mau menikah denganku. Aku hanya bingung."
Apa yang akan dikatakan kepada orang tua mereka nantinya. Satya mencoba untuk tersenyum meski terlihat sangat garing dan tidak pada tempatnya. Namun untuk saat ini dia tidak memiliki kata-kata untuk menjawab apa yang telah Saba sampaikan. Bibirnya kelu dan lagi-lagi mungkin kali ini dia membenarkan sikap Saba yang memilih untuk diam.
Satria speechless!!
🌻🌻
to be continued__
Jadikan Alqur'an sebagai bacaan utama
Makne Hawwaiz
Blitar, 27 Juli 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top